KATA
PENGANTAR
Segala
puji dan syukur penulis ke hadirat Tuhan yang Maha Kuasa yang telah memberikan
berkat, anugerah dan karunia yang melimpah, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini. Makalah ini disusun guna melengkapi tugas mata
kuliah Akhlak tasawuf, yang berjudul “Sejarah dan Perkembangan Tasawuf”.Walaupun
banyak kesulitan yang penulis harus hadapi ketika menyusun pe- nulisan makalah
ini, namun berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, akhir- nya tugas
ini dapat diselesaikan dengan baik.
Selanjutnya
shalawat dan salam pemakalah hadiahkan kepada rasulullah SAW, sang junjungan
seluruh umat, yang telah membawa kita dari alam yang sangat gelap kepada alam
yang sangat terang benderang yang slalu disinari dengan iman, islam, dan ihsan.
Sebelumnya
pemakalah meminta maaf apabila dalam penulisan makalah ini banyak sekali
kesalahannya, baik dari segi penulisan ataupun pengertian nya. Kami sadar
bahwasannya makalah kami ini jauh dari kata sempurna, jadi kami harapkan kritik
dan saran yang sipatnya membangun dari pembaca, supaya dapat memperbaiki
makalah selanjutnya. Dan sebelum dan sesudahnya pemakalah ucapkan terima kasih.
Medan,
23 Januari 2011
Pemakalah
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.........................................................................................................................1
Daftar Isi.................................................................................................................................2
BAB I
Pendahuluan :
a. Latar
belakang masalah...........................................................................3
b. Rumusan
masalah....................................................................................3
c. Tujuan
penulisan.....................................................................................3
BAB II
Pembahasan :
a. Sejarah
dan asal-usul tasawuf............................................................4
b. Perkembangan
tasawuf......................................................................11
BAB III
Penutup :
a. Simpulan
b. Saran
Daftar pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Tasawuf
adalah salah satu cabang ilmu islam yang menekankan dimensi atau aspek
spiritual dalam islam, dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih menekankan
aspek rohaninya ketimbang aspek jasmaninya. Dalam kaitannya dalam kehidupan, ia
lebih menekankan kehidupan akhirat
ketimbang kehidupan dunia yang fana.
Orang
yang ahli dalam tasawuf disebut dengan seorang sufi. Seorang sufi menekankan
aspek kehidupan rohaninya dari pada aspek
jasminanya. Seorang sufi selalu dekat dengan Tuhannya. Dan untuk
mencapai itu, terdapat tingkatannya, yaitu tobat, zuhud, sabar, kefakiran,
kerendahan hati, taqwa, keleraan, cinta, dan ma’rifat. Dan dalam makalah ini akan mencoba membahas tentang sejarah
pertumbuhan dan perkembangan tasawuf, penyebaran serta perjalanan tasawuf.
B.
Rumusan
Masalah
Ø Apakah
yang melatar belakangi muncul, sejarah dan perkembangan tasawuf?
Ø Siapa
tokoh utama dalam kemunculan tasawuf?
Ø Siapa
saja tokoh-tokoh dari kalangan sahabat yang mengikuti prilaku rasulullah?
Ø Apakah
yang terjadi terhadap tasawuf sesudah masa sahabat?
C.
Tujuan
Penulisan
Ø Untuk
mengetahui asal-usul munculnya tasawuf, siapa pencetus munculnya dan
perkembangannya.
Ø Supaya
menambah wawasan kita, bahwasan nya tasawuf telah ada dalam diri rasulullah.
Ø Mengetahui
pokok permaalahan tasawuf.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
dan Asal-usul Tasawuf
Tasawuf
Islam bersumber dari al-Qur’an dan Hadis. Banyak ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi
SAW. berbicara tentang hubungan antara Allah dengan hamba-Nya manusia. Secara
umum Islam mengatur kehidupan yang
bersifat lahiriah (jasadiah), dan kehidupan yang bersifat batiniah. Pada unsur
kehidupan yang bersifat batiniah inilah kemudian lahir tasawuf. Unsur kehidupan
tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam,
al-Qur’an dan al-Sunnah serta praktek kehidupan Nabi dan sahabatnya. Lebih
jauh, di dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang berbicara tentang
tasawuf, antara lain :
Ø Kemungkinan
manusia dan Tuhan dapat saling mencintai (mahabbah), al-Maidah: 54.
Ø Perintah
agar manusia senantiasa bertaubat (at-Tahrim: 8).
Ø petunjuk
bahwa manusia akan senantiasa bertemu dengan Tuhan dimanapun mereka berada
(al-Baqarah: 110).
Ø Allah
dapat memberikan cahaya kepada orang yang dikehendaki (an-Nur: 35).
Ø Allah
mengingatkan manusia agar dalam hidupnya tidak diperbudak oleh kehidupan dunia
dan harta benda (al-Hadid, al-Fathir: 5).
Ø Senantiasa
bersikap sabar dalam menjalani pendakatan diri kepada Allah SWT (Ali Imron: 3).
Ø Begitu
juga perintah Allah untuk ikhlas semata mengharap ridha-Nya dalam beribadah
(al-Bayinah: 5).
Ø Berperilaku
jujur (al-Anfal: 58).
Ø Adil,
taqwa (al-Maidah: 6)
Ø Yakin,
tawakal (al-Anfal: 49)
Ø Qonaah,
rendah hati dan tidak sombong (al-Isra’:37).
Ø Beribadah
dengan penuh pengharapan terhadap ridha-Nya (raja’) (al-Kahfi: 110).
Ø Takut
terhadap murka Allah atas segala dosa (khauf) (at-Tahrim: 6).
Ø Menahan
hawa nafsu (Yusuf: 53)
Ø Amar
ma’ruf nahi munkar (Ali Imron: 104)
Dan
banyak lagi konsep akhlak dan amal diajarkan dalam al-Qur’an kesemuanya adalah
sumber tasawuf dalam Islam. Sejalan
dengan apa yang dibicarakan al-Qur’an, as-Sunnah pun banyak berbicara tentang
kehidupan rohaniah. Dalam hadis qudsi berikut dapat dipahami dengan pendekatan
tasawuf:
“Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi,
maka Aku menjadikan makhluk agar mereka mengenal-Ku”.
Hadis
tersebut memberi petunjuk bahwa alam raya, termasuk manusia adalah merupakan cermin
Tuhan, atau bayangan Tuhan. Tuhan ingin mengenalkan diri-Nya melalui penciptaan
alam ini. Dengan demikian dalam alam raya ini terdapat potensi ketuhanan yang
dapat didayagunakan untuk mengenal-Nya. Dan apa yang ada di alam raya ini pada
hakikatnya adalah milik Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, sebagaimana
firman-Nya dalam al-Baqarah: 156:
“Orang-orang yang apabila ditimpa musibah,
mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun"
Sesungguhnya Kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah Kami kembali.”
dan
al-Baqarah 45-46:
“Jadikanlah sabar dan shalat
sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali
bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka
akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”
Benih-benih
tasawuf dipraktekkan langsung oleh Muhammad SAW. dalam kehidupan
kesehariannya. Perilaku hidup Nabi SAW
sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari-hari beliau berkhalawat di gua Hira’,
terutama pada bulan Ramadhan. Di sana Nabi SAW banyak berzikir dan bertafakur
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pengasingan diri Nabi SAW. di gua Hira’ ini
merupakan acuan utama para sufi dalam berkhalawat. Puncak kedekatan Nabi SAW
dengan Allah terjadi ketika beliau melakukan Isra’ wal mi’raj. Dikisahkan Nabi
berdialog langsung dengan Allah ketika menerima perintah Shalat lima waktu.
Di
dalam diri Nabi SAW juga terdapat benih-benih tasawuf, yaitu pribadi Nabi yang
sederhana, zuhud, dan tidak pernah terpesona oleh kemewahan dunia. Dalam salah
satu do’anya nabi bermohon: “
Wahai Allah, hidupkanlah aku dalam
kemiskinan dan matikanlah aku selaku orang miskin.”
(HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim).
Pada
suatu waktu Nabi SAW datang ke rumah istrinya, Aisyah binti Abu Bakar as-Shidiq,
ternyata di rumahnya tidak ada makanan. Keadaan seperti ini diterimanya dengan
sabar, lalu beliau menahan laparnya dengan berpuasa (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Nasai).
Nabi
juga sering mengganjal perutnya dengan batu sebagai penahan lapar. Cara beribadah Nabi SAW juga merupakan
cikal-bakal tasawuf. Nabi SAW adalah orang yang paling tekun beribadah. Dalam
satu riwayat dari Aisyah RA disebutkan bahwa pada suatu malam Nabi SAW
mengerjakan shalat malam, di dalam shalat lututnya bergetar karena panjang,
banyak rakaat serta khusu’ dalam shalatnya. Tatkala ruku’ dan sujud terdengar
suara tangisnya, namun beliau tetap terus melakukan shalat sampai suara azan Bilal bin Rabah terdengar di waktu
subuh. Melihat Nabi SAW demikian tekun melakukan shalat, Aisyah lalu bertanya:
“Wahai junjungan, bukankah dosamu
yang terdahulu dan akan datang telah diampuni Allah, kenapa engkau masih
terlalu banyak melakukan shalat?”
Nabi
SAW menjawab:
‘Aku ingin menjadi hamba yang
banyak bersyukur”.
Akhlak Nabi SAW merupakan acuan akhlak yang
tiada bandingannya. Akhlak Nabi bukan hanya dipuji oleh manusia termasuk
musuh-musuhnya, tetapi juga oleh Allah SWT. Allah berfirman: “
Dan sesungguhnya kamu (Muhammad)
benar-benar berbudi pekerti yang agung”.(QS. 68:4).
Dan
ketika Aisyah ditanya tentang akhlak Nabi SAW, ia menjawab: “Akhlaknya adalah al-Qur’an”.
Ajaran
rasul tentang bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari banyak
diikuti oleh para sahabatnya, dilanjutkan oleh para tabi’in, tabiit tabi’in dan
seluruh Muslim hingga saat ini . Mereka mengikuti firman Allah: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah
itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharap
rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah.”
(Al-Ahzab: 21).
Dalam
kehidupan seorang shufi sudah terdapat pada diri Nabi Muhammad saw. Dimana
dalam kehidupan beliau sehari-hari terkesan amat sederhana dan menderita,
disamping menghabiskan waktunya untukk beribadah dan selalu mendekatkan diri
kepada Allah swt. Bahkan seperti diketahui, bahwa sebelum beliau diangkat
sebagai Rasul Allah, beliau seringkali melakukan kegiatan shufi dengan
melakukan uzlah di Gua Hira selama berbulan-bulan lamanya sampai beliau
menerima wahyu pertama saat diangkat sebagai Rasul Allah. Setelah Beliau resmi
diangkat sebagai Nabi utusan Allah, keadaan dan cara hidup beliau masih
ditandai oleh jiwa dan suasana kerakyatan, meskipun beliau berada dalam
lingkaran keadaan hidup yang serba dapat terpenuhi semua keinginan lantaran
kekuasaannya sebagai Nabi yang menjadi kekasih Tuhan- Nya. Pada waktu malam
sedikit sekali tidur, waktunya dihabiskan untuk bertawajjuh kepada Allah dengan
memperbanyak dzikir kepada-Nya. Tempat tidur beliau terdiri dari balai kayu
biasa dengan alas tikar dari daun kurma, tidak pernah memakai pakaian yang
terdiri dari wool, meskipun mampu membelinya. Pendek kata beliau lebih cinta
hidup dalam suasana sederhana ( meskipun pangkatnya Nabi ) Daripada hidup
bermewah-mewah.
Kehidupan
Nabi semacam itu langsung ditiru oleh shahabatnya, Tabi’in, Tabi’it Tabi’in dan
terus turun temurun sampai sekarang. Bahkan para shahabat beliau banyak yang
melakukan kehidupan shufi dengan hidup sederhana dan selalu bertaqarrub dengan
Allah. Kehidupan mereka sangat sederhana bahkan serba kekurangan, tetapi dalam
dirinya tumbuh memancar sinar kesemangatan
beribadah. Hal seperti itu tampak dalam kehidupan para shahabat beliau, semisal
Abu Hurairah, Abu Darda’, Salman Al Farisy, Abu Bakar, Umar Bin Khathab, Ali
bin Abi Thalib, Abdullah bin Umar dan sebagainya. Dapat dicontohkan disini,
seperti kehidupan Abu Hurairah ra. Yang dalam sejarah disebutkan bahwa beliau
tidak mempunyai rumah, hanya tidur di emperan Masjidil Haram Makkah, pakaiannya
hanya satu melekat di badan, makannya tidak pernah merasa kenyang, bahkan
sering tidak makan. Sampai pada suatu hari beliau duduk-duduk di pinggir jalan
sedang ia sangat lapar. Tatkala Abu Bakar ra. Lewat disitu ia bertanya ayat apa
yang harus dibacanya dari Al-Qur’an untuk menekan laparnya. Abu bakar tidak
menjawab dan berjalan terus. Kemudian lewat pula Umar Bin Khathab. Abu Hurairah
meminta pula padanya, ditunjukkan Ayat Al-Qur’an yang dapat menahan laparnya..
Umar tidak berbuat apa-apa dan meneruskan perjalanannya. Kemudian lewatlah disitu
pula Rasulullah saw, Nabi tersenyum melihat Abu Hurairah, Nabi tersenyum karena
mengetahui apa yang terkandung dalam dirinya dan yang tersirat di mukanya, Nabi
mengajak Abu Hurairah mengikuti. Tatkala sampai di rumah, Nabi mengeluarkan
sebuah bejana susu dan disuruh minum pada Abu Hurairah, sehingga tidak dapat
menghabiskannya.
Satu
contoh lagi adalah yang terjadi pada shahabat Nabi yang bernama Abu Darda’.
Suatu hari Salman Al-Farisi mengunjungi rumah Abu Darda’, yang telah
dipersaudarakan Nabi dengan dia. Maka didapatinya bermurung, tak gembira
seperti biasanya. Tatkala ditanya, istrinya menceritakan, bahwa Abu Darda’
sejak ingin meninggalkan segala kesenangan dunia ini, ia ingin meninggalkan
makan dan minum, karena dianggapnya dapat mengganggu ibadah dan taqwanya kepada
Allah.. Mendengar cerita itu, Salman Al-Farisi murka, lalu sambil menyajikan
makanan ke Abu Darda’ berkata dengan geramnya : “Aku perintahkan kepadamu
supaya kamu makan. Sekarang juga!”. Abu Darda’ lalu makan. Tatkala waktu tidur
Salman memberi perintah lagi : “Aku perintahkan kepadamu supaya engkau pergi
beristirahat dengan istrimu!”. Dan tatkala sampai waktu sembahyang ia
membangunkan saudaranya itu sambil berkata : “Hai, Abu Darda’, bangunlah engkau
sekarang dari tidurmu dan sembahyanglah engkau mengagungkan Tuhan”. Kemudian
kepada Abu Darda’ dijelaskan oleh Salman dengan katanya : “Kuperingatkan
kepadamu, bahwa beribadat kepada Tuhanmu merupakan suatu kewajiban, merawat
dirimupun merupakan suatu kewajiban, melayani keluargamu pun merupakan suatu
kewajiban pula untukmu. Penuhilah segala kewajiban itu menurut haknya
masing-masing”. Tatkala keesokan harinya, kelakuan Abu Darda’ dilaporkan kepada
Rasulullah saw, Nabi bersabda : “Benar sungguh apa yang dikatakan Salman”.
Begitulah
kehidupan shufi yang terjadi pada diri Rasulullah saw, dan para shahabatnya dan
diikuti pula oleh para Thabi’in, Tabi’it Tabi’in sampai turun temurun pada
generasi selanjutnya hingga sekarang ini. Sedang diantara shahabat Nabi saw
yang mempraktekkan ibadah dalam bentuk Thariqat ini adalah Hudzaifah Al Yamani.
Dan
perkembangannya shufi ini kemudian dilanjutkan oleh para generasi dari kalangan
Thabi’in, diantaranya adalah Imam Hasan
Al Basyri, seorang ulama besar Thabi’in murid Hudzaifah Al Yamani. Beliau inilah yang mendirikan pengajian Tasawuf
di Bashrah. Diantara murid-muridnya adalah Malik bin Dinar, Tsabit Al Bannay,
Ayyub As Sakhtiyany dan Muhammad bin Wasik.
Setelah
berdirinya madrasah Tasawuf itu, disususl pula dengan berdirinya madrasah di
tempat lain, seperti di Irak yang dipimpin oleh sa’id bin Musayyab dan di Khurasan yang dipimpin oleh Ibrahim bin Adham. Dengan berdirinya
madrasah-madrasah ini, menambah jelaslah kedudukan dan kepentingan tasawuf
dalam masyarakat islam yang sangat memerlukannnya. Sejak itulah pelajaran ilmu
Tasawuf telah mendapatkan kedududukan yang tetap dan tidak akan terlepas dari
masyarakat Islam sepanjang masa. Dan pada Abad-abad berikunya ilmu Tasawuf
semakin berkembang sejalan dengan perkenbangan agama islam di beberapa daerah.
Bahkan menurut sejarah, pengembangan agama islam ke Afrika, ke segenap pelosok
Asia yang luas ini, Asia kecil, Asia Timur, Asia Tengah, sampai ke
negara-negara yang berada di tepi lautan Hindia, semuanya dibawa oleh
propaganda-propaganda islam dari kaum Tasawuf. Sifat dan cara hidup mereka yang
sangat sederhana, kata-kata mereka yang mudah difahami , kelakuan yang sangat
tekun beribadah, semuanya itu lebih menarik dari ribuan kata-kata yang hanya
teori adanya.
Merekalah
sebenarnya propaganda islam yang sebenar-benarnya. Pengikut-pengikut mereka
merupakan sukarelawan yang ikhlas yang beribu-ribu jumlahnya, bahkan
berpuluh-puluh ribu yang telah menyerahkan segala apa yang ada padanya,
hartanya, jiwanya sekalipun untuk membawa agama yang di bawa oleh Nabi Muhammad
SAW lewat orang-orang sufi itu. Karena gerakan mereka mendekati gerakan
nabi-nabi atau wali-wali, maka orang-orang yang di hadapinya, baik
Khalifah-khalifah, Raja-raja, pembesar-pembesar raja dan orang-orang awam takut
dan hormat kepada shufi itu.
Karena
para penyebar agama Islam itu pada umumnya terdiri dari kalangan Ulama’ shufi,
maka dengan sendirinya melalui ajaran yang di bawanya itu dipengaruhi pula oleh
Tasawuf. Dengan demikan, para propagandis tersebut juga secara langsung
mengembangkan pula ajaran thariqat di berbagai daerah yang menjadi sasaran
Da’wahnya. Pada akhirnya ajaran Tashawwuf tersebut tumbuh dan berkembang dengan
cepat sejalan dengan perkembangan Islam dan Thariqat, Jalan yang ditempuh
seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Tuhan dengan mata hati dan akhirnya
bersatu dengan Tuhan demikan panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun orang harus
menempuh jalan yang sulit itu.
Karena
itu hanya sedikit sekali orang yang bisa sampai pada puncak tujuan Tasawuf.
Jalan itu disebut Thariqah (bahasa Arab), dan dari sinilah berasal kata Tarekat
dalam bahasa Indonesia. Jalan itu, yang intinya adalah penyucian diri, di bagi
kaum sufi ke dalam stasion-stasion yang dalam bahasa Arab disebut
maqamat-tempat calon seorang sufi menunggu sambil berusaha keras untuk
membersihkan diri agar dapat melanjutkan perjalanan ke stasiun berikutnya.
Sebagaimana telah disebut di atas penyucian diri diusahakan melalui ibadat,
terutama puasa, shalat, membaca Al-Qur’an dan dzikir. Maka, seirang calon sufi
banyak melaksanakan Ibadat. Tujuan semua ibadat dalam islam ialah mendekatkan
diri itu, terjadilah penyucian diri calon sufi secara berangsur.
Jelas
kiranya bahwa usaha penyucian diri, langkah pertama yang harus dilakukan
seseorang adalah tobat dari dosa-dosanya. Karena itu, stasiun pertama dalam
Tasawuf adalah tobat. Pada mulanya seorang calon sufi harus tobat dari
dosa-dosa besar yang dilakukannya. Kalau ia telah berhasil dalam hal ini, ia
akan tobat dari dosa-dosa kecil, kemudian dari perbuatan makruh dan selanjutnya
dari perbuatan syubhat. Tobat yang dimaksud adalah tobat nasuha, yaitu tobat
yang membuat orangnya menyesal atas dosa-dosanya yang lampau dan betul-betul
tidak berbuat dosa lagi walau sekecil apapun. Jelaslah bahwa usaha ini memakan
waktu panjang. Untuk memantapkan tobatnya ia pindah ke stasiun kedua, yaitu
zuhud.
Di
stasiun ini ia menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia
mengasingkan diri ke tempat terpencil untuk beribadat, puasa, shalat, membaca
al-qur’an dan zikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya lemah, dan
membuat ia tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum hanya untuk
mempertahankan kelanjutan hidup. Ia sedikit tidur dan banyak beribadah.
Pakaiannya sederhana. Ia menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa
lagi digoda oleh kesenangan dunia dan kelezatan materi. Yang dicarinya ialah
kebahagiaan rohani, itu diperolehnya dalam berpuasa melakukan shalat, membaca
al-Qur’an dan berdzikir.
Kalau
kesenangan dunia dan kelezatan materi tidak bisa menggodanya lagi, ia keluar
dari pengasingannya masuk kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak berpuasa,
melakukan shalat, membaca al-qur’qn dan berdzikir. Ia juga akan selalu naik
haji. Sampailah ia ke stasion wara’. Di stasion ini ia dijauhkan tuhan dari
perbuatan-perbuatan syubhat. Dalam literature tashawwuf di sebut bahwa Al-Muhasibi menolak makanan, karena di
dalamnya terdapat syubhat. Bisyr Al-Hafi tidak bisa mengulurkan tangan ke arah
makanan yang berisi syubhat.
Dari
stasiun wara’, ia pindah ke stasiun faqr. Di stasion ini ia menjalani hidup
kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya
untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan ia tidak meminta
sungguh pun ia tidak punya. Ia tidak meminta tapi tidak menolak pemberian
Tuhan.
Setelah
menjalani hidup kefakiran ia sampai ke stasiun sabar. Ia sabar bukan hanya
dalam menjalankan perintah-perintah tuhan yang berat dan menjauhi
larangan-larangan tuhan yang penuh godaan, tetapi juga sabar dalam menerima
percobaan-percobaan berat yang ditimpakan Tuhan kepadanya. Ia bukan hanya tidak
meminta pertolongan dari Tuhan, bahkan ia tidak menunggu-nunggu datangnya
pertolongan. Ia sabar menderita. Selanjutnya ia pindah ke stasion tawakal. Ia
menyerahkan diri senulat-bulatnya kepada kehendak Tuhan. Ia tidak memikirkan
hari esok; baginya cukup apa yang ada untuk hari ini. Bahkan, sungguhpun tak
ada padanya, ia selamanya merasa tentram. Kendatipun ada padanya, ia tidak mau
makan, karena ada orang yang lebih berhajat pada makanan dari padanya. Ia bersikap
seperti telah mati.
Dari
stasiun tawakkal, ia meningkat ke stasiun ridla. Dari stasiun ini ia tidak
menentang percobaan dari Tuhan bahkan ia menerima dengan senang hati. Ia tidak
minta masuk syurga dan dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak ada perasaan
benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika malapetaka turun, hatinya
merasa senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta kepada Tuhan. Di sini ia
telah dekat sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu melihat Tuhan
dengan hati nurani untuk selanjutnya bersatu dengan Tuhan.
Karena
stasiun-stasiun tersebut di atas baru merupakan tempat penyucian diri bagi orang
yang memasuki jalan Tasawuf, ia sebenarnya belum menjadi seorang sufi, tapi
barulah menjadi zahid atau calon sufi. Ia menjadi sufi setelah sampai ke stasiun
berikutnya dan memperoleh pengalaman-pengalaman tasawuf.
B.
Perkembangan
Tasawuf
Adapun tasawuf yang berkembang pada masa berikutnya sebagai suatu
aliran (mazhab), maka sejauh hal itu tidak bertentangan dengan Islam dapat dikatakan
positif (ijabi). Tetapi apabila telah keluar dari prinsip-prinsip keislaman
maka tasawuf tersebut menjadi mazhab yang negatif (salbi). Tasawuf ijabi
mempunyai dua corak :
Ø
Tasawuf salafi, yakni yang membatasi diri pada dalil-dalil naqli atau
atsar dengan menekankan pendekatan interpretasi tekstual.
Ø
Tasawuf sunni, yakni yang sudah memasukkan penalaran-penalaran
rasional ke dalam konstruk pemahaman dan pengamalannya.
Perbedaan
mendasar antara tasawuf salafi dengan tasawuf sunni terletak pada takwil. Salafi
menolak adanya takwil, sementara sunni menerima takwil rasional sejauh masih
berada dalam kerangka syari’ah.
Sedangkan tasawuf salbi atau disebut juga tasawuf falsafi adalah
tasawuf yang telah terpengaruh secara jauh oleh faham gnostisisme Timur maupun
Barat. Terdapat beberapa pendapat tentang pengaruh luar yang membentuk tasawuf
Islam, ada yang menyebutkannya dari kebiasaan rahib Kristen yang menjauhi dunia
dan kehidupan material. Ada pula yang menyebutkannya dari pengaruh ajaran Hindu dan juga
filsafat neoplatonisme. Dalam Hindu misalnya terdapat ajaran asketisme dengan
meninggalkan kehidupan duniawi guna mendekatkan diri kepada Tuhan dan menggapai
penyatuan antara Atman dan Brahman. Pythagoras juga mengajarkan ajakan untuk
meninggalkan kehidupan materi dengan memasuki dunia kontemplasi.
Demikian juga teori emanasi dari Plotinus yang dikembangkan untuk
menjelaskan konsep roh yang memancar dari dzat Tuhan dan kemudian akan kembali
kepada-Nya. Pada konteks ini, tujuan mistisisme baik dalam maupun di luar Islam
ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog langsung antara roh manusia
dan Tuhan, kemudian mengasingkan diri dan berkontemplasi.
Lahirnya
tasawuf didorong oleh beberapa factor :
Ø
Reaksi atas kecenderungan hidup hedonis yang mengumbar syahwat.
Ø
Perkembangan teologi yang cenderung mengedepankan rasio dan kering
dari aspek moral-spiritual,
Ø
Katalisator yang sejuk dari realitas umat yang secara politis maupun
teologis didominasi oleh nalar kekerasan.
Karena itu sebagian ulama memilih menarik diri dari pergulatan
kepentingan yang mengatas namakan agama dengan praktek-praktek yang berlumuran darah. Menurut
Hamka, kehidupan sufistik sebenarnya lahir bersama dengan lahirnya Islam itu
sendiri. Sebab, ia tumbuh dan berkembang dari pribadi Nabi saw. Tasawuf Islam
sebagaimana terlihat melalui praktek kehidupan Nabi dan para sahabatnya itu
sebenarnya sangatlah dinamis. Hanya saja sebagian ulama belakangan justru
membawa praktek kehidupan sufistik ini menjauh dari kehidupan dunia dan
masyarakat. Tasawuf kemudian tak jarang dijadikan sebagai pelarian dari tanggung
jawab sosial dengan alasan tidak ingin terlibat dalam fitnah yang terjadi di
tengah-tengah umat. Mereka yang memilih sikap uzlah ini sering mencari-cari
pembenaran (apologi) atas tindakannya. pada firman Allah yang antara lain berbunyi:
الله يحكم بينهم يوم القيامة فيما كنتم فيه تختلفون
Padahal dapat diketahui bersama bahwa nabi dan para sahabatnya sama
sekali tidak melakukan praktek kehidupan kerahiban, pertapaan atau uzlah.
Mereka tidak lari dari kehidupan aktual umat, tetapi justru terlibat aktif
mereformasi kehidupan yang tengah porak-poranda agar menjadi lebih baik dan sesuai dengan cita-cita ideal Islam.
وعباد الرحمان
الذين يمشون على الأرض هون وإذا خاطبهم الجاهلون قالوا سلاما والذين يبيتونلربهم
سجدا وقياما والذين إذا أنفقوا لم يسرفوا ولم يقتروا وكان بين ذلك قواما
` Sebagaimana
halnya fikih dan kalam, tasawuf memang sering dipandang sebagai fenomena baru
yang muncul setelah masa kenabian. Tetapi tasawuf dapat berfungsi memberi
wawasan dan kesadaran spiritual atau dimensi ruhaniah dalam pemahaman dan
pembahasan ilmu-ilmu keislaman. Seperti diungkap R.A. Nicholson, bahwa tanpa
memahami gagasan dan bentuk-bentuk mistisisme yang dikembangkan dalam Islam,
maka hal tersebut serupa dengan mereduksi keindahan Islam dan hanya menjadi
kerangka formalitasnya saja.
Dimensi mistis dalam tiap tradisi keagamaan cenderung
mendeskripsikan langkah-langkah menuju Tuhan dengan imaji jalan (the path).
Misalnya, di Kristen dikenal 3 (tiga) jalan: the via purgativa, the via contemplativa, dan the via illuminativa.
Hal serupa ada pula dalam Islam, dengan mempergunakan istilah shari’at, tariqat, dan haqiqat. Praktik kesufian
sebagaimana dipahami secara umum dewasa ini memang menuntut disiplin laku-laku
atau amalan-amalan yang merupakan proses bagi para salik menemukan kesucian
jiwanya. Sufi adalah istilah yang diberikan kepada para pencari Tuhan, yaitu
orang-orang yang berusaha mengadakan pendekatan (taqarrub) untuk mengenal Allah
dengan sebenar-benarnya.
Jalan spiritual yang ditempuh para sufi tidaklah mudah. Dalam
tradisi kesufian, tingkatan-tingkatan spiritual digambarkan dalam analogi titik
pemberhentian (statiun atau maqam) yang antara sufi satu dengan lainnya sering terdapat
perbedaan pendapat. Station ini antara lain:
Ø
taubat,
Ø
zuhud,
Ø
sabar
Ø
tawakkal
Ø
ridha
Ø
mahabbah
Ø
ma’rifah
Ø
fana’
Ø
ittihad
Ø
hulul.
Selain maqam, tradisi sufi mengenal apa yang disebut dengan hal
(jamaknya ahwal, state). Yakni situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi
sebagai karunia dari Allah atas riyadhah atau disiplin spiritual yang
dijalaninya. Suatu situasi kejiwaan tertentu terkadang terjadi hanya sesaat
saja (lawaih), adakalanya juga relatif cukup lama (bawadih), bahkan jika hal
tersebut sudah terkondisi dan menjadi kepribadian, maka hal inilah yang disebut
sebagai ahwal. Beberapa ahwal yang banyak dianut oleh kalangan sufi rumusannya
sebagai berikut:
Ø
muraqabah
Ø
khauf
Ø
raja’
Ø
Syauq
Ø
Uns
Ø
tuma’ninah
Ø
musyahadah
Ø
yakin.
Allah dalam
surat al-Nisa ayat 77 menyatakan, “Katakanlah,
kesenangan di dunia ini hanya sementara dan akhirat itu lebih baik bagi
orang-orang yang bertaqwa.”
Dalam wacana kesufian, takhalli
‘an al-radzail atau membersihkan diri dari perbuatan tercela merupakan
langkah awal untuk membersihkan hati seseorang. Sedangkan tahalli bi al-fadail
atau menghiasi diri dengan sifat-sifat luhur adalah tangga berikutnya untuk
mencapai tingkat spiritualitas yang lebih tinggi yaitu tajalli (lihat gambar).
Jadi disini, tarekat (dari kata tariq = anak jalan) digambarkan sebagai jalan
yang berpangkal pada syariat (dari kata syari’ = jalan utama). Ini sebuah
pengandaian olah kalangan sufi bahwa sesungguhnya sekolah tasawuf adalah cabang
dari dogma ag
Dalam
sejarah perkembangannya, Sufi dan Tasawuf beriringan. Beberapa sumber dari para
Ulama Sufi, para orientalis maupun dari kitab-kitab yang berkait dengan sejarah
Tasawuf memunculkan berbagai definisi. Definisi ini pun juga berkait dengan
para tokoh Sufi setiap zaman, disamping pertumbuhan akademi Islam ketika itu.
Namun Reinold Nicholson, salah satu guru para orientalis, membuat telaah yang
terlalu empirik dan sosiologik mengenai Tasawuf atau Sufi ini, sehingga
definisinya menjadi sangat historik, dan terkebak oleh paradigma
akademik-filosufis. Pandangan Nicolson tentu diikuti oleh para orientalis
berikutnya yang mencoba mentyibak khazanah esoterisme dalam dunia Islam,
seperti J Arbery, atau pun Louis Massignon. Walaupun sejumlah penelityian
mereka harus diakui cukupo berharga untuk menyibak sisi lain yang selama ini
terpendam.
Bahwa
dalam sejarah perkembangannya menurut Nicholson,
tasawuf adalah sebagai bentuk ekstrimitas dari aktivitas keagamaan di masa
dinasti Umawy, sehingga para aktivisnya melakukan ‘Uzlah dan semata hanya demi
Allah saja hidupnya. Bahkan lebih radikal lagi Tasawuf muncul akibat dari
sinkretisme Kristen, Hindu, Budha dan Neo-Platonisme serta Hellenisme.
Penelitian filosufis ini, tentu sangat menjebak, karena fakta-fakta spiritual
pada dasarnya memiliki keutuhan otentik sejak zaman Rasulullah Muhammad saw,
baik secara tekstual maupun historis.
Dalam
kajian soal Sanad Thariqat, pada Bab II bagian 3, bisa terlihat bagaimana
validitas Tasawuf secara praktis, hingga sampai pada alurnya Tasawuf rasulullah
saw. Fakta itulah yang nantinya bisa membuka cakrawala historis, dan kelak juga
berpengaruh munculnya berbagai ordo Thariqat yang kemudian terbagi menjadi
Thasriqat Mu’tabarah dan Ghairu Mu’tabarah.
Pandangan
paling monumental tentang Tasawuf justru muncul dari Abul Qasim Al-Qusyairy an-Naisabury, seorang Ulama sufi abad ke 4
hijriyah. Al-Qusyairy sebenarnya lebih menyimpulkan dari seluruh pandangan
Ulama Sufi sebelumnya, sekaligus menepis bahwa definisi Tasawuf atau Sufi
muncul melalui akar-akar historis, akar bahasa, akar intelektual dan filsafat
di luar dunia Islam. Walaupun tidak secara transparan Al-Qusyairy menyebutkan
definisinya, tetapi dengan mengangkat sejumlah wacana para tokoh Sufi,
menunjukkan betapa Sufi dan Tasawuf tidak bisa dikaitkan dengan sejumlah
etimologi maupun sebuah tradisi yang nantinya kembali pada akar Sufi.
Dalam
penyusunan buku Ar-Risalatul Qusyairiyah
misalnya, ia menegaskan bahwa apa yang ditulis dalam Erisalah tersebut untuk
menunjukkan kepada mereka yang salah paham terhadap Tasawuf, semata karena
kebodohannya terhadap hakikat Tasawuf itu sendiri. Menurutnya Tasawuf merupakan
bentuk amaliyah, ruh, rasa dan pekerti dalam Islam itu sendiri,firman Allah
swt.
“Dan jiwa serta penyempurnaannya,
maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,
sesungguhnya beruntunglkah orang yang menyucikan jiwa itu dan sesungguhnya
merugilah orang-orang yang mengotorinya.,” (Q.s. Asy-Syams:
7-8)
”Sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang membersihkan diri dan dia berdzikir nama Tuhannya lalu dia
shalat.” (Q.s. Al-A’laa: 14-15).
“ Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang alpa.” (Q.s. Al-A’raaf: 205)
“Dan bertqawalah kepada Allah; dan
Allah mengajarimu (memberi ilmu); dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
(Q.s. Al-Baqarah : 282)
Sabda
Nabi saw :
“Ihsan adalah hendaknya negkau
menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, maka apabila engkau tidak
melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu” (H.r. Muslim,
Tirmidzi, Abu Dawud dan Nasa’i)
Tasawuf
pada prinsipnya bukanlah tambahan terhadap Al-Qur’an dan hadits, justru Tasawuf
adalah impklementasi dari sebuah kerangka agung Islam. Secara lebih rinci,
Al-Qusyairy meyebutkan beberapa definisi dari para Sufi besar:
Muhammad
al-Jurairy:
“Tasawuf
berarti memasuki setiap akhlak yang mulia dan keluar dari setiap akhlak yang
tercela.”
Al-Junaid al-Baghdady:
Al-Junaid al-Baghdady:
“Tasawuf
artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu bersama
denganNya.”
“Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah swt. Tanpa keterikatan dengan apa pun.”
“Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah swt. Tanpa keterikatan dengan apa pun.”
“Tasawuf
adalah perang tanpa kompromi.”
“Tasawuf
adalah anggota dari satu keluarga yang tidak bisa dimasuki oleh orang-orang
selain mereka.”
“Tasawuf adalah dzikir bersama, ekstase yang diserta sama’, dan tindakan yang didasari Sunnah Nabi.”
“Tasawuf adalah dzikir bersama, ekstase yang diserta sama’, dan tindakan yang didasari Sunnah Nabi.”
“Kaum
Sufi seperti bumi, yang diinjak oleh orang saleh maupun pendosa; juga seperti
mendung, yang memayungi segala yang ada; seperti air hujan, mengairi segala
sesuatu.”
“ Jika engkau meliuhat Sufi menaruh kepedulian kepada penampilan lahiriyahnya, maka ketahuilah bahwa wujud batinnya rusak.”
“ Jika engkau meliuhat Sufi menaruh kepedulian kepada penampilan lahiriyahnya, maka ketahuilah bahwa wujud batinnya rusak.”
Al-Husain
bin Manshur al-Hallaj:
“Sufi
adalah kesendirianku dengan Dzat, tak seorang pun menerimanya dan juga tidak
menerima siapa pun.”
Abu
Hamzah Al-Baghdady:
“Tanda
Sufi yang benar adalah dia menjadi miskin setelah kaya, hina setelah mulia,
bersembunyi setelah terkenal. Sedang tanda Sufi yang palsu adalah dia menjadi
kaya setelah miskin, menjadi obyek penghormatan tertinggi setelah mengalami
kehinaan, menjadi masyhur setelah tersembunyi”.
Dzun Nuun
Al-Mishry:
“Kaum Sufi
adalah mereka yang mengutamakan Allah swt. diatas segala-galanya dan yang
diutamakan oleh Allah di atas segala makhluk yang ada.”
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Dari
keterangan-keterangan di atas kita simpulkan :
Ø Mengingat
yang dipraktekkan Nabi SAW dan para sahabat. Namun setelah tasawuf itu
berkembang menjadi pemikiran, bisa saja ia mendapat pengaruh dari luar seperti
filsafat Yunani dan sebagainya. Dan andaipun terdapat persamaan dengan ajaran
beberapa agama, kemungkinan yang dapat terjadi adalah persamaan dengan
agama-agama samawi (Nasrani dan Yahudi), mengingat semua agama samawi berasal
dari tuhan yang sama Allah SWT yang dalam Islam diyakini sama mengajarkan
tentang ketauhidan.
Ø Tasawuf bukanlah sesuatu yang dengannya manusia dapat
melakukan sebuah pelarian, bukanlah sesuatu yang dengannya manusia dapat
berpangku tangan terhadap hidup. Melainkan, tasawuf adalah suatu metode
penyucian jiwa dan pembening hati, yang menjadi bekal utama manusia dalam
menggeluti ranah kehidupannya yang, pada dasarnya tidak pernah terlepas dari
berbagia macam persoalan. Tasawuf membimbing manusia dalam pengembangan kinerja
ukhrawi dan sekaligus juga duniawi.
Manfaat mempelajari
Ilmu Akhlak:
Ø Menetapkan
kteria perbuatan yang baik dan buruk.
Ø Membersihkan
diri dari perbuatan dosa dan maksiat.
Ø Mengarahkan
dan mewarnai berbagai aktivitas kehidupan manusia.
Ø Memberikan
pedoman atau penerangan bagi manusia dalam mengetahui perbuatan yang baik atau
buruk.
B.
Saran
Dari
penulisan ini mungkin banyak sekali kesalahan, baik dari segi penulisan ataupun
dari segi pengertian. Kami sadar bahwasan nya makalah kami ini jauh dari kata
sempurna, jadi kami harapkan sekali kritik dan saran yang bersipat membangun
dari pembaca, supaya menjadi perbaikan untuk makalah-makalah
selanjutnya.sebelum dan sesudahnya pemakalah ucapkan terima kasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Abudin Nata, Dr. MA. Akhlak
Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2002
Al-Ghazali. Ihya’ Ulumu al-Din. Jilid III. Beirut:
Dar al-Fikr, t.t.
Asmaran As, Drs. MA. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta:
RadjaGrafindo Persada, 1996
Permadi, K.Drs. S.H.
Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: Rineka Cipta, 2004
Rosihon Anwar,
Drs. M.Ag. Drs. Mukhtar Solihin, M.Ag. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Simuh. Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam.
Jakarta: RajaGrafindo Persada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar