BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Iddah
Bagi
istri yang putus hubungan perkawinan dengan suaminya baik karena ditalaq atau
karena ditinggal mati oleh suaminya, mempunyai akibat hukum yang harus
diperhatikan yaitu masalah iddah. Keharusan beriddah merupakan perintah Allah
yang dibebankan kepada bekas istri yang telah dicerai baik dia (istri) orang
yang merdeka maupun hamba sahaya untuk melaksanakannya sebagai manifestasi
ketaatan kepadanya. Untuk memudahkan pembahasan kita mengenai pengertian iddah
ini,maka penulis mencoba mengungkapkan dan menyajikan dari dua segi yaitusegi
bahasa dan segi istilah.
Ø Dari Segi Bahasa
Sebelum kita mengkaji lebih lanjut
tentang nafkah iddah terlebih dahulu penulis kemukakan arti iddah ditinjau dari
segi bahasa, iddah berasal dari kata عدد yang mempunyai
arti bilangan atau hitungan.[1]
Dalam Kamus Arab Indonesia karangan Mahmud Yunus, iddah berasal dari kata عدّ yang berarti
menghitung.[2]
Dengan demikian jika ditinjau dari segi
bahasa, maka kata iddah dipakai untuk menunjukkan pengertian hari-hari
haid atau hari suci pada wanita.[3]
Ø Dari
Segi Istilah
Para ulama’ telah merumuskan pengertian iddah dengan
rumusan, antara lain
اسم للمدة التى تنتظر فيها المرأة وتمتسع عن التز ويج بعد وفاة زوجها او فراته لها.
Dari
definisi di atas, dapat dipahami bahwa iddah adalah suatu tenggang waktu tertentu yang harus
dijalani seorang perempuan sejak ia berpisah. Baik disebabkan karena talak maupun karena
suaminya meninggal dunia.
Dalam hal iddah ini wanita (istri) tidak boleh kawin dengan laki-laki lain sebelum habis
masa iddahnya. Dengan demikian dapat diambil suatu pengertian bahwa iddah itu
mempunyai beberapa unsur yaitu :
a.
Suatu tenggang waktu tertentu
b.
Wajib dijalani si bekas istri
c.
Karena ditinggal mati oleh suaminya maupun diceraikan oleh suaminya.
d.
Keharaman untuk melakukan perkawinan selama masa iddah
Untuk memperjelas pengertian
tersebut di atas, dapat dikemukakan hasil Tim Departemen Agama RI yang
merumuskan bahwa iddah menurut pengertian hukum Islam ialah masa tunggu yang
ditetapkan oleh hukum syara’ bagi wanita untuk tidak melakukan akad perkawinan
dengan laki-laki lain dalam masa tersebut. Sebagai akibat perceraian atau
ditinggal mati suaminya. Dalam rangka membersihkan diri dari pengaruh dan
akibat hubungan dengan suaminya itu. Jadi iddah itu adalah kewajiban pihak perempuan
untuk menghitung hari-harinya dan masa bersihnya dan ini merupakan nama bagi
masa lamanya perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh kawin setelah kematian
suaminya atau setelah pisah dengan suaminya.
Bertolak dari beberapa definisi
tersebut di atas dapat dirumuskan bahwa iddah menurut pengertian dalam hukum
Islam adalah masa tunggu yang ditetapkan oleh hukum syara’ bagi wanita (istri)
untuk tidak melakukan aqad nikah baru dengan laki-laki lain dalam masa tersebut,
dengan tujuan untuk membersihkan diri dari pengaruh akibat hubungan antara
mantan suaminya itu serta sebagai ta’abudi kepada Allah SWT.
Merujuk pada Peraturan Pemerintah
No. 9 tahun 1975 yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-undang
Perkawinan No. 1 tahun 1974 akan kita ambil pengertian yang sifatnya sudah
cukup tegas. Hal ini disebabkan karena definisi waktu tunggu iddah itu sendiri
sudah diulas secara konkrit dan jelas. Menurut H. Arso Sastroadmojo dalam bukunya
Hukum Perkawinan Indonesia dijelaskan bahwa : Iddah adalah tenggang waktu dimana
janda bersangkutan tidak boleh kawin bahkan dilarang pula menerima pinangan
atau lamaran dengan tujuan untuk menentukan nasab dari kandungan janda itu bila ia
hamil. Dan juga sebagai masa berkabung bila suami yang meninggal dunia dan
untuk menentukan masa rujuk bagi suami bila talak itu berupa talak
faj’i.[4]
Pemahaman ini diinspirasikan secara
implisif oleh pasal-pasal yang berhubungan dengan masalah iddah itu
sendiri yaitu pasal 11 Undangundang No. 1 tahun 1974 dan pasal 39 Peraturan
Pemerintah No. 9 tahun 1975. dengan demikian pengertian iddah
adalah masa tenggang waktu atau tunggu sesudah jatuhnnya talak. Di
dalam waktu iddah itu bekas suami diperbolehkan untuk merujuk kepada
bekas istrinya. Atas dasar inilah si istri
tidak diperbolehkan melangsungkan
perkawinan baru dengan laki-laki lain.[5]
B.
Dasar Hukum Iddah
Setelah membahas masalah iddah dari
segi pengertian, maka di bawah ini penyusun membahas dasar-dasar hukum iddah
yang mengacu pada hukum naqli guna memperjelas tentang iddah itu sendiri.
1. Dasar dari Al Qur'an
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاث قروء ولا يحل لهن ان يكتمن
ما خلق الله في ارحامهن ان كن يوءمن بالله واليوم الاخر وبعولتهم احق بردهن في
ذالك ان ارادوا اصلاحا ولهن مثل الذي عليهن بالمعرف وللرجال عليهن درجة والله عزيز
حكيم.
Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh
mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan
para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma`ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(QS. Al Baqarah : 228)
Ayat di atas walaupun sebenarnya telah
dinasakh oleh ayat yang kemudian, akan tetapi kandungan dari
hukum ayat tersebut tetaplah dipakai dan dipergunakan sebagai dalil
hukum dalam penetapan hukum Islam syara’ yang berkenaan dengan
masalah iddah istri.
2. Dasar hadist
Hadits
dari Bukhari dan Muslim yang berbunyi :
وعن ابي مسعود البدري رضي الله عنه عن
النبي صلعم قال : انفق الرجل علي اهله يحتسبها فهوا له صدقة.
Dari
Abu Mas'ud Al Badry ra. Dari Nabi saw. Beliau bersabda "Apabila seseorang
menafkahkan harta untuk keperluan keluarga, hanya berharpa dapat memperoleh
pahala maka hal itu akan dicatat sebagai sedekah baginya."[6]
3. Dasar
Hukum Perdata
Undang-undang No. 1 tahun 1974
tentang perkawinan menetapkan waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus
perkawinan.[7]
Selanjutnya atas dasar pasal 11 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan ditetapkan waktu tunggu sebagai berikut :
Ayat
(1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
Ayat
(2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat satu akan diatur dalam
peraturan pemerintah lebih lanjut.[8]
Demikian pula pada Peraturan
Pemerintah No. 9 tahun 1975, tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang No. 1
tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur waktu tunggu yang dituangkan pada bab
VII pasal 39.Pada pasal 153 Kompilasi Hukum Islam tentang Perkawinan dalam
menentukan waktu tunggu sebagai berikut : Ayat (1) Bagi seorang istri yang
putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah kecuali qobla ardhukhul dan
perkawinannya putus bukan karena kematian suami. Demikian pula dalam pasal 154
dan pasal 155 Kompilasi Hukum Islam tentang perkawinan, mengatur waktu iddah.
C. Macam-macam Iddah
Mengenai
macam-macam iddah atau waktu tunggu menurut perundang-undangan hukum Indonesia,
khususnya dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan serta dalam
peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan
Kompilasi Hukum Islam. Telah memberikan klasifikasi dengan tidak menyebut suatu
istilah tertentu yang dipergunakan, akan tetapi sebagaimana diketahui bahwa
materi dari Undangundang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya merupakan
cuplikan yang diambil dari norma masing-masing agama di Indonesia yang didominasi
oleh aturan-aturan yang digariskan dalam syariat Islam. Sedangkan secara
spesifikasi maka macam-macam iddah itu antara lain ialah :
1. Iddah Perempuan yang Haid
Jika
perempuannya bisa haid maka iddahnya tiga kali quru'. Sebagaimana firman Allah
:
والمطلقت يتربصن بانفسهن ثلاثة قروء.
Dan perempuan-perempuan yang
berthalaq, hendaklah mereka menahan diri mereka tiga kali quru'
(QS. Al Baqarah : 228)
Dengan
ayat tersebut di atas jelaslah bahwa istri yang diceraikan oleh suaminya.
Sedangkan istri tersebut belum pernah disetubuhi oleh suami yang mentalaknya,
maka bagi si istri tersebut tidak mempunyai masa iddah. Sedangkan istri yang
ditinggal suami dan pernah bersetubuh, maka
ia harus beriddah seperti iddah orang yang disetubuhi, hal ini berdasar firman Allah
SWT yang berbunyi sebagai berikut :
والذين يتوفون منكم
ويذرون ازواجا يتربصن بانفسهن اربعة اشهر وعشرا
فاذا بلغ اجلهن فلا جناح عليكم فيما فعلن في
انفسهن بالمعروف....
Orang-orang yang meninggal dunia di
antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh
hari. Kemudian
apabila telah habis `iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para
wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa
yang kamu perbuat.(QS. Al Baqarah : 234)
Wajib iddah bagi istri
tersebut dimaksudkan untuk menghormati bekas suaminya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh
Sayyid Sabiq sebagai
berikut : istri yang kematian suaminya wajib iddah sekalipun belum pernah disetubuhi, hal ini untuk
menyempurnakan dan juga untuk menghargai hak suami yang meninggal dunia.[9]
Istri yang telah dicerai dalam keadaan masih haid harus menjalani iddah
(waktu tunggu) selama 3 (tiga) kali suci dan bila diharikan minimal 90
(sembilan puluh) hari. Hal ini sebagaimana yang disebut dalam pasal 39 peraturan
pemerintah No. 9 tahun 1975, ayat (1) sub (b) yang berbunyi sebagai
berikut : “Apabila
perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang berdatang
bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90
(sembilan puluh) hari”[10]
2. Iddah istri yang tidak berhaid
Istri
yang tidak berhaid lagi jika dicerai oleh suaminya atau ditinggal mati oleh
suaminya maka mereka (istri) beriddah selama 3 bulan. Ketentuan ini berlaku
buat perempuan yang belum baligh dan perempuan yang sudah tua tetapi tidak
berhaid lagi, baik ia sama sekali tidak berhaid sebelumnya atau kemudian berhaid akan tetapi putus haidnya. Hal
ini berdasarkan pada firman Allah yang berbunyi sebagai berikut :
Dan orang-orang yang putus diantara
istri-istri kamu, jika kamu ragu maka iddah mereka itu tiga bulan. Dan
orang-orang yang tidak berhaid serta perempuan hamil masa iddahnya ialah
sesudah mereka melahirkan (QS. Ath Thalaq : 4)
Sedangkan berdasarkan hukum perdata
Indonesia maka istri tersebut harus menjalani masa tunggu selama 90 (sembilan
puluh) hari. Ini sejalan dengan pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975
ayat (1) sub (b) yang berbunyi sebagai berikut :
“Apabila perkawinan putus karena perceraian,
waktu tunggu bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh)
hari”.[11]
3.
Iddah istri yang telah disetubuhi
Iddah istri yang telah disetubuhi
masih haid dan adakalanya tidak berhaid lagi. Masa iddah yang masih haid adalah
selama 3 kali quru’sebagaimana disebutkan dalam firman Allah sebagai berikut :
Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu)
tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan
Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat.
Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika
mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai
hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf. Akan tetapi
para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(QS. Al Baqarah : 228)
Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih
Sunnah bahwa
kata quru’ hanya digunakan oleh agama yang berarti haid. Sesuai
dengan firman Allah sebagai berikut :
...إذا طلقتم النساء فطلقوهن لعدتهن وأحصوا العدة...
4. Iddah
perempuan hamil
Perempuan yang dicerai atau
ditinggal mati suami dan sedang hamil iddahnya sampai ia melahirkan. Hal ini
didasarkan pada firman Allah yang berbunyi sebagai berikut :
واولات الاحمال اجلهن ان يضعن حملهن
Dan Perempuan-perempuan
hamil masa iddah mereka ialah sesudah melahirkan (QS. At Thalaq :
4)
Istri tersebut harus menjalani masa
tunggu yakni sampai ia melahirkan bayinya. Ini sejalan dengan Kompilasi Hukum
Islam pasal 135, ayat (2), sub (c), yang berbunyi sebagai berikut :
“Apabila
perkawinan putus karena perkawinan sedang janda tersebut dalam keadaan hamil
waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan”. Allah berfirman :
والذين يتوفون منكم ويذرون ازواجا يتربصن بانفسهن
اربعة اشهر وعشرا
Disini
timbul perselisihan paham mengenai perempuan yang cerai mati, sedangkan ia
hamil, dan anaknya lahir sebelum cukup 4 bulan 10 hari terhitung dari
meninggalnya suaminya. Apakah iddahnya habis dengan melahirkan anak. Menurut
jumhur ulama salaf, iddahnya habis setelah anaknya lahir, walaupun belum cukup
4 bulan 10 hari. Menurut pendapat lain yang diriwayatkan dari Ali, iddahnya
harus mengambil waktu yang lebih panjang daripada salah satu di antara kedua
iddah itu. Artinya, apabila anaknya lahir sebelum 4 bulan 10 hari, iddahnya
harus menunggu sampai cukup 4 bulan 10 hari, dan apabila telah sampai 4 bulan
10 hari anaknya belum lahir juga, maka iddahnya harus menunggu sampai anaknya
lahir.
Selain itu ada perbedaan paham
mengenai iddah perempuan yang sedang hamil. Syafi’i berpendapat bahwa iddah
wanita yang sedang hamil, syaratnya apabila anak itu adalah anak suami yang
menceraikannya.. sedangkan menurut imam Hanifah, perempuan itu beriddah dengan
lahirnya anak, baik anak bekas suaminya yang menceraikannya ataupun bukan,
sekalipun anak zina. Wanita yang menjalani iddah wajib tinggal di rumah suami
sampai habis iddahnya. Ia tidak boleh keluar dari rumah suaminya.
D.
Hikmah
di Syari’atkannya Iddah
Suatu keyakinan yang mesti menjadi pegangan umat Islam ialah ajaran
Islam yang termuat di dalam Al Qur'an dan as sunnah merupakan petunjuk Allah
yang harus menjadi pedoman bagi manusia khususnya kaum muslimin dan muslimat
demi keselamatan hidupnya di dunia maupun di akhirat. Berbeda hal dengan
ajaran-ajaran yang pernah diturunkan Allah sebelumnya dimana ajaran tersebut
hanya diperuntukkan untuk kaum tertentu. Ajaran Islam tidak hanya berlaku untuk
kelompok atau kaum di dalam masyarakat tertentu serta tidak pula terbatas pada
masa tertentu pula. Akan tetapi ajaran Islam sejak diturunkan telah ditetapkan
sebagai pegangan dari semua kelompok dan kaum manusia pada berbagai tempat dan
waktu sampai akhir masa (zaman).[12]
Demikian pula halnya dengan masalah
iddah yang merupakan suatu syari’at yang telah ada sejak zaman dahulu yang mana
mereka tidak pernah meinggalkan kebiasaan ini dan tatkala Islam datang
kebiasaan itu diakui dandijalankan terus karena banyak terdapat kebaikan dan
faedah di dalamnya.[13]
Para ulama’ telah mencoba menganalisa hikmah disyariatkannya iddah secara global
dapat disebutkan sebagai berikut :
Ø Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang
perempuan, sehingga tidak tercampur antara keturunan seseorang dengan
yang lain, atau dengan kata agar tidak terjadi percampuran dan kekacauan nasab.
Ø Memberikan kesempatan kepada suami istri yang
berpisah untuk berfikir kembali, apakah untuk rujuk kembali kepada istrinya
ataukah akan meneruskan cerai tersebut jika hal tersebut dianggap lebih baik.
Ø Kebaikan perkawinan tidak dapat terwujud sebelum
kedua suami istri sama-sama hidup lama dalam ikatan aqadnya.
Untuk
lebih jelas dan lebih mendetailnya hikmah disyariatkannya iddah tersebut maka
dapat dikemukakan seperti di bawah ini :
»
Sebagai
Pembersih Rahim
Ketegasan
penisaban keturunan dalam Islam merupakan hal yang amat penting. Oleh karena
itu segala ketentuan untuk menghindari terjadinya kekacauan nisab keturunan
manusia ditetapkan di dalam Al Qur'an dan As Sunnah dengan tegas. Diantara
ketentuan tersebut adalah larangan bagi wanita untuk menikah dengan beberapa
orang pria dalam waktu yang bersamaan.[14]
Dan disamping itu untuk menghilangkan keraguraguan tentang kesucian rahim
perempuan tersebut, sehingga pada nantinya tidak ada lagi keragu-raguan tentang
anak yang dikandung oleh perempuan itu apabila ia telah kawin lagi dengan
laki-laki yang lain.[15]
»
Kesempatan
untuk berfikir
Iddah
khususnya dalam talak ra’ji merupakan suatu tenggang waktu yang memungkinkan
tentang hubungan mereka. Dalam masa ini kedua belah pihak dapat mengintropeksi
diri masing-masing guna mengambil langkah-langkah yang lebih baik. Terutama
bila mereka telah mempunyai putra-putri yang membutuhkan kasih sayang dan
pendidikan yang baik dari orang tuanya.36 Disamping itu memberikan kesempatan berfikir
kembali dengan pikiran yang jernih setelah mereka menghadapi keadaan rumah
tangga yang panas dan yang demikian keruh sehingga mengakibatkan perkawinan
mereka putus. Kalau pikiran mereka telah jernih dan dingin diharapkan pada
nantinya suami akan merujuk istri kembali dan begitu pula si istri tidak
menolak untuk rujuk dengan suaminya kembali. Sehingga perkawinan mereka dapat
diteruskan kembali.[16]
»
Kesempatan
untuk bersuka cita
Iddah khususnya dalam kasus cerai
mati, adalah masa duka atau bela sungkawa atas kematian suaminya. Cerai karena
mati ini merupakan musibah yang berada di luar kekuasaan manusia untuk
membendungnya. Justru itu mereka telah berpisah secara lahiriyah akan tetapi
dalam hubungan batin mereka begitu akrab.38 Jadi apabila perceraian tersebut karena
salah seorang suami istri meninggal dunia, maka masa iddah itu adalah untuk
menjaga agar nantinya jangan timbul rasa tidak senang dari pihak keluarga suami
yang ditinggal, bila pada waktu ini si istri menerima lamaran ataupun ia melangsungkan perkawinan baru dengan
laki-laki lain.
»
Kesempatan
untuk rujuk
Apabila
seorang istri dicerai karena talak yang mana bekas suami tersebut masih berhak
untuk rujuk kepada bekas istrinya. Maka masa iddah itu adalah untuk berpikir
kembali bagi suami untuk apakah ia akan kembali sebagai suami istri. Apabila
bekas suami berpendapat bahwa ia sanggup mendayung kehidupan rumah tangganya
kembali, maka ia boleh untuk merujuk kembali istrinya dalam masa iddah.
Sebaliknya apabila suami berpendapat bahwa tidak mungkin melanjutkan kehidupan
rumah tangga kembali, ia harus melepas bekas istrinya secara baik-baik dan jangan
menghalang-halangi bekas istrinya itu untuk kawin dengan laki-laki lain.
Dengan demikian tampak dengan jelas
bahwa iddah itu memiliki berbagai keutamaan di berbagai aspek, yang mana
masing-masing mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Sehubungan dengan
itu maka dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa :
Ø Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern tidaklah dapat mengubah ketentuan dalam kasus-kasus yang sudah
jelas dikemukakan dan ditetapkan oleh Al Qur'an dan as sunnah. Namun hanya
dalam kasus wathsyubhat dan zina perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
dapat dimanfaatkan, sebab hukum antara pria dan wanita dalam kasus ini hanya
terkait pada masalah dhuhul yang menggunakan kesucian rahim.
Ø Meskipun terdapat keyakinan bahwa rahim
perempuan (istri) bersih dan diantara mereka (suami istri) tidak mungkin rujuk
kembali, namun tidaklah dapat dibenarkan bagiperem tersebut (bekas istri)
melanggar ketentuan iddah yang sudah dibentukan.
Ø Begitu pula sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan
untuk memperpanjang iddah bagi istri yang dapat mengakibatkan penganiayaan
maupun yang mendatangkan keuntungan baik bagi bekas suami ataupun bagi bekas
istri.
E.
Hak dan Kewajiban Suami Istri pada Masa Iddah
Hak Istri pada Masa Iddah
1. Mendapatkan nafkah selama masa iddah
2. Mendapatkan perumahan selama masa iddah
3. Istri berhak memutuskan untuk rujuk
kembali, sedangkan kewajiban istri adalah masa berkabung bila ia ditinggal mati
suaminya.
Kewajiban
suami pada masa iddah istri
1. Suami wajib memberikan nafkah pada istri
2. Suami wajib memberikan perumahan pada
istri
3. Suami berhak untuk merujuk kembali atau
tidak
Hak istri merupakan kewajiban suami
untuk melaksanakan atau memenuhi hak-hak istri. Sedangkan kewajiban istri
merupakan hak suami yang harus dijalankan oleh istri pada masa iddah. Berdasarkan
Undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 4 (sub c) yang berbunyi :
“Pengadilan
Agama dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan
dan atau menentukan suatu kewajiban bagi istri”.
Hal ini juga dipertegas dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 81 ayat (1dan 2) yang berbunyi :
·
Suami
wajib menyediakan tempat tinggal bagi istri dan anak-anaknya atau bekas
istrinya yang masih dalam iddah.
·
Tempat kediaman adalah tempat tinggal suami
Berdasar pada pasal di atas dan
dipertegas dalam Kompilasi Hukum Islam menunjukkan bahwa perumahan masuk ke
dalam kategori dari bunyi pasal dan hukum di atas untuk mewajibkan suami
menyediakan tempat kediaman bagi istri selama masa iddah atau tempat kediaman
bagi istri dapat dialih artikan suami memberikan rumah yang lain untuk
ditempati istri baik selama pada masa iddah ataupun setelahnya. Akan tetapi
bila istri itu sendiri yang meninggalkan rumah yang telah ditetapkan tanpa
alasan yang dipertanggung jawabkan, maka istri tersebut telah dianggap nusyuz. Adapun
kewajiban lainnya bagi suami adalah memberikan biaya nafkah selama masa iddah,
sebagaimana yang terdapat dalam pasal 149 (sub a dan b) yang berbunyi antara
lain :
1. Bila perkawinan putus karena talak, maka
bekas suami wajib :
·
Memberikan
mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali
bekas istri tersebut qobla audukhul
·
Memberi
nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas
istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
Adapun suami sendiri yang dengan
suka rela tanpa dituntut dulu oleh istri di Pengadilan Agama memenuhi kewajiban
istri yang pada masa iddah. Apabila istri berkeinginan menuntut nafkah iddah,
maka dapat dilaksanakan berdasarkan pada pasal 86 ayat (1) Undang-undang No. 7
tahun 1989 yang berbunyi :
“Gugatan
soal pengasuhan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama suami istri
dapat diajukan bersama-sama dalam gugatan perceraian ataupun sesudah putusan
perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap”.[17]
Nafkah iddah ini merupakan hak istri
pada masa iddah dan kewajiban suami pula untuk melaksanakannya. Akan tetapi
dari tahun 1993 sampai 1995 masih relatif kecil yang melaksanakannya. Hal ini
dikarenakan banyak faktor, salah satunya adalah pendidikan. Mengenai jumlah
nafkah iddah istri tersebut sangat relatif. Bila terjadi perselisihan mengenai
jumlah, dapat dianjurkan dan diberikan pengarahan oleh Pengadilan Agama untuk diselesaikan
secara musyawarah dan kekeluargaan. Akan tetapi bila tidak terjadi kesepakatan
dalam penentuan jumlah maka pengadilan agama dapat menentukan jumlahnya yang
disesuaikan dengan kemampuan suami dan tidak memberatkannya, dan sebaliknya
diberikan pada saat setelah pembacaan sighot thalak di muka majelis hakim
Pengadilan Agama.
Suami dapat untuk tidak
melaksanakannya disebabkan si istri melalaikan kewajibannya, atau sebab yang
lainnya yaitu istri mengikhlaskan suami untuk tidak melaksanakan kewajibannya. Ini
sesuai dengan pasal 80 ayat (4 dan 7) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi
antara lain :
4.
Sesuai dengan penghasilan suami menanggung :
a.
Nafkah, kiswah, biaya perawatan, pengobatan bagi istri dan anak
b.
Biaya rumah tangga, biaya perawatan diri, biaya pengobatan istri dan anak.
c.
Biaya pendidikan bagi anak
5.
Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf (a) dan
(b) di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya.
6.
Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajibannya terhadap dirinya sebagaimana
tersebut pada ayat (4) huruf (a) dan (b)
7.
Kewajiban suami yang dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz.
Dari bunyi pasal tersebut di atas
tampak jelas suami dapat tidak melaksanakan kewajiban yaitu :
1.
Apabila si istri benar-benar telah mengikhlaskannya
2.
Apabila si istri dalam keadaan nusyuz, maka akibat hukumnya hak istri.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Muhammad
Idris Abdurra'uf, Al Marbawy Juz I, Kamus Idris Melayu, Darul Ulum Al
Islamiyah.
2.
Mahmud
Yunus, Kamus Arab Indonesia, Hida Karya Agung, Jakarta, 1997.
3.
Chuzaiman
T.Yanggo dkk.,Problematika Hukum Islam Kontemporer,Pustaka Firdaus
Jakarta, 1994.
4.
H.
Sastroadmojo, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet. III, Bulan
Bintang, Jakarta, 1981.
5.
Soemiyati,
Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Liberty,
Yogyakarta, 1982.
6.
Imam
Nawawi, Riyadhus Sholihin Jilid I, Pustaka Amani, Jakarta, 1992.
7.
K.
Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, cet. IV, Ghalia Indonesia,
Jakarta,1978.
8.
SayyidSabiq,
Fiqih Sunnah Jilid VIII, PT Al Ma’ruf, Bandung, 1987.
9.
Mahfud,Pengadilan
Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia,Yogyakarta
Press, Yogyakarta, 1993.
10. Kamal Muhtar, Asas Hukum Perkawinan,
cet. II, Bulan Bintang, Jakarta, 1987.
[1] Muhammad
Idris Abdurra'uf, Al Marbawy Juz I, Kamus Idris Melayu, Darul Ulum Al
Islamiyah,354,hlm. 8- 9
[2] Mahmud Yunus, Kamus
Arab Indonesia, Hida Karya Agung, Jakarta, 1997, hlm.
[3] Chuzaiman T.Yanggo dkk.,Problematika Hukum Islam Kontemporer,PT.Pustaka
Firdaus, Jakarta, 1994, hlm 14
[4] H. Sastroadmojo, Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia,
cet. III, Bulan Bintang, Jakarta, 1981, hlm. 70
[5] Soemiyati, Hukum Perkawinan
Islam dan Undang-undang Perkawinan,
Liberty, Yogyakarta, 1982, hlm. 120
[7] K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, cet. IV, Ghalia
Indonesia, Jakarta,1978, hlm. 20
[8] Undang-undang Perkawinan di Indonesia
dan Peraturan Pelaksanaan.
PT. Pradya Paramita, Jakarta, 1987, hlm.10
[10] Sastroadmojo. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet. III,
Bulan Bintang, Jakarta, 1981. Hal 129
[11] Mahfud,Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia,Yogyakarta Press, Yogyakarta, 1993. Hal 210
[12] Chuzaiman Yanggo,dkk. Problematika Hukum Islam Kontemporer, PT.
Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994.hal 148
[14] Chuzaiman Yanggo,dkk. Problematika Hukum Islam Kontemporer, PT.
Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994.hal 166
[15] Kamal Muhtar, Asas Hukum Perkawinan, cet. II, Bulan Bintang,
Jakarta, 1987, hlm. 230
[16] Soemiyati, Hukum Perkawinan
Islam dan Undang-undang Perkawinan,
Liberty, Yogyakarta, 1982, hlm 120
[17] Moh Mahfud,Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata
Hukum Indonesia,Yogyakarta Press, Yogyakarta, 1993. Hal 160
Tidak ada komentar:
Posting Komentar