BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Perkembangan
Islam pada zaman Nabi Muhammad SAW dan Para Sahabat adalah merupakan Agam Islam
pada zaman keemasan, hal itu bisa terlihat bagaimana kemurnian Islam itu
sendiri dengan adanya pelaku dan faktor utamanya yaitu Rasulullah SAW. Kemudian
pada zaman selanjutnya yaitu zaman para sahabat, terkhusus pada zaman Khalifah
empat atau yang lebih terkenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidin, Islam
berkembang dengan pesat dimana hampir 2/3 bumi yang kita huni ini hampir dipegang
dan dikendalikan oleh Islam. Hal itu tentunya tidak terlepas dari para pejuang
yang sangat gigih dalam mempertahankan dan juga dalam menyebarkan islam sebagai
agama Tauhid yang diridhoi.
Perkembangan
islam pada zaman inilah merupakan titik tolak perubahan peradaban kearah yang
lebih maju. Maka tidak heran para sejarawan mencatat bahwa islam pada zaman
Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin merupakan islam yang luar biasa
pengaruhnya. Namun yang terkadang menjadi pertanyaan adalah kenapa pada zaman sekarang
ini seolah kita melupakannya. Sekaitan dengan itu perlu kiranya kita melihat
kembali dan mengkaji kembali bagaimana sejarah islam yang sebenarnya.
Pertama
kali yang dirasakan kaum muslimin ketika mengkaji sejarah tentang Ali bin Abi
Thalib adalah kerumitan-kerumitan yang menjadi tanda tanya besar bagi kami.
Pada waktu itu, terjadi berbagai konflik atau tepatnya fitnah di kalangan para
sahabat, seperti Perang Jamal (terjadi antara golongan Ali dan Aisyah) dan
perang Shifin (terjadi antara golongan Ali dan Muawiyah). Generasi sahabat yang
disebut di dalam al-Qur’an sebagai Khairu Ummah mengalami peristiwa yang
benar-benar tidak terduga, bahkan oleh para sahabat di masa itu sekali pun. Hal
itu menimbulkan banyak pertanyaan yang harus diselesaikan oleh kaum muslim,
terutama para pengkaji sejarah Islam.
Melihat
permasahan yang sedemikian rumit ini, bahkan sering juga muncul fitnah yang
mencitrakan buruk bagi generasi sahabat di masa itu, maka saya sebagai
mahasiswa Islam selain dalam rangka menyelesaikan tugas MID semester Sejarah Peradaban Islam, kami juga merasa ada
kewajiban untuk ikut serta meluruskan opini-opini miring tentang Ali bin Abi
Thalib. Terutama yang disajikan oleh kalangan Orientalis dan para pengikutnya
yang tidak jujur dan obyektif dalam mengkaji Sejarah Islam. Konflik-konflik
yang terjadi di masa itu menjadi bulan-bulanan untuk memberikan citra buruk
terhadap Islam.
Sebenarnya,
pembahasan masa khalifah Ali ra sudah banyak dilakukan oleh para mu’arrikhin.
Ada yang menganalisa masa khalifah Ali dari segi politiknya, seperti yang
dilakukan oleh dosen STID Mohammad Natsir, Jeje Zainudin Abu Himam, MA, dalam
buku yang berjudul “Akar Konflik Umat Islam, Sebuah Pelajaran dari Konflik
Politik Pada Zaman Sahabat”. Meskipun dalam judul bukunya terdapat kata
“Zaman Sahabat”, namun fokusnya adalah masa khalifah Ali ra. Buku itu secara
spesifik membahas tentang konflik politik yang terjadi pada masa pemerintahan
Ali bin Abi Thalib.[1] Buku itu
cukup representatif untuk meng-counter buku-buku sejarah Islam yang ada di
Indonesia yang tidak adil dalam memaparkan sejarah tentang Ali ra. Ada juga
buku yang membahas Ali ra, yang menurut kami tidak proposional/subyektif– sebagai sosok yang telah dicederai oleh para
ulama Sunni, seperti yang dilakukan oleh George Jordac. Jordac dalam bukunya
tersebut menyebut bahwa Abdullah bin Saba yang sering disebut Sunni sebagai
tokoh fiktif yang sengaja dibuat-buat.[2]
Tentunya,
membahas khalifah Ali dalam sebuah makalah yang sederhana tidaklah akan cukup
dan memuaskan. Namun, belajar dari uraian buku-buku di atas, kami berusaha
untuk memberikan beberapa analisa dengan menggunakan buku-buku itu, untuk
kemudian menguatkan atau bahkan mengkritisi, bila memang terdapat
pernyataan-pernyataan yang tidak sesuai dengan data-data sejarah yang ada. Kami
akan mulai pembahasan ini dengan menganalisa situasi di akhir pemerintahan
Utsman bin Affan. Kemudian akan kami bahas tentang pemerintahan Ali dan
berbagai peristiwa penting yang terjadi. Adapun masalah futuhat, di sini kami
akan membahasnya secara sepintas. Di makalah ini juga, kami tidak akan
menhadirkan biografi Ali, sebab yang jadi fokusan kami adalah masa
kekhalifahannya. Ini sengaja kami lakukan agar tidak memperlebar pembahasan.
B. Rumusan
Masalah
Agar
tidak terjadi kesimpang siuran dalam penyusunan makalah ini, maka saya
merumuskan masalah sebagai berikut:
BAB
II
PEMBAHASAN
KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB
A. Silsilah
dan Kepribadian Ali bin Abi Tholib
Ali bin Abi Tholib lahir pada tahun 603 M
disamping ka’bah kota Mekkah, lebih muda 32 tahun dari
Nabi Muhammad SAW. Ali termasuk keturunan Bani Hasyim. Abu Tholib memberi nama Ali dengan Haidarah, mengenang
kakeknya yang bernama Asad. Haidarah dan Asad dalam Bahasa Arab
artinya singa. Sedang Nabi Muhammad memberi nama “ALI”
yang menakutkan musuh-musuhnya. Pada usia 6 tahun, Ali bin Abi Tholib diasuh
oleh Nabi Muhammad sebagaimana Nabi diasuh oleh ayahnya, Abu Tholib. Karena mendapat didikan dan asuhan langsung dari
Nabi Muhammad SAW, maka Ali tumbuh sebagai anak yang berbudi luhur, cerdik,
pemberani, pintar dalam berbicara dan berpengetahuan luas. Gelar-gelar yang disandang
oleh Ali antara lain:
»
Babul
Ilmu gelar
dari Rasulullah yang artinya karena beliau termasuk orang yang banyak
meriwayatkan hadist.
»
Zulfikar karena pedangnya yang bermata,
juga disebut “Asadullah” (singa Allah) dua dan setiap
Rasulullah memimpin peperangan Ali selalu ada dibarisan depan dan memperoleh kemenangan.
»
Karramallahu
Wajhahu gelar dari Rasulullah yang artinya
wajahnya dimuliakan oleh Allah, karena sejak kecil beliau dikenal kesalehannya
dan kebersihan jiwanya.
»
Imamul
masakin (pemimpin orang-orang miskin),
karena beliau selalu belas kasih kepada orang-orang miskin, beliau selalu
mendahulukan kepentingan orang-orang fakir, miskin dan yatim. Meskipun ia
sendiri sangat membutuhkan.[3]
Ali termasuk salah satu seorang dari tiga tokoh yang
didalamnya bercermin kepribadian Rasulullah SAW. Mereka itu adalah Abu Bakar As-
Shiddiq, Umar bin Khattab dan
Ali bin Abi Tholib. Mereka bertiga laksana mutiara memancarkan cahayanya,
itulah sebabnya Ali dijuluki “Almurtadha” artinya orang yang
diridhai Allah dan Rasulnya.
B. Proses
pemilihan Khalifah Ali bin Abi Thalib
Sudah dimaklumi bahwa satu
peristiwa pasti berkaitan dengan peristiwa yang lain, hal itu biasa disebut
dengan kausalitas. Begitu juga dengan peristiwa yang menyangkut dengan
pemerintahan Ali bin Abi Thalib, besar hubungannya dengan peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada pemerintahan Utsman bin Affan, terutama pada masa-masa akhir
pemerintahannya. Utsman bin Affan dibunuh secara tragis oleh salah seorang yang
disebut dalam sejarah-sejarah sebagai rombongan penentang pemerintahan
kekhalifahan Utsman bin Affan.
Pembunuhan
kepada sang khalifah terjadi akibat berbagai insiden yang mendera pemerintahan
Utsman dan rakyatnya. Peristiwa itu diawali dengan pembangkangan yang dilakukan
penduduk Kuffah, Mesir dan Basharah terhadap kekhalifahan Utsman bin Affan.
Mereka memprotes kebijakan Utsman yang dinilai terlalu mementingkan sukunya.
Oleh karena itu, mereka meminta kepada khlalifah Utsman untuk memecat para
pejabat pemerintahan yang mereka tidak sukai. Diantaranya adalah Al-Walid bin
Uqbah (Gubernur Kuffah), Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah (Gubernur Mesir).
Mereka bergabung menjadi satu koalisi pergi ke Madinah untuk memprotes dan
menentang terhadap kebijakan-kebijakan Utsman.[4]
Khalifah
Utsman akhirnya bersedia untuk mengabulkan permintaan mereka dengan mengganti
Al-Walid bin Uqbah dengan Sa’id bin Ash, dan Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah
dengan Muhammad bin Abu bakar. Keputusan itu untuk sementara memberi rasa lega
kepada rombongan koalisi penentang dan memberi optimisme kembalinya perdamaian.
Karena itu pula mereka bersedia membubarkan diri untuk kemudian pulang ke
negeri asal mereka.
Beberapa
saat kemudian, sejarah berbicara lain, rombongan itu kembali lagi ke Madinah
dengan membawa kemarahan meluap-luap. Mereka membawa sepucuk surat rahasia yang
dirampas dari seorang budak Utsman yang
sedang berlari kencang menuju Mesir. Isi surat yang berstempel Khalifah Utsman
tersebut memerintahkan kepada Gubernur Mesir agar menangkap dan membunuh para
penentang khalifah. Anehnya Khalifah Utsman pun berani bersumpah bahwa ia tidak
pernah menulis surat semacam itu. Bahkan ia meminta dibawakan bukti dan dua
orang saksi untuk mengklarifikasi keberadaan surat itu. Setelah tiga hari tiga
malam, ultimatum para penentang ini tidak digubris oleh Utsman, beberapa orang
berhasil menerobos barisan penjaga gedung Utsman dari atap rumah bagian samping
lalu membunuh Khalifah Utsman yang sedang membaca al-Qur’an.[5]
Peristiwa
terbunuhnya Utsman di tangan rombongan penentang itu menyisakan banyak
teka-teki sejarah yang tak kunjung
memuaskan. Terutama mengenai misteri surat rahasia itu yang menjadi tanda tanya
besar bagi para pengkaji sejarah Islam. Siapakah sebenarnya yang paling
bertanggung jawab atas keberadaan surat itu. Hal inilah yang menyebabkan
terjadinya berbagai konflik pada masa kekhalifahan selanjutnya. Setelah Utsman
wafat pada hari selasa 18 zulhijah 35 H (17 Juni 656 M), masyarakat beramai-ramai
membai’at Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah melalui sebuah majelis. Terhadap
baiat itu Ali berkata :
“Aku ingin sidang
pemilihan khalifah didasarkan atas kebenaran, tidak mengikuti emosional, tidak
mengkualitaskan individu tertentu dan tidak mencela umat lain”.
Walau
pada awalnya Ali bin Abi Thalib menolak, akan tetapi karena diminta harus,
akhirnya Ali menerima kepercayaan tersebut dan berkata :
”Kalau begitu baiat ini
harus berlangsung di mesjid, sebab baiat kepadaku boleh secara sembunyi dan tidak
boleh berlangsung kecuali atas dasa kerelaan kaum muslimin”.[6]
Pembai’atan
Ali berjalan dengan mulus dan mayoritas penduduk Madinah menerima kekhalifah
Ali dengan antusias. Setelah dilantik menjadi khalifah, Ali bin Abi Thalib
menyampaikan pidato politik untuk pertama kalinya. Pidatonya tersebut secara
umum menggambarkan garis besar dari visi politiknya.
Menurut
Jeje Zainudin, sedikitnya ada lima visi politik Ali dari pidatonya itu. Yaitu :
Ø Sumber
hukum dan dasar keputusan politik yang akan dilaksanakan oleh Ali adalah kitab
suci al-Quran. Ini tidak berarti bahwa Ali akan mengabaikan al-Sunnah, sebab
al-Quran hanya dapat dilaksanakan secara tepat jika ia dibimbing oleh Sunnah
Nabi saw, dan Ali tentulah orang yang paling memahami persoalan ini.
Ø Mewujudkan
nilai-nilai kebaikan ideal al-Quran dan menolak segala keburukan dalam masyarakat.
Ø Tulus
ikhlas dalam memimpin dan mengutamakan integrasi kaum muslimin.
Ø Melindungi
kehormatan jiwa dan harta benda rakyat dari segala gangguan kezaliman lidah dan
tangan. Kelima, membangun kehidupan masyarakat yang bertanggungjawab terhadap
bangsa dan Negara dengan landasan ketaatan kepada Allah swt.[7]
Menarik
untuk dibahas, meskipun pembai’atan Ali berjalan mulus dan lancar, akan tetapi
ada beberapa kelompok dari kalangan kaum muslimin saat itu dalam menyikapi
kekhalifan Ali bin Abi Thalib. Diantaranya :
Ø Kelompok
yang melarikan diri dari Madinah menuju Syam segera setelah terbunuhnya Utsman
dan menghindari ikut campur dalam pembai’atan pengangkatan Khalifah Ali bin Abi
Thalib. Mereka adalah anak cucu Bani Umayyah dan para pendukung setianya. Di
antaranya adalah tokoh dari Bani Umayah :
·
Marwan bin al-Hakam
·
al-Walid bin Uqbah
Sementara dari tokoh-tokoh pendukung setianya yang ikut
melarikan diri ke Syam adalah :
·
Qudamah bin Madh’un
·
Abdullah bin Sallam
·
Mughirah bin Syu’bah
·
Nu’man bin Basyir.
Ø Kelompok
yang menangguhkan pembai’atan terahadap Ali dan menyatakan menunggu
perkembangan situasi. Diantaranya adalah :
·
Sa’ad bin Abi Waqqas
·
Abdullah bin Tsabit
·
Muhammad bin Salamah
·
Usamah bin Zaid
·
Salamah bin Salamah bin Raqis.
Ø Kelompok
yang sengaja tidak mau memberikan bai’at kesetiannya kepada Ali bin Abi Thalib
meskipun mereka tetap berada di Madinah saat pembaiatan Ali. Diantaranya adalah
:
·
Hasan bin Tsabit
·
Ka’ab bin Malik
·
Zaid bin Tsabit
·
Rafi’ Khadij
·
Abu Sa’id al-Khudry
·
Muhammad bin Maslamah
·
Maslamah bin Mukhallad
Mereka disebut-sebut
sebagai kelompok yang sangat loyal terhadap Utsman bin Affan.
Ø Kelompok
sahabat penduduk Madinah yang menunaikan ibadah haji pada tahun itu dan belum
pulang saat terjadi pembai’atan. Setelah terjadi pembai’atan, sebagian kecil
mereka tidak pulang ke Madinah melainkan menunggu perkembangan situasi dari
Mekkah. Termasuk di antara mereka adalah Aisyah radiyallahu ‘anhaa.[8]
Sikap
kaum muslimin di atas, berpengaruh besar terhadap pemerintahan khalifah Ali di
kemudian hari. Gambaran situasi awal pembaiatan Ali seperti diungkapkan diatas
cukup menjadi isyarat tentang rumitnya situasi politik menjelang dan pasca
pembunuhan Utsman. Hal ini menjadi preseden tidak baik bagi situasi politik
yang dihadapi Ali. Bagaimanapun, Madinah adalah ibukota Negara dan pusat
kewibawaan agama semenjak Nabi Muhammad Saw hingga tiga Khalifah sesudahnya.
Keputusan politik dan keagamaan yang disepakati penduduk Madinah menjadi acuan
bagi seluruh wilayah Islam yang ada di luarnya. Untuk saat itu, dapatlah
dikatakan Madinah menjadi barometer keutuhan umat. Sebab, disinilah
berkumpulnya para sahabat Nabi yang
sangat dihormati oleh generasi sesudahnya. Jika penduduk Madinah saja sudah
tidak utuh dan bilat dalam suatu keputusan politik public, maka penduduk di
luar Madinah akan lebih sulit lagi untuk bersatu menerimanya.
Meskipun
keadaan politik saat itu begitu rumit, Ali ra, sebagai seorang khalifah tetap
menjalankan berbagai program untuk merealisasikan visi pemerintahannya. Yang
sangat penting dilakukan pada saat itu adalah bagaimana meredakan berbagai isu
yang sedang dan akan timbul setelah kematian Utsman bin Affan.
Kebijakan-kebijakan Ali itu antara lain
mengganti Para Pejabat, Pembenahan Bait al-Mal dan Perpajakan, Pembenahan
Administrasi kepegawaian, Pengadilan dan Militer, serta menghadapi Para
Penantang. Yang terakhir ini dilakukan agar kekacauan politik dunia Islam
stabil.
C. Kebijakan Ali Menyusun kembali Aparatur Kekhalifaan
Dalam periode khalifah Abu Bakar dan Umar, kehidupan
masyarakat masih dalam taraf kesederhanaan seperti periode Nabi Muhammad SAW.
Rakyat masih bersatu padu dan kokoh dibawah ikatan tali persaudaraan Islam.
Mereka selalu kompak dalam semangat jihad yang ikhlas demi kelulusan agama
Islam.
Keadaan ini mulai berubah sejak periode Khalifah Usman
bin Affan. Mereka mulai terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat duniawi, apalagi
saat gubernur yang diangkat Khalifah Usman banyak yang tidak mampu memimpin
umat dan tidak disenangi masyarakat. Oleh karena itu Khalifah Ali bin Abi
Tholib menanggung beban yang berat dalam memimpin kaum muslimin dengan wilayah
kekuasaan yang semakin meluas. Kebijakan-kebijakn Khalifah Ali dalam
menanggulangi hal-hal tersebut adalah:
ü Tanah-tanah atu pemberian-pemberian yang dilakukan
Khalifah Usman bin Affan kepada famili, sanak kerabatnya dan kepada siapa saja
yang tanpa alasan yang benar atu tidak syah, ditarik kembali dan menjadi milik
Baitul Mal sebagai kekayaan negara. Hal ini dilakukan Khalifah untuk
membersihkan pemerintahan.
ü Wali/Amir atau gubernur-gubernur penguasa wilayah yang
diangkat Khalifah Usman diganti dengan orang-orang baru. Antara
lain :
·
Kuwait,
Abu Musa Al Asy’ari diganti Ammarah bin Syahab
·
Mesir,
Abdullah bin Sa’ad diganti Khais bin Tsabit
·
Basyrah,
Abdullah bin Amr diganti Usnab bin Hany Al Anshori
·
Syam
(Syiria), Muawwiyah bin Abi Sofyan diganti Shal bin Hanif
Hal ini dilakukan Khalifah Ali, karena mereka banyak yang
tidak disenangi oleh kaum muslimin, bahkan banyak yang menganggap bahwa mereka
itulah yang menyebabkan timbulnya pemberontakan-pemberontakan pada masa
Khalifah Usman.
ü
Sebagai
upaya untuk mencerdaskan umat, Khalifah Ali meningkatkan dalam Ilmu pengetahuan, khususnya ilmu yang berkaitan dengan
Bahasa Arab agar umat Islam mudah dalam mempelajari Al-Qur’an dan Hadits.
ü
Berusaha
untuk mengembalikan persatuan dan kesatuan umat Islam. Akan tetapi usahanya ini
kurang berhasil, karena api fitnah dikobarkan kaum munafik Yahudi yang tidak
menyukai Islam.
ü
Mengatur
tata pemerintahan untuk mengembalikan kepentingan umat, seperti memberikan
kepada kaum muslimin tunjangan yang diambil dari Baitul Mal sebagaimana yang
telah dilakukan Abu Bakar dan Umar.[9]
D. Peristiwa-Peristiwa
Penting Yang Terjadi di masa Khalifah Ali
Beberapa
kejadian penting terjadi di masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Sedikitnya
ada tiga kejadian yang menurut saya sangat penting untuk dibahas. Yaitu :
1. Perang
Jamal
Ketika
Aisyah telah menunaikan umrah dan akan kembali ke Madinah, beliau menangguhkan
kepulangannya setelah mendengar berita kematian khalifah Utsman. Terlebih
Aisyah mendapatkan kabar bahwa Ali telah dibaiat menjadi khalifah pengganti
Utsman. Sahabat yang memberi tahu kepada Aisyah tentang terbunuhnya Utsman dan
dibaiatnya Ali adalah Ubaidillah bin Salamah al-Laisi.
Aisyah,
yang dikenal mempunyai analisa yang tajam terhadap teks-teks keagamaan,
menuntut hal yang sama seperti Muawiyyah, supaya Ali mengusut tuntas siapa
pembunuh Utsman.[10] Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam
yang saat itu berada di Madinah, meminta izin kepada Ali bin Abi Thalib untuk
pergi ke Makkah dalam rangka menunaikan umrah. Data tersebut memberikan
informasi pada kita, bahwa Thalhah bin Ubaidillah dan Zuber bin Awwam pada
awalnya telah membaiat Ali bin Thalib sebagai khalifah.
Dr.
Hasan Ibrahim Hasan bahkan menyebut Thalhah bin Ubaidillah sebagai orang yang
pertama kali membaiat Ali bin Abi Thalib.[11]
Namun, setelah tiba di Makkah dan bertemu dengan Aisyah, kedua sahabat itu
akhirnya sepakat untuk sama-sama menuntut Ali agar mengusut dan menghukum para
pembunuh Utsman.
Informasi-informasi
di atas juga memberi gambaran kepada kita, bahwa penentangan yang dilakukan
oleh Muawiyyah, Aisyah, Thalhah dan Zubeir factor utamanya adalah penuntasan hukum
qishah terhadap pembunuh Utsman. Ini penting untuk diperhatikan agar tidak
terjadi salah paham. Penentangan mereka bukan mempermasalahkan siapa yang
sebenarnya dan seharusnya yang jadi khalifah pengganti Utsman, seperti yang
diungkapkan oleh beberapa analis sejarah. Dalam salah satu bukunya, yang juga
menjadi rujukan primer di UIN, Badri Yatim mengutip pendapat Ahmad Syalabi yang
menyatakan bahwa Abdullah ibn Zubair adalah penyebab terjadinya pemberontakan
terhadap Ali dan mempunyai ambisi besar untuk menduduki kursi khilafah. Untuk
itu, ia menghasut bibi dan ibu asuhnya, Aisyah, agar memberontak terhadap Ali,
dengan harapan Ali gugur dan ia dapat menggantikan posisi Ali.[12]
Dengan
redaksi yang kurang lebih sama, Harun Nasution juga menyatakan bahwa : “Setelah
Usman wafat, Ali sebagai calon terkuat, menjadi khalifah yang keempat. Tetapi
segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi
khalifah, terutama Thalhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari
Aisyah”.[13]
Hal
senada diungkapkan Hery Sucipto, di dalam bukunya dia menyebutkan; “Namun, tak
berapa lama dari menunaikan rukun Islam kelima itu, dia (Aisyah) mendengar dari salah seorang
sahabat, bahwa khalifah Utsman meninggal dan kepemimpinan dipegang oleh
khalifah Ali bin Abi Thalib. Hanya saja, baiat terhadap Ali ini membuat kecewa
Aisyah, lantaran baginya yang berhak mengganti khalifah Utsman adalah kakak
iparnya, Thalhah bin Ubaidillah.”[14]
Hipotesa
beberapa pendapat para ahli di atas jauh
berbeda dengan Asma’ Muhammad Ziyadah. Muhammad Ziyadah mengungkapkan dalam
tesisnya, tidak ada riwayat shahih yang menyebut `Aisyah mencabut bai`atnya
terhadap Ali. Dasar gerakan `Aisyah adalah menuntut penghukuman orang-orang
yang membunuh Utsman. Sementara Zubair dan Thalhah memiliki dasar pikiran yang
sama sehingga mereka bergabung untuk mencari jalan keluar persolan ini, setelah
empat bulan dari tragedi pembunuhan Usman. Bagi mereka, persoalan qishash
terhadap pembunuh Utsman harus segera diselesaikan, sebab khawatir kejadian
serupa akan terulang kembali di masa yang akan datang. Jika para pembunuh
Utsman itu dibiarkan berkeliaran bebas, maka upaya pembunuhan khususnya, atau
lebih jauhnya lagi pemberontakan terhadap pemimpin (Imam) dimasa yang akan
datang bisa sering terjadi.
Ada
hal lain yang perlu juga untuk dibahas mengenai beberapa analisa yang diberikan
oleh para pakar sejarah mengenai latar belakang penentangan Aisyah terhadap
Ali. Sebagian ada yang menyebutkan bahwa Aisyah menolak baiat kepada Ali
dikarenakan sentimen pribadi. Ahmad Syalabi misalnya, dalam bukunya dia
menyatakan :
“Ada faktor lain yang lebih penting
dari itu (tuntutan qishash), diantaranya :
·
Sejak dari dahulu telah ada ketegangan
antara Ali dan Aisyah. Asiyah sendiri pernah berkata; sebenarnya demi Allah
antara Ali dan saya tak ubahnya sebagai orang dengan mertuanya. Mungkin,
ketegangan ini disebabkan oleh pendirian Ali memberatkan Aisyah dalam peristiwa
hadits al-Ifki.
·
Ali pernah menyaingi Abu Bakar dalam pemilihan
khalifah Abu Bakar
·
Ada lagi faktor lain yang lebih penting,
yaitu faktor Abdullah bin Zubeir, putera saudaranya yang perempuan yang bernama
Asma bin Abi Bakar, dijadikan anak angkatnya, diasuh dan didiknya di rumanya
sendiri.[15]
Memang
ada beberapa hadits yang oleh sebagian orang ditafsirkan sebagai bentuk rasa
sentimen Aisyah terhadap Ali. Imam Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan hadits
yang menceritakan situasi Rasulullah saat sakit. Ibnu Abbas berkata kepada
Ubaidillah, “Tahukah kamu siapa laki-laki yang bersamaku memapah Rasulullah...?
Itu adalah Ali, tetapi Aisyah tidak suka hati kepadanya”.
Hadits
lain yang juga sering dijadikan justifikasi untuk menunjukkan rasa sentimen
Aisyah terhadap Ali adalah tatkala ada penghinaan terhadap Ali dan Ammar.
Ketika itu, Aisyah berkata: “Aku tidak akan mengatakan apapun tentang Ali. Tetapi
mengenai Ammar, sungguh aku mendengar Rasulullah bersabda; “Setiap kali
dihadapkan kepada dua pilihan, pastia ia (Ammar) memilih yang paling bijaksana
diantara keduanya”. Dalam hadits kedua
ini, tekesan Aisyah hanya membela Ammar. Sementara terhadap Ali, seakan-akan
dia tidak memperdulikannya (membelanya).
Mengapa
Aisyah dalam dua hadits di atas terkesan bersikap buruk terhadap Ali. Ada yang
mengatakan, sikap Aisyah tersebut merupakan buntut dari sikap Ali dalam masalah
hadits al-Ifki. Ketika dimintai nasihat (pendapat) oleh Rasul tentang kejadian
itu, Ali mengatakan; “Wahai Rasulullah, tidaklah Allah akan menyusahkanmu
sedang wanita selain dia masih banyak. Dan tanyakanlah kepada Barirah mungkin
ia dapat memberi keterangan yang jujur kepadamu”. Jawaban Ali kepada Rasulullah
ini nampaknya melukai perasaan Aisyah. Seakan-akan Ali menyetujui isu yang
sedang beredar ditengah masyarakat bahwa Aisyah telah meyeleweng dari
Rasulullah saw. Atau paling tidak Ali tidak menunjukkan pembelaannya kepada
Aisyah disaat mana posisinya beserta Rasulullah benar-benar tertekan dengan
berita fitnah.[16]
Kata-kata
Ali kepada Rasulullah mengenai penilaiannya atas Aisyah ini juga nampaknya
diplintir kalangan penguasa Bani Umayah di kemudian hari sebagai alat
propaganda dalam menjatuhkan kredibilitas dan aksebilitas Ali dikalangan para
pegikutnya. Sebagaimana pengakuan imam Al Zuhri, tokoh hadits dari generasi
tabi’in yang sangat terkemuka, bahwa ia pernah dibujuk oleh Al Walid bin Abdul
Malik bin Marwan untuk menyetujui bahwa Ali termasuk orang yang memfitnah
Aisyah. Tetapi Al Zuhri dengan tegas menolak dan ia mengemukakan pengakuan
Aisyah sendiri bahwa Ali tidaklah termasuk orang yang memfitnahnya yang dikecam
Allah dalam Al Quran surat Annur ayat 11 sebagai “kelompok persekongkolan”, Ali
hanyalah tidak memberi sikap pembelaan kepada Aisyah, bukan ikut memfitnahnya.
Alasan
lain yang yang sering disebut-sebut para peneliti sebagai penyebab retaknya
hubungan Ali dengan Aisyah adalah bahwa Aisyah sangat cemburu kepada Khadijah,
istri pertama Nabi yang telah wafat di Mekkah. Kecemburuan Aisyah ini karena
Nabi sering menyebut dan memujinya dihadapan Aisyah. Karena itu Aisyah
melampiaskan kecemburuannya kepada Fatimah, putri Nabi dari Khadijah yang
sangat dicintainya. Ketika Ali menikah dengan Fatimah dan perhatian Rasul
sangat besar kepada mereka berdua, kecemburuan Aisyah pun ditumpahkan kepada
Fatimah dan Ali.[17]
Menurut
Jeje Zaenudin, tuduhan bahwa Aisyah menyimpan dendam kesumat kepada Ali dan
Fathimah atas dasar kecemburuannya kepada Khadijah. adalah bualan-bualan kaum Syiah Rafidhah yang
tidak berdasar. Pendek kata, tidak data yang akurat untuk djadikan alasan bahwa
perselisihan Aisyah dengan Ali pada masalah tuntutan qishash atas pembunuhan Utsman
dilatar belakangi sentimen pribadi.
Memang
tidak dapat dipungkiri adanya berita-berita sejarah telah menceritakan adanya
kerenggangan hubungan personal antara Ali dengan Aisyah jauh sebelum peristiwa
terbunuhnya Utsman yang disebabkan perselisihan pendapat antara Abu Bakar
dengan Fathimah putri Rasulullah mengenai tanah Fadak yang diwakafkan untuk
kaum muslimin, dan mengenai saran Ali kepada Rasulullah ketika diminta
pendapatnya tentang tuduhan orang kepada Aisyah pada peristiwa hadîtsul ifki.
Mungkin saja kekurang harmonisan hubungan ini telah ikut mempengaruhi
keberpihakkan Aisyah kepada kelompok oposisi. Tetapi untuk mengambil kesimpulan
bahwa semata-mata sentimen pribadi di antara mereka itu merupakan alasan utama
bagi Aisyah menentang Ali sungguh terlalu naif. Sebab tidaklah mungkin Aisyah
dengan kedudukannya sebagai pribadi yang agung istri Nabi dan Ibu kaum mukminin
akan menempuh cara tercela hanya karena sakit hati. Lagi pula tidak mungkin
beliau mendapat dukungan yang cukup besar dari beberapa suku Arab jika tidak
ada alasan logis yang lebih kuat dan lebih meyakinkan mereka dari sekedar
memenuhi dendam kesumat pribadi yang tidak berdasar.[18]
Dengan
demikian, penentangan Aisyah terhadap Ali adalah murni dari pemahaannya
terhadap teks al-Quran yang mewajibkan hukum qishash bagi para pelaku
pembunuhan. Bukan atas dasar sentimen pribadi terhadap Ali. Di sini juga perlu
ditegaskan sekali lagi, bahwa penentangan dari pihak Aisyah, termasuk di
dalamnya Thalhah dan Zuber, murni karena menuntut pengusutan tuntas terhadap
pelaku pembunuh Utsman. Bukti lain yang menguatkan statmen itu, dapat dilihat
dari beberapa surat dan dialog antara Aisyah, Thalhah, Zuber dan Ali yang tidak
pernah menyinggung masalah khalifah. Begitu juga dari berbagai pidato Aisyah
dalam rangka mendapat dukungan maupun menjawab delegasi-delegasi Ali.[19]
Tentang
penuntutan qishash itu, menurut Mahmud Abbas al-Aqqad, Ali sebenarnya paham dan
memaklumi tuntutan para sahabat itu. Namun, saat itu Ali berada dalam posisi
terjepit. Kesulitan yang dihadapi Ali itu disampaikan kepada rombongan delegasi
para sahabat di Madinah. Saat itu, Ali mengatakan:
“Wahai saudaraku,
tidaklah aku lalai dari apa yang kalian ketahui. Tetapi, apa yang dapat aku
lakukan kepada satu kaum yang mereka menguasai kita dan kita tidak menguasai
mereka. Telah memberontak bersama mereka budak-budak kalian dan orang-orang
Badui memperkuat mereka semenatara mereka ada disela-sela kalian dapat
menimpakan keburukan atas kalian. Apakah
kalian menemukan satu celah untuk kuasa bertindak sesuatu sebagaimana yang
kalian inginkan.[20]
Jika
informasi yang diberikan al-Aqqad di atas benar, dapatlah dimaklumi keputusan
Ali untuk menangguhkan qishash. Ali kelihatannya ingin membentuk kekuatan
terlebih dahulu dari kalangan kaum muslim, terutama dari para pembesar sahabat.
Jika itu sudah terbentuk, maka kekuatan hukum untuk mengusut tuntas siapa
pembunuh khalifah Utsman akan dapat dilaksanakan dengan lancar. Bagi Ali,
persoalan qishash baru dapat ditegakkan manakala situasi politik sudah tenang
dan kaum muslimin sudah bersatu pada dalam satu pemerintahan yang kokoh.
Kemudian ada pengaduan dan tuntutan dari pihak keluarga yang jadi ahli waris
Utsman. Sebab, pembunuhan Khalifah Utsman bukanlah kriminal biasa melainkan
tragedy politik yang tidak terbayangkan sebelumnya. Lagi pula jumlah pembunuh
Utsman yang sebenarnya belum diketahui secara pasati, sementara para pendukung
yang terlibat di dalamnya dating dari berbagai kabilah dan suku yang
berbeda.
Sangat
rawan bagi Ali dan bagi keutuhan umat jika ia ceroboh menetapkan qishash kepada
para tersangka tanpa menunggu situasi yang tepat. Karena bagaimanapun,
fanatisme kelompok akan menjadi dasar bagi tiap kabilah untuk membela anggota
kabilahnya yang dituntut hukuman qishash meskipun umpamanya terbukti
benar-benar terlibat. Pada akhirnya penegakkan qishash itu malah akan
menimbulkan peperangan baru antar kabilah dari keluarga penuntut dengan kabilah
dari keluarga terdakwa.[21]
Karena perbedaan pandangan antara
kedua kubu itu, maka peperangan pun tidak bisa dihindari. Perang pertama antara
dua kubu muslim ini dikenal dengan sebutan Perang Jamal. Dikatakan Perang Jamal
karena saat itu Aisyah menaiki unta ketika berperang. Perang ini memakan banyak
korban. Ibnu Katsir menyebut kurang lebih dari sepuluh ribu orang dari kedua
belah pihak menjadi korban. Bahkan dua tokoh sahabat, Thalhah dan Zubeir yang
oleh Rasulullah dijamin masuk surga, meninggal dunia. Padahal saat itu, Thalhah
dan Zubeir telah mengundurkan dari medan pertempuran dan menyesali sikapnya
yang berlebihan dalam menentang Ali. Perang itu sendiri dimenangkan oleh Ali
bin Abi Thalib.
Ali
beserta pengikutnya kemudian mengurusi para korban dan menshalatkannya. Sikap
Ali di atas menunjukkan bahwa peperangan itu bukanlah peperangan untuk
menentukan siapa mukmin siapa kafir. Buktinya Ali menyolati para korban dari
kedua pihak. Setelah mengurusi korban, menshalati dan menguburkannya, Ali
memulangkan Aisyah ke Madinah dengan penuh penghormatan. Menurut Joesoef Souyb,
sejak kejadian tersebut, Aisyah menghabiskan umurnya untuk beribadah dan mengajarkan
hadits kepada para penuntut ilmu di Madinah. Ia menjauhkan diri dari hiruk
pikuk percaturan politik yang terus bergejolak sampai akhir hayatnya.[22]
Banyak merenung dan menyesali perbuatannya karena ikut terlibat dalam
peperangan.
Perang antara kubu Ali bin Abi
Thalib dan Aisyah, Thalhah dan Zuberi merupakan fakta sejarah yang sudah
terjadi. Namun demikian, perlu kita ketahui juga, apakah memang saat itu perang
benar-benar merupakan solusi satu-satunya...? Atau ada grand desaind dari pihak
luar yang sengaja memperkeruh suasana yang mengakibatkan peperangan..?
Analisa yang diberikan oleh
beberapa ahli sejarah menyebut bahwa sebelum terjadi perang, Ali dan Aisyah
melakukan dialog melalui surat-menyurat.untuk melakukan ishlah. Tepat pada hari
kamis, pertengahan Jumadil Akhir tahun 36 H, Ali, Thalhah dan Zubeir melakukan
negosiasi selama tiga hari untuk mencari jalan damai. Upaya tersebut sebenarnya berhasil mencapai
kesepakatan bahwa masing-masing mereka akan menahan diri dan menindak lanjuti
upaya damai pada hari berikutnya.[23]
Pada saat itu, nampaknya Thalhah
dan Zuber meminta Ali agar tidak melibatkan kelompok-kelompok yang menyerang
Utsman bin Affan dan orang-orang yang terindikasi mendukungnya dalam
pembicaraan damai. Karena menjelang hari perdamaian Ali menginstruksikan agar
semua yang terlibat dalam penyerangan dan pembunuhan Utsman baik itu yang
dating dari Bashrah maupun Kuffah segera mengundurkan diri dan pulang ke kampung
halaman masing-masing.
Instruksi Ali itu mengejutkan para
pimpinan kelompok tersebut yang termasuk dari mereka orang-orang yang dekat dan
kepercayaan Ali sendiri seperti al-Asytar al-Nakha’I dan Syuraih bin Aufa.
Keduanya mengundang tokoh-tokoh pemberontak Utsman untuk bertemu dan membuat
rencana untuk sebuah aksi yang patut diambil. Mereka sepakat bahwa rencana
damai itu harus digagalkan. Sebab, bila
tidak maka merekalah yang akan menjadi korban perdamaian antara Ali dengan
pihak Aisyah. Bukankah penentangan Aisyah, Thalhah dan Zuber kepada Ali
dikarenakan Ali tidak segera menghukum qishash para pembunuh Utsman. Maka damainya
pihak Ali dan Aisyah berarti kematian bagi mereka.
Sebagian
ahli sejarah berkeyakinan bahwa orang-orang diatas adalah antek-antek Abdullah
bin Saba. Mereka ini adalah profokator-profokator yang sengaja menyelendup baik
ke pihak Ali maupun Aisyah. Ali Audah memberi rincian kronologis
penyerangan para perusuh dalam rangka menggagalkan upaya perdamaian antara
pihak Ali dan Aisyah. Bahkan menurutnya, Aisyahlah yang ingin menyelesaikan
persoalan antara Ali dengan pihaknya dengan cara perdamaian, bukan dengan
kekerasan.[24]
2.
Perang Siffin
Saat
Utsman terbunuh oleh para perusuh yang mengepung rumahnya, Nailah, istri
Khalifah Utsman bin Affan yang menyaksikan dan sekaligus jadi korban kebrutalan
para perusuh sehingga jari-jari tangannya terputus dengan tebusan pedang
mereka, segera menulis surat untuk Muawiyah di Syria yang menuturkan kronologis
pembunuhan Khalifah. Beserta surat ini dikirimkan juga barang bukti berupa
pakaian Utsman yang berlumuran darah dan jari-jari tangan Nailah yang
terpotong. Barang bukti ini kemudian digantungkan di atas mimbar Masjid Jami
Syria. Para penduduk yang memang sangat menghormati Utsman terharu melihat
barang bukti itu, dan menuntut agar para pelaku pembunuhan dihukum qishash.
Keadaan semakin memanas, tatkala datang utusan khalifah Ali bin Abi Thalib yang
menuntut janji ketaatan (baiat) terhadap Ali. Ditambah lagi, keputusan Ali
memecat Muawiyyah. Karenanya, kebanyakan penduduk di Syiria menangguhkan bukan
menolak- pembaiatan terhadap Ali sebelum para pembunuh Utsman dikupas tuntas.
Menurut
Ali Audah, ada dua alasan mengapa Muawiyyah tidak membaiat Ali bin Abi Thalib.
Yaitu :
·
Bagi Muawiyyah, tuntutan para pembunuh
Utsman harus terlebih dahulu ditangkap dihukum.
·
Tak ada suara bulat dari kalangan
terkemuka muslim (para sahabat senior). Saat itu Muawiyyah berargumen, bahwa
sikapnya yang menolak untuk membaiat Ali tidak berarti dia berontak terhadap
Imam, tetapi alasannya, lebih-lebih karena tak ada suara bulat dari kalangan
untuk membaiatnya.[25]
Telah
disinggung sebelumnya, bagaimana dan mengapa Ali menangguhkan qishash terhadap
pelaku pembunuh Utsman. Namun, mengapa pihak Muawiyyah masih saja terus
menuntut Ali untuk melakukannya, dan tidak mau membaiatnya sebelum urusan
pembunuhan Usman dituntaskan. Ada dugaan saat itu bahwa Ali berada di belakang
para pemberontak yang membunuh Utsman. Apalagi adanya sikap Ali yang
menangguhkan pengusutan pembunuhan Utsman dan penegakkan hukuman qishash. Ini
semakin memperkuat dugaan Muawiyyah bahwa memang Ali bersekutu dengan para
pemberontak.[26]
Dengan
mengutip pakar sejarah Islam klasik, al-Thabari, Harun Nasution mencatat bahwa
salah seorang pemuka pemberontak-pemberontak Mesir, yang datang ke Madinah dan
kemudian membunuh Utsman adalah Muhammad Ibn Abi Bakar, anak angkat Ali bin Abi
Thalib. Ali saat itu tidak mengambil tindakan keras terhadap
pemberontak-pemberontak itu, bahkan Muhammad bin Abi Bakar diangkat menjadi
Gubernur Mesir.
Memang,
Muhammad bin Abi Bakar adalah pemuka rombongan penentang dari Mesir. Atas
beberapa kebijakan Utsman yang tidak disetujui penduduk Mesir, salah satunya
mengangkat Abdullah bin Sa’ad bin Abi
Sarah, saudara sepersusuan Utsman, sebagai gubernur Mesir, maka Muhammad bin
Abi Bakar beserta yang lainnya pergi ke Madinah untuk mengadu kepada khalifah
Utsman. Saat terdesak oleh para demonstran, Utsman meminta bantuan Ali agar
situasi bisa teratasi.
Ali
waktu itu menenangkan dan meyakinkan para demonstran bahwa khalifah Utsman akan
mengabulkan tuntutan mereka selain meletakkan jabatan khalifah. Tuntutan
delegasi Mesir agar mencopot jabatan Gubernur dari Abdullah bin Sa’ad bin Abi
Sarah dikabulkan. Saudara sepersusuan Utsman ini diganti oleh Muhammad bin Abi
Bakar. Karena tuntutannya telah dikabulkan, Muhammad bin Abi Bakar dan
kelompoknya meninggalkan Madinah. Namun, saat perjalanan pulang ke Mesir,
Muhammad bin Abi Bakar mendapatkan surat yang katanya dibawa oleh seorang budak
Utsman. Surat tersebut memang memuat stempel Utsman. Isi surat tersebut adalah
perintah untuk membunuh para penentang dari Mesir yang dipimpin oleh Muhammad
bin Abi Bakar.
Melihat
isi surat tersebut Muhammad bin Abi Bakar yang menjadi salah satu target
pembunuhan, kesal. Para penentang pun kembali ke Madinah menuntut Utsman untuk
mengundurkan diri. Saat itulah Utsman terbunuh.[27]
Mungkin karena Muhammad bin Abi Bakar adalah ketua rombongan dari Mesir, dan
termasuk salah seorang yang masuk ke rumah Utsman, maka dia menjadi salah satu
tersangka.
Tetapi,
Nailah istri Utsman, yang menjadi saksi pembunuhan Utsman, ketika ditanya Ali
bin Abi Thalib “siapa pembunuh Utsman”..? Nailah menjawab: “Saya tidak tahu,
tetapi banyak orang yang masuk, wajah-wajah yang tidak saya kenal. Muhammad bin
Abi Bakar juga hadir”. Di sumber lain, Nailah hanya menyebut nama Muhammad bin
Abi Bakar, tetapi, kata Nailah, “dia sudah keluar meninggalkan rumah itu
sebelum terjadi pembunuhan”. Saat itu pula Ali langsung bertanya kepada
Muhammad bin Abi Bakar untuk menguatkan kesaksian Nailah. Muhmmad bin Abi Bakar
membenarkan statement Nailah. Kata Muhammad bin Abi Bakar; “Saya memang ikut
masuk dan setelah Utsman mengingatkan saya kepada ayah(Abu Bakar), saya
meninggalkan dia. Saya sudah bertaubat kepada Allah. Demi Allah saya tidak
membunuhnya, juga saya tidak mencegah mereka yang akan membunuhnya.[28]
Kesaksian
Nailah di atas sebenarnya sudah menjadi bukti, bahwa tuduhan bahwa Muhammad bin
Abi Bakar adalah pembunuh Utsman tidaklah kuat. Dengan demikian, sikap Ali yang
tidak menindak tegas Muhammad bin Abi Bakar dan malah mengangkatnya sebagai
gubernur Mesir, seperti yang diungkapkan Harun Nasution, seharusnya tidak
menjadikan Muawiyah untuk kemudian tidak mau membaiat Ali dan menentang Ali.
Tindakan Ali saat itu tidaklah salah. Akan tetapi, melihat begitu kacaunya
situasi politik saat itu, yang memungkinkan mudahnya para perusuh mengadu domba
dan memperkeruh keadaan, sangat wajar jika Muawiyah mempunyai sikap tegas untuk
menolak memberi baiat sebelum Ali menyelesaikan masalah pembunuhan Utsman.
Jika
Ali sudah mengusut tuntas masalah pembunuhan Utsman, mungkin Muawiyah merasa
yakin bahwa Ali tidak ada sangkut pautnya dengan kasus itu. Tapi kenyataannya
tidaklah demikian. Akibat dari perbedaan pandangan (ijtihad) inilah, baik pihak
Ali maupun Muawiyah selalu bersi tegang. Ali sendiri ketika menghadapi
penentangan Muawiyah telah melakukan berbagai cara. Ali selalu mengirim surat
dan delegasi untuk mengajak islah, mengajak Muawiyah memberi baiat terhadapnya.
Namun, usahanya tersebut selalu menemui jalan buntu. Bahkan, pernah satu ketika
Muawiyah membalas surat kepada Ali tanpa ada isinya selain basmalah. Tak hanya
itu, surat yang bersegel “Dari Muawiyah bin Abi Sufyan kepada Ali bin Abi
Thalib” tanpa menyebut gelar Amirul Mukminin.
Surat
tersebut sebenarnya memberi indikasi bahwa konsilidasi, negosiasi dan
rekonsiliasi yang diinginkan Ali kepada Muawiyah kecil kemungkinan berhasil.
Ali akhirnya mengambil langkah untuk melakukan tindakan kepada Muawiyyah.
Sebelum mengambil tindakan, Ali terlebih dahulu meminta persetujuan dari para
sahabat yang ada di Madinah waktu itu.
Sikap sahabat pun terbagi tiga kelompok, yaitu :
·
Ada yang antusias mendukung Ali, seperti
Abu Qatadah, Ammar bin Yasir, dan Umu Salamah.
·
Ada juga yang tidak setuju dan
menyarankan agar rencana itu dipertimbangkan terlebih dahulu.
·
Ada yang bersikap diam dan memilih
menyingkir dari rencana ini seperti Saad bin Abi Waqqas, Suhaib bin Sinan,
Muhammad bin Maslamah dan Abdullah bin Umar.
Ibnu
Abbas dan Mughirah bin Syu’bah tatkala itu bahkan menyarankan agar Ali tidak
tergesa-gesa dan membiarkan Muawiyah pada jabatannya untuk beberapa lama
sehingga suhu politik mereda terlebih dahulu. Namun saran dari kedua sahabat
dekatnya itu, dirasa kurang tepat. Justru jika Muawiyah terus dibiarkan
memimpin, dia khawatir kelompok opisisi di Syiria akan semakin banyak dan kuat
karena pengaruh Muawiyah.[29]
Singkatnya,
peperangan antara kubu Ali dengan Muawiyah dalam waktu yang tidak lama lagi
akan terjadi. Tepat pada akhir bulan Dzulqaidah tahun 36 H, Ali memutuskan
untuk bergerak menuju Syam dengan kekuatan pasukan sekitar seratus ribu hingga
seratus lima puluh ribu personil. Rencana Ali itu sampai pada Muawiyah, dan
segera setelah itu Muawiyah pun menyiapkan pasukan dengan kekuatan sembilan
puluh ribu hingga seratus lima puluh ribu personil. Kedua pasukan tersebut
akhirnya bertemu di Shiffin, suatu tempat di lembah sungai Efrat yang menjadi
perbatasan Irak dan Syiria. Perang pun terjadi.
Kedua
pasukan itu berperang sepanjang bulan Dzulhijah tahun 36 H. Kemudian terselingi
gencatan senjata selama bulan Muharram awal tahun 37 H. Peperangan dilanjutkan
kembali awal bulan Shafar dengan sangat hebatnya kerena kedua belah pihak sudah
tidak lagi ingin mengakhiri pertempuran yang sudah sangat melelahkan itu. Sejak
pertempuran pertama kali terjadi, korban meninggal dari dua pihak diprerkirakan
tujuh puluh ribu orang. Sedang luka korban fisik tidak terhitung.[30]
Pada
minggu kedua dari bulan Safar, pasukan Muawiyah mulai terdesak, sementara pasukan
Ali berada di atas angin. Muawiyah yang sudah berpengalaman dalam bidang
politik dan peperangan, akhirnya menyuruh beberapa pasukannya untuk mengangkat
Mushap al-Quran sebagai isyarat untuk menghentikan pertempuran. Melihat itu,
kubu Ali terbagi kepada dua bagian. Ada yang menyarankan Ali untuk tidak
menerima penghentian pertempuran sebelum ada pihak yang kalah dan menang. Ada
juga yang menyuruh Ali untuk menerimanya.
Menarik
untuk dibahas tentang kedua kubu Ali yang berbeda pendapat ini. Ada pendapat,
dan ini kebanyakan yang diambil, bahwa Ali saat itu sebenarnya tidak mau
menerima strategi Muawiyah untuk menghentikan pertempuran, namun beberapa orang
komandan perang seperti seperti Asy’ats bin Qais al-Tamimy, Mis’ar bin Fadaky
al-Tamimy dan Zaid bin Hishn al-Thaiy, yang nantinya justru malah menentang Ali
bahkan mengkafirkannya (khawarij), menyuruh Ali untuk menerima ajakan Muawiyah.
Pendapat lain justru sebaliknya. Justru Ali sendiri yang saat itu mempunyai ide
untuk menerima ajakan Muawiyah, sebab dalam al-Quran terdapat perintah untuk
melakukan islah jika terjadi pertentangan. Karenanya, Ali menjadi bahan
bulan-bulanan khawarij karena telah menerima ajakan Muawiyah.
Menurut
Amhazum, pendapat yang kedualah yang benar mengingat peristiwa-peristiwa
setelah itu, Ali dan beberapa sahabat dekatnya seperti Ibnu Abbas, Sahl bin
Hunaef dan Hasan putra Ali, beberapa kali membela diri dari hujatan pihak
Khawarij yang mengecam Ali karena menerima tahkim.[31]
Kemungkinan cerita-cerita yang menyudutkan khawarij itu sengaja diputar balikan
karena ingin mensucikan Ali dan
menimpakan keburukan terhadap pihak khawarij. Sebab, perdebatan-perdebatan Ali
dengan khawarij justru memperkuat bukti bahwa memang Ali sendiri yang
berinisiatif menerima ajakan damai dari pihak Muawiyah.
Meskipun
di kubu Ali waktu itu terbagi kepada dua suara, namun akhirnya mereka sepakat
untuk mengakhiri pertempuran dan melakukan perundingan damai (tahkim).
Perundingan tersebut dilakukan dengan cara masing-masing kubu mengirim
delegasinya sebagai juru rundingnya. Pihak Muawiyah menunjuk Amr bin Ash.
Sedangkan pihak Ali menunjuk Abu Musa al-Asy’ari.[32]
Perundingan tersebut rencananya akan dilaksanakan pada bulan Ramadhan di tempat
Adzrah, daerah Daumatul Jundal yang menjadi wilayah perbatasan Irak dan Syam.
Banyak
riwayat yang dituturkan pada kitab-kitab tarikh bahwa Abu Musa dan Amr saat itu
sepakat melepaskan jabatan khilafah dari Ali maupun dari Muawiyah dan
mengembalikannya kepada Syura kaum muslimin. Tetapi saat pembacaan keputusan
Amr yang berbicara belakangan menghianati kesepakatan dengan menetapkan
Muawiyah sebagai Khalifah karena Ali telah diberhentikan oleh Abu Musa. Maka
terjadilah kekacauan di arena persidangan. Abu Musa mengecam Amr yang telah
khianat sebagai anjing yang menjulurkan lidahnya. Amr balik menghina Abu Musa
dengan menyindirnya sebagai keledai yang memikul kitab. Gagallah misi
perundingan. Abu Musa mengasingkan diri ke Mekah karena malu kepada Ali.
Sementara Amr bergabung dengan Muawiyah dan mendapat kedudukan yang terhormat
di hadapannya.
3. Gerakan
kaum Khawarij
Setelah proses tahkim berakhir dan kemengangan
berada di pihak Muawiyah, kelompok Ali terbelah menjadi dua. Ada yang tetap
mendukung Ali dengan setia. Ada yang keluar dan menyudutkan posisi Ali.
Kelompok kedua inilah yang disebut sebagai khawarij. Kelompok ini merasa kecewa
dengan keputusan Ali yang menerima tahkim.
Setelah proses tahkim selesai,
dengan rasa kecewa, sekitar 12 000 orang pulang menuju Kuffah. Mereka membuat
markas militer tersendiri di Harura. Mereka mengecam Ali dan menuduhnya telah
berbuat kufur serta syirik karena menyerahkan ketetapan hukum kepada manusia.
Padahal menurut mereka hukum itu hanya milik Allah. Mereka berpendapat bahwa
perkara yang terjadi antara Ali dan Muawiyah seharusnya tidak boleh diputuskan
oleh arbitrase manusia. Putusan hanya dari Allah dengan kembali kepada
hukum-hukum yang ada dalam al-Quran.[33]
Ali mengajak mereka berdialog dan
berdebat tentang masalah tahkim itu secara fair dengan hati yang tenang dan
akal yang jernih. Ibnu Abbas ditugaskan mendebat kaum Khawarij dan ribuan dari
mereka mau kembali bergabung dengan Ali setelah menyadari kekeliruan pendapat
mereka dan bahwa pendapat Ali itulah yang benar. Tetapi sebagin dari
mereka tetap bersikukuh pada
pendiriannya dan membentuk keimaman sendiri.
Abdullah
bin Wahab Ar Rasyibi ditunjuk sebagai panglima perang mereka. Ali terpaksa
menumpas kaum Khawrij dengan kekuatan pedang setelah nyata kepadanya bahwa
mereka tidak dapat diajak dialog dan kompromi. Terlebih lagi setelah terbukti
gerakan Khawarij menimbulkan kekacaun baru dengan membunuh siapa saja yang
tidak mau mempersalahkan Ali, sehingga putra seorang sahabat Nabi, Abdullah bin
Khabbab dan istrinya yang sedang hamil menjadi korban pembantaian mereka. Ali
menumpas mereka pada perang Nahrawan dan Harura. Tetapi kehancuran pasukan
Khawarij tidak mebuat mereka surut. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada mereka
terus melakukan serangan kepada kelompoak Ali maupun Muawiyah. Hingga akhirnya
Ali tewas ditangan salah seorang Khawarij yang amat militan, Abdurahman bin
Mulzam.[34]
Ada tiga hal mendasar sebagai alasan
kaum Khawrij berbelot dari pasukan Ali dan kemudian menjadi musuhnya yang
sangat militan:
·
mereka menuduh Khalifah Ali telah
mengkhianati dirinya sendiri beserta semua kaum Muslimin yang telah
mengangkatnya sebagai Khalifah. Karena Ali telah menerima keberatan pihak
Muawiyah untuk tidak menggunakan gelar “Amir al Mukimin” di belakang namanya
ketika menandatangani naskah perjanjian damai. Dengan demikian Ali dipandang
mengadakan perjanjian dengan pihak Muawiyah atas nama dirinya sendiri, Ali
putra Abu Thalib.
·
Ali divonis telah berbuat syirik karena
menyekutukan Allah dalam masalah hukum. Sebab ia menyerahkan keputusan
politiknya dalam persengketaannya dengan Muawiyah kepada delegasi dari kedua
belah pihak. Padahal keputusan hukum itu hanya milik Allah bukan milik manusia.
Sedang Muawiyah jelas sebagai pembangkang yang harus diperangi bukan diajak
berdamai. Untuk tuduhan ini kaum Khawarij berargumen dengan ayat, “Menetapkan
hukum itu hanyalah hak Allah”.
·
Khalifah Ali dituduh telah berbuat dosa
besar dengan membunuh puluhan ribu jiwa yang tidak berdosa. Yaitu ketika Ali
memerangi pengikut Aisyah pada perang Jamal. Kalaulah ia yakin halal memerangi
mereka, mengapa ia mengharamkan harta rampasannya serta menawan anak-anak dan
istri-istri mereka. Mereka menuduh Ali telah berbuat salah besar karena telah
menghalalkan darah pasukan Aisyah tetapi mengharamkan harta bendanya.
E.
Ali
bin Abi Tholib Wafat
Kaum Khawarij tidak lagi mempercayai kebenaran
pemimpin-pemimpin Isalam, dan mereka berpendapat bahwa pangkal kekacauan Islam
pada saat itu adalah karena adanya 3 orang imam, yaitu Ali, Muawwiyah dan Amr.
Kemudian kaum Khawarij membulatkan tekadnya, “tiga orang imam itu harus dibunuh
dalam satu saat, bila hal itu tercapai umat Islam akan bersatu kembali”.
Demikian tekad mereka. “Saya membunuh Ali”, kata Abdurrahman bin Muljam, “Saya
membunuh Muawwiyah”, sambut Barak bin Abdullah Attamimi, “Dan saya membunuh
Amr”, demikian kesanggupan Amr bin Bakr Attamimi.
Mereka bersumpah akan melaksanakan pembunuhan pada
tanggal 17 Ramadhan 40 H/24 Januari 661 M di waktu subuh. Diantara tiga orang
Khawarij tiu. Hanya Ibnu Muljam yang berhasil membunuh Ali ketika beliau sedang
sholat Subuh di Masjid Kufah tetapi Ibnu Muljam pun tertangkap dan juga
dibunuh. Barak menikam Muawwiyah mengenai punggungnya, ketika Muawwiyah sedang
sholat Subuh di Masjid Damaskus. Sedang Amr bin Bakr berhasil membunuh wakil
imam Amr bin Ash ketika ia sedang sholat Subuhdi Masjid Fusthat Mesir. Amr bin
sendiri tidak mengimami sholat, sedang sakit perut di rumah kediamannya
sehingga ia selamat.
Hari
itu, tanggal 19 Ramadhan tahun 40 hijriyah. Amirul Mukminin Ali as keluar dari
rumahnyamenuju masjid Kufah untuk memimpin shalat subuh berjamaah. Di tengah
shalat, saat beliau mengangkat kepala dari sujudnya,sebilah pedang beracun
terayun dan mendarat tepat di atas dahi putra Abu Thalibitu. Darah mengucur
deras membahasi mihrab masjid.Jemaah masjid tersentak mendengar suara Ali, “Fuztu
wa rabbilka’bah. Demi pemilik Ka’bah, aku telah meraih kemenangan.”Ali
roboh di mihrabnya dengan luka yang parah, sementara warga dengan cepat
menangkap sang pembunuh yang tak lain adalah Abdurrahman bin Muljam, seorang
khawarij. Hasan membawa ayahnya ke
rumah. Berita itu segera menyebar di seluruh penjuru kota Kufah. Berbagai usaha
dilakukan untuk menyelematkan jiwa Imam Ali as.Tetapi takdir Allah berkehendak
lain. Ali bin Abi Thalib gugur syahid padatanggal 21 Ramadhan.
Sebelum
meninggalkan dunia yang fana ini, Amirul Mukminin mewasiatkan beberapa hal
kepada putra-putranya dan kepada umat. Di antara pesan beliau adalah menjalin
hubungan sanak keluaga atausilaturrahim, memperhatikan anak yatim dan tetangga,
mengamalkan ajaranAl-Qur’an, menegakkan shalat yang merupakan tiang agama,
melaksanakan ibadahhaji, puasa, jihad, zakat, memperhatikan keluarga Nabi dan
hamba-hamba Allah,serta menjalankan amr maruf dan nahi munkar.
Menurut
sejumlah riwayat, Imam Ali asmenghembuskan nafasnya yang terakhir ketika bibir
beliau berulang-ulangmengucapkan “Lailahaillallah” dan membaca ayat, “Faman
ya’mal mitsqaladzarratin khairan yarah. Waman ya’mal mitsqaladzarratin syarran
yarah.” Artinya, “Siapapun yangmelakukan kebaikan sebiji atompun, dia akan
mendapatkan balasannyanya, dansiapa saja melakukan keburukan meski sekecil biji
atom, kelak dia akanmendapatkan balasannya.”
Banyak
riwayat yang menyebutkan bahwa Imam Ali as sejak lama telah mengetahui kapan
dan bagaimana beliau akan meneguk cawan syahadah. Suatu ketika, Nabi Muhammad
Saw menjelaskan kemuliaan bulan Ramadhan kepada para sahabatnya. Kepada Nabi,
Ali bertanya, di bulan suci ini, amalan apakah yang terbaik..? Rasulullah
menjawab, “Meninggalkan perbuatan dosa.” Mendadak mata Nabi berkaca-kaca. Ali
menanyakan apa yang membuat beliau menangis? Rasul menjawab, bahwa Ali kelak
akan dibunuh di bulan Ramadhan.[35]
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
Berbagai
langkah dan kebijakan yang telah dilakukan Ali dalam rangka menjalankan roda
pemerintahannya, merupakan ijtihad politik yang sangat cemerlang. Meskipun pada
akhirnya, kebijakan tersebut banyak memakan korban. Di lain sisi, kita juga
tidak bisa menyalahkan Aisyah, Thalhah dan Zuber ketika melakukan penentangan
terhadap Ali. Karena latar belakang penentangan mereka juga berdasarkan pada
nash al-Quran yang dapat dipertanggung jawabkan. Apa yang dilakukan oleh Aisyah
dan pengikutnya saat itu, juga didasarkan pada ijtihad politik. Baik Aisyah,
Thalhah maupun Zuber tujuannya satu, memberikan nasihat kepada Ali sebagai
pemimpin untuk menjalankan al-Quran dan Sunnah. Hanya saja, cara yang ditempuh
oleh mereka seperti itu. Sikap yang sama juga harus kita berikan terhadap
Muawiyah.
Mereka
semua tidak pernah mengkafirkan antara sesama. Mereka hanya berbeda dalam cara
menempuh menegakkan kebenaran. Maka kita juga tidak mengkafirkan seperti yang
dilakukan khawarij. Kita juga mengakui ashab al-Nabiy kulluhum uduul. Sedangkan
sikap kita terhadap khawarij, meskipun argumen Khawarij tegas mengacu kepada
nash Al Quran, tetapi mengarahkan makna ayat tersebut kepada kasus Tahkim Ali
dan Muawiyah adalah interpretasi mereka yang sangat dangkal.
Langkah
kaum Khawarij yang menyeret tindakkan para pelaku konflik politik ke dalam
paradigma teologis yang kaku dan ekstrim, sehingga menyebabkan mereka dengan
sewenang-wenang menilai dan menetapkan hukum kafir atau muslim kepada siapa
yang mereka kehendaki, menjadi salah satu faktor penyebab munculnya pemikiran
teologi tandingan seperti Syiah yang mengkafirkan semua lawan politik Ali. Dan
pada gilirannya melahirkan pemikiran “poros tengah” yang menolak menetapkan
hukum atau status kafir terhadap seseorang yang telah menyatakan dirinya muslim
hanya karena tindakkan-tindakkan politiknya. Bagi mereka, semua status keimanan
seseorang diserahkan kepada Allah saja, sebab manusia hanya bisa menilai
seseorang dari perbuatan lahiriyahnya saja, sementara hakikat iman ada pada
hati dan niyat tindakan para pelaku itu sendiri.
Terakhir,
konflik yang terjadi diantara sahabat nabi merupakan sunnatullah yang bisa
terjadi kepada siapa, dimana dan kapan saja. Semua itu, merupakan pelajaran
berharga bagi umat Islam di kemudian hari. Jika sahabat saja, yang oleh
al-Quran disebut khair al-Ummah, bisa mengalami konflik, apalagi kita. Namun
bagaimana seharusnya kita menyikapinya secara positif agar tidak menimpa kita.
B. Saran
Dari
makalah kami yang singkat ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita semua
umumnya kami pribadi. Yang baik datangnya dari Allah, dan yang buruk datangnya
dari kami. Dan kami sedar bahwa makalah kami ini jauh dari kata sempurna, masih
banyak kesalahan dari berbagai sisi, jadi kami harafkan saran dan kritik nya
yang bersifat membangun, untuk perbaikan makalah-makalah selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
1. George
Jordac, Suara Keadilan; Sosok Ali bin Abi Thalib, , terj. Muhammad al-Sajjad,
(Lentera, Jakarta: 1996).
2. Jeje
Zainudin Abu Himam, Akar Konflik Umat Islam, (Bandung: Persis Press,
2008), cetakan pertama.
3. Abu
al-Fida Ismail bin Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Beirut: Dar
al-Mariifah: 1999) cet ke-5.
4. Morodi,
DKK. Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang: PT Karya Toha Putra, 1994
5. Dr.
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, Terj. H.A.
Bahauddin, (Kalam Mulia, Jakarta: 2006), cet. 2.
6. DR.
Badri Yatim MA, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press,
2007).
7. Harun
Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(UI-Press, Jakarta: 2002) Cet pertama.
8. Hery
Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam; Dari Abu Bakar Sampai Nashr dan Qardhawi, (Mizan:
Bandung: 2006), cet. Ke-2.
9. Prof.
Dr. Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, terj. Prof. Dr. H. Mukhtar
Yahya dan Drs. M. Sanusi Latief (Al Husna Zikra, Jakarta: 2000), cet. 4.
10. Abbas
Mahmud al-Aqqad, Kejeniusan Ali bin Abi Thalib, terj. Gazirah Abdi
Ummah, (Pustaka Azzam, Jakarta: 2002).
11. Joeseof
Sou’yb, Sejarah Khulafatur Rasyidin, (Bulan Bintang, Jakarta: 1986).
12. Ali
Audah, Ali bin Abi Thalib; Sampai Kepada Hasan dan Husain, Amanat
Perdamaian, Keadilan dan Persatuan, Peranannya Sebagai Pribadi dan Khalifah,
(Litera AntarNusa, Jakarta: 2007).
[1] Terutama buku yang ditulis oleh
Prof. Dr. Badri Yatim, MA berjudul “Sejarah Peradaban Islam” yang telah menjadi
buku pegangan bagi mahasiswa Perguruan Tinggi Islam.
[2] George Jordac, Suara Keadilan; Sosok
Ali bin Abi Thalib, , terj. Muhammad al-Sajjad, (Lentera, Jakarta: 1996). Hal
352
[3]
http://hadirukiyah.blogspot.com/2009/05/sejarah-peradaban-islam-pada-masa.html
[4] Jeje Zainudin Abu Himam, Akar
Konflik Umat Islam, (Bandung: Persis Press, 2008), cetakan pertama. Hal 66.
Sebagaimana dikutip dari buku Ibnu Katsir, al-Bidayah wan-Nihayah. Hal 166
[5] Ibid, hal. 68.
[6]
http://istanailmu.com/2011/03/26/kepemimpinan-khulafaurrasyidin-ali-bin-abi-thalib/html
[7] Jeje Zainudin Abu Himam, Akar
Konflik Umat Islam, (Bandung: Persis Press, 2008), cetakan pertama. Hal 74
[8]
Abu al-Fida Ismail bin
Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Beirut: Dar al-Mariifah: 1999)cet
ke-5. Hal 248
[9] Morodi, DKK. Sejarah
Kebudayaan Islam. Semarang: PT Karya Toha Putra, 1994. Hal 57
[10] Jeje Zainudin Abu Himam, Akar
Konflik Umat Islam, (Bandung: Persis Press, 2008),cetakan pertama. Hal 90
[11] Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah
dan Kebudayaan Islam I, Terj. H.A. Bahauddin, (Kalam Mulia, Jakarta: 2006),
cet. 2. Hal 508
[12] DR. Badri Yatim MA, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2007). Hal 39
[13] Harun Nasution, Teologi
Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (UI-Press, Jakarta:
2002) Cet pertama. Hal 6
[14] Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh
Islam; Dari Abu Bakar Sampai Nashr dan Qardhawi, (Mizan: Bandung: 2006), cet.
Ke-2, hal. 18
[15]
Prof. Dr. Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, terj. Prof. Dr. H.
Mukhtar Yahya dan Drs. M. Sanusi Latief (Al Husna Zikra, Jakarta: 2000), cet.
4. Hal 288
[16] Jeje Zainudin Abu Himam, Akar
Konflik Umat Islam,(Bandung: Persis Press, 2008),cetakan pertama. Hal 110
[17] George Jordac, Suara
Keadilan; Sosok Ali bin Abi Thalib, terj. Muhammad al-Sajjad, (Lentera,
Jakarta: 1996). Hal 273
[18] Jeje Zainudin Abu Himam, Akar
Konflik Umat Islam,(Bandung: Persis Press, 2008),cetakan pertama. Hal 113
[19] ibid, hal. 119-120
[20] Abbas Mahmud al-Aqqad, Kejeniusan
Ali bin Abi Thalib, terj. Gazirah Abdi Ummah, (Pustaka Azzam, Jakarta:
2002) Hal 146
[21] Jeje Zainudin Abu Himam, Akar
Konflik Umat Islam,(Bandung: Persis Press, 2008),cetakan pertama. Hal 121
[22] Joeseof Sou’yb, Sejarah
Khulafatur Rasyidin, (Bulan Bintang, Jakarta: 1986), hal. 479
[23]
Jeje Zainudin Abu Himam, Akar
Konflik Umat Islam,(Bandung: Persis Press, 2008),cetakan pertama. Hal 95
[24]
Ali Audah, Ali bin Abi Thalib; Sampai Kepada Hasan dan Husain, Amanat
Perdamaian, Keadilan dan Persatuan, Peranannya Sebagai Pribadi dan Khalifah,
(Litera AntarNusa, Jakarta: 2007). Hal 204-225
[25] Ali Audah, Op,Cit, hal. 224
[26] Harun Nasution, Teologi
Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (UI-Press, Jakarta:
2002) Cet pertama. Hal 7
[27]
Joeseof Sou’yb, Sejarah
Khulafatur Rasyidin, (Bulan Bintang, Jakarta: 1986), hal 444
[28]
Ali Audah, Op,Cit, hal. 216
[29] Abbas Mahmud al-Aqqad,
Kejeniusan Ali bin Abi Thalib, terj. Gazirah Abdi Ummah, (Pustaka Azzam,
Jakarta: 2002). Hal 70
[30]
Jeje Zaenudin, Op, Cit, hal. 100-101
[31]
Prof. Dr. Muhammad Amhazun,
Fitnah Kubra, Tragedi Pada Masa Sahabat, terj. Dr. Daud Rasyid (LP2SI
al-Haramain, Jakarta: 1994), cet pertama. Hal 474
[32] Jeje Zaenudin, Op, Cit, hal. 103
[33]
Harun Nasution, Teologi
Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (UI-Press, Jakarta:
2002) Cet pertama. Hal 8-13
[34]
Jeje Zaenudin, Op.Cit, hal 108
[35]
http://istanailmu.com/2011/03/26/kepemimpinan-khulafaurrasyidin-ali-bin-abi-thalib/html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar