BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang Masalah
Sebagaimana kita ketahui bahwa pendidikan di
Indonesia berada dalam posisi yang carut
marut, tanpa arah yang jelas, tanpa sistem yang berpihak pada kepentingan
siswa. Dan yang paling memprihatinkan adalah saratnya kepentingan yang mewarnai
sistem pendidikan kita sehingga berdampak pada terbawanya kualitas pendidikan
di Indonesia pada satu titik yang memprihatinkan. Untuk menuju kepada kualitas
pendidikan maka perlu diupayakan perwujudan masyarakat yang berkualitas, yang
mana dalam hal ini menjadi tanggung jawab pendidikan. Pendidikan bertanggung
jawab untuk mempersiapkan peserta didik menjadi subjek yang makin berperan
menampilkan keunggulan dirinya yang tangguh, kreatif, mandiri dan profesional
pada bidang masing-masing.
Dalam kaitannya dengan pendidikan, ada delapan
masalah pokok sistem pendidikan dan pelatihan menapak abad 21, kedelapan
masalah tersebut adalah sebagai berikut:
a. Menurunnya
akhlak dan moral peserta didik;
b. Pemerataan
kesempatan memperoleh pendidikan dan pemerataan kualitas pendidikan;
c. Rendahnya
mutu pendidikan di berbagai jenjang dan jenis pendidikan;
d. Masih
rendahnya efisiensi internal sistem pendidikan;
e. Masih
rendahnya efisiensi eksternal sistem pendidikan dan pelatihan;
f. Kelembagaan
pendidikan dan pelatihan;
g. Manajemen
pendidikan dan pelatihan nasional yang belum sejalan dengan manajemen
pembangunan nasional;
h. SDM
yang belum profesional.
Menurut Andrias Harefa, bahwa akar permasalahan
dalam sistem pendidikan kita adalah karena sekolah telah dipisahkan dari
soal-soal kehidupan nyata sehari-hari. Ia telah berubah menjadi semacam
“sekolah militer”, ajang indoktrinasi dan “kaderisasi” manusia-manusia muda
yang harus belajar untuk “patuh” sepenuhnya kepada “sang komandan”. Tak ada
ruang yang cukup untuk bereksperimentasi dan mengembangkan kreativitas. Semuanya
serba terpola, terprogram seolah-olah teratur dan dapat dikontrol.[1]
Setelah ditelusuri bahwa pelaksanaan pendidikan
agama di sekolah menghadapi berbagai kendala, antara lain: waktu yang
disediakan hanya dua jam pelajaran dalam seminggu dengan materi yang begitu
padat, kurangnya keikutsertaan guru mata pelajaran lain dalam memberi motivasi
kepada peserta didik untuk mempraktekkan nilai-nilai pendidikan agama dalam
kehidupan sehari-hari, lemahnya sumber daya guru dalam pengembangan pendekatan
dan metode yang lebih variatif, minimnya berbagai sarana pelatihan dan
pengembangan, serta rendahnya peran serta orang tua siswa.[2]
Sebenarnya tidak adil jika kita menimpakan tanggung
jawab atas munculnya kesenjangan antara harapan dan kenyataan itu kepada
pendidikan agama di sekolah, sebab pendidikan agama di sekolah bukanlah
satu-satunya faktor yang menentukan dalam pembentukan watak dan kepribadian
siswa. Salah satu faktor yang menyebabkan munculnya kesenjangan antara harapan
dan kenyataan itu adalah karena fragmentasi materi dan terisolasinya atau
kurang terkaitnya dengan materi mata pelajaran lain, bahkan antar sub mata
pelajaran pendidikan agama itu sendiri.[3]
Selain itu, pendidikan agama lebih menekankan pada fungsinya sebagai transmisi
fakta-fakta, nilai atau keterampilan yang lebih bersifat akademik dan kurang
ada hubungan dengan pengalaman keagamaan sehari-hari.[4]
Jadi, pendidikan agama selama ini cenderung
mengindoktrinasikan ajaran agama dari pada membuat siswa memahami dan
menghayati makna ajaran tersebut. Lebih lanjut, Mochtar Buchori yang dikutip
oleh Drs. Muhaimin, M.A. menyatakan bahwa kegagalan pendidikan agama disebabkan
praktik pendidikannya hanya memperhatikan aspek kognitif semata, dan
mengabaikan pembinaan aspek afektif dan konatif-volutif yakni kemauan dan tekad
untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama.[5]
Tuntutan sekarang, institusi pendidikan perlu
mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pengembangan kurikulum harus mengacu pada
Standar Nasional Pendidikan (SNP). Lebih lanjut Standar Nasional Pendidikan
(SNP) sendiri dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005
mencakup komponen standar isi, proses, standar kompetensi kelulusan (SKL),
kependidikan dan tenaga kependidikan, sarana prasarana, pengelolaan, pembiayaan
dan penilaian pendidikan. Landasan inilah yang mengantarkan dunia pendidikan
dalam hal ini adalah satuan pendidikan/ sekolah untuk merumuskan atau membuat
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Dengan demikian perlu dirumuskan lebih terinci atau
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing sekolah. Terutama bagaimana mempeta-petakan
indikator-indikator pada rumusan-rumusan yang ada pada kompetensi dasar
tersebut. Kemudian menentukan materi pokok apa yang akan disajikan oleh guru
kepada peserta didik itu. Hal tersebut bukanlah pekerjaan yang mudah bagi guru-guru
kita. Mengapa demikian, karena guru dituntut komitmen yang tinggi dan motivasi
untuk mengembangkan isi dari kurikulum tersebut. Paradigma yang digulirkan oleh
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) guru dipandang sudah memiliki
kemampuan sesuai dengan profesinya untuk menyelesaikan tugas-tugas yang akan
dilaksanakan dalam satuan pendidikan, salah satunya adalah penyusunan silabus.
Dalam proses kegiatan pembelajaran, seorang guru PAI
sering menghadapi berbagai kesulitan, baik kesulitan membuat silabus,
pengelolaan kegiatan dan waktu, pengelolaan siswa, pengelolaan sumber belajar,
dan pengelolaan perilaku mengajar. Berdasarkan
latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan
judul :
KESULITAN GURU PAI DALAM KEGIATAN PEMBELAJARAN. Penelitian dilakukan di MTS Yayasan Perguruan IRA Medan, Jl. Pertiwi No. 111 Kelurahan Bantan.
1.2 Batasan
dan Rumusan Masalah
Dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi
permasalahan pada kesulitan yang dihadapi guru PAI dalam kegiatan pembelajaran,
di MTS Yayasan Perguruan IRA Medan, Jl. Pertiwi No. 111 Kelurahan Bantan.
Dengan ruang lingkup penelitian, yang meliputi: masalah yang dihadapi guru
Pendidikan Agama Islam dalam kegiatan pembelajaran.
Dari adanya latar belakang dan pembatasan masalah
yang tersusun di atas, timbullah suatu pokok permasalahan yang akan dijadikan
sebagai rumusan masalah dan merupakan agenda penelitian yang akan dikaji oleh
penulis, yaitu:
1. Bagaimanakah
kesulitan guru Pendidikan Agama Islam dalam menyusun silabus di MTS Yayasan Perguruan IRA Medan?
2. Bagaimanakah
kesulitan guru Pendidikan Agama Islam dalam pengelolaan kegiatan dan waktu, pengelolaan
siswa, pengelolaan sumber belajar, dan pengelolaan perilaku mengajar di MTS
Yayasan Perguruan IRA Medan?
1.3 Tujuan
dan Manfaat Penelitian
Dengan timbulnya suatu rumusan permasalahan yang
merupakan agenda penelitian yang akan dikaji oleh penulis, maka tujuan
penelitian skripsi ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah kesulitan guru PAI
dalam menyusun silabus dan kesulitan guru PAI dalam pembelajarannya di MTS
Yayasan Perguruan IRA Medan.
Sedangkan manfaat dari penelitian skripsi ini adalah
sebagai berikut:
1. Sebagai
bahan untuk menambah pengetahuan baik teoritis maupun praktis bagi peneliti
dalam penyusunan silabus.
2. Sebagai
bahan masukan bagi guru Pendidikan Agama Islam dalam menyusun silabus serta pengelolaan
kegiatan dan waktu, pengelolaan siswa, pengelolaan sumber belajar, dan pengelolaan
perilaku mengajar
1.4 Metodologi
Penelitian
1. Pendekatan
Penelitian
Dalam penelitian skripsi ini, pendekatan yang
digunakan oleh peneliti adalah pendekatan kualitatif yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.[6]
Dalam hal ini, peneliti menggunakan jenis metode penelitian deskriptif, yaitu
suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi,
suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang yang
bertujuan untuk menggambarkan apa adanya tentang suatu variabel, gejala atau
keadaan.[7]
Jenis metode penelitian ini digunakan oleh peneliti
dengan maksud untuk mendeskripsikan dan menganalisis sehingga dapat membangun
pengetahuan melalui pemahaman dan penemuan tentang kesulitan guru PAI dalam
menyusun silabus Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan kesulitan guru PAI
dalam pembelajarannya di MTS Yayasan Perguruan IRA Medan.
2. Metode
Pengumpulan Data
Penelitian ini adalah penelitian lapangan (survey),
ialah pengumpulan data yang dilakukan dengan penelitian di tempat terjadinya
gejala yang diselidiki.[8]
Dalam hal ini, pengumpulan data dilakukan dengan terjun langsung ke kancah penelitian
yang bertujuan untuk mendapatkan data kongkrit yang berhubungan dengan kesulitan
guru PAI ketika menyusun silabus Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan kesulitan
guru PAI ketika melaksanakan pembelajarannya di MTS Yayasan Perguruan IRA Medan.
Untuk mendapatkan data dalam penelitian ini, maka
peneliti menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Wawancara
Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang,
melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seorang lainnya dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu.[9]
Dalam penggunaan teknik ini, bentuk wawancara yang dilakukan peneliti berupa
wawancara tak berstruktur atau mendalam yang memungkinkan pihak yang
diwawancarai untuk mendefinisikan dirinya sendiri dan lingkungannya, untuk
menggunakan istilah-istilah mereka sendiri mengenai fenomena yang diteliti,
tidak sekedar menjawab pertanyaan.[10]
Teknik ini digunakan peneliti untuk memperoleh data
mengenai kesulitan guru Pendidikan Agama Islam dalam menyusun silabus Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan di MTS Yayasan Perguruan IRA Medan yang meliputi kesulitan
dalam mengidentifikasi materi standar, kesulitan pengembangan pengalaman
belajar, kesulitan merumuskan indikator, kesulitan menentukan standar penilaian,
kesulitan penentuan waktu dan kesulitan penentuan sumber belajar.
b. Observasi
Observasi merupakan suatu teknik atau cara
pengumpulan data dengan jalan mengadakan pengamatan terhadap kegiatan yang
sedang berlangsung.[11]
Dalam penggunaan teknik ini, bentuk observasi yang dilakukan peneliti adalah
observasi partisipatif yang berarti pengamat ikut serta dalam kegiatan yang
sedang berlangsung. Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data mengenai
proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam di MTS Yayasan Perguruan IRA Medan
yang meliputi planning, proses pembelajaran, manajemen kelas dan evaluasi yang
dilakukan oleh guru PAI.
c. Dokumentasi
Dokumen ialah setiap bahan tertulis atau film yang
tidak dipersiapkan karena adanya permintaan seorang penyidik dan dapat dimanfaatkan
untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk meramalkan.[12]
Bentuk dokumentasi yang digunakan peneliti sebagai sumber data adalah
dokumentasi resmi internal, yang berupa memo, pengumuman, instruksi, aturan
suatu lembaga tertentu, laporan rapat, keputusan pemimpin, dan lain sebagainya.[13]
3. Metode
Analisis Data
Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya
ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan
tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Untuk
mengolah data yang diperoleh, penulis menggunakan metode analisis data
kualitatif. Analisis kualitatif dilakukan terhadap data yang berupa informasi,
uraian dalam bentuk bahasa prosa kemudian dikaitkan dengan data lainnya untuk
mendapatkan kejelasan terhadap suatu kebenaran atau sebaliknya, sehingga
memperoleh gambaran baru atau menguatkan suatu gambaran yang sudah ada dan
sebaliknya.[14]
Metode ini digunakan untuk pengelolaan data yang
diperoleh yang tidak dituangkan dalam bentuk bilangan atau angka statistik,
melainkan tetap dalam bentuk kualitatif yang memiliki arti lebih kaya dari
sekedar angka atau frekuensi.[15]
Dan dalam penelitian ini, penulis menganalisis data dengan pola pikir
deduktif-induktif yang berarti proses pendekatan yang berangkat dari kebenaran
umum mengenai suatu fenomena (teori) dan menggeneralisasikan kebenaran
tersebutpada suatu peristiwa atau data tertentu yang berciri sama dengan
fenomena yang bersangkutan (prediksi) atau proses logika yang berangkat dari data
empirik lewat observasi menuju kepada suatu teori.[16]
Karena penelitian yang dilakukan termasuk dalam
jenis penelitian deskriptif, maka setelah data diperoleh kemudian pengujian
datanya dibandingkan dengan suatu kriteria atau standar yang sudah ditetapkan
terlebih dahulupada waktu menyusun desain penelitian. Dengan penerapan metode
ini, maka dapat digunakan untuk menjelaskan atau mengungkapkan dalam
mendeskripsikan bagaimana masalah guru PAI dalam menyusun silabus Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan dan masalah guru PAI dalam pembelajarannya di MTS
Yayasan Perguruan IRA. Dan dari hasil mendeskripsikan, peneliti akan menarik
kesimpulan dari proses penelitiannya di lapangan.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
2.1 Pengertian
Kesulitan
Istilah kesulitan/problema berasal dari bahasa
Inggris yaitu "problematic" yang artinya persoalan atau
masalah. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kesulitan/problema berarti hal yang
belum dapat dipecahkan; yang menimbulkan masalah; permasalahan; situasi yang
dapat didefinisi sebagai suatu kesulitan yang perlu dipecahkan, diatasi atau
disesuaikan.[17]
Kesulitan/problema adalah suatu kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang
diharapkan dapat menyelesaikan atau dapat diperlukan atau dengan kata lain dapat
mengurangi kesenjangan itu.
Jadi, problema adalah berbagai persoalan-persoalan
sulit yang dihadapi dalam proses pembelajaran, baik yang datang dari individu
guru (faktor eksternal) maupun dalam proses pembelajaran yang berlangsung di
sekolah (faktor intern).
2.2 Pengertian
Guru
Dalam pengertian yang sederhana, guru adalah orang
yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik. Guru dalam pandangan
masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat tertentu,
tidak mesti dilembaga pendidikan formal, tetapi bisa juga di masjid, di
surau/mushalla, dirumah, dan sebagainya.[18]
Guru merupakan jabatan atau profesi yang memerlukan keahlian khusus sebagai
guru. Menurut UUD RI No. 14 tahun 2005, guru adalah pendidik profesional dengan
tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Sedangkan yang dimaksud dengan guru agama adalah
"orang dewasa yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik
dengan memberikan pertolongan terhadap mereka dalam perkembangan jasmani dan
rohaninya agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri dan memenuhi
tugasnya sebagai hamba atau khalifah Allah maupun sebagai makhluk sosial serta makhluk
individu yang mandiri".[19]
Pendidikan agama adalah usaha-usaha secara sistematis dan progmatis dalam
membantu anak didik agar mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam. Dapat
disimpulkan guru adalah guru adalah orang dewasa yang secara sadar bertanggung
jawab dalam mendidik, mengajar, dan membimbing peserta didik untuk mencapai
tujuan akhir dari proses pendidikan/pembelajaran.
2.3 Pengertian
PAI
Menurut Zakiah Daradjat pendidikan
agama Islam atau At-Tarbiyah Al-Islamiah adalah usaha bimbingan dan asuhan terhadap
anak didik agar kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan
mengamalkan ajaran agama Islam serta menjadikannya sebagai pandangan hidup.[20]
Sedangkan menurut Ahmad D. Marimba (dalam Umi Uhbiyat) pendidikan Islam adalah:
bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam, menuju
terciptanya kepribadian utama menurut ukuran Islam.[21]
Pendidikan agama Islam adalah suatu kegiatan yang
bertujuan menghasilkan orang-orang beragama, dengan demikian pendidikan agama
perlu diarahkan ke arah pertumbuhan moral dan karakter.[22] Ditinjau dari beberapa definisi
pendidikan agama Islam di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan agama Islam
adalah sebagai berikut:
a.
Segala usaha berupa
bimbingan terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak, menuju terbinanya
kepribadian utama sesuai dengan ajaran agama Islam.
b.
Suatu usaha untuk
mengarahkan dan mengubah tingkah laku individu untuk mencapai pertumbuhan
kepribadian yang sesuai dengan ajaran Islam dalam proses kependidikan melalui
latihan-latihan akal pikiran (kecerdasan, kejiwaan).
Berdasarkan definisi diatas, baik dari guru dan PAI dapat
difahami bahwa guru pendidikan agama Islam adalah orang dewasa yang memiliki
keahlian dalam ilmu keguruan yang bertugas untuk mendidik dan mengajar anak
hingga memperoleh kedewasaan baik jasmani maupun rohani yang pada akhirnya anak
didik tersebut mampu menjalankan
tugasnya sebagai khalifah Allah SWT, serta mampu berinteraksi sosial di
tengah-tengah kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu, guru
merupakan salah satu komponen manusiawi dalam proses belajar mengajar, yang
ikut berperan dalam usaha pembentukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang potensial
di bidang pembangunan. Kesulitan guru PAI dalam kegiatan pembelajaran sendiri adalah
persoalan-persoalan sulit yang dihadapi dalam proses pembelajaran oleh guru
yang bertugas untuk mendidik dan mengajar anak didik hingga memperoleh
kedewasaan baik jasmani maupun rohani dalam pendidikan agama Islam.
2.4 Konsep
Penyusunan Silabus
2.4.1
Pengertian Kurikulum
Seiring dengan diberlakukannya uji coba atau program
pemberlakuan terbatas kurikulum berkarakter di sekolah pada tahun 2013, maka
secara otomatis semua sekolah mulai memberlakukan kurikulum berkarakter dengan segala daya dan upaya masing-masing
kondisi sekolah. Hakikat dari
kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah kebebasan guru dalam mengembangkan
kurikulum (Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar), sehingga kreativitas guru
semakin terbuka dan terakomodasi. Jika sebelumnya guru hanya mengajarkan materi
yang sudah ditetapkan dalam kurikulum nasional yang dibuat pemerintah, maka
dalam kurikulum baru tidak demikian.
Kurikulum tingkat satuan pendidikan merupakan
kurikulum sekolah yang dikembangkan oleh guru, sehingga keinginan untuk memberi
ruang dan kebebasan kepada guru untuk memilih yang terbaik bagi peserta
didiknya dapat terakomodasi dengan baik. Guru tidak lagi didikte untuk
mengajarkan materi ini, materi itu, tetapi diberi kebebasan untuk memilih
materi lain asal dapat mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar yang
telah ditetapkan, yakni yang sudah distandarkan secara nasional.[23]
Guru adalah batu loncatan dari suatu kegiatan
belajar mengajar yang memiliki peran dalam keberhasilan kurikulum untuk
mencapai sebuah tujuan. Oleh karena itu keberhasilan kurikulum tercapai karena
sehubungan dengan guru itu sendiri. Dari kedua pendapat di atas jelaslah bahwa
guru adalah pengembang kurikulum yang sebenarnya karena guru yang lebih tahu
kondisi siswanya. Guru juga sumber terpenting dari suatu kegiatan belajar
mengajar yang memiliki peran dalam keberhasilan kurikulum untuk mencapai sebuah
tujuan.
Kurikulum di Indonesia memang selalu mengalami
perubahan karena tuntutan zaman. Secara teoretis, perubahan yang terjadi sejak
pemberlakuan kurikulum formal-informal sampai dengan sekarang ini memang
berusaha memenuhi prinsip-prinsip kurikulum yang ideal, diantaranya relevansi,
efektivitas, efisiensi, kontinuitas dan fleksibelitas. Tetapi, ternyata masih
menimbulkan permasalahan sehingga prinsip-prinsip tersebut ideal dalam tataran teoretis.
Perubahan kurikulum yang terjadi menunjukkan bahwa
kurikulum itu bukan merupakan sesuatu yang sekali jadi. Kurikulum itu harus
fleksibel dan dinamis, seperti platusin, alat mainan anak-anak yang bisa
dibentuk sesuai dengan kehendak dan tujuan yang diinginkan. Jika diibaratkan
kurikulum itu seperti platusin, maka pemerintah cukup menyediakan model
platusin dan menyebarkannya ke sekolah-sekolah sementara pembentukannya di
sekolah merupakan kewenangan guru di bawah arahan dan pengawasan kepala sekolah.[24]
Dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dapat
dilakukan dengan menghidupkan dan meluruskan musyawarah guru mata pelajaran dan
kelompok kerja guru. Bagi yang hampir mati suri karena tidak ada kegiatan yang
perlu dihidupkan kembali, sementara bagi yang melakukan kegiatan tetapi
melenceng atau di luar rel perlu diluruskan dan diingatkan agar kembali ke
jalan yang lurus, yakni upaya meningkatkan kualitas pendidikan tanpa merugikan
peserta didik atau kelompok lain.[25]
Perubahan paradigma penyelenggaraan pendidikan dari sentralisasi ke
desentralisasi mendorong terjadinya perubahan dan pembaruan pada beberapa aspek
pendidikan, termasuk kurikulum.
Dalam kaitan ini kurikulum sekolah menengah pun
menjadi perhatian dan pemikiran-pemikiran baru, sehingga mengalami
perubahan-perubahan kebijakan. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu.[26]
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah kurikulum
operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan.
Sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun
2005 bahwa Kurikulum Satuan Pendidikan pada JeSjang Pendidikan Dasar dan
Menengah mengacu pada standar isi dan standar kompetensi lulusan serta
berpedoman pada panduan dari Badan Standar Nasional Pendidikan.
2.4.2
Pengertian Silabus
Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu
kelompok mata pelajaran tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi
dasar, materi pokok, kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi
waktu, dan sumber/bahan/alat belajar. Silabus merupakan penjabaran standar
kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok/pembelajaran, kegiatan
pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian.
Dengan demikian, silabus pada dasarnya menjawab
permasalahan-permasalahan sebagai berikut.
a. Kompetensi
apa saja yang harus dicapai siswa sesuai dengan yang dirumuskan oleh Standar
Isi (Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar).
b. Materi
Pokok/Pembelajaran apa saja yang perlu dibahas dan dipelajari peserta didik
untuk mencapai Standar Isi.
c. Kegiatan
Pembelajaran apa yang seharusnya diskenariokan oleh guru sehingga peserta didik
mampu berinteraksi dengan sumber-sumber belajar.
d. Indikator
apa saja yang harus dirumuskan untuk mengetahui ketercapaian KD dan SK.
e. Bagaimanakah
cara mengetahui ketercapaian kompetensi berdasarkan Indikator sebagai acuan
dalam menentukan jenis dan aspek yang akan dinilai.
f. Berapa
lama waktu yang diperlukan untuk mencapai Standar Isi tertentu.
g. Sumber
Belajar apa yang dapat diberdayakan untuk mencapai Standar Isi tertentu.[27]
Dengan memperhatikan hakekat silabus di atas, suatu silabus
minimal memuat lima komponen utama, yakni: (1) standar kompetensi, (2)
kompetensi dasar, (3) indikator, (4) materi standar, (5) standar proses
(kegiatan belajar mengajar), dan (6) standar penilaian. Pengembangan terhadap
komponen-komponen tersebut merupakan kewenangan mutlak guru, termasuk
pengembangan format silabus, dan penambahan komponen-komponen lain dalam
silabus di luar komponen minimal. Semakin rinci silabus, semakin membantu
memudahkan guru dalam menjabarkannya ke dalam rencana pelaksanaan pembelajaran.
Didalam pengembangan silabus dapat dilakukan oleh
para guru secara mandiri atau berkelompok dalam sebuah sekolah atau beberapa
sekolah, kelompok Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), dan Dinas Pendidikan.[28]
1. Sekolah
dan komite sekolah
Pengembang silabus adalah sekolah bersama komite sekolah.
Untuk menghasilkan silabus yang bermutu, sekolah bersama komite sekolah dapat
meminta bimbingan teknis dari perguruan tinggi, LPMP, dan lembaga terkait
seperti Balitbang Depdiknas.
2. Kelompok
Sekolah
Apabila guru kelas atau guru mata pelajaran karena sesuatu
hal belum dapat melaksanakan pengembangan silabus secara mandiri, maka pihak
sekolah dapat mengusahakan untuk membentuk kelompok guru kelas atau guru mata
pelajaran untuk mengembangkan silabus yang akan dipergunakan oleh sekolah
tersebut
3. Musyawarah
Guru Mata Pelajaran (MGMP)
Beberapa sekolah atau sekolah-sekolah dalam sebuah yayasan
dapat bergabung untuk menyusun silabus. Hal ini dimungkinkan karena sekolah dan
komite sekolah karena sesuatu hal belum dapat melaksanakan penyusunan silabus.
Kelompok sekolah ini juga dapat meminta bimbingan teknis dari perguruan tinggi,
LPMP, dan lembaga terkait seperti Balitbang Depdiknas dalam menyusun silabus.
4. Dinas
Pendidikan
Dinas Pendidikan setempat dapat memfasilitasi penyusunan
silabus dengan membentuk sebuah tim yang terdiri dari para guru berpengalaman
di bidangnya masing-masing. Dalam pengembangan silabus ini sekolah, kelompok
kerja guru, atau dinas pendidikan dapat meminta bimbingan teknis dari perguruan
tinggi, LPMP, atau unit utama terkait yang ada di Departemen Pendidikan
Nasional.
Dalam penyusunan silabus diserahkan sepenuhnya
kepada setiap satuan pendidikan, khususnya bagi yang sudah mampu melakukannya.
Oleh karena itu, setiap satuan pendidikan diberi kebebasan dan keleluasaan
dalam mengembangkan silabus sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing.
Agar penyusunan silabus yang dilakukan oleh setiap satuan pendidikan tetap
berada dalam bingkai pengembangan kurikulum nasional (standar nasional), maka
perlu memperhatikan prinsip-prinsip penyusunan silabus. Prinsip-prinsip
tersebut adalah: ilmiah, relevan, fleksibel, kontinuitas, konsisten, memadai,
aktual dan kontekstual, serta efektif, dan efisien.
1. Ilmiah,
keseluruhan materi dan kegiatan yang menjadi muatan dalam silabus harus benar
dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.
2. Relevan,
cakupan, kedalaman, tingkat kesukaran, dan urutan penyajian materi dalam
silabus sesuai dengan tingkat perkembangan fisik, intelektual, sosial,
emosional, dan spiritual peserta didik.[29]
Kesesuaian, keserasian pendidikan dengan tuntutan masyarakat.[30]
3. Fleksibel,
keseluruhan komponen silabus dapat mengakomodasi variasi peserta didik,
pendidikan, serta dinamika perubahan yang terjadi di sekolah dan tuntutan
masyarakat.[31] Sementara
itu, materi ajar ditentukan berdasarkan dan atau memperhatikan kultur daerah
masing-masing. Hal ini dimaksudkan agar kehidupan peserta didik tidak
tercerabut dari lingkungannya.
4. Kontinuitas,
kontinuitas atau kesinambungan mengandung arti bahwa setiap program
pembelajaran yang dikemas dalam silabus memiliki keterkaitan satu sama lain
dalam membentuk kompetensi dasar dan pribadi peserta didik. Kontinuitas atau
kesinambungan tersebut bisa secara vertikal, yakni dengan jenjang pendidikan
yang ada di atasnya, dan bisa juga secara horizontal yakni dengan
program-program lain atau dengan silabus lain yang sejenis.
5. Konsisten,
ada hubungan yang konsisten (taat asas) antara kompetensi dasar, indikator,
materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, sumber belajar dan sistem
penilaian.[32]
6. Memadai,
cakupan indikator, materi pokok, kegiatan pembelajaran, sumber belajar, dan
sistem penilaian cukup untuk menunjang pencapaian kompetensi dasar.[33]
7. Aktual
dan Kontekstual, cakupan indikator, materi pokok, kegiatan pembelajaran dan
sistem penilaian memperhatikan perkembangan ilmu, teknologi, dan seni mutakhir
dalam kehidupan nyata, dan peristiwa yang terjadi.
8. Efektif,
penyusunan silabus berbasis KTSP harus dilakukan secara efektif, yakni
memperhatikan keterlaksanaan silabus tersebut dalam proses pembelajaran, dan
tingkat pembentukan kompetensi sesuai dengan standar kompetensi yang telah
ditetapkan. Silabus yang efektif adalah yang dapat diwujudkan dalam kegiatan
pembelajaran nyata di kelas atau di lapangan.
9. Efisien,
efisien dalam silabus berkaitan dengan upaya untuk memperkecil atau menghemat
penggunaan dana, daya dan waktu tanpa mengurangi hasil atau kompetensi standar
yang ditetapkan. Efisien dalam silabus bisa dilihat dengan cara membandingkan
antara biaya, tenaga, dan waktu yang digunakan untuk pembelajaran dengan hasil
yang dicapai atau kompetensi yang dapat dibentuk oleh peserta didik. Dengan
demikian, setiap guru dituntut untuk dapat mengembangkan silabus dan
perencanaan pembelajaran sehemat mungkin, tanpa mengurangi pencapaian dan
pembentukan kompetensi.
2.4.3
Prosedur Penyusunan
Silabus
Silabus sebagai sub sistem pembelajaran terdiri dari
komponen-komponen yang satu sama lain saling berhubungan dalam rangka mencapai
tujuan. Komponen silabus perlu disusun dalam bentuk format dan sistematika yang
jelas. Format berisikan bentuk penyajian isi silabus, sedangkan sistematika
menggambarkan urutan penyajian bagian-bagian silabus. Format dan sistematika
silabus disusun berdasarkan prinsip berorientasi pada pencapaian kompetensi
tersebut format penyajian silabus diwujudkan dalam bentuk matrik agar hubungan
antar komponen dapat dilihat dengan jelas.
Prosedur penyusunan silabus dalam garis besarnya
mencakup langkah-langkah sebagai berikut:[34]
1. Mengisi
Kolom Identitas
Pada bagian identitas mata pelajaran perlu
dituliskan dengan jelas nama mata pelajaran,jenjang sekolah, kelas, dan
semester. Dalam mengembangkan silabus, guru perlu mendapatkan kejelasan tentang
siapa siswanya. Guru perlu mengetahui bagaimana tingkat pengetahuan prasyarat,
pengetahuan awal, dan karakter siswa yang akan diberi pelajaran. Dengan
mengetahui kemampuan awal dan karakteristik siswa, guru akan terhindar dari
kesulitan memberikan materi terlalu tinggi atau terlalu rendah. Sebab sering
terjadi, guru memberikan materi pelajaran terlalu sulit atau terlalu mudah.
Dengan pembelajaran berbasis kompetensi, akan terhindar dari memberikan materi
pelajaran yang tidak perlu. Sebaliknya guru hanya akan memberikan materi
pelajaran yang benar-benar diperlukan untuk membantu siswa agar dapat menguasai
standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah ditetapkan.
2. Mengkaji
dan Menganalisis Standar Kompetensi
Mengkaji dan menganalisis standar kompetensi mata
pelajaran dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a. Urutan
tidak harus sesuai dengan urutan yang ada dalam standar isi, melainkan
berdasarkan hirarki konsep disiplin ilmu dan tingkat kesulitan bahan.
b. Keterkaitan
antara standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam mata pelajaran.
c. Keterkaitan
standar kompetensi dan kompetensi dasar antar mata pelajaran.
3. Mengkaji
dan menentukan kompetensi dasar
Mengkaji dan menentukan kompetensi dasar mata
pelajaran dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Urutan
berdasarkan hierarki konsep disiplin ilmu dan tingkat kesulitan materi, tidak
harus selalu sesuai dengan urutan yang ada dalam standar isi.
b. Keterkaitan
antar kompetensi dasar dalam mata pelajaran.
c. Keterkaitan
kompetensi dasar dengan standar kompetensi.
4. Mengidentifikasi
Materi Standar
Mengidentifikasi materi standar yang menunjang
standar kompetensi dan kompetensi dasar, dengan mempertimbangkan hal-hal
sebagai berikut:
a. Tingkat
perkembangan fisik, intelektual, emosional, sosial, dan spiritual peserta
didik.
b. Kebermanfaatan
bagi peserta didik.
c. Struktur
keilmuan.
d. Kedalaman
dan keluasan materi.
e. Relevansi
dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan lingkungan.
f. Alokasi
waktu.[35]
5. Mengembangkan
Pengalaman Belajar (Standar Proses)
Pengalaman belajar merupakan kegiatan mental dan fisik
yang dilakukan peserta didik dalam proses pembentukan kompetensi, dengan
berinteraksi aktif dengan sumber belajar melalui pendekatan, metode, dan media
pembelajaran yang bervariasi. Pengalaman belajar memuat kecakapan hidup yang
perlu dikuasai oleh peserta didik. Rumusan pengalaman belajar mencerminkan
manajemen pengalaman belajar peserta didik.
6. Merumuskan
Indikator Keberhasilan
Indikator merupakan penjabaran dari kompetensi dasar
yang menunjukkan tanda-tanda, perbuatan dan respon yang dilakukan atau
ditampilkan oleh peserta didik, Indikator dikembangkan sesuai dengan
karakteristik satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik, Indikator
dirumuskan dalam kata kerja operasional yang dapat diukur dan dapat
diobservasi, sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam penyusunan alat
penilaian.[36]
7. Menentukan
Penilaian (Standar Penilaian)
Penilaian pencapaian kompetensi dasar peserta didik dilakukan
berdasarkan indikator, dengan menggunakan tes dan non tes dalam bentuk tertulis
maupun lisan, pengamatan kinerja, sikap, penilaian hasil karya berupa proyek
atau produk, penggunaan portofolio, dan penilaian diri. Terdapat beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam menentukan penilaian, yaitu:
a. Penilaian
dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi.
b. Menggunakan
acuan kriteria.
c. Menggunakan
sistem penilaian berkelanjutan.
d. Hasil
penilaian dianalisis untuk menentukan tindak lanjut.
e. Sesuai
dengan pengalaman belajar yang ditempuh dalam kegiatan pembelajaran.
8. Alokasi
Waktu
Alokasi waktu adalah jumlah waktu yang dibutuhkan untuk
ketercapaian suatu kompetensi dasar tertentu, dengan memperhatikan:
a. Minggu
efektif,
b. Alokasi
waktu mata pelajaran, dan
c. Jumlah
kompetensi per semester.[37]
9. Menentukan
Sumber Belajar
Sumber belajar merupakan segala sesuatu yang diperlukan
dalam kegiatan pembelajaran, yang dapat berupa: buku teks, media cetak, media,
nara sumber, lingkungan alam sekitar dan sebagainya.
2.5 Pengelolaan
Kegiatan Pembelajaran
2.5.1
Pengelolaan Kegiatan
dan Waktu
Proses belajar mengajar biasanya dikelompokkan ke
dalam tiga kegiatan besar: kegiatan awal, kegiatan inti dan kegiatan penutup.
Kegiatan awal biasanya diisi dengan mengemukakan hal-hal yang menarik minat
siswa untuk belajar, membahas ulang pengetahuan prasyarat, atau menyampaikan
informasi awal dan penjelasan tugas secara klasikal. Pengetahuan prasyarat yang
dibahas hendaknya betul-betul yang dekat dengan konsep baru yang akan
dipelajari, tidak terlalu jauh sehingga waktu yang digunakan menjadi singkat.
Kegiatan inti disediakan untuk siswa mengalami kegiatan seperti melakukan percobaan,
bermain peran, kegiatan pemecahan masalah atau simulasi yang sebaiknya dilakukan
secara berpasangan atau berkelompok.
Apabila kegiatan inti dilakukan siswa secara
perorangan maka harus diikuti dengan kegiatan yang melibatkan lebih dari satu
orang, misalnya saling menjelaskan proses dan hasil belajarnya kepada temannya.
Hal ini dimaksudkan agar tercipta interaksi diantara mereka sehingga hasil
belajar mereka menjadi mantap. Kegiatan penutup biasanya diisi dengan rangkuman
hasil belajar secara klasikal. Alokasi waktu untuk kegiatan awal dan penutup
masing-masing sebaiknya tidak lebih dari 10-15 menit sehingga sisanya untuk
kegiatan inti.
2.5.2
Pengelolaan Sumber Belajar
Dalam mengelola sumber belajar sebaiknya guru
mempertimbangkan sumber daya yang ada di sekolah dan melibatkan orang-orang
yang ada di dalam sistem sekolah tersebut. Pemanfaatan sumber belajar dari
lingkungan sekitar diperlukan dalam upaya menjadikan sekolah sebagai bagian
integral dari masyarakat setempat. Sekolah bukanlah tempat yang terpisah dari
masyarakatnya. Dengan cara ini fungsi sekolah sebagai pusat pembaruan dan pembangunan
sosial budaya masyarakat akan dapat diwujudkan. Selain itu, lingkungan sangat
kaya dengan sumber-sumber, media dan alat bantu pelajaran. Lingkungan fisik,
sosial atau budaya merupakan sumber yang sangat kaya untuk bahan belajar anak.
2.5.3
Pengelolaan Perilaku Mengajar
Hal yang harus dihindari guru adalah jangan sampai
mengganggu emosi atau perasaan siswa. Perasaan tersinggung, terhina, terancam,
merasa disepelekan merupakan contoh perasaan yang akan mengganggu kerja otak
siswa. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa kebutuhan anak mencakup dipahami, dihargai,
dicintai, merasa bernilai dan merasa aman. Sejalan dengan itu perilaku guru
yang diharapkan adalah mendengarkan siswa, menghargai siswa, mengembangkan rasa
percaya diri siswa, memberi tantangan dan menciptakan suasana tidak takut
salah/gagal pada diri siswa.
Dengan perasaan takut salah/gagal, siswa tidak akan
berani mencoba hal-hal baru, yang pada akhirnya menjadi tidak kreatif.
Membiarkan siswa menertawakan temannya karena menjawab salah atau berpendapat
sederhana/lucu merupakan salah satu contoh perilaku guru yang mengembangkan
rasa takut gagal/salah.
BAB
III
PENGUMPULAN
DATA
3.1 Pemilihan
Lokasi
Penelitian dilakukan di Yayasan Perguruan IRA Medan, Jl. Pertiwi No. 111 Kelurahan Bantan.
Yayasan perguruan IRA telah berdiri sejak tahun 1993. Di
Yayasan perguruan IRA terdapat beberapa jenjang pendidikan, mulai dari tingkat
SD, SMP, dan SMA, MTS, MA, dan SMK. Adapun
tujuan penulis mengadakan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimanakah
kesulitan guru PAI dalam menyusun silabus dan kesulitan guru PAI dalam
pembelajarannya di MTS Yayasan Perguruan IRA Medan, dan
3.2 Hasil
Penelitian
3.2.1
Kesulitan Guru
Pendidikan Agama Islam Dalam Menyusun Silabus
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan di MTS Yayasan
Perguruan IRA. Dalam pelaksanaan, seorang guru dituntut untuk lebih profesional
dalam melaksanakan tugasnya. Sampai saat ini, guru tetap merupakan faktor
penting yang besar pengaruhnya terhadap keberhasilan dalam penerapannya. Dalam
hal ini, kurikulum sebagai salah satu substansi pendidikan perlu
didesentralisasikan terutama dalam pengembangan silabus dan pelaksanaannya yang
disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan siswa, keadaan sekolah, dan kondisi
sekolah. Dengan demikian, sekolah atau daerah memiliki cukup kewenangan untuk
merancang dan menentukan materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan penilaian
hasil pembelajaran.
Karena salah satu prinsip pengembangan kurikulum
tingkat satuan pendidikan adalah berpusat pada potensi, pengembangan,
kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya, maka secara
otomatis dalam pengembangan silabus dituntut untuk dapat menyesuaikan kebutuhan
siswa dengan maksud untuk mendukung pencapaian tujuan dalam pembelajaran yang
berpusat pada peserta didik. Dengan adanya salah satu prinsip pengembangan
kurikulum tersebut, tentunya akan menjadi masalah tersendiri bagi guru dalam
menyusun silabus yang ideal sesuai dengan kebutuhan peserta didik karena
peserta didik yang satu dengan yang lainnya memiliki potensi dan karakteristik
yang berbeda-beda, sehingga guru akan merasa kesulitan dalam menentukan
komponen-komponen yang ada dalam pengembangan silabus. Misalnya dalam
menentukan indikator, jenis penilaian, sumber belajar, mengidentifikasi
pembelajaran, dan pengembangan kegiatan pembelajaran.
Dari hasil penelitian, dapat diketahui bahwa guru
PAI di MTS Yayasan Perguruan IRA dalam menyusun silabus mata pelajaran PAI
banyak mengalami masalah. Dan yang melatarbelakangi masalah tersebut secara garis
besarnya adalah sebagai berikut:
1. Waktu
dalam sosialisasi bimbingan teknis penyusunan silabus mata pelajaran PAI dari
unit lembaga terkait yang ada di Depag sangatlah minim.
Dampak yang dirasakan guru PAI dalam hal ini adalah
sering terjadi kesalahpahaman dalam menyusun silabus, sehingga dalam penyusunan
silabus tersebut hanya asal jadi dan sebatas formalitas saja walaupun
penyusunan silabus yang dibuat itu tidak ideal dan tidak sesuai dengan prosedur
yang telah ditawarkan olehunit lembaga terkait yang ada di Departemen
Pendidikan Nasional.
2. Keragaman
karakteristik dan latar belakang pada diri peserta didik.
Di dalam kelas guru akan menemukan perbedaan
individual yang dimiliki oleh siswa. Karena individu merupakan kepribadian yang
di dalamnyaterdapat potensi yang harus dikembangkan. Dalam pengembangan
potensi-potensinya (terutama di lingkungan pendidikan) setiap individu
mempunyai metode dan tujuan yang berbeda-beda, adanya perbedaan individual itu
disebabkan adanya pengaruh lingkungan, perbedaan jenis kelamin, perbedaan
inteligensi, minat, bakat dan sebagainya.
Dari perbedaan-perbedaan itulah yang menjadi masalah
tersendiri khususnya dalam menyusun silabus, karena tidak mungkin guru akan
menyusun silabus yang berbeda di setiap kelas dalam jenjang dan sekolah yang
sama serta untuk mencapai tujuan instruksional yang sama pula. Oleh karena itu,
keragaman peserta didik bisa dikatakan paling dominan penyebab masalah guru PAI
dalam menyusun silabusnya.
3. Minimnya
sarana dan prasarana yang mendukung dalam pembelajaran PAI
Misalnya walaupun perpustakaan yang ada di MTS
Yayasan Perguruan IRA itu besar dan banyak koleksi buku-buku bacaan, akan
tetapi banyaknya koleksi buku-buku bacaan tersebut dipadati buku-buku pelajaran
umum, sedangkan untuk koleksi buku-buku bacaan sebagai pendukung sumber belajar
agama bagi siswa sangatlah minim bahkan bisa dikatakan perpustakaan hanya ada
buku paket pelajaran Agama dan terjemah-terjemah Al-Qur’an saja.
3.2.2
Kesulitan dalam
mengembangkan pengalaman belajar peserta didik
Karena pengalaman belajar merupakan kegiatan mental
dan fisik yang dilakukan peserta didik dalam proses pembentukan kompetensi baik
pelaksanaannya di dalam kelas maupun di luar kelas. Dalam mengembangkan
pengalaman belajar peserta didik yang dilakukan di dalam kelas bagi guru PAI di
MTS Yayasan Perguruan IRA bisa dikatakan tidak ada problematika yang serius
karena langkah guru PAI dalam hal ini dengan jalan mengadakan interaksi antara
siswa dengan sumber belajar sesuai dengan uraian materi pembelajarannya yang
telah dirumuskan.
Dan bentuknya yang sering dilakukan guru PAI di MTS
Yayasan Perguruan IRA dalam hal ini misalnya berupa menelaah buku referensi PAI
yang ada hubungannya dengan materi yang diberikan, telaah hasil pengamatan yang
berhubungan dengan pelajaran PAI (semisal: siswa disuruh mencari contoh bacaan
Mad Thobi’i dalam surat al-Baqarah), dan sebagainya.
Adapun pengembangan pengalaman belajar peserta didik
yang dilakukan guru PAI di MTS Yayasan Perguruan IRA di luar kelas inilah yang
sering muncul problematika dalam pelaksanaannya. Diantaranya adalah:
a. Sulitnya
memilih dan menentukan strategi pembelajaran (yang berupa: pendekatan, metode,
dan media pembelajaran) yang tepat dan variatif.
b. Sulit
atau kurangnya pengawasan yang intensif pada diri guru terhadap peserta
didiknya, sehingga membawa dampak banyaknya penyelewengan yang dilakukan oleh
siswa sesuai dengan perencanaan yang telah dirumuskan.
c. Kalau
sudah di luar kelas peserta didik menjadi sulit untuk dikendalikan. Kalau
peserta didik sudah sulit dikuasai maka akan mengacaukan tujuan yang sudah
direncanakan.
d. Sulitnya
menentukan waktu yang tepat dan minimnya anggaran sekolah untuk mengembangkan
pengalaman belajar siswa di luar, misalnya: mengadakan study tour yang
memfokuskan pada mata pelajaran PAI.
3.2.3
Kesulitan dalam
menentukan waktu yang dibutuhkan untuk ketercapaian suatu kompetensi dasar
Dalam pengalokasian waktu paling tidak guru harus mempertimbangkan
tingkat kesulitan materi, ruang lingkup atau cakupan materi, dan tingkat
pentingnya materi yang dipelajari. Semakin sulit dalam mempelajari atau mengerjakan
pekerjaan yang berhubungan dengan materi, semakin banyak yang digunakan dan
semakin penting maka perlu diberi alokasi waktu yang lebih banyak. Akan tetapi
pelaksanaannya dalam proses pembelajaran, belum tentu alokasi waktu yang
ditentukan oleh guru itu cukup dalam menyampaikan materi tertentu untuk setiap
kelas. Misalnya di kelas A, dalam dua kali pertemuan saja peserta didik sudah
bisa menangkap materi yang disampaikan oleh guru, ternyata di kelas B waktu dua
kali pertemuan itu belum cukup karena setelah proses pembelajaran ternyata
peserta didik belum bisa menangkap materi yang disampaikan.
Dengan adanya contoh tersebut, bisa diketahui
problematika yang dialami oleh guru di MTS Yayasan Perguruan IRA adalah adanya
perbedaan individual pada diri siswa yang berupa: karakteristik, intelegensi
siswa, dan pengaruh lingkungan. Sehingga guru tidak bisa mematok pengalokasian
waktu yang sesuai baik pada diri siswa maupun pada materi yang akan
disampaikan.
3.2.4
Kesulitan dalam
menentukan sumber belajar
Dalam menentukan sumber belajar, seorang guru harus mempertimbangkan
berdasarkan standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, materi pokok, dan
kegiatan pembelajaran. Akan tetapi yang sering muncul permasalahan yang di
alami oleh guru PAI di MTS Yayasan Perguruan IRA adalah dalam proses
pembelajaran, guru masih jarang menggunakan sumber belajar melalui objek
langsung, ini dikarenakan oleh keterbatasan waktu dan biaya. Misalnya untuk
materi haji, seharusnya peserta didik diajak langsung ke Islamic center untuk
melakukan praktek manasik haji. Kemudian solusi yang diambil guru pendidikan
agama Islam adalah menggunakan sumber belajar tidak langsung, misalnya
memutarkan VCD tentang manasik haji.
3.3 Analisis
Data
Melihat fenomena yang terjadi dalam dunia pendidikan
di Negara kita saat ini, sistem pendidikan dan kurikulum pendidikan sering kali
dirubah-rubah. Hal ini tentunya akan menimbulkan masalah baru bagi para
pendidik baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan pembelajaran di sekolah.
Sama halnya yang dirasakan oleh guru PAI di MTS Yayasan Perguruan IRA. Dari
data penelitian dalam bab sebelumnya, dapat diketahui bahwa perubahan kurikulum
menimbulkan masalah, baik dalam menyusun silabus maupun dalam pembelajarannya.
Dalam bab ini, peneliti akan mencoba menganalisis
data hasil penelitian yang memfokuskan pada masalah guru PAI dalam menyusun
silabus dan masalah dalam pembelajaran PAI, adalah sebagai berikut:
1. Kesulitan
Guru Pendidikan Agama Islam Dalam Menyusun Silabus
Dari hasil wawancara dengan guru PAI SMP Negeri 30,
dapat diketahui bahwa yang melatarbelakangi masalah guru dalam menyusun
silabusnya secara garis besarnya adalah sebagai berikut:
a. Minimnya
sosialisasi penyusunan silabus mata pelajaran PAI dari unit lembaga terkait.
Dengan adanya pengalokasian dalam bersosialisasi yang jarang diadakan, sehingga
guru kurang begitu paham dalam penyusunan silabus maupun pembelajaran.
b. Keragaman
karakteristik dan latar belakang pada diri peserta didik. Dari kondisi itu,
guru sulit menentukan strategi atau pendekatan yang akan digunakan dalam
mengimplementasikan perencanaan yang telah tersusun dalam proses belajar
mengajar.
c. Minimnya
sarana dan prasarana yang mendukung dalam pembelajaran PAI. Dalam pembelajaran
PAI guru hanya menggunakan sarana prasarana yang bersifat klasikal dan sering
mengabaikan pengoperasionalan sarana yang bersifat audio-visual.
Bercermin dari masalah di atas, dapat diketahui
bahwa masalah yang dirasakan guru PAI MTS Yayasan Perguruan IRA timbul dari
faktor intern pada diri guru sendiri maupun faktor ekstern. Adapun problem
tersebut merupakan bentuk yang disebabkan karena faktor ekstern. Mencermati
permasalahan yang pertama, wajar kalau guru merasa kesulitan ketika menjalankan
kurikulum baru.
Dengan keterbaruannya itu, sudah pasti timbul
pertanyaan-pertanyaan karena ketidakfahaman baik dalam perencanaan maupun dalam
mengimplemetasikannya apalagi kurikulumini bersifat desentral yang mana guru
diberi hak untuk mengembangkannya sendiri, sehingga kalau guru belum
betul-betul paham akan kurikulum tersebut, tidak menuntut kemungkinan dia akan
kebingungan dan kegagalan sebagai fasilitator akan dirasakan. Untuk
mengantisipasi hal itu, tentunya guru harus diberi banyak penyuluhan dan
pengalokasian untuk bersosialisasi dalam menjelaskan kurikulum baru dan yang
berhubungan dengan permasalahannya.
Sosialisasi ini sangatlah penting, terutama bagi
seluruh warga sekolah mengenal dan memahami visi dan misi sekolah, serta kurikulum
yang akan dikembangkan dan dilaksanakan. Sosialisasi bisa dilakukan langsung
oleh kepala sekolah apabila yang bersangkutan sudah mengenal dan cukup
memahaminya. Namun demikian jika kepala sekolah belum begitu memahami maka bisa
mengundang ahlinya, baik dari kalangan pemerintah, akademik maupun dari
kalangan pengamat pendidikan. Sosialisasi perlu dilakukan secara matang bagi
berbagai pihak agar dapat dipahami dan diterapkan secara optimal karena
merupakan langkah penting yang akan menunjang dan menentukan keberhasilan.
Perlu diingat bahwa dalam proses pembelajaran di
dalam kelas tentunya guru akan menemukan perbedaan individual pada siswa yang
disebabkan oleh pengaruh lingkungan, perbedaan jenis kelamin, perbedaan
inteligensi, minat, bakat, dan Sebagainya. Dengan adanya perbedaan-perbedaan
individual tersebut tidak mungkin terbentuk kelas yang homogen dengan menjalankan
satu sistem saja dalam pembelajarannya di mana mereka diberi pelajaran yang
sama, dalam waktu yang sama, dengan perlakuan yang sama. Ternyata hasilnya
berbeda-beda. Jadi dalam proses pembelajaran, guru harus tanggap dengan kondisi
siswa. Siswa yang bermasalah dalam proses pembelajaran harus diberi layanan
khusus sesuai dengan karakteristiknya sehingga untuk mewujudkan tujuan yang
telah direncanakan akan berjalan dengan lancar
Menurut analisa penulis bahwa sarana prasarana
sangatlah penting dalam menciptakan kelancaran suasana yang kondusif dalam
proses belajar mengajar. Minim tidaknya suatu sarana prasarana bukan dilihat
dalam segi fisik akan tetapi jika sarana prasarana dimanajemen dengan baik
tentunya dapat memberikan kontribusi yang optimal pada jalannya proses
pendidikan sekolah. Manajemen sarana prasarana yang baik diharapkan dapat
menciptakan sekolah yang bersih, rapi, sehingga menciptakan kondisi yang
menyenangkan baik bagi guru maupun murid. Adapun masalah yang dihadapi Guru PAI
di MTS Yayasan Perguruan IRA dalam menyusun silabusnya dari hasil penelitian
penulis adalah sebagai berikut:
1. Kesulitan
dalam mengidentifikasi materi standar Masalah yang dihadapi guru PAI MTS
Yayasan Perguruan IRA dalam mengidentifikasi materi standar adalah sebagai
berikut:
a. Kesulitan
menentukan materi standar tentang sikap. Dengan alasan bahwa dalam buku-buku
paket itu jarang membahas tentang pembentukan sikap yang harus ditampilkan oleh
siswa.
b. Adanya
perbedaan pada tingkat intelektual, sosial, dan spiritual peserta didik. Dengan
perbedaan itulah yang menjadikan guru PAI kesulitan dalam menentukan materi
standar yang akan disajikan.
Menyimak dan merujuk dari problem di atas, dapat
diketahui bahwa problem yang dialami guru PAI menurut analisa penulis bisa
dikatakan hanya mengacu pada standar konseptual saja sehingga sudah pasti dia
akan merasa kesulitan dalam menentukan standar materi yang masuk dalam aspek
sikap. Keadaan seperti inilah yang menyebabkan ketidaksinambungan antara ketiga
ranah yang harus ditanamkan pada siswa dan menjadi tujuan pencapaian dalam
pembelajaran akan terhambat.
Dalam hal ini, sering kali kita temui pembelajaran
PAI lebih banyak berorientasi pada pembinaan dan pengembangan aspek kognitif
dan psikomotorik (cara/keterampilan melaksanakan ajaran agama secara formal).
Sedangkan pembinaan dan pengembangan afektif atau sikap, jiwa dan cita rasa
beragama belum banyak ditonjolkan. Kalau demikian apa artinya beragama bagi
anak kalau hanya menonjolkan aspek formalitas keagamaan, sementara aspek sikap,
jiwa dan cita rasa keagamaan yang sebenarnya merupakan inti beragama tidak
dimiliki oleh siswa.
2. Kesulitan
dalam mengembangkan pengalaman belajar peserta didik
Merujuk dari penjelasan guru PAI bahwa yang menjadi
masalah dalam pengembangan pengalaman belajar peserta didik yang dialami oleh
guru PAI MTS Yayasan Perguruan IRA diantaranya adalah:
a. Sulitnya
memilih dan menentukan strategi pembelajaran (yang berupa: pendekatan, metode,
dan media pembelajaran) yang tepat dan variatif.
b. Sulit
atau kurangnya pengawasan yang intensif oleh guru terhadap peserta didiknya,
sehingga berdampak penyelewengan yang sering dilakukan oleh siswa baik dalam
PBM maupun dalam tata tertib.
c. Sulitnya
menentukan waktu yang tepat dan minimnya anggaran sekolah untuk mengembangkan
pengalaman belajar siswa di luar.
3. Kesulitan
dalam merumuskan indikator di tiap kompetensi dasar
Dalam merancang sebuah indikator di tiap-tiap
kompetensi dasar, guru PAI MTS Yayasan Perguruan IRA mengalami kesulitan karena
adanya perbedaan karakteristik peserta didik. Proses pembelajaran di dalam
kelas tentunya guru bertemu perbedaan individual siswa. Karena individu
merupakan berkepribadian yang di dalamnya terdapat potensi yang harus
dikembangkan. Dalam pengembangan potensi-potensinya (terutama di lingkungan
pendidikan) setiap individu mempunyai metode dan tujuan yang berbeda-beda, dari
perbedaan-perbedaan inilah yang menyebabkan masing-masing individu harus
menghadapi problem-problem yang ditimbulkan oleh masing-masing individu itu
sendiri.
Adanya perbedaan individual disebabkan adanya
pengaruh lingkungan, perbedaan jenis kelamin, perbedaan inteligensi, minat,
bakat, dan sebagainya. Dari perbedaan-perbedaan di atas menimbulkan
problem-problem baik di lingkungan akademik, lingkungan keluarga dan masyarakat
sekitar terutama dalam hal pendidikan, salah satu contohnya adalah perbedaan
individual di sekolah. Perbedaan tersebut disebabkan karena adanya
perbedaan-perbedaan nilai dari pekerjaan-pekerjaan yang dikerjakan oleh
anak-anak dalam satu kelas tertentu.
Dengan adanya perbedaan-perbedaan individual
tersebut tidak mungkin terbentuknya suatu kelas yang homogen dengan sistem
pendidikannya yaitu klasikal dimana mereka diberi pelajaran yang sama, dalam
waktu yang sama, dengan perlakuan yang sama. Ternyata hasilnya berbeda-beda.
Jadi dalam proses pembelajaran, guru harus tanggap dengan kondisi siswa. Selain
memahami karakteristik siswa dalam merumuskan indikator di setiap kompetensi
dasar, guru harus mencermati karakteristik satuan pendidikan dan potensi
daerah. Dengan tujuan agar dalam pembelajarannya siswa itu dapat dibekali teori
yang berhubungan dengan akademik, juga memahami kehidupan disekitarnya dengan
baik. Sehingga pencapaian tujuan akhir dalam pembelajaran yang berbasik life
skill akan mudah dicapai dan tertanam pada diri siswa.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhaimin, Paradigma
Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001).
Nur Abadi, KTSP,
(Bandung: Pustaka Pelajar, 2006).
Lexy J. Moleong,
Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001).
Moh. Nazir, Metode
Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988).
Deddy Mulyana, Metodologi
Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003)
Nana Syaodih
Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2005).
P. Joko Subagyo,
Metode Penelitian dalam Teori dan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta,
1991).
S. Margono, Metodologi
Penelitian Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997).
Saifuddin Azwar,
Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998).
M. Ali Hasan &
Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 2003).
Muhaimin, Paradigma
Pendidikan Islam, ( Jakarta: Rosda Karya, 2003).
Zakiah Daradjat,
Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1996).
Nur Uhbiyati, Ilmu
Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1998).
Zuhairini dan
Abdul Ghofir, Metodologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Malang:
Universitas Malang, 2004).
E. Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan; Suatu Panduan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006).
Badan Standar
Nasional Pendidikan, Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, (Jakarta: BSNP, 2006).
Oemar Hamalik, Pengembangan
Kurikulum (Dasar-dasar dan Perkembangannya), (Bandung: Mandar Maju, 1990).
[1] Andrias Harefa, Menjadi Manusia Pembelajar, (Jakarta:
Kompas, 2000), h. 17
[2] Sri Sumarni, “Penilaian Berbasis Kelas (PBK) Dalam Rangka
Implementasi Kurikulum PAI Berbasis Kompetensi” ( Jurnal Ilmu Pendidikan
Islam, 200), h. 37.
[3] Ibnu Hajar, “Pendekatan Holistik Dalam Pendidikan Islam”,
(Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2001), h. 215.
[4] Ibid, h. 215
[5] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2001), h. 106.
[6] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2001), Cet. 14, h. 3
[7] Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1988), h. 63
[8] Sutrisno Hadi, Metodologi Research I, (Yogyakarta: Andi
Offiset, 2004), h. 10
[9] Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2003), h. 180
[10] Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian…, h. 183
[11] Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), h. 220.
[12] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif…, h. 161
[13] Ibid, 163
[14] P. Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktik,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h. 106
[15] S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 1997), h. 38
[16] Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998), h. 40
[17] Sutan Rajasa. Kamus Ilmiah Populer. (Surabaya : Karya Utama,
2002) .h. .499
[18] M. Ali Hasan & Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan Agama
Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2003), h. 122
[19] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, ( Jakarta: Rosda
Karya, 2003), h. 163
[20] Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi
Aksara, 1996), h. 86
[21] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia,
1998), h. 9
[22] Zuhairini dan Abdul Ghofir, Metodologi Pembelajaran Pendidikan
Agama Islam, (Malang: Universitas Malang, 2004), h. 1
[23] E. Mulyasa, Kurikulum Yang Disempurnakan; Pengembangan Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h. 11
[24] E. Mulyasa, Kurikulum Yang Disempurnakan…, h. 3
[25] E. Mulyasa, Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan; Suatu Panduan Praktis, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2006), h. 37
[26] Badan Standar Nasional Pendidikan, Panduan Penyusunan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, (Jakarta: BSNP,
2006), h. 3
[27] Departemen Pendidikan Nasional, Panduan Pengembangan Silabus
Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Ditjen Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama,
2006), h. 8
[28] Departemen Pendidikan Nasional, Panduan Pengembangan Silabus…, h.
8
[29] Oemar Hamalik, Pengembangan Kurikulum (Dasar-dasar dan
Perkembangannya), (Bandung: Mandar Maju, 1990), h. 98
[30] Muslam, Pengembangan Kurikulum PAI, Teoritis dan Praktis,
(Semarang: Pusat Kajian dan Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman, 2004), Cet. IV,
h. 56
[31] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum…, h. 151
[32] Departemen Pendidikan Nasional, Panduan Pengembangan Silabus…, h.
14
[33] E. Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan…, h. 194
[34] Departemen Pendidikan Nasional, Panduan Pengembangan Silabus…, h.
16
[35] E. Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan…, h. 204
[36] Departemen Pendidikan Nasional, Panduan Pengembangan Silabus…, h.
17
[37] Departemen Pendidikan Nasional, Panduan Pengembangan Silabus…, h.
18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar