BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Belajar merupakan aktifitas khusus
yang dilakukan manusia dalam rangka mengoptimalkan fungsi akal. Dengan
optimalnya fungsi akal, maka sedikit demi sedikit perilaku dan pola pikir
seseorang akan mengarah pada hal yang lebih baik. Perubahan inilah yang
menyebabkan belajar menjadi sangat urgen dalam proses memajukan peradaban suatu
bangsa. Karena pentingnya fungsi belajar, maka banyak sekali teori belajar dan
pembelajaran yang dirumuskan oleh para ilmuan. Khususnya dalam dunia Islam,
para tokohnya banyak yang memiliki teori-teori yang baik untuk diterapkan.
Penerapan teori-teori ini sangat membantu tercapainya kesempurnaan dalam proses
belajar dan pembelajaran.
Diantara
para tokoh Islam yang banyak memberikan kontribusi pemikiran dalam bidang
pendidikan adalah Al-Ghozali. Beliau memiliki perhatian yang sangat besar
terhadap penyebaran ilmu dan pengajaran. Hal ini karena, menurut beliau ilmu
dan pengajaran merupakan sarana bagi penyebaran sifat-sifat yang utama,
memperhalus jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Teori-teori Al-Ghozali
tentang pendidikan sangat komperehensif. Yaitu meliputi cara-cara memperoleh
ilmu, tentang kurikulum, pengajaran dan murid. Ciri khas dari pemikirannya
tentang pendidikan adalah, penekanan terhadap tujuan pendidikan itu sendiri.
Al-Ghazali menjadikan Agama Islam dan Tasawuf sebagai pondasi dari segala
pemikiran-pemikirannya.
1.2 Rumusan Masalah
Agar pembahasan kita di dalam
makalah ini tidak lari dari sub judul, ada baiknya penyusun merumuskan
masalah-masalah yang akan dibahas, antara lain :
ü Biografi singkat al-Ghazali
ü Karya intelektual al-Ghazali
ü Pemikirannya tentang pendidikan
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Biografi Singkat Imam al-Ghazali
Al-Ghazali
adalah ahli pikir ulung yang riwayat hidup dan pendapat-pendapatnya telah
banyak diungkap dan di kaji oleh para pengarang baik dalam bahasa Arab,
Inggris, maupun bahasa dunia lainnya termasuk bahasa Indonesia. Hal itu sudah
selayaknya bagi para pemikir generasi sesudahnya, karena dengan mengkaji hasil
pemikiran orang-oarang terdahululahdapat ditemukan dan dikembangkan
pemikiran-pemikiran baru.
Nama
lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali
Ath-Thusi An-Naysaburi.[1] Ia
dilahirkan di Thus, sebuah Kota di Khurasan Persia pada tahun 450 H atau 1058
M. di dalam dirinya terkumpul keahlian sebagai seorang filosof, sufi, dan
pendidik. Al-Ghazali menyusun beberapa buku tebal untuk menghidupkan kembali
ilmu-ilmu agama. Al-Ghazali adalah anak seorang sufi yang wara’ yang bekerja
sebagai pemintal wol dan hasilnya dijual sendiri di tokohnya di Thus.[2]
Pada
masa kecilnya, Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqih di negerinya sendiri pada
syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Razikani. Kemudian beliau pergi ke daerah Jurjan
dan belajar pada Imam Abi Nasar Al Ismaili. Setelah mempelajari beberapa ilmu
di negeri tersebut, Al-Ghozali kemudian berangkat ke Naisaburi dan belajar pada
Imam Haramain. Di sanalah mulai terlihat tanda-tanda ketajaman otaknya yang
luar biasa. Beliau dapat menguasai ilmu pengetahuan pokok pada masa itu,
seperti ilmu Mantik, Falsafah dan Fiqih Madzhab Syafi'i. Imam Haramain amat
berbesar hati memiliki murid seperti Al-Ghozali. Sehingga pada suatu saat
beliau berkata: "Al-Ghozali adalah lautan yang tak bertepi….".[3]
serta memberikan predikat sebagai orang yang memiliki ilmu sangat luas bagaikan
“ laut dalam nan menenggelamkan”.[4]
Disinilah imam al-Ghazali memulai karirnya sebagai penulis dan disini pulalah
ia belajar teori dan praktik sufisme kepada Abu ‘Ali al Fadhl ibn Muhammad ibn
‘Ali al-Farmadhi.[5]
Keikutsertaan
Al-Ghazali dalam suatu diskusi bersama sekelompok ulama dan intelektual di
hadapan Nidzam Al-Mulk membawa keuntungan besar baginya. Nidzam Al-Mulk
berjanji akan mengangkat Al-Ghazali sebagai guru besar di Universitas yang
didirikannya di Baghdad pada tahun 484 atau 1091 M. Setelah empat tahun di
universitas tersebut, ia memutuskan untuk berhenti mengajar dan meninggalkan
Baghdad. Setelah itu ia pergi ke Syam, hidup dalam Jami Umawi dengan kehidupan
total dipenuhi ibadah, dilanjutkan ke padang pasir untuk meninggalkan kemewahan
hidup dan mendalami agama.
Dari
sana, ia kembali ke Baghdad untuk kembali mengajar. Selain mengajar, ia juga
rajin menulis buku atau kitab. Kitab pertama yang dikarangnya adalah ”Al-Munqidz
min al-Dhalal”. Setelah sepuluh tahun di Baghdad, ia pergi ke Naysaburi dan
sibuk mengajar di sana. Dalam waktu yang tidak lama setelah itu beliau meninggal
di Thus kota kelahiranya pada hari Senin tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H. atau
1111 M.[6]
2.2 Karya
intelektual Imam al-Ghazali
Banyak
karya intelektual yang ditulis oleh imam al-Ghazali. Karya-karya tersebut
merupakan bukti konkrit akan kecerdasan dan keluasan ilmu yang dimiliki imam
al-Ghazali. Menurut Daudi yang dikutip oleh al-Rasyidin, karya intelektual
al-Ghazali tersebut meliputi falsafah, metafisika, fisika, manusia, teori
akhlak, dan teori ma’rifah.[7] Al-Ghazali
banyak mengarang buku dalam berbagai disiplin ilmu. Karangan-karangannya
meliputi Fikih, Ushul Fikih, Ilmu Kalam, Teologi Kaum Salaf, bantahan terhadap
kaum Batiniah, Ilmu Debat, Filsafat dan khususnya yang menjelaskan tentang
maksud filsafat serta bantahan terhadap kaum filosof, logika, tasawuf, akhlak
dan psikologi.
Kitab terbesar
karya Al-Ghazali yaitu Ihya ‘Ulumuddin (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama),
karangannya ini beberapa tahun dipelajari secara seksama di antara Syam,
Yerussalem, Hajaz, dan Thus. Karyanya berisi paduan yang indah antara fikih,
tasawuf dan filsafat; bukan saja terkenal di kalangan kaum Muslimin tetapi juga
di kalangan dunia Barat.
Bukunya yang lain yaitu Al-Munqidz
min al-Dhalal (Penyelamat dari Kesesatan) berisikan sejarah perkembangan
alam pikiran dan mencerminkan sikapnya yang terakhir terhadap beberapa macam
ilmu serta jalan untuk mencapai Tuhan. Di antara penulis-penulis modern banyak
yang mengikuti jejak Al-Ghazali dalam menuliskan autobiografinya.[8]
Karya-karya
Al-Ghazali ada yang membaginya seperti di bawah ini:
Ø Di
Bidang filsafat ; Maqasid al-Falasifah, Tafahut al-Falasifah, Al-Ma’rif
al-‘Aqliyah.
Ø Di
Bidang Agama ; Ihya ‘Ulumuddin, Al-Munqidz min al-Dhalal, Minhaj al-Abidin.
Ø Di
Bidang Akhlak Tasawuf ; Mizan al-Amal, Kitab al-Arbain, Mishkat al-anwar,
Al-Adab fi al-Din, Ar-Risalah al-Laduniyah.
Ø Di
Bidang Kenegaraan ; Mustazhiri, Sirr al-Alamin, Nasihat al-Muluk, Suluk
al-Sulthanah.
Selain
karya-karya di atas, sebenarnya masih banyak lagi karya lain, seperti mi’yar
al-‘Ilm, Fatihat al-Kitab, Jawahir al-qur’an, al-Qisthas al-Mustaqim, dan
lain-lain. Karena banyaknya karya intelektual Imam al-Ghazali, ia kemudian
dijuluki sebagai Hujjah al-Islam (bukti kebenaran Islam), Zayn ad-Din
(hiasan agama).[9]
Dan ada juga yang menjuluki beliau dengan Syaikh al Suffiyin dan Imam al-Murabin.[10]
Mereka yang menyanjung setinggi langit memberikan komentar, “Tanpa
kehadirannya, ilmu-ilmu agama, akhlak dan tasauf pada abad belakangan ini telah
lama pudar cahayanya.[11]
2.3 Pemikiran Imam al-Ghazali tentang Pendidikan
Secara
sistematis pemikiran al-Ghazali memiliki corak tersendiri. Ia secara jelas dan
tuntas mengungkapkan pendidikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari beberapa
komponen. Totalitas pandangannya meliputi hakekat tujuan pendidikan, pendidik,
peserta didik, materi, kurikulum, dan metode pendidikan.[12]
Sebenarnya
pemikiran-pemikiran imam al-Ghazali tentang pendidikan dan pembelajaran
setidaknya dapat dilihat dari tiga buku karangannya, yaitu Fatihat al-Kitab,
Ayyuha al-Walad dan Ihya ‘Ulum ad-Din. Al-Ghazali adalah sosok ulama yang
sangat menaruh perhatian besar terhadap proses penyebaran ilmu dan pendidikann.
Ia berpendapat bahwa penyebaran ilmu dan
pendidikan merupakan sarana utama untuk menyiarkan keutamaan, memelihara jiwa,
dan taqarrub kepada Allah.[13]
2.3.1 Tujuan Pendidikan
dan Pembelajaran Menurut Imam al-Ghazali
Tujuan
pendidikan dan pembelajaran serta pembinaan mental menurut Al Ghazali ada dua,
yaitu : kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah,
serta kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Karena itulah beliau ingin mengajarkan manusia agar mereka sampai pada
sasaran-sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud pendidikan.[14]
Dalam redaksi
yang lain disebutkan, bahwa tujuan pendidikan menurut al Ghozali adalah untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan untuk mencari kedududukan dan
kemegahan dunia saja. Karena, jika tujuan pendidikan tidak bermuara kepada
Allah, maka akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian dan permusuhan.[15] Rumusan
tujuan yang demikian ini sesuai dengan Firman Allah tentang tujuan penciptaan
manusia yang berbunyi :
وَمَا
خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ ۞
"Tidakalah Aku
ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”.[16]
Seorang guru
dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan dengan baik, jika ia memahami benar
filsafat yang mendasarinya. Rumusan selanjutnya akan menentukan aspek
kurikulum, metode, dan lainnya. Dari hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali
dapat diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui
pendidikan ada dua, yaitu :
·
Tercapainya
kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah.
·
kesempurnaan insani
yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Karena itu,
beliau bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran yang
merupakan tujuan akhir dan maksud dari pendidikan. Tujuan itu tampak bernuansa
religius dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi. Akan tetapi, di samping
bercorak agamis yang merupakan ciri spesifik pendidikan Islam dengan mengutamakan
pada sisi keruhanian. Kecenderungan tersebut sejalan dengan filsafat Al-Ghazali
yang bercorak tasawuf. Maka tidak salah bila sasaran pendidikan adalah
kesempurnaan insani dunia dan akhirat. Manusia akan sampai pada tingkat ini
hanya dengan menguasai sifat keutamaam melalui jalur ilmu. Keutamaan itu yang
akan membuat bahagia di dunia dan mendekatkan kepada Allah SWT sehingga bahagia
di akhirat kelak. Oleh karena itu, menguasai ilmu bagi beliau termasuk tujuan
pendidikan, mengingat kandungan nilai serta kenikmatan yang diperoleh manusia
darinya.[17]
Tujuan
pendidikan menurut Al-Ghazali harus mengarah kepada realisasi tujuan keagamaan
dan akhlak dengan titik penekanan pada perolehan keutamaan dan takarrub (mendekatkan
diri) kepada Allah[18],
bukan hanya untuk mencapai kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan
duniawi.
Menurut
Al-Rasyidin Imam al-Ghazali mengklasifikasikan tujuan pendidikan dan
pembelajaran kepada tiga orientasi utama, yaitu :
·
tujuan mempelajari ilmu
ppengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu saja, maksudnya jika
seseorang mengadakan penyelidikan terhadap ilmu pengetahuan, maka ia akan
melihat kelezatan padanya. Oleh karena itu ilmu itu dicari karena ilmu
pengetahuan itu sendiri.
·
Tujuan pendidikan dan
pembelajaran adalah untuk membentuk akhlak mulia.
·
Tujuan pendidikan
adalah untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Karena negeri akhirat dan
kebahagiannya erta jalan mendekatkan diri kepada Allah tidak lah dapat dilalui
kecuali dengan ilmu.[19]
2.3.2 Pendangan Imam
al-Ghazali tentang Pendidik
Menurut
al-Ghazali pendidik adalah orang yang berusaha membimbing, meningkatkan,
menyempurnakan, dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan khaliqnya.[20] Oleh karena itu, tampaklah bahwa secara umum
guru bertugas dan bertanggung jawab seperti Rasul, yaitu mengantarkan murid dan
menjadikannya manusia terdidik yang mampu menjalankan tugas-tugas kemanusiaan
dan tugas-tugas ketuhanan. Ia tidak sekedar menyampaikan materi pelajaran,
tetapi juga bertanggung jawab pula memberikan wawasan kepada murid agar menjadi
manusia yang mampu mengkaji keterbelakangan, menggali ilmu pengetahuan dan
menciptakan lingkungna yang menarik dan menyenangkan.[21]
Dalam suatu proses pendidikan
adanya pendidik merupakan suatu keharusan. Pendidik sangat berjasa dan berperan
dalam suatu proses pendidikan dan pembelajaran sehingga Al-Ghazali merumuskan
sifat-sifat yang harus dimiliki pendidik diantaranya guru harus cerdas,
sempurna akal, dan baik akhlaknya; dengan kesempurnaan akal seorang guru dapat
memiliki ilmu pengetahuan secara mendalam dan dengan akhlak yang baik dia dapat
memberi contoh dan teladan bagi muridnya.
Menurut
Al-Ghazali, guru yang dapat diserahi tugas mengajar selain harus cerdas dan
sempurna akalnya juga baik akhlak dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akal
ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dengan akhlaknya
dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya
guru dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan anak-anak
muridnya.[22]
Al-Ghazali
menempatkan pendidik atau guru pada kedudukan yang tinggi. Menurut beliau,
pekerjaan mengajar adalah pekerjaan yang paling muliasekaligus tugas yang
paling agung. Dalam penjelasannya, al-Ghazali mengatakan : “ Wujud yang mulia
di muka bumi ini adalah manusia, dan bagian inti manusia yang termulia adalah
hatinya. Guru bertugas menyempurnakan, menghias, mensucikan, dan mengiringinya
mendekatkan diri kepada Allah swt. Karena itu mengajar adalah bentuk lain
pengabdian manusia kepada Allah swt.[23]
Selain pengertian
dan sifat-sifat umum pendidik kendaknya juga memiliki sifat-sifat khusus dan
tugas-tugas tertentu diantaranya:
·
Sifat kasih sayang.
·
Mengajar dengan ikhlas
dan tidak mengharapkan upah dari muridnya.
·
Menggunakan bahasa yang
halus ketika mengajar.
·
Mengarahkan murid pada
sesuatu yang sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuan siswa.
·
Menghargai pendapat dan
kemampuan orang lain.
·
Mengetahui dan
menghargai perbedaan potensi yang dimiliki murid.
Sejalan dengan
pentingnya pendidikan mencapai tujuan sebagaimana disebutkan diatas, al-Ghazali
juga menjelaskan tentang ciri-ciri pendidik yang boleh melaksanakan pendidikan.
Ciri-ciri tersebut adalah:
·
Guru harus mencintai
muridnya seperti mencintai anak kandungnay sendiri.
·
Guru jangan
mengharapkan materi (upah) sebagai tujuan utama dari mengajar.
·
Guru harus mengingatkan
muridnya agar tujuannya dalam menuntut ilmu bukan untuk kebanggaan diri atau
untuk mencari keuntungan pribadi, tetapi untuk mendekatkan diri kepada Allah.
·
Guru harus mendorong
muridnya agar mencari lmu yang bermanfaat
·
Guru harus mengajarkan
pelajaran yang sesuai dengan intelektual dan daya tangkap anak didiknya.
·
Guru harus dapat
menanamkan keimanan kedalam pribadi anak didiknya, sehingga akal pikiran anak
didik tersebut akan dijiwai oleh
keimanan itu, dan lain-lain.
2.3.3 Peserta Didik
menurut Imam al-Ghazali
Dalam
Islam, menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap Muslim, baik laki-laki
maupun perempuan. Karenanya, menurut imam al-Ghazali, menuntut ilmu adalah
suatu keharusan bagi setiap Muslim. Itu berarti bahwa setiap Muslim pada
dasarnya adalah peserta didik atau penuntut ilmu.[24] Al-Ghazali
amat menekankan tentang pentingnya mutu moral dan etika murid. Ia mengharapkan
kepada para pelajar agar membersihkan dirinya dari perilaku yang rendah dan
perbuatan jahat. Karena pengetahuan adalah merupakan ibadah hati dan bersifat
ilahiyah, dan ilmu itu baru dapat masuk kedalam diri anak yang memiliki hati
yang bersih.
Sejalan dengan prinsip bahwa
menuntut ilmu pengetahuan itu sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah,
maka bagi murid dikehendaki sebagai hal-hal berikut:
·
Memuliakan guru dan
bersifat rendah hati.
·
Merasa satu bangunan
dengan murid lainnya merupakan satu bangunan yang saling menyayangi dan
menolong serta berkasih sayang.
·
Menjauhkan diri dari
mempelajari berbagai madzhab yang dapat menimbulkan kesesatan.
·
Mempelajari tidak hanya
satu jenis yang tidak bermanfaat saja, melainkan mempelajari berbagai ilmu.
Ciri-ciri murid tersebut nampak
juga masih dilihat dari prespektif tasawuf. Ciri-ciri tersebut untuk masa
sekarang tentu masih perlu ditambah dengan ciri-ciri yang lebih membawa kepada
kreatifitas dan kegairahan dalam belajar.[25]
Dalam kaitannya
dengan peserta didik, lebih lanjut Al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka
merupakan hamba Allah yang telah dibekali potensi atau fitrah untuk beriman
kepada-Nya. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah sesuai dengan kejadian
manusia, cocok dengan tabiat dasarnya yang memang cenderung kepada agama Islam.[26]
2.3.4 Kurikulum dan
Materi Pelajaran menurut Imam al-Ghazali
Kurikulum
yang dimaksud adalah kurikulum dalam arti sempit, yaitu seperanngkat ilmu yang
diberikan oleh pendidik kepada peserta didik. Pendapat Al-Ghazali terhadap kurikulum
dapat dilihat dari pandangannya mengenai ilmu pengetahuan yang dibaginya dalam
beberapa sudut pandang. Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga
bagian, yaitu:
Ilmu tercela, yaitu
ilmu yang tidak ada manfaatnya baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu
nujum, sihir, dan ilmu perdukunan. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa
mudharat bagi yang memilikinya maupun orang lain dan akan meragukan keberadaan
Allah SWT.
Ilmu terpuji, misalnya
ilmu tauhid dan ilmu agama. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa orang kepada
jiwa yang suci bersih dari kerendahan dan keburukan serta dapat mendekatkan
diri kepada Allah SWT.
Ilmu terpuji pada taraf tertentu dan tidak
boleh didalami karena dapat mengakibatkan goncangan iman, seperti ilmu
filsafat.
Dari ketiga
kelompok ilmu tersebut, Al-Ghazali membagi lagi menjadi dua bagian yang dilihat
dari kepentingannya, yaitu:
·
Ilmu fardhu (wajib)
yang harus diketahui oleh semua orang Muslim, yaitu ilmu agama.
·
Ilmu fardhu kifayah
yang dipelajari oleh sebagian Muslim untuk memudahkan urusan duniawi, seperti :
ilmu hitung, kedokteran, teknik, ilmu pertanian dan industri.[27]
2.3.5 Metode
Pembelajaran menurut Imam al-Ghazali
Al-Ghazali amat menekankan terhadap pentingnya persiapan bahan pengajaran
oleh guru. Ia juga menekankan bahwa para guru harus mengamalkan ajaran-ajaran
yang dijarkannya. Point lainnya yang berkenaan dengan pentingnya seorang guru
agar menarik perhatian dalam mengembangkan dan mengajarkan pelajaran dengan
cara bekerja sama dengan dengan para siswa yang dengan cara demikian, para guru
telah memberikan fasilitas dan kesempatan kepada para siswa untuk memahami
bahan pelajaran yang diajarakan.
Al-Ghazali selanjutnya mengingatkan
para guru agar menghindari penyajian bahan pelajaran yang rumit dan sulit
terhadap para siswa permulaan, dan meminta para guru agar memulai pelajaran
dari yang paling mudah dan sederhana menuju kemata pelajaran yang sukar dan
kompleks. Al-Ghazali selanjutnya mengingatkan para guru supaya memperhatikan
tingkat daya pikiran anak, menerangkan pelajaran dengan cara yang
sejelas-jelasnya, dan mengajarkan ilmu pengetahuan dengan cara
berangsur-angsur.
Di dalam mengajarkan ilmu
pengetahuan, seorang pendidik harus memberikan tekanan pada usaha bimbingan dan
pembiasaan agar ilmu pengetahuan yang diajarkannya tidak hanya difahami,
dikuasi atau dimili oleh peserta didik, namun pengetahuan itu diamalkan dalam
kehidupan mereka. Al-Ghazali sangat menekankan pentingnya perubahan perilaku,
khususnya akhlak.[28]
Perhatian Al-Ghazali terhadap metode
pengajaran lebih dikhususkan bagi pengajaran pendidikan agama untuk anak-anak.
Untuk ini ia telah mencontohkan suatu metode keteladanan bagi mental anak-anak,
pembinaan budi pekerti, dan penanaman sifat-sifat keutamaan pada diri mereka. Metode
pengajaran menurut Al-Ghazali dapat dibagi menjadi dua bagian antara pendidikan
agama dan pendidikan akhlak.[29]
Metode pendidikan agama menurut Al-Ghazali pada prinsipnya dimulai dengan
hapalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran,
setelah itu penegakan dalil-dalil dan keterengan-keterangan yang menguatkan
akidah. Al-Ghazali berpendapat bahwa pendidikan agama harus mulai diajarkan
kepada anak-anak sedini mungkin. Sebab dalam tahun-tahun tersebut, seorang anak
mempunyai persiapan menerima kepercayaan agama semata-mata dengan mengimankan
saja dan tidak dituntut untuk mencari dalilnya. Sementara itu berkaitan dengan
pendidikan akhlak, pengajaran harus mengarah kepada pembentukan akhlak yang
mulia. Al-Ghazali mengatakan bahwa akhlak adalah suatu sikap yang mengakar di
dalam jiwa yang akan melahirkan berbagai perbuatan baik dengan mudah dan
gampang tanpa perlu pemikiran dan pertimbangan.[30]
BAB
III
ANALISIS
MASALAH
Pemikiran pendidikan yang diusung oleh Al-Ghozali lebih mengutamakan pada
aspek pembinaan akhlak dan pendidikan suri tauladan seorang guru kepada
murid-muridnya. Adapun tentang cara mendapatkan ilmu, Al-Ghozali mempunyai dua
macam pendekatan, yaitu: dengan pendidikan dengan bimbingan manusia (Ta'lim
Insani), serta pendidikan yang langsung mendapat bimbingan dari Allah (Ta'lim
Rabbani).
Pada ta'lim insani ada dua macam pendekatan, yaitu: eksternal. Pada
pendekatan eksternal ini seorang manusia bisa memperoleh ilmu dari seorang
Guru, dari berbagai informasi dan berita yang ia dapatkan, dari literatur atau
kitab-kitab yang telah ia baca dan lain sebagainya. Sedangkan pada pendekatan
internal, seorang bisa mendapatkan ilmu dengan usahanya memikirkan suatu hal
secara intens dan terus menerus. Apabila diterapkan dalam bidang keilmuan,
misalnya: ilmu dibagi menjadi dua, yaitu: ilmu dhoruri (ilmu yang tidak lagi
memerlukan pemikiran yang panjang), dan ilmu nadhori (ilmu yang masih
memerlukan penelitian, hipotesa dan lain-lain). Maka bisa disimpulkan bahwa
bidang yang dibahas dalam pendekatan eksternal adalah ilmu yang dhoruri, dan
pendekatan Internal adalah ilmu nadhori.
Hal inilah yang membedakan kedudukan muslim yang berilmu dengan orang kafir
yang berilmu. Orang muslim yang berilmu, akan semakin dekat kepada Allah karena
selain mendapatkan ilmu mereka juga mendapatkan hidayah dari Allah SWT. Lain
halnya dengan orang-orang kafir, walaupun mereka dikaruniai ilmu yang sangat
banyak oleh Allah, akan tetapi mereka tidak diberi Hidayah oleh-Nya, sehingga
mereka tetap berada di jalan kesesatan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi yang
artinya:
”
Seorang yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah petunjuknya, maka orang itu
akan semakin jauh dari Allah”.
Al-Ghazali telah memberikan pemikiran-pemikiran pendidikan yang sempurna.
Sehingga, apabila dipraktikkan akan bisa meningkatkan kualitas pendidikan.
Semua kajian yang dilakukan oleh Al-Ghozali tentang pendidikan sangat
komperehensif. Akan tetapi apabila ditinjau dari tidak adanya teori
pembelajaran yang jelas, maka alangkah baiknya apabila diaplikasikan sebuah
metode pembelajaran yang relevan dengan zaman yang sudah berkembang ini. Akan
tetapi, dengan tidak menghapuskan teori-teori yang sudah mapan dan bagus,
sehingga kekurangan kecil dalam metode pembelajaran dapat diperbaiki.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Dari penjelasan di atas, dapat
penyusun ambil beberapa kesimpulan :
ü Hakekat tujuan pendidikan
Menurutnya, pendidikan dalam prosesnya haruslah mengarah pada pendekatan
diri kepada Allah dan mengarahkan manusia untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu
bahagia dunia dan ahirat.
ü Pendidik
Menurut al-Ghazali pendidik adalah orang yang berusaha membimbing,
meningkatkan, menyempurnakan, dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan
khaliqnya.
ü Peserta didik
Al-Ghazali amat menekankan tentang pentingnya mutu moral dan etika murid.
Ia mengharapkan kepada para pelajar agar membersihkan dirinya dari perilaku
yang rendah dan perbuatan jahat.
ü Kurikulum
Mengurai kurikulum pendidikan menurut al-Ghazali, ada dua. Pertama,
pengklasifikasiannya terhadap ilmu pengetahuan dan kedua, pemikirannya tentang
manusia berikut potensi yang dibawanya sejak lahir.
ü Metode pendidikan.
Al-Ghazali amat menekankan terhadap pentingnya persiapan bahan pengajaran
oleh guru. Pentingnya seorang guru agar menarik perhatian dalam mengembangkan
dan mengajarkan pelajaran. Menghindari penyajian bahan pelajaran yang rumit dan
sulit terhadap para siswa permulaan.
4.2 Kritikan & Saran
Dari makalah kami yang singkat ini
mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita semua umumnya kami pribadi. Yang baik
datangnya dari Allah, dan yang buruk datangnya dari kami. Dan kami sedar bahwa
makalah kami ini jauh dari kata sempurna, masih banyak kesalahan dari berbagai
sisi, jadi kami harafkan saran dan kritik nya yang bersifat membangun, untuk
perbaikan makalah-makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Al-Qur’anul
Karim dan Terjemahnya
2.
Al-Ghazali.
Mutiara Ihya` Ulumuddin, terj oleh Irwan Kurniawan, Bandung : Mizan,
2001.
3.
Al-Rasyidin
& Wahyudin Nur Nasution, Teori Belajar dan Pembelajaran, Medan,
Perdana Publishing, 2011.
4.
Fathiyah
Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan Al-Ghazali, terj oleh Ahmad Hakim dan M. Imam Aziz, Jakarta : Guna
Aksara, 1986.
5.
Al-Rasyidin
dan H. samsul Nizar, Filasat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis,
Praktis , Jakarta : Ciputat Press, 2005.
6.
Zainuddin
Dkk, Seluk-beluk pendidikan Al-Ghazali.penerbit Bumi Aksara Jakarta 1991.
7.
Abudin
Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997, hal
: 158
[1] Al-Ghazali. Mutiara Ihya` Ulumuddin, terj oleh Irwan
Kurniawan, Bandung : Mizan, 2001, hal : 9
[2] Al-Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution, Teori Belajar dan
Pembelajaran, Medan, Perdana Publishing, 2011, hal: 71, lihat juga di
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu,
1997, h : 150
[3] Al-Ghazali, hal : 11
[4] Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan Al-Ghazali, terj
oleh Ahmad Hakim dan M. Imam Aziz,
Jakarta : Guna Aksara, 1986, hal : 8, lihat juga al-Rasyidin dan Wahyudin nur
Nasution, hal : 72
[5] Al-Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution, hal : 72
[6] Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan Al-Ghazali, terj
oleh Ahmad Hakim dan M. Imam Aziz,
Jakarta : Guna Aksara, 1986, hal : 16, lihat juga al-Rasyidin dan Wahyudin nur
Nasution,hal :73
[7] Al-Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution, Teori Belajar dan
Pembelajaran, Medan, Perdana Publishing, 2011, hal: 73
[8] Ibid, hal 73
[9] Al-Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution, Teori Belajar dan
Pembelajaran, Medan, Perdana Publishing, 2011, hal: 74
[10] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Logos
Wacana Ilmu, 1997, hal : 159-163
[12] Al-Rasyidin dan H. samsul Nizar, Filasat Pendidikan Islam
Pendekatan Historis, Teoritis, Praktis , Jakarta : Ciputat Press,
2005, hal : 87
[13] Al-Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution, hal 74
[14] Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan Al-Ghazali, terj
oleh Ahmad Hakim dan M. Imam Aziz,
Jakarta : Guna Aksara, 1986, hal : 18
[15] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Logos
Wacana Ilmu, 1997, hal : 158
[16] Al-Qur’anul Karim, surah adz-Dzariyat, ayat : 56
[17] Abudin Nata, hal : 159
[18] Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan Al-Ghazali, terj
oleh Ahmad Hakim dan M. Imam Aziz,
Jakarta : Guna Aksara, 1986, hal : 19
[19] Al-Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution, Teori Belajar dan
Pembelajaran, Medan, Perdana Publishing, 2011, hal: 75
[20] Ibid, hal 76
[21] Al-Rasyidin dan H. samsul Nizar, Filasat Pendidikan Islam
Pendekatan Historis, Teoritis, Praktis , Jakarta : Ciputat Press,
2005, hal : 88
[23] Al-Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution, Teori Belajar dan
Pembelajaran, Medan, Perdana Publishing, 2011, hal: 76
[24] Al-Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution, Teori Belajar dan
Pembelajaran, Medan, Perdana Publishing, 2011, hal: 79
[28] Al-Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution, Teori Belajar dan
Pembelajaran, Medan, Perdana Publishing, 2011, hal: 83
[29] Al-Rasyidin dan H. samsul Nizar, Filasat Pendidikan Islam
Pendekatan Historis, Teoritis, Praktis , Jakarta : Ciputat Press,
2005, hal : 91
[30] Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan Al-Ghazali, terj
oleh Ahmad Hakim dan M. Imam Aziz,
Jakarta : Guna Aksara, 1986, hal : 30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar