BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut catatan sejarah, filsafat bermula di Yunani.
Bangsa Yunani mulai mempergunakan akal ketika mempertanyakan mitos yang
berkembang di masyarakat sekitar abad VI SM. Perkembangan pemikiran ini
menandai usaha manusia untuk mempergunakan akal dalam memahami segala sesuatu.
Pemikiran Yunani sebagai embrio filsafat Barat berkembang menjadi titik tolak
pemikiran Barat abad pertengahan, modern dan masa berikutnya.
Disamping menempatkan filsafat sebagai sumber
pengetahuan, Barat juga menjadikan agama sebagai pedoman hidup, meskipun memang
harus diakui bahwa hubungan filsafat dan agama mengalami pasang surut. Pada
abad pertengahan misalnya dunia Barat didominasi oleh dogmatisme gereja
(agama), tetapi abad modern seakan terjadi pembalasan terhadap agama. Peran
agama di masa modern digantikan ilmu-ilmu positif. Akibatnya, Barat mengalami
kekeringan spiritualisme. Namun selanjutnya, Barat kembali melirik kepada
peranan agama agar kehidupan mereka kembali memiliki makna.
Filsafat dan agama secara umum merupakan pengetahuan.
Jika agama merupakan pengetahuan yang berasal dari wakyu, filsafat sendiri
adalah hasil dari pemikiran manusia.[1]
Dasar-dasar agama merupakan pokok-pokok kepercayaan ataupun konsep tentang
ketuhanan, alam, manusia, baik buruk, hidup dan mati, dunia dan akhirat. Dan
lain-lain. Sedangkan filsafat adalah sistem kebenaran tentang agama sebagai
hasil berfikir secara radikal, sistematis dan universal.[2]
Jika agama membincangkan tentang eksistensi-eksistensi di
alam dan tujuan akhir perjalanan segala maujud, lantas bagaimana mungkin agama
bertentangan dengan filsafat. Bahkan agama dapat menyodorkan asumsi-asumsi
penting sebagai subyek penelitian dan pengkajian filsafat.
Pertimbangan-pertimbangan filsafat berkaitan dengan keyakinan-keyakinan dan
tradisi-tradisi agama hanya akan sesuai dan sejalan apabila seorang penganut
agama senantiasa menuntut dirinya untuk berusaha memahami dan menghayati secara
rasional seluruh ajaran, doktrin, keimanan dan kepercayaan agamanya. Dengan demikian,
filsafat tidak lagi dipandang sebagai musuh agama dan salah satu faktor perusak
keimanan, bahkan sebagai alat dan perantara yang bermanfaat untuk meluaskan
pengetahuan dan makrifat tentang makna terdalam dan rahasia-rahasia doktrin
suci agama, dengan ini niscaya menambah kualitas pengahayatan dan apresiasi
kita terhadap kebenaran ajaran agama.
Walaupun hasil-hasil penelitian rasional filsafat tidak
bertolak belakang dengan agama, tapi selayaknya sebagian penganut agama justru
bersikap proaktif dan melakukan berbagai pengkajian dalam bidang filsafat
sehingga landasan keimanan dan keyakinannya semakin kuat dan terus menyempurna,
bahkan karena motivasi keimananlah mendorongnya melakukan observasi dan
pembahasan filosofis yang mendalam terhadap ajaran-ajaran agama itu sendiri
dengan tujuan menyingkap rahasia dan hakikatnya yang terdalam.
Filsafat dan agama mempunyai hubungan yang sangat
reflektif dengan manusia, dikarenakan mempunyai keduanya mempunyai keterkaitan,
keduanya tidak bisa berkembang apabila tidak ada alat dan tenaga utama yang
berada dalam diri manusia. Tiga alat dan tenaga utama manusia adalah akal
pikiran, rasa, dan keyakinan.[3]
Dengan satu ungkapan dapat dikatakan bahwa filosof agama
mestilah dari penganut dan penghayat agama itu sendiri. Lebih jauh,
filosof-filosof hakiki adalah pencinta-pencinta agama yang hakiki. Sebenarnya
yang mesti menjadi subyek pembahasan di sini adalah agama mana dan aliran
filsafat yang bagaimana memiliki hubungan keharmonisan satu sama lain. Adalah
sangat mungkin terdapat beberapa ajaran agama, karena ketidaksempurnaannya,
bertolak belakang dengan kaidah-kaidah filsafat, begitu pula sebaliknya,
sebagian konsep-konsep filsafat yang tidak sempurna berbenturan dengan ajaran
agama yang sempurna.[4]
Karena asumsinya adalah agama yang sempurna bersumber
dari hakikat keberadaan dan mengantarkan manusia kepada hakikat itu, sementara
filsafat yang berangkat dari rasionalitas juga menempatkan hakikat keberadaan
itu sebagai subyek pengkajiaannya, bahkan keduanya merupakan bagian dari
substansi keberadaan itu sendiri. Keduanya merupakan karunia dari Tuhan yang
tak dapat dipisah-pisahkan. Filsafat membutuhkan agama (wahyu) karena ada
masalah-masalah yang berkaitan dengan dengan alam gaib yang tak bisa dijangkau
oleh akal filsafat. Sementara agama juga memerlukan filsafat untuk memahami
ajaran agama. Berdasarkan perspektif ini, adalah tidak logis apabila ajaran
agama dan filsafat saling bertolak belakang.
Dalam sebuah ungkapan
ada kalimat yang sangat menarik, yang, “Saya beriman supaya bisa
mengetahui. Apabila kalimat ini kita balik akan menjadi: jika saya tidak
beriman, maka saya tak dapat mengetahui. Tak dapat disangkal bahwa dapat
diyakini bahwa keimanan agama adalah
sumber motivasi dan pemicu yang kuat untuk mendorong seseorang melakukan
penelitian dan pengkajian yang mendalam terhadap ajaran-ajaran doktrinal agama,
lebih jauh, keimanan sebagai sumber inspirasi lahirnya berbagai ilmu dan
pengetahuan. Kesempurnaan iman dan kedalaman pengahayatan keagamaan seseorang
adalah berbanding lurus dengan pemahaman rasionalnya terhadap ajaran-ajaran
agama, semakin dalam dan tinggi pemahaman rasional maka semakin sempurna
keimanan dan semakin kuat apresiasi terhadap ajaran-ajaran agama. Baik agama
maupun filsafat pada dasarnya mempunyai kesamaan dalam tujuan, yakni mencapai
kebenaran yang sejati. Agama yang dimaksud di sini adalah agama Samawi.[5]
Manusia membutuhkan rasionalisasi dalam semua aspek
kehidupannya, termasuk dalam doktrin-doktrin keimanannya, karena akal dan rasio
adalah hakikat dan substansi manusia, keduanya mustahil dapat dipisahkan dari
wujud manusia, bahkan manusia menjadi manusia karena akal dan rasio. Tolok ukur
kesempurnaan manusia adalah akal dan pemahaman rasional. Akal merupakan hakikat
manusia dan karenanya agama diturunkan kepada umat manusia untuk menyempurnakan
hakikatnya. Penerimaan, kepasrahan dan ketaatan mutlak kepada ajaran suci agama
sangat berbanding lurus dengan rasionalisasi substansi dan esensi ajaran-ajaran
agama.
Substansi dari semua ajaran agama adalah keyakinan dan
kepercayaan terhadap eksistensi Tuhan, sementara eksistensi Tuhan hanya dapat
dibuktikan secara logis dengan menggunakan kaidah-kaidah akal-pikiran (baca:
kaidah filsafat) dan bukan dengan perantaraan ajaran agama itu sendiri. Walaupun
akal dan agama keduanya merupakan ciptaan Tuhan, tapi karena wujud akal secara
internal terdapat pada semua manusia dan tidak seorang pun mengingkarinya,
sementara keberadaan ajaran-ajaran agama yang bersifat eksternal itu tidak
diterima oleh semua manusia.
Dengan demikian, hanya akallah yang dapat kita jadikan
argumen dan dalil atas eksistensi Tuhan dan bukan ajaran agama. Seseorang yang
belum meyakini wujud Tuhan, lantas apa arti agama baginya. Kita mengasumsikan
bahwa ajaran agama yang bersifat doktrinal itu adalah ciptaan Tuhan, sementara
belum terbukti eksistensi Pencipta dan pengenalan sifat-sifat sempurna-Nya,
dengan demikian adalah sangat mungkin yang diasumsikan sebagai "ciptaan
Tuhan" sesungguhnya adalah "ciptaan makhluk lain" dan makhluk
ini lebih sempurna dari manusia (sebagaimana manusia lebih sempurna dari hewan
dan makhluk-makhluk alam lainnya). Lantas bagaimana kita dapat meyakini bahwa
seluruh ajaran agama itu adalah berasal dari Tuhan. Walaupun kita menerima
eksistensi Tuhan dengan keimanan dan membenarkan bahwa semua ajaran agama
berasal dari-Nya, tapi bagaimana kita dapat menjawab soal bahwa apakah Tuhan
masih hidup? Kenapa sekarang ini tidak diutus lagi Nabi dan Rasul yang membawa
agama baru? Dan masih banyak lagi soal-soal seperti itu yang hanya bisa
diselesaikan dengan kaidah akal-pikiran. Berdasarkan perspektif ini, akal
merupakan syarat mendasar dan mutlak atas keberagamaan seseorang, dan inilah
rahasia ungkapan yang berbunyi: Tidak ada agama bagi yang tidak berakal.
B. Rumusan Masalah
Adapun masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah
ini adalah :
o
Apa
pengertian umum filsafat dan agama..?
o
Apa
hubungan filsafat dan agama..?
o
Apa
sajakah perbedaan filsafat dan agama...?
o
Mengapa
ada perbedaan antara filsafat dan agama..?
C. Tujuan Penulisan
Adapun manfaat penbuatan makalah ini adalah :
o
Agar
mahasiswa mampu mengetahui pengertian filsafat dan agama
o
Agar
mahasiswa dapat menjelaskan apa saja perbedaan dan hubungan antara filsafat dan
agama.
o
Mahasiswa
mampu menjabarkan apa saja masalah-masalah yang timbul dalam masalah filsafat
dan agama.
D. Metode Penulisan
Metode yang digunakan penulis adalah metode kepustakaan
yaitu memberikan gambaran tentang materi-materi yang berhubungan dengan
permasalahan melalui literatur buku-buku yang tersedia, tidak lupa juga penulis
ambil sedikit dari media massa/internet. Dan diskusi mengenai masalah yang
dibahas dengan teman-teman.
BAB
II
PEMBAHASAN
FILSAFAT DAN AGAMA
Istilah filsafat dan agama mengandung pengertian yang
dipahami secara berlawanan oleh banyak orang. Filsafat dalam cara kerjanya
bertolak dari akal, sedangkan agama bertolak dari wahyu. Oleh sebab itu, banyak
kaitan dengan berfikir sementara agama banyak terkait dengan pengalaman.
Filsafat mebahas sesuatu dalam rangka melihat kebenaran yang diukur, apakah
sesuatu itu logis atau bukan. Agama tidak selalu mengukur kebenaran dari segi
logisnya karena agama kadang-kadang tidak terlalu memperhatikan aspek logisnya.
Perbedaan tersebut menimbulkan konflik berkepanjangan
antara orang yang cenderung berfikir filosofis dengan orang yang berfikir
agamis, pada hal filsafat dan agama mempunyai fungsi yang sama kuat untuk
kemajuan, keduanya tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Untuk
menelusuri seluk-beluk filsafat dan agama
secara mendalam perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan
agama dan filsafat itu.
A. Pengertian Filsafat
Salah satu kebiasaan dunia penelitian dan keilmuan,
berfungsi bahwa penemuan konsep tentang sesuatu berawal dari pengetahuan
tentang satuan-satuan. Setiap satuan yang ditemukan itu dipilih dan dipilah,
dikelompokkan berdasarkan persamaan, perbedaan, ciri-ciri tertentu dan
sebagainya. Berdasarkan penemuan yang
telah diverivikasi itulah orang merumuskan definisi tentang sesuatu itu. Dalam
sejarah perkembangan pemikirian manusia, filsafat juga bukan diawali dari
definisi, tetapi diawali dengan kegiatan berfikir tentang segala sesuatu secara
mendalam. Orang yang berfikir tentang segala sesuatu itu tidak semuanya
merumuskan definisi dari sesuatu yang dia teliti, termasuk juga pengkajian
tentang filsafat.
Jadi ada benarnya Muhammad Hatta dan Langeveld mengatakan
"lebih baik pengertian filsafat itu tidak dibicarakan lebih dahulu. Jika
orang telah banyak membaca filsafat ia akan mengerti sendiri apa filsafat itu.[6]
Namun demikian definisi filsafat bukan berarti tidak diperlukan. Bagi orang
yang belajar filsafat definisi itu juga diperlu-kan, terutama untuk memahami
pemikiran orang lain.
Dengan demikian, timbul pertanyaan siapa yang pertama
sekali memakai istilah filsafat dan siapa yang merumuskan definisinya. Yang
merumuskan definisinya adalah orang yang datang belakangan. Penggunaan kata
filsafat pertama sekali adalah Pytagoras sebagai reaksi terhadap para cendekiawan
pada masa itu yang menamakan dirinya orang bijaksana, orang arif atau orang
yang ahli ilmu pengetahuan. Dalam membantah pendapat orang-orang tersebut
Pytagoras mengatakan pengetahuan yang lengkap tidak akan tercapai oleh manusia.[7]
Semenjak semula telah terjadi perbedaan pendapat tentang
asal kata filsafat. Ahmad Tafsir umpamanya me-ngatakan filsafat adalah gabungan
dari kata philein dan sophia. Menurut Harun Nasution kedua
kata tersebut setelah digabungkan
menjadi philosophia dan diterjemah-kan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti
cinta hikmah atau kebijaksanaan. Orang Arab memindahkan kata Yunani philosophia ke dalam bahasa mereka dan
menyesuaikannya dengan susunan kata bahasa Arab, yaitu فلسفة dengan pola فعلل.
Dengan demikian kata benda dari falsafa itu adalah falsafah atau filsaf.[8]
Dalam al-Quran kata filsafat tidak ada, yang ada hanya adalah kata hikmah. Pada umumnya orang memahami antara hikmah dan
kebijaksanaan itu sama, pada hal sesungguhnya maksudnya berbeda. Harun
Hadiwijono mengartikan kata philosophia dengan mencintai kebijaksanaan.[9]
Sedangkan Harun Nasution mengartikan dengan hikmah.[10]
Kebijaksanaan biasanya diartikan dengan peng-ambilan keputusan berdasarkan
suatu pertimbangan terten-tu yang kadang-kadang berbeda dengan peraturan yang
telah ditentukan. Adapun hikmah sebenarnya diungkapkan pada sesuatu yang agung
atau suatu peristiwa yang dahsyat atau berat.
Dari pengertian kebahasaan itu dapat dipahami bahwa
filsafat berarti cinta kepada kebijaksanaan. Tetapi pengertian itu belum
memberikan pemahaman yang cukup, karena maksudnya belum dipahami dengan baik.
Pemahaman yang mendasar tentang filsafat diperoleh melalui pengertian. Karena
berbagai pandangan dalam melihat sesuatu menyebabkan pandangan pemikir tentang filsafat juga
berbeda. Oleh sebab itu, banyak orang memberikan pengertian yang berbeda pula
tentang filsafat.
Ada beberapa pengertian filsafat menurut para ahli,
diantaranya :
Ø Plato, menurut ia filsafat tidaklah lain
dari pengetahuan tentang segala yang ada.
Ø Aristoteles, menurutnya filsafat adalah
ilmu yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metefisika,
logika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.[11]
Ø Herodotus mengatakan filsafat adalah
perasaan cinta kepada ilmu kebijaksanaan dengan memperoleh keahalian tentang
kebijaksanaan itu.
Ø Cicero, mengatakan filsafat adalah
pengetahuan terluhur dan keinginan untuk mendapatkannya.
Ø Thomas Hobes, salah seorang filosof
Inggris mengemukakan filsafat ialah ilmu pengetahuan yang menerangkan hubungan
hasil dan sebab, atau sebab dan hasilnya dan oleh karena itu terjadi perubahan.[12]
Ø Alfred Ayer, mengatakan filsafat adalah
pencarian akan jawaban atas sejumlah pertanyaan yang sudah semen-jak zaman
Yunani dalam hal-hal pokok. Pertanyaan-perta-nyaan mengenai apa yang dapat
diketahui dan bagaimana mengetahuinya, hal-hal apa yang ada dan bagaimana
hu-bungannya satu sama lain. Selanjutnya mempermasalah-kan apa-apa yang dapat
diterima, mencari ukuran-ukuran dan menguji nilai-nilainya apakah asumsi dari
pemikiran itu dan selanjutnya memeriksa apakah hal itu berlaku.
Ø Immanuel Kant, salah seorang filosof
Jerman mengatakan filsafat adalah pengetahuan yang men-jadi pokok pangkal
pengetahuan yang tercakup di dalam-nya empat persoalan, yaitu :
·
Apa
yang dapat diketahui, Jawabnya : Metafisika.
·
Apa
yang seharusnya diketahui ? Jawabnya : etika.
·
Sampai
di mana harapan kita ? Jawabnya :Agama.
·
Apa
manusia itu ? Jawabnya Antropologi.[13]
Ø Jujun
S Suriasumantri mengatakan bahwa filsafat menelaah segala persoalan yang
mungkin dapat dipikirkan manu-sia. Sesuai dengan fungsinya sebagai pionir,
filsafat mempermasalahkan hal-hal pokok, terjawab suatu per-soalan, filsafat
mulai merambah pertanyaan lain.[14]
Dari sekian banyaknya yang mendefinisikan filsafat ada
beberapa point-point yang penting, empat sudut pandang yang saling melengkapi
yaitu :
·
Filsafat
adalah suatu sikap terhadap hidup dan alam semesta.
Dari sudut ini dapat dijelaskan bahwa suatu sikap
filosofis adalah sikap berfikir yang melibatkan usaha untuk memikirkan masalah
hidup dan alam semesta dari semua sisi yang meliputi kesiapan menerima hidup
dalam alam semesta sebagaimana adanya dan mencoba melihat dalam keseluruhan
hubungan. Sikap filosofik dapat ditandai misalnya dengan sikap kritis, berfikir
terbuka, toleran dan mau melihat dari sisi lain.
·
Suatu
metode berfikir reflektif dan metode pencarian yang beralasan.
Ini bukalah metode fil-safat yang eksklusif, tetapi
merupakan metode berfikir yang akurat dan sangat berhati-hati terhadap seluruh
pengalaman.
·
Filsafat
adalah kumpulan masalah.
Semenjak dahulu sampai sekarang
banyak masalah yang sangat mendasar yang masih tetap tidak terpecahkan,
meskipun para filosof telah benyak mencoba memberikan jawabannya. Contohnya
apakah kebenaran itu ? apakah keindahan itu, apakah perebedaan antara benar dan
salah. ?
·
Filsafat
merupakan kumpulan teori atau sistem-sistem pemikiran.
Dalam hal ini filsafat berarti
teori-teori filosofis yang beraneka ragam atau sistem-sistem pemikiran yang
telah muncul dalam sejarah yang biasanya dikaitkan dengan nama-nama filosof ;
seperti Sokrates, Plato, Aristoteles, Agustinus. Mereka sangat berpengaruh bagi
pemikiran di masa sekarang. Dari mereka lahir istilah-istilah seperti
idealisme, realisme, pragmatisme dan sebagainya.[15]
·
Filsafat
merupak ilmu pengetahuan kodrati
ilmu pengetahuan yang dengan cahaya
kodrati akal budi mencari sebab-sebab yang pertama atau azas-azas yang tertinggi segala sesuatu. Filsafat
dengan kata lain merupakan ilmu pengeahuan tentang hal-hal pada sebab-sebabnya
yang pertama termasuk dalam ketertiban alam.[16]
·
Filsafat
sebagai nilai
Filsafat merupakan ukuran pertama
tentang nilai filsafat itu dan berakhir dengan kesimpulan yang jika dihubungkan
kembali dengan pengalaman hidup sehari-hari, serta peristiwa-peristiwanya
menjadikan pengalaman-pengalaman serta peristiwa itu lebih bermakna yang
menyebabkan kita lebih berhasil menanganinya.[17]
Liang Gie mengemukan metode yang berbeda dalam pembahasan filsafat.
Penulis itu meninjau filsafat dan segi pelaku filsafat sendiri. Menurutnya
pelaku filsafat itu terdiri atas beberapa kelompok, antara lain :
·
Pengejek
filsafat, yaitu orang-orang yang mencemoohkan atau memperolok-olokan filsafat
maupun filosof karena ketidak tahuannya.
·
Peminat
filsafat, yaitu seseorang yang sekedar mempunyai arah hidup, pandangan dunia,
ukuran moral atau telah membaca karya filsafat sehingga tertarik kepada
filsafat.
·
Penghafal
filsafat, pada umumnya mereka ialah mahasiswa yang kerjanya sehari-hari
menghafal buku atau diktat filsafat untuk menghadapi ujian yang diberikan oleh
dosennya.
·
Sarjana
filsafat, yaitu mahasiswa yang lulus di perguruan tinggi filsafat dengan
memperoleh gelar dok-torandus atau lainnya.
·
Pengajar
filsafat, yaitu sarjana yang mem-berikan kuliah dalam mata kuliah filsafat atau
salah satu cabangnya di perguruan tinggi.
·
Pemikir
filsafat, yaitu seorang pemikir da-lam bidang filsafat, dan itulah yang
sebenarnya disebut filosof. Filosof ialah seorang yang senantiasa memahami
persoalan-persoalan filsafat dan terus menerus melakukan pemikiran terhadap
jawaban-jawaban dari persoalan-persoalan itu dari waktu ke waktu dan
diungkapkan dalam bentuk lisan maupun tulisan.[18]
Itulah di antara definisi yang
dikemukakan oleh filosof. Perbedaan itu definisi itu menimbulkan kesan bahwa
perbedaan itu disebabkan oleh berbagai faktor, seperti latar belakang sosial, politik, ekonomi dan sebagainya. Jika disadari,
perbedaan pendapat itu adalah wajar karena perkembangan ilmu pengetahuan
menimbulkan berbagai spesialisasi ilmu yang sesungguhnya terpecah dari filsafat
pada umumnya dan selanjutnya muncullah filsafat khsus, seperti filsafat
politik, filsafat akhlak, filsafat agama dan sebagainya.
Dengan demikian diketahui betapa
luasnya lapangan filsafat. Tetapi walaupun telah terjadi berbagai pemikiran
dalam filsafat yang berbentuk umum menjadi berbagai bidang filsafat tertentu,
ternyata ciri khas filsafat itu tidak hilang, yaitu pembahasan bersikap
radikal, sistematis, universal dan bebas. Dengan demikian dalam pembahasan ini
semua prinsip itu memang diperlukan dalam mengkaji berbagai hal tentang agama
sehingga hasil itu disebut filsafat agama.
Ada beberapa ciri-ciri
utama agar pemikiran itu dapat dikatakan berfilsafat, antara lain :
·
Universal
Pemikiran
yang luas dan menyeluruh, tidak ada aspek tertentu saja.
·
Radikal
Pemikiran
yang mendalam dan mendasar hingga sampai kepada hasil yang fundamental dan
esensial.
·
Sistematis
Suatu
uraian yang terperinci tentang sesuatu, menjelaskan mengapa sesuatu terjadi.
·
Kritis
Mempertanyakan
segala sesuatu termasuk hasil filsafat, tidak menerima begitu saja apa yang
dilihat sepintas, yang dikatakan dan dilakukan masyarakat.
·
Analisis
Mengulas
dan mengkaji secara rinci dan menyeluruh tentang sesuatu.
·
Evaluatif
Upaya
sungguh-sungguh dalam menilai dan menyikapi segala persoalan yang dihadapinya.
·
Spekulatif
Upaya
akal budi manusia yang bersifat perekaan, penjelajahan dan pengandaian, tidak
membatasi hanya pada rekaman indera dan pengamatan ilmiah.[19]
B. Pengertian Agama
Kata “agama” berasal dari bahasa Sanskreta “a” yang
berarti tidak dan “gam” yang berarti pergi, tetap di tempat, diwarisi turun
temurun dalam kehidupan manusia.[20]
Ter-nyata agama memang mempunyai sifat seperti itu. Agama, selain bagi
orang-orang tertentu, selalu menjadi pola hidup manusia. Dick Hartoko menyebut
agama itu dengan religi, yaitu ilmu yang meneliti hubungan antara manusia
dengan “Yang Kudus” dan hubungan itu direalisasikan dalam ibadat-ibadat. Kata
religi berasal dari bahasa Latin rele dan gere yang berarti mengumpulkan,
membaca. Agama memang merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan dan
semua cara itu terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Di sisi lain kata
religi berasal dari religare yang berarti mengikat. Ajaran-ajaan agama memang
mem-punyai sifat mengikat bagi manusia.[21]
Seorang yang beragama tetap terikat dengan hukum-hukum dan aturan-aturan yang
ditetapkan oleh agama.
Sidi Gazalba mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata
relegere asal kata religi mengandung
makna berhati-hati. Sikap berhati-hati ini disebabkan dalam religi terdapat
norma-norma dan aturan yang ketat. Dalam religi ini orang Roma mempunyai
anggapan bahwa manusia harus hati-hati terhadap Yang kudus dan Yang suci tetapi
juga sekalian tabu.[22]
Yang kudus dipercayai mempunyai sifat
baik dan sekaligus mempunyai sifat jahat.
Religi juga merupakan kecenderungan asli rohani manusia
yang berhubungan dengan alam semseta, nilai yang meliputi segalanya, makna yang
terakhir hakikat dari semua itu. Religi mencari makna dan nilai yang
berbeda-beda sama sekali dari segala sesuatu yang dikenal. Karena itulah religi
tidak berhubungan dengan yang kudus. Yang kudus itu belum tentu Tuhan atau
dewa-dewa. Dengan demikian banyak sekali kepercayaan yang biasanya disebut
religi, pada hal sebenarnya belum pantas disebut religi karena hubungan antara
manusia dan yang kudus itu belum jelas. Religi-religi yang bersahaja dan
Budhisma dalam bentuk awalnya misalnya menganggap Yang kudus itu bukan Tuhan
atau dewa-dewa. Dalam religi betapa pun bentuk dan sifatnya selalu ada
penghayatan yang berhubungan dengan Yang Kudus.[23]
Manusia mengakui adanya ketergantungan kepada Yang Mutlak
atau Yang Kudus yang dihayati sebagai kontrol bagi manusia. Untuk mendapatkan
pertolongan dari Yang Mutlak itu manusia
secara bersama-sama men-jalankan ajaran tertentu. Jadi religi adalah hubungan
antara manusia dengan Yang Kudus. Dalam hal ini yang kudus itu terdiri atas
ber-bagai kemungkinan, yaitu bisa berbentuk benda, tenaga, dan bisa pula berbentuk
pribadi manusia. Selain itu dalam al-Quran
terdapat kata din yang
menunjukkan pengertian agama. Kata din dengan akar katanya dal, ya dan nun
diungkapkan dalam dua bentuk yaitu din dan dain. Al-Quran menyebut kata din ada
me-unjukkan arti agama dan ada menunjukkan hari kiamat, sedangkan kata dain
diartikan dengan utang.
Dalam tiga makna tersebut terdapat dua sisi yang
berlainan dalam tingkatan, martabat atau kedudukan. Yang pertama mempunyai
kedudukan, lebih tinggi, ditakuti dan disegani oleh yang kedua. Dalam agama,
Tuhan adalah pihak pertama yang mempunyai kekuasaan, kekuatan yang lebih
tinggi, ditakuti, juga diharapkan untuk memberikan bantuan dan bagi manusia.
Kata din dengan arti hari kiamat juga
milik Tuhan dan manusia tunduk kepada ketentuan Tuhan. Manusia merasa takut
terhadap hari kiamat sebagai milik Tuhan karena
pada waktu itu dijanji-kan azab yang pedih bagi orang yang berdosa.
Adapun orang beriman merasa segan dan juga menaruh
harapan mendapat rahmat dan ampunan Allah pada hari kiamat itu. Kata dain yang
berarti utang juga terdapat pihak pertama sebagai yang berpiutang yang jelas
lebih kaya dan yang kedua sebagai yang berutang, bertaraf rendah, dan merasa
segan terhadap yang berpiutang.[24]
Dalam diri orang yang berutang pada dasarnya terdapat
harapan supaya utangnya dimaafkan dengan arti tidak perlu dibayar, walaupun
harapan itu jarang sekali terjadi. Dalam Islam manusia berutang kepada Tuhan
berupa kewajiban melaksanakan ajaran agama. Dalam bahasa Sempit istilah di atas berarti
undang-undang atau hukum. Kata itu juga berarti menundukkan, patuh, utang,
balasan, kebiasaan. Dan semua itu memang terdapat dalam agama. Di balik semua
aktifitas dalam agama itu terdapat balasan yang akan diterimanya nanti. Balasan
itu diperoleh setelah manusia berada di akhirat.
Semua ungkapan di atas menunjuk kepada pengertian agama
secara etimologi. Namun banyak pula di
antara pemikir yang mencoba memberikan definisi agama. Dengan demikian agama
juga diberi definisi oleh berbagai pemikir dalam bentuk yang berbagai macam.
Dengan kata lain agama itu mempunyai berbagai pengertian. Dengan istilah yang
sangat umum ada orang yang mengatakan
bahwa agama adalah peraturan tentang cara hidup di dunia ini.[25]
Sidi Gazalba memberikan definisi bahwa agama ialah
kepercayaan kepada Yang Kudus, menyatakan diri berhubungan dengan Dia dalam
bentuk ritual, kultus dan permohonan dan membentuk sikap hidup berdasarkan
doktrin tertentu.[26]
Karena dalam definisi yang dikemuka-kan di atas terlihat kepercayaan yang
diungkapkan dalam agama itu masih bersifat umum, Gazalba mengemukakan definisi
agama Islam, yaitu: kepercayaan kepada Allah yang direalisasikan dalam bentuk
peribadatan, sehingga membentuk taqwa berdasarkan al-Quran dan Sunnah.
Selanjutnya dijelaskan bahwa agama itu dapat
dike-lompokkan menjadi dua bentuk, yaitu agama yang mene-kankan kepada iman dan
kepercayaan dan yang ke dua menekankan kepada aturan tentang cara hidup. Namun
demikian kombinasi antara keduanya akan menjadi defi-nisi agama yang lebih
memadai, yaitu sistem keperca-yaan dan praktek yang sesuai dengan kepercayaan
tersebut, atau cara hidup lahir dan batin.[27]
Bila dilihat dengan seksama istilah-istilah itu bermuara
kepada satu fokus yang disebut ikatan. Dalam agama terkandung ikatan-ikatan
yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh setiap manusia, dan ikatan itu
mem-punyai pengaruh yang besar dalam kehidupan sehari-hari. Ikatan itu bukan
muncul dari sesuatu yang umum, tetapi berasal dari kekuatan yang lebih tinggi
dari manusia.
Harun
Nasution mengemukakan delapan definisi untuk
agama, yaitu :
·
Pengakuan
terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib
yang harus dipatuhi.
·
Pengakuan
terhadap adanya kekuatan gaib yang me-nguasai manusia.
·
Mengikatkan
diri kepada suatu bentuk hidup yang me-ngandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia
dan yang mempengaruhi
perbu-atan-perbuatan manusia.
·
Kepercayaan
kepada sesuatu ikatan gaib yang menim-bulkan cara hidup tertentu.
·
Suatu
sistem tingkah laku yang berasal dari kekuatan gaib.
·
Pengakuan
terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini berasal dari suatu kekuatan
gaib.
·
Pemujaan
terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut
terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
·
Ajaran-ajaran
yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.
Dari delapan difinisi di atas dapat diklasifikasikan
bahwa terdapat empat hal penting dalam setiap agama, yaitu :
Ø Kekuatan gaib, manusia merasa dirinya
lemah dan berhajat pada kekuatan gaib itu sebagai tempat minta tolong. Oleh
sebab itu, manusia merasa harus mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib
tersebut. Hubungan baik itu dapat diwujudkan dengan mematuhi perintah dan
larangan kekuatan gaib itu.
Ø Keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya
di dunia ini dan hidup akhirat tergantung pada adanya hu-bungan baik dengan
kekuatan gaib itu. Dengan hilangnya hubungan baik itu, kesejahteraan dan
kebahagiaan, yang dicari akan hilang pula.
Ø Respon yang bersifat emosionil dari
manusia. Res-pon itu bisa berupa rasa takut seperti yang terdapat dalam
agama-agama primitif, atau perasaan cinta seperti yang terdapat dalam
agama-agama monoteisme. Selanjutnya respon mengambil bentuk penyembahan yang
terdapat di dalam agama primitif, atau pemujkaan yang terdapat dalam agama
menoteisme. Lebih lanjut lagi respon itu mengambil bentuk cara hidup tertentu
bagi masyarakat yang bersangkutan.
Ø Paham adanya yang kudus (sacred) dan
suci dalam bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk kitab yang mengandung
ajaran-ajaran agama itu dan dalam bentuk tempat-tempat tertentu.[28]
C. Agama Sebagai Objek Filsafat
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa agama dan
filsafat adalah dua pokok persoalan yang berbeda. Agama banyak berbicara
tentang hubungan antara manusia dengan Yang Maha Kuasa. Dalam agama samawi
(Yahudi, Nas-rani dan Islam), Yang Kuasa itu disebut Tuhan atau Allah,
sedangkan dalam agama ardi Yang Kuasa itu mempunyai sebutan yang
bermacam-macam, antara lain Brahma, Wisnu dan Siwa dalam agama Hindu, dan
sebagainya. Semua itu merupakan bagian dari ajaran agama dan setiap ajaran agama itulah yang menjadi objek pembahasan filsafat agama. Filsafat
seperti yang dikemukakan bertujuan menemukan kebenaran. Jika kebenaran yang
sebenarnya itu mempunyai ciri sistematis, jadilah ia kebenaran filsafat.
Kata objek dalam bahasa Indonesia sering diartikan dengan
sasaran atau sesuatu yang menjadi pelengkap dari suatu aktivitas. Apa saja yang
menjadi sasaran dalam suatu aktivitas berarti hal itu menjadi objek dari
aktivitas tersebut. Jika seorang peneliti
melakukan penelitian tentang pola hidup masyarakat nelayan di A
maka semua pola hidup dan tingkah laku
masyarakat nelayan tersebut adalah
menjadi objek penelitian. Dengan kata lain setiap nelayan yang ada di lokasi
penelitian yang dilakukan itu jelas menjadi objek dari penelitian
tersebut.
Isi filsafat itu ditentukan oleh objek apa yang dipikirkan.
Karena filsafat mempunyai pengertian yang berbeda sesuai dengan pandangan orang
yang meninjaunya, akan besar kemungkinan objek dan lapangan pembicaraan filsafat
itu akan berbeda pula. Objek yang dipikirkan filosof adalah segala yang ada dan
yang mungkin ada, baik ada dalam kenyataan, maupun yang ada dalam fikiran dan
bisa pula yang ada itu dalam kemungkinan.[29]
Aristoteles mengemukakan bahwa objek filsafat adalah
fisika, metafisika, etika, politik, biologi, bahasa.[30]
Al-Kindi mengemukakan bahwa objek filsafat itu adalah fisika, matematika dan
ilmu ketuhanan. Menurut al-Farabi, objek filsafat adalah semua yang maujud.Selain
yang dikemukakan oleh para filosof di atas, menambahkan bahwa kepercayaan itu
termasuk objek pembicaraan filsafat.
Semua sasaran pembahasan di atas merupakan materi
pembahasan filsafat. Agama adalah salah satu materi yang menjadi sasaran pembahasan
filsafat. Dengan demikian, agama menjadi objek materia filsafat. Ilmu pengetahuan
juga mempunyai objek materia yaitu materi yang empiris, tetapi objek materia
filsafat adalah bagian yang abstraknya. Dalam agama terdapat dua aspek yang
berbeda yaitu aspek pisik dan aspek metafisik. Aspek metafisik adalah hal-hal
yang berkaitan dengan yang gaib, seperti Tuhan, sifat-sifat-Nya, dan hubungan
manusia dengan-Nya, sedangkan aspek pisik adalah manusia sebagai pribadi,
maupun sebagai anggota masyarakat.
Kedua aspek ini (pisik dan metafisik) menjadi objek
materia filsafat. Namun demikian objek filsafat agama banyak ditujukan kepada
aspek metafisik daripada aspek pisik. Aspek pisik itu sebenarnya sudah menjadi
pem-bahasan ilmu seperti ilmu sosiologi, psikologi, ilmu biologi dan
sebagainya. Ilmu dalam hal ini sudah memi-sahkan diri dari filsafat.
Dengan demikian, agama ternyata termasuk objek materia
filsafat yang tidak dapat diteliti oleh sain. Objek materia filsafat jelas lebih
luas dari objek materi sain.[31]
Perbedaan itu sebenarnya disebabkan oleh sifat penyelidik-an. Penyelidikan
filsafat yang dimaksud di sini adalah penyelidikan yang mendalam, atau
keingintahuan filsafat adalah bagian yang terdalam. Yang menjadi penyelidikan
filsafat agama adalah aspek yang terdalam dari agama itu sendiri.
Selain objek materia itu terdapat pula objek formal
filsafat yaitu cara pandang yang menyeluruh, radikal dan objektif tentang yang
ada untuk mengetahui hakikatnya. Dengan demikian, agama sebagai objek forma
filsafat adalah cara pandang yang radikal tentang agama dan berbagai persoalan
yang terdapat dalam agama itu. Dengan kata lain objek formal filsafat adalah
pembahasan yang mendalam dan mendasar dari setiap hal yang menjadi ajaran dari
seluruh agama di dunia ini. Seperti diungkapkan di atas bahwa pembahasan
terpenting dalam setiap agama adalah ajaran tentang Tuhan. Pembahasan ini tidak
hanya melihat argumentasi yang memperkuat keya-kinan tentang Tuhan, tetapi juga
argumen yang membantah, melemahkan
bahkan menolak wujud Tuhan itu. Hal inilah yang akan dibahas dalam
filsafat agama.
Karena begitu mendalamnya pembahasan tentang Tuhan
terdapat dua kemungkinan yang akan terjadi. Dengan mempelajari agama bisa
seseorang berubah keyakinan. Ada orang yang membahas persoalan kepercayaan
dalam agama itu menambah keyakinannya terhadap Tuhan. Ada orang yang membahas
persoalan kepercayaan tentang Tuhan, tetapi karena ia tidak mendapatkan kepua-an
dalam penemuannya sehingga orang itu berpaling dari keyakinannya semula. Jika
seorang pada mulanya percaya kepada Tuhan, tetapi setelah membahas eksistensi
Tuhan ia bisa menjadi tidak percaya kepada Tuhan. Nietzsche, seorang keturunan
yang taat beragama adalah salah satu contoh dari persoalan ini.[32]
Sebaliknya, seorang yang ateis, yang kemungkinan dalam hidupnya mengalami
kekosongan dan kegersangan jiwa setelah berfikir tentang pengalaman orang yang
beragama bisa pula menjadi penganut agama yang kuat.
Tidaklah terlalu asing orang mengatakan bahwa pembahasan
filsafat agama tidak menambah keyakinan atau tidak meningkatkan ketakwaan
kepada Tuhan. Ini bisa berarti bahwa pembahasan agama secara filosofis tidak
perlu dan usaha itu adalah sia-sia. Tetapi perlu diingat bahwa pembahasan
filsafat agama bertujuan untuk menggali kebenaran ajaran-ajaran agama tertentu
atau paling tidak untuk mengemukakan bahwa hal-hal yang diajarkan dalam agama
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip logika.[33]
Sebenarnya objek filsafat agama tersebut tidak hanya
persoalan-persoalan ketuhanan semata, tetapi juga sampai kepada
persoalan-persoalan eskatologis. Persoalan eskato-logis pada umumnya berbicara
tentang hari kiamat dan hal-hal yang akan dialami manusia pada waktu itu,
seperti persoalan keadilan Tuhan, penerimaan pahala dan siksa. Pentingnya
persoalan eskatologis sebagai objek pemba-hasan
filsafat agama karena eskatologislah yang mendorong orang bersemangat orang untuk menjalankan
ajaran agamanya. Tanpa ada tanggung jawab terhadap amal perbuatannya keberadaan
agama menjadi kurang menarik. Hidup sesudah mati inilah yang membuat pemeluknya
menjadi tertarik kepada kepada agama.
Filsafat agama sebenarnya bukanlah langkah untuk
menyelesaikan persoalan agama secara tuntas. Pemba-hasan filsafat agama hanya
bertujuan untuk mengungkap-kan argumen-argumen yang mereka kemukakan dan
memberikan penilaian terhadap argumen tersebut dari segi logisnya. Pernyataan
ini menunjukkan bahwa objek filsafat bukanlah hal-hal yang empiris, bukan
seperti penyelidikan sain yang keingingtahuannya hanya pada batas yang dapat
diteliti secara empiris. Dalam istilah lain, batas penelitian dalam ilmu
pengetahuan adalah pada daerah yang dapat diriset, sedangkan objek filsafat
adalah hal-hal yang dapat dipikirkan secara logis. Sain meneliti dengan riset,
sedang-kan filsafat meneliti dangan memikirkannya.[34]
D. Perbadingan Agama dan Filsafat
Dari uraian di atas diketahui bahwa antara agama dan
filsafat itu terdapat perbedaan. Perbedaan antara filsafat dan agama bukan
terletak pada bidangnya, tetapi terletak pada cara menyelidiki bidang itu
sendiri. Filsafat adalah berfikir, sedangkan agama adalah mengabdikan diri,
agama banyak hubungan dengan hati, sedangkan filsafat banyak hubungan dengan
pemikiran. Menurut Prof. Nasroen, S.H, ia mengemukakan bahwa filsafat yang
sejati haruslah berdasarkan kepada agama. Malahan filsafat yang sejati itu
terkandung dalam agama. Apabila filsafat tidak berdasarkan kepada agama dan
filsafat hanya semata-mata berdasarkan akal dan pemikiran saja, maka filsafat
tidak akan memuat kebenaran obyektif , karena yang memberikan pandangan dan
keputusan hanyalah akal pikiran. Sedangkan kesanggupan akal pikiran
ituterbatas, sehingga filsafat yang hanya berdasarkan kepada akal pikiran
semata tidak akan sanggup memberikan kepuasan bagi manusia, terutama dalam
tingkat pemahamannya terhadap yang gaib.[35]
Williem Temple, seperti yang dikutip Rasyidi, mengatakan bahwa filsafat
menuntut pengetahuan untuk memahami, sedangkan agama menuntut pengetahuan untuk
beribadah atau mengabdi. Pokok agama bukan pengetahuan tentang Tuhan, tetapi
yang penting adalah hubungan manusia dengan Tuhan.
Agama dan filsafat memainkan peran yang mendasar dan
fundamental dalam sejarah dan kehidupan manusia. Orang-orang yang mengetahui
secara mendalam tentang sejarah agama dan filsafat niscaya memahami secara
benar bahwa pembahasan ini sama sekali tidak membicarakan pertentangan antara
keduanya dan juga tidak seorang pun mengingkari peran sentral keduanya.
Sebenarnya yang menjadi tema dan inti perbedaan pandangan dan terus menyibukkan
para pemikir tentangnya sepanjang abad adalah bentuk hubungan keharmonisan dan
kesesuaian dua mainstream disiplin ini. Filasafat adalah sistem kebenaran
tentang agama sebagai hasil dari berfikir secara radikal, sistematis dan
universal. Dasar-dasar agama yang dipersoalkan dipikirkan menurut logika (teratur
dan disiplin) dan bebas.[36]
Di sisi lain Harun Nasution membandingkan pembahasan
filsafat agama dengan pembahasan teologi, karena setiap persoalan tersebut juga
menjadi pembahasan tersendiri dalam teologi. Jika dalam filsafat agama
pembahasan ditujukan kepada dasar setiap agama, pembahasan teologi ditujukan
pada dasar-dasar agama tertentu.[37]
Dengan demikian terdapatlah teologi Islam, teologi Kristen, teologi Yahudi dan
sebagainya. Dengan demikian, seorang ahli agama bisa menyelidiki ajaran
agamanya sendiri, demikian juga agama lain, tetapi dia harus menyadari
posisinya pada waktu meneliti agama untuk menghindari banyaknya unsur subjektif
yang sering muncul dalam pekiran ahli agama itu.
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
Dari keterangan-keterangan di atas, penyusun dapat
simpulkan :
1. Filsafat adalah sikap berfikir yang
melibatkan usaha untuk memikirkan masalah hidup dan alam semesta dari semua
sisi yang meliputi kesiapan menerima hidup dalam alam semesta sebagaimana
adanya dan mencoba melihat dalam keseluruhan hubungan. Sikap filosofik dapat
ditandai misalnya dengan sikap kritis, berfikir terbuka, toleran dan mau
melihat dari sisi lain.
2. Agama adalah kumpulan cara-cara mengabdi
kepada Tuhan, agama juga diartikan dengan mengikat. Ajaran-ajaan agama memang
mempunyai sifat mengikat bagi manusia pemeluknya.
3. Filsafat dan agama ternyata mempunyai
beberapa hubungan yang tidak dapat dipisahkan, dikarnakan objek materia
filsafat yang tidak dapat diteliti oleh sain. Objek materia filsafat jelas lebih
luas dari objek materi sain.[38]
Perbedaan itu sebenarnya disebabkan oleh sifat penyelidikan. Penyelidikan
filsafat yang dimaksud di sini adalah penyelidikan yang mendalam, atau
keingintahuan filsafat adalah bagian yang terdalam. Yang menjadi penyelidikan
filsafat agama adalah aspek yang terdalam dari agama itu sendiri.
4. Filsafat dan agama juga mempunyai
beberapa perbedaan, diantaranya di dalam filsafat untuk mendapatkan kebenaran
yang hakiki, manusia harus mencarinya sendiri dengan mempergunakan alat yang
dimilikinya berupa segala potensi lahir dan batin. Sedangkan dalam agama, untuk
mendapatkan kebenaran yang hakiki manusia tidak hanya mencarinya sendiri,
melainkan harus menerima hal-hal yang diwahyukan Tuhan, dengan kata lain
percaya atau iman.
B. Saran
Dari pembahasan yang penulis susun, mungkin di dalam
makalah ini ada terdapat kesalahan, karena tidak ada suatu hal pun yang
sempurna, selain Allah. Maka oleh sebab itu penyusun meminta maaf dan memohon
kririk dan sarannya yang bersifat membangun, karena sanagt berguna bagi penyusun
untuk perbaikan makalah-makalah selanjutnya. Terimakasih
DAFTAR
PUSTAKA
1. Drs. Usiono, M.A, Pengantar Filsafat
Pendidikan, Jakarta : Hijri Pustaka Utama, 2006.
2. Siddi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jakarta
: Bulan Bintang, 1992.
3. Drs. H. Ahmad Syadali, M.A, & Drs.
Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung : Pustaka Setia, 1999.
4. Prof. Dr. Juhaya S. Praja, Aliran-aliran
Filsafat dan Etika, Jakarta : Prenada Media, 2003.
5. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan
Hati sejak Thales sampai James, Bandung : Rosdakarya, 1994.
6. H.A. Dardiri, Humaniora, Filsafat dan
Logika, Jakarta : Rajawali Press, 1986.
7. Dr. Nur Ahmad fadhil Lubis, MA, Pengantar
Filsafat Umum, Medan : IAIN Press, 2001.
8. Harun Hadiwijono, Sari-Seri Sejarah
Filsafat Barat I, Yogyakarta: Kanisius, 1991.
9. Harun Nasution, Filsafat Agama,
Jakarta : Bulan Bintang, 1983.
10. Hamzah Ya`qub, Filsafat Agama, Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1991.
11. Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu,
Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar Harapan, 1995.
12. Soejono Soemargono, Pengantar
Filsafat, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1992.
13. Harun Nasution,Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya, Jakarta:
Universitas Indonesia Press, 1979.
14. Harry Hammersma, Tokoh-Tokoh Filsafat
Barat Moderen, Jakarta : Gramedia, 1990.
[1] Drs. Usiono, M.A, Pengantar Filsafat Pendidikan, Jakarta :
Hijri Pustaka Utama, 2006. Hal 65
[2] Siddi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang,
1992. Hal 71-72
[3] Drs. H. Ahmad Syadali, M.A, & Drs. Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung
: Pustaka Setia, 1999. Hal 37
[4] Dikutip dari www.wisdoms4all.com/Indonesia
[5] Prof. Dr. Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Jakarta
: Prenada Media, 2003. Hal 15
[6] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai
James, Bandung : Rosdakarya, 1994. Hal 8
[7] H.A. Dardiri, Humaniora, Filsafat dan Logika, Jakarta :
Rajawali Press, 1986. Hal 9. Lihat juga Dr. Nur Ahmad fadhil Lubis, MA, Pengantar
Filsafat Umum, Medan : IAIN Press, 2001. Hal 7
[8] Ibid, hal 9-10
[9] Harun Hadiwijono, Sari-Seri Sejarah Filsafat Barat I,
Yogyakarta: Kanisius, 1991. Hal 7
[10] Harun Nasution, Filsafat Agama, Jakarta : Bulan Bintang, 1983.
Hal 9
[11] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang,
1992. Hal 16-18
[12] Hamzah Ya`qub, Filsafat Agama,
Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1991. Hal
3
[13] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai
James, Bandung : Rosdakarya, 1994. Hal 9
[14] Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer,
Jakarta : Sinar Harapan, 1995. Hal 25
[15] H.A. Dardiri, Humaniora, Filsafat dan Logika, Jakarta :
Rajawali Press, 1986. Hal 10-11
[16] Soejono Soemargono, Pengantar Filsafat, Yogyakarta : Tiara
Wacana, 1992. Hal 67
[17] Ibid, hal 68
[18] H.A. Dardiri, Humaniora, Filsafat dan Logika, Jakarta :
Rajawali Press, 1986. Hal 12
[19] Dr. Nur Ahmad fadhil Lubis, MA, Pengantar Filsafat Umum, Medan
: IAIN Press, 2001. Hal 12-13
[20] Harun Nasution,Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1979.
Hal 9
[21] Ibid, hal 10
[22] Sidi Gazalba, Ilmu Filsafat
dan Islam tentang Manusia dan Agama, Jakarta : Bulan Bintang, 1978. Hal 100
[23] Ibid, hal 101
[24]http://sites.google.com/site/afrizalmansur/filsafat-agama
[25] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai
James, Bandung : Rosdakarya, 1994. Hal 7
[26] Sidi Gazalba, Ilmu Filsafat
dan Islam tentang Manusia dan Agama, Jakarta : Bulan Bintang, 1978. Hal 103
[27] Ibid, hal 103
[28] Harun Nasution,Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1979.
Hal 11
[29] H.A. Dardiri, Humaniora, Filsafat dan Logika, Jakarta :
Rajawali Press, 1986. Hal 13
[30] Ibid, hal 65
[31] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai
James, Bandung : Rosdakarya, 1994. Hal 19
[32] Harry Hammersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Moderen, Jakarta :
Gramedia, 1990. Hal 79-81
[33] Harun Nasution, Filsafat Agama, Jakarta:Bulan Bintang, 1983.
Hal 10
[34] http://sites.google.com/site/afrizalmansur/filsafat-agama
[35] Drs. H. Ahmad Syadali, M.A, & Drs. Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung
: Pustaka Setia, 1999. Hal 37-38
[36] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang,
1992. Hal
[37] Harun Nasution, Filsafat Agama, Jakarta:Bulan Bintang, 1983.
Hal 10
[38] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai
James, Bandung : Rosdakarya, 1994. Hal 19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar