BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang Masalah
Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara ditempuh
untuk memperoleh kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio seperti para
rasionalis dan melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang
diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional,
kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dapat dimengerti. Ilmu pengetahuan
harus dibedakan dari fenomena alam. Fenomena alam adalah fakta, kenyataan yang
tunduk pada hukum-hukum yang menyebabkan fenomena itu muncul. Ilmu pengetahuan
adalah formulasi hasil aproksimasi atas fenomena alam atau simplifikasi atas
fenomena tersebut.
Struktur pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam
hal menangkap kebenaran. Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur tersebut
menunjukkan tingkat kebenaran yang berbeda. Pengetahuan inderawi merupakan
struktur terendah dalam struktur tersebut. Tingkat pengetahuan yang lebih
tinggi adalah pengetahuan rasional dan intuitif. Tingkat yang lebih rendah
menangkap kebenaran secara tidak lengkap, tidak terstruktur, dan pada umumnya
kabur, khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri. Oleh sebab itulah
pengetahuan ini harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi. Pada
tingkat pengetahuan rasional-ilmiah, manusia melakukan penataan pengetahuannya
agar terstruktur dengan jelas.
Filsafat ilmu memiliki tiga cabang kajian yaitu ontologi,
epistemologi dan aksiologi. Ontologi membahas tentang apa itu realitas. Dalam
hubungannya dengan ilmu pengetahuan, filsafat ini membahas tentang apa yang
bisa dikategorikan sebagai objek ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan
modern, realitas hanya dibatasi pada hal-hal yang bersifat materi dan
kuantitatif. Ini tidak terlepas dari pandangan yang materialistik-sekularistik.
Kuantifikasi objek ilmu pengetahuan berari bahwa aspek-aspek alam yang bersifat
kualitatif menjadi diabaikan. Epistemologis membahas masalah metodologi ilmu
pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan modern, jalan bagi diperolehnya ilmu
pengetahuan adalah metode ilmiah dengan pilar utamanya rasionalisme dan
empirisme. Aksiologi menyangkut tujuan diciptakannya ilmu pengetahuan,
mempertimbangkan aspek pragmatis-materialistis.
Dari semua pengetahuan, maka ilmu merupakan pengetahuan yang aspek
ontologi, epistemologi, dan aksiologinya telah jauh lebih berkembang
dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan lain, dilaksanakan secara konsekuen
dan penuh disiplin. misalnya hukum-hukum, teori-teori, ataupun rumus-rumus
filsafat, juga kenyataan yang dikenal dan diungkapkan. Mereka muncul dan
berkembang maju sampai pada taraf kesadaran dalam diri pengenal dan masyarakat
pengenal. Kebenaran dapat dikelompokkan dalam tiga makna: kebenaran moral, kebenaran
logis, dan kebenaran metafisik. Kebenaran moral menjadi bahasa, etika, ia
menunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan dengan apa yang kita rasakan.
Kebenaran logis menjadi bahasan epistemologi, logika, dan psikologi, ia merupakan
hubungan antara pernyataan dengan realitas objektif. Kebenaran metafisik
berkaitan dengan yang-ada sejauh berhadapan dengan akal budi, karena yang ada
mengungkapkan diri kepada akal budi. Yang ada merupakan dasar dari kebenaran,
dan akal budi yang menyatakannya.[1]
B.
Rumusan Masalah
Dalam makalah ini ada beberapa masalah yang akan dibahas, agar
pembahasan dalam makalah ini tidak lari dari judulnya ada baiknya kita rumuskan
masalah-masalah yang akan di bahas, antara lain :
1.
Pengertian
kebenaran dan tingkatan-tingkatannya.
2.
Hubungan
metode dengan kebenaran ilmu pengetahuan
3.
Teori-teori
kebenaran filsafat ilmu.
4.
Sifat
dan tingkatan kebenaran ilmu.
C. Tujuan Penulisan
Adapun
manfaat penbuatan makalah ini adalah :
o
Agar mahasiswa
mampu mengetahui pengertian dan tingkatan-tingkatan kebenaran ilmu pengetahuan.
o
Agar mahasiswa
dapat menjelaskan apa saja hubungan metode dengan kebenaran ilmu pengetahuan.
o
Mahasiswa mampu
menjelaskan tentang teori-teori kebenaran ilmu pengetahuan.
o
Mahasiswa mampu
menjabarkan apa saja tingkatan-tingkatan dan sifat-sifat kebenaran ilmu
pengetahuan.
D. Metode Penulisan
Metode
yang digunakan penulis adalah metode kepustakaan yaitu memberikan gambaran
tentang materi-materi yang berhubungan dengan permasalahan melalui literatur
buku-buku yang tersedia, tidak lupa juga penulis ambil sedikit dari media
massa/internet. Dan diskusi mengenai masalah yang dibahas dengan teman-teman.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kebenaran
Kebenaran
adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang
menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat
kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.[2]
Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna dan fungsi
ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Di
samping itu proses untuk mendapatkannya haruslah melalui tahap-tahap metode
ilmiah.
Kriteria
ilmiah dari suatu ilmu memang tidak dapat menjelaskan fakta dan realitas yang
ada. Apalagi terhadap fakta dan kenyataan yang berada dalam lingkup religi
ataupun yang metafisika dan mistik, ataupun yang non ilmiah lainnya. Di sinilah
perlunya pengembangan sikap dan kepribadian yang mampu meletakkan manusia dalam
dunianya. Penegasan di atas dapat kita pahami karena apa yang disebut ilmu pengetahuan
diletakkan dengan ukuran, pertama, pada dimensi fenomenalnya yaitu bahwa ilmu
pengetahuan menampakkan diri sebagai masyarakat, sebagai proses dan sebagai
produk. Kedua, pada dimensi strukturalnya, yaitu bahwa ilmu pengetahuan harus
terstruktur atas komponen-komponen, obyek sasaran yang hendak diteliti
(begenstand), yang diteliti atau dipertanyakan tanpa mengenal titik henti atas
dasar motif dan tata cara tertentu, sedang hasil-hasil temuannya diletakkan
dalam satu kesatuan system.[3]
Tampaknya
anggapan yang kurang tepat mengenai apa yang disebut ilmiah telah mengakibatkan
pandangan yang salah terhadap kebenaran ilmiah dan fungsinya bagi kehidupan
manusia. Ilmiah atau tidak ilmiah kemudian dipergunakan orang untuk menolak
atau menerima suatu produk pemikiran manusia.[4]
Maksud
dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran. Tentang kebenaran ini, Plato
pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan,
bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah kenyataan”,
tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos
sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidak benaran
(keburukan).
Dalam
bahasan, makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan
(ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun langgeng, melainkan
bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan.
Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan
ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu
itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu secara netral, tak bermuara,
dapat melunturkan pengertian kebenaran sehingga ilmu terpaksa menjadi steril.
Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya harus diperkuat oleh
kesadaran terhadap berakarnya kebenaran.[5]
Selaras
dengan Poedjawiyatna yang mengatakan bahwa persesuaian antara pengatahuan dan
obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus yang
dengan aspek obyek yang diketahui.[6]
Jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.
Meskipun
demikian, apa yang dewasa ini kita pegang sebagai kebenaran mungkin suatu saat
akan hanya pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang lebih jati lagi dan
demikian seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia
yang transenden,dengan kata lain, keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang
terdapat dalam diri manusia. Dari sini terdapat petunjuk mengenai kebenaran
yang trasenden, artinya tidak henti dari kebenaran itu terdapat diluar
jangkauan manusia.
Kebenaran dapat
dikelompokkan dalam tiga makna: kebenaran moral, kebenaran logis, dan kebenaran
metafisik. Kebenaran moral menjadi bahasan etika, ia menunjukkan hubungan
antara yang kita nyatakan dengan apa yang kita rasakan. Kebenaran logis menjadi
bahasan epistemologi, logika, dan psikologi, ia merupakan hubungan antara
pernyataan dengan realitas objektif. Kebenaran metafisik berkaitan dengan
yang-ada sejauh berhadapan dengan akalbudi, karena yang ada mengungkapkan diri
kepada akal budi. Yang ada merupakan dasar dari kebenaran, dan akalbudi yang
menyatakannya.[7]
B. Hubungan antara metode dengan kebenaran
Kebenaran
ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah, artinya suatu kebenaran tidak
mungkin muncul tanpa adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk memperoleh
pengetahuan ilmiah. Secara metafisis kebenaran ilmu bertumpu pada objek ilmu,
melalui penelitian dengan dukungan metode serta sarana penelitian maka
diperoleh suatu pengetahuan. Semua objek ilmu benar dalam dirinya sendiri,
karena tidak ada kontradiksi di dalamnya. Kebenaran dan kesalahan timbul
tergantung pada kemampuan menteorikan fakta.[8]
Bangunan
suatu pengetahuan secara epistemologis bertumpu pada suatu asumsi metafisis
tertentu, dari asumsi metafisis ini kemudian menuntut suatu cara atau metode
yang sesuai untuk mengetahui objek. Dengan kata lain metode yang dikembangkan
merupakan konsekuensi logis dari watak objek. Oleh karena itu pemaksaan
standard tunggal pengetahuan dengan paradigma (metode, dan kebenaran) tertentu
merupakan kesalahan, apapun alasannya, apakah itu demi kepastian maupun
objektivitas suatu pengetahuan. Secara epistemologis kebenaran adalah
kesesuaian antara apa yang diklai sebagai diketahui dengan kenyataan yang
sebenarnya yang menjadi objek pengetahuan. Kebenaran terletak pada kesesuaian
antara subjek dan objek, yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas
sebagaimana adanya.[9]
Setiap
tradisi epistemologi beranggapan bahwa kebenaran suatu pengetahuan dapat
diperoleh berkat metode yang dipergunakannya, adapun metode-meode tersebut
adalah sebagai berikut :
1. Empirisme
Empirisme sangat
menghargai pengamatan empiris dan cara kerja Empirisme bertitik tolak dari
adanya dualitas antara pengenal dan apa yang dikenal. Mereka menginginkan agar
apa yang terdapat dalam pengetahuan pengenal bersesuaian dengan kenyataan yang
ada di luarnya. Mereka memberi peran
yang besar pada objek yang mau dikenal, sedang pengenal bersifat pasif. Teori
Kebenaran Korespondensi adalah sarana bagi mereka untuk menguji hasil pengetahuan,
menurut teori ini suatu pernyataan dikatakan benar bila sesuai dengan fakta
empiri yang menjadi objeknya. Menurut Abbas, teori kebenaran korespondensi
adalah teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat digolongkan ke dalam
teori kebenaran tradisional karena Aristoteles sejak awal (sebelum abad Modern)
mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan yang
diketahuinya.[10]
Kelemahan teori
kebenaran korespondensi ialah munculnya kekhilafan karena kurang cermatnya
penginderaan, atau indera tidak normal lagi. Disamping itu teori kebenaran
korespondensi tidak berlaku pada objek/bidang nonempiris atau objek yang tidak
dapat diinderai. Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya objektif,
ia harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam pembentukan
objektivanya. Kebenaran yang benar-benar lepas dari kenyataan subjek.[11]
2. Rasionalisme
Spinoza
dan Hegel amat menekankan pada pengenal dibanding dengan apa yang dikenal
sebagai suatu kenyataan, mereka adalah tokoh yang menekankan dibangunnya
pengetahuan yang bersifat a priori sebagaimana ilmu falak dan mekanika. Ilmu
falak dan mekanika tidak bisa memakai kenyataan objektif untuk mendukung
pernyataan-pernyataan teoritisnya, karena menurutnya ilmu cukup bertumpu pada
kerangka teoritis yang bersifat a priori. Mereka menggunakan Teori Kebenaran
Koherensi dalam menguji produk pengetahuannya. Teori Kebenaran Koherensi
berpandangan bahwa suatu pernyataan dikatakan benar bila terdapat kesesuaian
antara pernyatan satu dengan pernyataan terdahulu atau lainnya dalam suatu
sistem pengetahuan yang dianggap benar.
Sebab
sesuatu adalah anggota dari suatu sistem yang unsur-unsurnya berhubungan secara
logis. Teori kebenaran koherensi tergolong dalam teori kebenaran yang
tradisional. Selain melalui hubungan gagasaan-gagasan secara logis-sistemik,
ada beberapa cara pembuktian dalam berpikir rasional, yaitu melalui hukum-hukum
logika dan perhitungan matematis. Kebenaran koherensi mempunyai kelemahan
mendasar, yaitu terjebak pada penekanan validitas, teorinya dijaga agar selalu
ada koherensi internal. Suatu pernyataan dapat benar dalam dirinya sendiri,
namun ada kemungkinan salah jika dihubungkan dengan pernyataan lain di luar
sistemnya. Hal ini bisa mengarah pada relativisme pengetahuan. Misal pada jaman
Pertengahan ilmu bertumpu pada mitos dan cerita rakyat, kebenaran argumen tidak
pernah bertumpu pada pengalaman dunia luar.
3. Induktivisme
Induktivisme
berpendapat bahwa pengetahuan ilmiah bertolak dari observasi, dan observasi
memberikan dasar yang kokoh untuk membangun pengetahuan ilmiah di atasnya,
sedangkan pengetahuan ilmiah disimpulkan dari keterangan-keterangan observasi
yang diperoleh melalui induksi. Hal itu berarti bahwa pengetahuan ilmiah
bukanlah pengetahuan yang telah dibuktikan, melainkan pengetahuan yang probabel
benar. Makin besar jumlah observasi yang membentuk dasar suatu induksi, dan
makin besar variasi kondisi di mana observasi dilakukan, maka makin besarlah
pula probabilitas hasil generalisasi itu benar.[12]
Namun kebenaran ilmu akan mundur menuju kearah probabilitas.[13] Kebenaran
yang bertumpu pada pola induksi adalah selalu dalam kemungkinan, dengan kata
lain produk ilmu bersifat tentatif, ia benar sejauh belum ada data yang
menunjukkan pengingkaran terhadap teori.
C.
Teoti-Teori
Kebenaran
Ilmu
pengetahuan terkait erat dengan pencarian kebenaran, yakni kebenaran ilmiah.
Ada banyak yang termasuk pengetahuan manusia, namun tidak semua hal itu
langsung kita golongkan sebagai ilmu pengetahuan.[14]
Hanya pengetahuan tertentu, yang diperoleh dari kegiatan ilmiah, dengan metode
yang sistematis, melalui penelitian, analisis dan pengujian data secara ilmiah,
yang dapat kit sebut sebagai ilmu pengetahuan. Dalam sejarah filsafat, terdapat
beberapa teori tentang kebenaran, antara lain :
1. Teori Kebenaran Korespondensi (Teori
persesuaian)
Ujian
kebenaran yang dinamakan teori korespondensi adalah paling diterima secara luas
oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada
realita obyektif (fidelity to objective reality). Kebenaran adalah persesuaian
antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan
(judgement) dan situasi yang pertimbangan itu berusaha untuk melukiskan, karena
kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita
lakukan tentang sesuatu.[15]
Jadi,
secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu
pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu
berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan
tersebut.[16]
Misalnya jika seorang mahasiswa mengatakan “kota Yogyakarta terletak di pulau
Jawa” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang
bersifat faktual, yakni kota Yogyakarta memang benar-benar berada di pulau
Jawa. Sekiranya orang lain yang mengatakan bahwa “kota Yogyakarta berada di
pulau Sumatra” maka pernnyataan itu adalah tidak benar sebab tidak terdapat
obyek yang sesuai dengan pernyataan terebut. Dalam hal ini maka secara faktual
“kota Yogyakarta bukan berada di pulau Sumatra melainkan di pulau Jawa”.
Menurut
teori koresponden, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan
langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh karena atau kekeliruan itu
tergantung kepada kondisi yag sudah ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu
pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka
pertimbangan itu salah.[17]
Dengan
ini Aristoteles sudah meletakkan dasar bagi teori kebenaran sebagai persesuaian
bahwa kebenaran adalah persesuaian antara apa yang dikatakan dengan kenyataan.
Jadi suatau pernyataan dianggap benar jika apa yang dinyatakan memiliki
keterkaitan (correspondence) dengan kenyataan yang diungkapkan dalam pernyataan
itu.
Menurut
teori ini, kebenaran adalah soal kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai
diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya. Benar dan salah adalah soal sesuai
tidaknya apa yang dikatakan dengan kenyataan sebagaimana adanya. Atau dapat
pula dikatakan bahwa kebenaran terletak pada kesesuaian antara subjek dan
objek, yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas sebagaimana adanya.
Kebenaran sebagai persesuaian juga disebut sebagai kebenaran empiris, karena
kebenaran suatu pernyataan proposisi, atau teori, ditentukan oleh apakah
pernyataan, proposisi atau teori didukung fakta atau tidak.
Suatu
ide, konsep, atau teori yang benar, harus mengungkapkan relaitas yang
sebenarnya. Kebenaran terjadi pada pengetahuan. Pengetahuan terbukti benar dan
menjadi benar oleh kenyataan yang sesuai dengan apa yang diungkapkan
pengetahuan itu. Oleh karena itu, bagi teori ini, mengungkapkan realitas adalah
hal yang pokok bagi kegiatan ilmiah. Dalam mengungkapkan realitas itu,
kebenaran akan muncul dengan sendirinya ketika apa yang dinyatakan sebagai
benar memang sesuai dengan kenyataan.[18]
Masalah
kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita oyek
(informasi, fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek
(ide, kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan
kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu benar. Teori korespodensi
(corespondence theory of truth), menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu
kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud
suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh
pernyataan atau pendapat tersebut. Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan
dengan fakta, yang berselaran dengan realitas yang serasi dengan sitasi aktual.[19] Dengan
demikian ada lima unsur yang perlu yaitu :
·
Statemaent
(pernyataan)
·
Persesuaian
(agreemant)
·
Situasi
(situation)
·
Kenyataan
(realitas)
·
Putusan
(judgements)
Kebenaran
adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan).
Teori ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya plato, aristotels dan moore
dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik,
serta oleh Berrand Russel pada abad moderen.[20]
2. Teori Kebenaran Konsistensi/Koherensi (teori
keteguhan)
Berdasarkan
teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren
atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.[21] Artinya
pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan
pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut
logika. Misalnya, bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti akan mati”
adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si Hasan seorang
manusia dan si Hasan pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua
adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
Salah
satu kesulitan dan sekaligus keberatan atas teori ini adalah bahwa karena
kebenaran suatu pernyataan didasarkan pada kaitan atau kesesuaiannya dengan
pernyataan lain, timbul pertanyaan bagaimana dengan kebenaran pernyataan tadi?
Jawabannya, kebenarannya ditentukan berdasarkan fakta apakah pernyataan
tersebut sesuai dan sejalan dengan pernyataan yang lain. Hal ini akan
berlangsung terus sehingga akan terjadi gerak mundur tanpa henti (infinite
regress) atau akan terjadi gerak putar tanpa henti.
Karena
itu, kendati tidak bisa dibantah bahwa teori kebenaran sebagai keteguhan ini
penting, dalam kenyataan perlu digabungkan dengan teori kebenaran sebagai
kesesuaian dengan realitas. Dalam situasi tertentu kita tidak selalu perlu
mengecek apakah suatu pernyataan adalah benar, dengan merujuknya pada realitas.
Kita cukup mengandaikannya sebagai benar secara apriori, tetapi, dalam situasi
lainnya, kita tetap perlu merujuk pada realitas untuk bisa menguji kebenaran
pernyataan tersebut.[22]
Kelompok
idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel, Bradley dan
Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan begitu maka
tiap-tiap pertimbangan yang benar dan tiap-tiap sistem kebenaran yang parsial
bersifat terus menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari keseluruhan
tersebut.[23]
Meskipun demikian perlu lebih dinyatakan dengan referensi kepada konsistensi
faktual, yakni persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu situasi
lingkungan tertentu.
3. Teori Pragmatik
Teori
pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah
yang terbit pada tahun 1878 yangberjudul “How to Make Ideals Clear”. Teori ini
kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah
berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan
filsafat Amerika. Ahli-ahli filasafat ini di antaranya adalah William James
(1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Hobart Mead (1863-1931) dan C.I.
Lewis.[24]
Pragmatisme
menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka
ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability)
atau akibat yang memuaskan[25],
Sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan
bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan
perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatis
adalah logika pengamatan dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi hidup
praktis dalam kehidupan manusia.[26]
Kriteria
pragmatisme juga dipergunakan oleh ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah
dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang
dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan
masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu
fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya
pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu
sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan[27],
demikian seterusnya. Tetapi kriteria kebenaran cenderung menekankan satu atau lebih
dati tiga pendekatan , yaitu :
·
Yang benar
adalah yang memuaskan keinginan kita,
·
Yang benar
adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen,
·
Yang benar
adalah yang membantu dalam perjuangan hidup biologis.
Oleh karena
teori-teori kebenaran (koresponden, koherensi, dan pragmatisme) itu lebih
bersifat saling menyempurnakan daripada saling bertentangan, maka teori
tersebut dapat digabungkan dalam suatu definisi tentang kebenaran. kebenaran
adalah persesuaian yang setia dari pertimbangan dan ide kita kepada fakta
pengalaman atau kepada alam seperti adanya. Akan tetapi karena kita dengan
situasi yang sebenarnya, maka dapat diujilah pertimbangan tersebut dengan
konsistensinnya dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang kita anggap sah dan
benar, atau kita uji dengan faidahnya dan akibat-akibatnya yang praktis.[28]
Menurut
teori pragmatis, “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah
pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu
pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan
itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia”.[29]
Dalam pendidikan, misalnya di IAIN, prinsip kepraktisan (practicality) telah
mempengaruhi jumlah mahasiswa pada masing-masing fakultas. Tarbiyah lebih
disukai, karena pasar kerjanya lebih luas daripada fakultas lainnya. Mengenai
kebenaran tentang “Adanya Tuhan” para penganut paham pragmatis tidak mempersoalkan
apakah Tuhan memang ada baik dalam ralitas atau idea (whether really or
ideally).
William
James mengembangkan teori pragmatisnya dengan berangkat dari pemikirannya
tentang “berpikir”. Menurutnya, fungsi dari berpikir bukan untuk menangkap
kenyataan tertentu, melainkan untuk membentuk ide tertentu demi memuaskan
kebutuhan atau kepentingan manusia. Oleh karena itu, pernyataan penting bagi
James adalah jika suatu ide diangap benar, apa perbedaan praktis yang akan
timbul dari ide ini dibandingkan dengan ide yang tidak benar. Apa konsekuensi
praktis yang berbeda dari ide yang benar dibandingkan dengan ide yang keliru.
Menurut William James, ide atau teori yang benar adalah ide atau teori yang
berguna dan berfungsi memenuhi tuntutan dan kebutuhan kita. Sebaliknya, ide
yang salah, adalah ide yang tidak berguna atau tidak berfungsi membanu kita
memenuhi kebutuhan kita.
Dewey
dan kaum pragmatis lainnya juga menekankan pentingnya ide yang benar bagi
kegiatan ilmiah. Menurut Dewey, penelitian ilmiah selalu diilhami oleh suatu
keraguan awal, suatu ketidakpastian, suatu kesangsian akan sesuatu. Kesangsian
menimbulkan ide tertentu. Ide ini benar jika ia berhasil membantu ilmuwan
tersebut untuk sampai pada jawaban tertentu yangmemuaskan dan dapat diterima.
Misalnya, orang yang tersesat di sebuah hutan kemudian menemukan sebuah jalan
kecil. Timbul ide, jangan-jangan jalan ini akan membawanya keluar dari hutan
tersebut untuk sampai pada pemukiman penduduk. Ide tersebut benar jika pada
akhirnya dengan dituntun oleh ide tadi ia akhirnya sampai pada pemukiman
manusia.[30]
Menurut
teori ini proposisi dikatakan benar sepanjang proposisi itu berlaku atau
memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) dan
yang diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Bagi para pragmatis,
batu ujian kebenaran adalah kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability)
dan akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequences). Teori
ini tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak kebenarannya tergantung
pada manfaat dan akibatnya. Akibat/ hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis
adalah :
o
Sesuai dengan
keinginan dan tujuan
o
Sesuai dengan
teruji dengan suatu eksperimen
o
Ikut membantu
dan mendorong perjuangan untuk tetap eksis (ada).[31]
Teori
kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi
oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya
suatu dalil atau teori tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori
tersebut bagi manusia untuk kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan harus
bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.
D.
Standarisasi
Ilmu
Beberapa
pandangan tentang kebenaran tak terelakkan mengarah kepada relativisme,
Filsafat adalah merupakan contoh dari suatu sistem yang mempertahankan
kebenaran hingga mengarah ke bentuk solip. Lingkungan dari berbagai budaya
sepertinya mengadopsi kebenaran yang berbeda satu dengan lainnya karena di sana
tidak ada jalan untuk membandingkan secara transkultural. Popper mengatakan:
kita terkurung dalam kerangka teori kita, ekspektasi kita, pengalaman lampau
kita, dan bahasa kita. Dalam perjalanan sejarah Ilmu, ilmu modern (Positivisme)
berusaha melakukan standarisasi metode dan kebenaran pengetahuan. Faham
Positivisme menginginkan satu standar bagi pengetahuan dan keyakinan manusia
yaitu ilmu. Menurutnya ilmu lebih unggul baik dalam metode maupun kebenaran dibanding
pengetahuan dan keyakinan lainnya.
Gadamer
menginginkan standard metode yang berbeda untuk ilmu humaniora, karena
menurutnya historia adalah sumber kebenaran yang sepenuhnya berbeda dengan
alasan teoritis.[32]
Demikian juga Dilthey dan Weber menginginkan pendekatan yang berbeda untuk
dunia sosial, mereka menetapkan teori kritis tentang masyarakat. Kata “benar”
yang dipergunakan dalam ilmu, agama, spiritualitas, estetika adalah sama, namun
semuanya tidak dapat diukur dengan standard yang sama (inkommensurabel), tidak
ada satupun yang benar-benar menunjuk pada klaim bahwa suatu pernyataan adalah
benar dalam suatu makna kata namun bermakna salah pada lainnya. Misal: kata
“ilmu penciptaan” sebagai pemilik kebenaran menjadi bermakna keteraturan
(kosmos) diterima sebagai ilmiah namun tujuannya tidak ilmiah dan dua jenis
kebenaran tersebut tidak sama.
Adalah
sulit untuk menyatakan ”benar” tentang keyakinan ataupun visi dari suatu
masyarakat atau budaya. Karena itu sulit untuk menilai tingkat kebenaran misalnya
antara filsafat Barat dan filsafat Cina, sebab masing-masing punya cakupan, ,
kompleksitas dan variasi yang berbeda.[33]
E.
Sifat
kebenaran ilmu
Kebenaran
mempunyai banyak aspek, dan bahkan bersama ilmu dapat didekati secara terpilah
dan hasil yang bervariasi atas objek yang sama. Popper memandang teori adalah
sebagai hasil imajinasi manusia, validitasnya tergantung pada persetujuan antara
konsekuensi dan fakta observasi.
1. Evolusionisme
Suatu
teori adalah tidak pernah benar dalam pengertian sempurna, paling bagus hanya
berusaha menuju ke kebenaran. Thomas Kuhn berpandangan bahwa kemajuan ilmu
tidaklah bergerak menuju ke kebenaran, jadi hanya berkembang. Sejalan dengan
itu Pranarka melihat ilmu selalu dalam proses evolusi apakah berkembang ke arah
kemajuan ataukah kemunduran, karena ilmu merupakan hasil aktivitas manusia yang
selalu berkembang dari jaman ke jaman.[34]
Kebenaran
ilmu walau diperoleh secara konsensus namun memiliki sifat universal sejauh
kebenaran ilmu itu dapat dipertahankan. Sifat keuniversalan ilmu masih dapat
dibatasi oleh penemuan-penemuan baru atau penemuan lain yang hasilnya
menggugurkan penemuan terdahulu atau bertentangan sama sekali, sehingga
memerlukan penelitian lebih mendalam . Jika hasilnya berbeda dari kebenaran
lama maka maka harus diganti oleh penemuan baru atau kedua-duanya berjalan
bersama dengan kekuatannya atas kebenaran masing-masing.
Ilmu
sekarang lebih mendekati kebenaran daripada ilmu pada jaman Pertengahan, dan
ilmu pada abad duapuluh akan lebih mendekati kebenaran daripada abad
sebelumnya. Hal tersebut tidak seperti ilmu pada jaman Babilonia yang dulunya
benar namun sekarang salah, ilmu kita (kealaman) benar untuk sekarang dan akan
salah untuk seribu tahun kemudian, tapi kita mendekati kebenaran lebih dekat.[35]
2. Falsifikasionis
Popper
dalam memecahkan tujuan ilmu sebagai pencarian kebenaran ia berpendapat bahwa
ilmu tidak pernah mencapai kebenaran, paling jauh ilmu hanya berusaha mendekat
ke kebenaran (verisimilitude). Menurutnya teori-teori lama yang telah diganti
adalah salah bila dilihat dari teori-teori yang berlaku sekarang atau mungkin
kedua-duanya salah, sedangkan kita tidak pernah mengetahui apakah teori
sekarang itu benar. Yang ada hanyalah teori sekarang lebih superior dibanding
dengan teori yang telah digantinya. Namun verisimilitude tidak sama dengan
probabilitas, karena probabilitas merupakan konsep tentang menedekati kepastian
lewat suatu pengurangan gradual isi informatif. Sebaliknya, verisimilitude
merupakan konsep tentang mendekati kebenaran yang komprehensif. Jadi
verisimilitude menggabungkan kebenaran dengan isi, sementara probabilitas
menggabungkan kebenaran dengan kekurangan isi.
Tesis
utama Popper ialah bahwa kita tidak pernah bisa membenarkan (justify) suatu
teori. Tetapi terkadang kita bisa “membenarkan”(dalam arti lain) pemilihan kita
atas suatu teori, dengan mempertimbangkan kenyataan bahwa teori tersebut sampai
kini bisa bertahan terhadap kritik lebih tangguh daripada teori saingannya
Taryadi, 1989: 75).[36]
3. Relativisme
Relativisme
berpandangan bahwa bobot suatu teori harus dinilai relative dilihat dari
penilaian individual atau grup yang memandangnya. Feyerabend memandang ilmu sebagai
sarana suatu masyarakat mempertahankan diri, oleh karena itu kriteria kebenaran
ilmu antar masyarakat juga bervariasi karena setiap masyarakat punya kebebasan
untuk menentukan kriteria kebenarannya.[37]
Pragmatisme
tergolong dalam pandangan relativis karena menganggap kebenaran merupakan
proses penyesuaian manusia terhadap lingkungan. Karena setiap kebenaran
bersifat praktis maka tiada kebenaran yang bersifat mutlak, berlaku umum,
bersifat tetap, berdiri sendiri, sebab pengalaman berjalan terus dan segala
sesuatu yang dianggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.
4. Objektivisme
Apa
yang diartikan sebagai “benar” ketika kita mengklain suatu pernyataan adalah
sebagaimana yang Aristoteles artikan yaitu ”sesuai dengan keadaan“: pernyataan
benar adalah “representasi atas objek” atau cermin atas itu ). Tarski menekankan
teori kebenaran korespondensi sebagai landasan objektivitas ilmu, karena suatu
teori dituntut untuk memenuhi kesesuaian antara pernyataan dengan fakta. Teori
kebenaran yang diselamatkan Tarski merupakan suatu teori yang memandang
kebenaran bersifat “objektif”, karena pernyataan yang benar melebihi dari
sekedar pengalaman yang bersifat subjektif. Ia juga “absolut” karena tidak
relatif terhadap suatu anggapan atau kepercayaan.[38]
Objektivisme
menyingkirkan individu-individu dan penilaian para individu yang memegang
peranan penting di dalam analisa-analisa tentang pengetahuan, objektivisme
lebih bertumpu pada objek daripada subjek dalam mengembangkan ilmu. Bila teori
ilmiah benar dalam arti sesungguhnya, yaitu bersesuaian secara pasti dengan
keadaan, maka tidak ada tempat bagi interpretasi ketidaksetujuan, beberapa
ilmuwan percaya bahwa teori-teori mewakili gunung kebenaran. Roger berpendapat
bahwa teori-teori selalu merupakan imajinasi dari konstruksi mental, dikuatkan
oleh persetujuan antara fakta observasi dan peramalan atas implikasi. Kelemahan
kebenaran merupakan kesesuaian dengan keadaan adalah mereka merupakan
penyederhanaan dan pengabstraksian dari hubungan antara fakta-faktadan kejadian-kejadianyang
digabungkan dengan unsur persetujuan.[39]
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
Semua
teori kebenaran itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam kehidupan nyata. Yang
mana masing-masing mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia Uraian dan ulasan
mengenai berbagai teori kebenaran di atas telah menunjukkan kelebihan dan
kekurangan dari berbagai teori kebenaran. Teori Kebenaran mempunyai Kelebihan
Kekurangan Korespondensi sesuai dengan fakta dan empiris kumpulan fakta-fakta
Koherensi bersifat rasional dan Positivistik Mengabaikan hal-hal non fisik
Pragmatis fungsional-praktis tidak ada kebenaran mutlak Performatif Bila
pemegang otoritas benar, pengikutnya selamat Tidak kreatif, inovatif dan kurang
inisiatif Konsensus Didukung teori yang kuat dan masyarakat ilmiah Perlu waktu
lama untuk menemukan kebenaran.
Dari
beberaa Teori Tentang Kebenaran dapat disimpulkan :
Teori
Korespondensi : "Kebenaran/keadaan benar itu berupa kesesuaian antara arti
yang dimaksud oleh sebuah pendapat dengan apa yang sungguh merupakan
halnya/faktanya"
Jadi
berdasarkan teori korespondensi ini, kebenaran/keadaan benar itu dapat dinilai
dengan membandingkan antara preposisi dengan fakta atau kenyataan yang
berhubungan dengan preposisi tersebut. Bila diantara keduanya terdapat
kesesuaian (korespondence), maka preposisi tersebut dapat dikatakan memenuhi
standar kebenaran/keadaan benar.
Teori
Konsistensi: "Kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan
(judgement) dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta dan realitas, tetapi atas
hubungan antara putusan-putusan itu sendiri ".
Teori
konsistensi melepaskan hubungan antara putusan dengan fakta dan realitas,
tetapi mencari kaitan antara satu putusan dengan putusan yang lainnya, yang
telah ada lebih dulu dan diakui kebenarannya. Kebenaran menurut teori
konsistensi bukan dibuktikan dengan fakta/realitas, tetapi dengan
membandingkannya dengan putusan yang telah ada sebelumnya dan dianggap benar.
Bila sebuah putusan mengatakan bahwa Mahatma adalah ayah Rajiv, dan putusan
kedua mengatakan bahwa Rajiv memiliki anak bernama Sonia, maka sebuah putusan
baru yang mengatakan Sonia adalah cucu Mahatma dapat dikatakan benar, dan
putusan tersebut adalah sebuah kebenaran.
Teori Pragmatis
: "Suatu preposisi adalah benar sepanjang preposisi tersebut berlaku
(works), atau memuaskan (satisfied); berlaku dan memuaskannya itu diuraikan
dengan berbagai ragam oleh para penganut teori tersebut ".
Teori
pragmatis meninggalkan semua fakta, realitas maupun putusan/hukum yang telah
ada. Satu-satunya yang dijadikan acuan bagi kaum pragmatis ini untuk menyebut
sesuatu sebagai kebenaran ialah jika sesuatu itu bermanfaat atau memuaskan.
B. Saran
Dari
makalah kami yang singkat ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita semua
umumnya kami pribadi. Yang baik datangnya dari Allah, dan yang buruk datangnya
dari kami. Dan kami sedar bahwa makalah kami ini jauh dari kata sempurna, masih
banyak kesalahan dari berbagai sisi, jadi kami harafkan saran dan kritik nya
yang bersifat membangun, untuk perbaikan makalah-makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Lorens,
Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta :
PT. Gramedia Pustaka Utama,2002.
2.
Inu
kencana Syafi’i, Filsafat kehidupan (Prakata), Jakarta : Bumi Aksara,
1995.
3.
Kunto
Wibisono, aktualitas Filsafat Ilmu, Yogyakarta : Gadjah Mada Press ,
1984.
4.
Pranarka,
Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar. Jakarta : CSIS, 1987.
5.
Taryadi,
Epistemologi Pemecahan Masalah, Yogyakarta, Kanisius, 1989.
6.
Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat II, Yogyakarta : Kanisius, 1980.
7.
Ahmad
Sahidah, Kebenaran dan Metode, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,1975.
8.
M.
Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang, 1987.
9.
Jujun
S. Sumiasumantri , Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, Jakarata :
Pustaka Sinar harapan, 1990.
10.
S.
Arifin, Apa itu Yang Dinamakan Ilmu,
Jakarta : Hasta Mitra,1982.
11.
Sonny
Keraf, Ilmu pengetahuan: sebuah tinjauan filosofis , Yogyakarta : Kanisius, 2001.
12.
Daldjoeni,
N, Ilmu dalam Prespektif, Jakarta
: Gramedia, cet. 6, 1985.
13.
Poedjawijatna,
Pengantar ke IImu dan Filsafat, Jakarta : Bina Aksara, 1987.
14.
Abbas,
Hamami, Kebenaran Ilmiah dalam: Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan
Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta : Intan Pariwara, 1997.
[2] Inu kencana
Syafi’i, Filsafat kehidupan (Prakata), Jakarta : Bumi Aksara, 1995. Hal
86
[3]
Prof. Kunto Wibisono, aktualitas Filsafat Ilmu, Yogyakarta : Gadjah Mada
Press , 1984. Hal 37
[4]
http://developmentcountry.blogspot.com/2009/10/teori-kebenaran-ilmiah.html
[5]Daldjoeni,
N, Ilmu dalam Prespektif, Jakarta
: Gramedia, cet. 6, 1985. Hal 235
[6] Poedjawijatna,
Pengantar ke IImu dan Filsafat, Jakarta : Bina Aksara, 1987. Hal 16
[10] Abbas, Hamami,
Kebenaran Ilmiah dalam: Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan, Yogyakarta : Intan Pariwara, 1997. Hal 87
[12] Sonny Keraf,
Ilmu pengetahuan: sebuah tinjauan filosofis , Yogyakarta : Kanisius, 2001. Hal
70
[13] S.
Arifin, Apa itu Yang Dinamakan Ilmu,
Jakarta : Hasta Mitra,1982. Hal 18
[14] Sonny Keraf,
2001, hal 73
[15] H. M. Rasyidi,
Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang, 1987. Hal 237
[16] Jujun S.
Sumiasumantri , Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, Jakarata :
Pustaka Sinar harapan, 1990. Hal 57
[17]
Ibid, 1990, hal 237
[18] http://developmentcountry.blogspot.com/2009/10/teori-kebenaran-ilmiah.html
[19] Sonny Keraf,
Ilmu pengetahuan: sebuah tinjauan filosofis , Yogyakarta : Kanisius, 2001. Hal
75
[20]
Sonny keraf,2001, hal 78
[21] Jujun S.
Sumiasumantri , Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, Jakarata :
Pustaka Sinar harapan, 1990. Hal 55
[22] S. Arifin, Apa itu Yang Dinamakan Ilmu, Jakarta
: Hasta Mitra,1982. Hal 23
[23] H.
M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang, 1987. Hal
239
[24] Jujun S.
Sumiasumantri , Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, Jakarata :
Pustaka Sinar harapan, 1990. Hal 57
[25] H.
M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang, 1987. Hal
241
[26] Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat II, Yogyakarta : Kanisius, 1980.
Hal 130
[27]
Jujun, 1990, hal 59
[28] H.
M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang, 1987.
Hal 245
[29] Jujun S.
Sumiasumantri , Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, Jakarata :
Pustaka Sinar harapan, 1990. Hal 58
[30] H.
M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang, 1987.
Hal 249
[31] http://developmentcountry.blogspot.com/2009/10/teori-kebenaran-ilmiah.html
[32]
Ahmad
Sahidah, Kebenaran dan Metode, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,1975. Hal 27
[33] H.
M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang, 1987.
Hal 250
[34] Pranarka,
Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar. Jakarta : CSIS, 1987. Hal 60
[35] H.
M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang, 1987.
Hal 253
[36]
Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah, Yogyakarta, Kanisius, 1989. Hal
36
[37] Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat II, Yogyakarta : Kanisius, 1980.
Hal 140
[38]
Taryadi, 1989, hal 71
[39] Pranarka,
Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar. Jakarta : CSIS, 1987. Hal 67
Tidak ada komentar:
Posting Komentar