BAB
I
PENDAHULUAN
Secara
prinsip tiada seorang pun yang dapat menafikan adanya konsep tasawwuf dalam
tradisi Islam. Tasawwuf terbukti sangat berkesan dalam terdalam (esoteris) ajaran Islam (al-janib al-‘Atifi min al-Islam),
tasawwuf kerap kali dikatakan sebagai hakikat sedangkan aspek luaran
(eksoteris) dikatakan sebagai Syari‘ah. Keduanya yaitu hakikat dan syariah ini
mempunyai peranan masing-masing yang tidak dapat dipisahkan daripada ajaran
Islam yang komprehensif (kaffah). Oleh karena itu kedua-duanya ini tidak boleh
dilihat secara dikotomis, terpisah dan dipertentangkan. Namun pada kenyataannya
tasawwuf merupakan salah satu subjek yang sering disalahfahami oleh banyak
orang, baik di kalangan Muslim sendiri maupun orang bukan Islam. Hal ini
berlaku di antaranya adalah karena tasawwuf telah melalui evolusi dan
perkembangan yang jauh setelah ia diperkenalkan kepada generasi awal Islam.
Istilah Tasawwuf (Sufisme), berasal dari kata shuf (wol, bulu domba) yang
berarti memakai pakaian dari wol yang kasar, sebagai simbol kehidupan yang
keras (zuhud/ascetics) yang menjauh dari kenikmatan duniawi. Jadi istilah
tasawuf hanyalah simbol metaforis untuk sebuah konsep asketisme (kepertapaan
atau kerahiban) dan gnosis (irfan) (Nasr, 1991: 32).
Dunia
tasawwuf adalah dunia kerohanian (spirituality). Merupakan suatu hal yang
mustahil memahami dunia ini jika seseorang itu hanyut dalam alam material dan
keduniaan. Di Abad modern ini, di mana kehidupan masyarakat didominasi oleh worldview sekuler, tasawwuf menjadi
sesuatu yang asing dan terpinggir. Malahan, ada kalangan yang beranggapan bahwa
orang-orang yang mengamalkan tasawwuf adalah orang-orang yang kolot, berfikir
ke belakang dan konservatif. Menurut saya, ketika dunia modern semakin hanyut
dengan materialisme dan hedonisme, peranan tasawwuf dirasakan amat signifikan
dalam usaha mengatasi permasalahan dan dilema yang dihadapi oleh masyarakat
hari ini. Semakin dominan falsafah sekularisme dan materialisme dalam kehidupan
masyarakat semakin banyak orang yang mencari akan ‘makna’ dan hakikat
kehidupan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Problematika
Masyarakat Modren
“ Revolusi
Teknologi” dengan meningkatkan kontrol kita pada materi, ruang dan waktu,
menimbulkan evolusi ekonomi, gaya hidup, pola pikir dan sistem rujukan. Dalam
kaitan ini terdapat tiga keadaan dalam dalam mensikapi revolusi industri. Yaitu
kelompok yang optimis, pesimis dan pertengahan antara keduanya. Bagi kelompok
yang optimis kehadiran revolusi teknologi justru menguntungkan, seperti yang
diperlihatkan Ziauddin Sardar. Menurutnya revolusi reformasi yang kini sedang
dijajakan sebagai suatu rahmat besar bagi manusia. Penjajanya yang agresif
ditelevisi, surat-surat kabar, dan majalah-majalah yang mewah begitu menarik.
Pada lingkungan-lignkungan yang terpelajar, yaitu di dalam jurnal-jurnal
penelitian dan buku-buku akademis, disebutkan bahwa revolusi reformasi akan
menyebabkan timbulnya desentralisasi, dan karena itu akan melahirkan suatu
masyarakat yang lebih demokratis, telah meningkatkan keragaman budaya melalui
penyediaan informasi yang menyeluruh yang sesuai dengan keragaman selera dan
kemampuan ekonomi, memberi orang kesempatan untuk mengembangkan
kecakapan-kecakapan baru, meningkatkan produksi, dan dengan demikian
menciptakan kemakmuran untuk semua lapisan masyarakat.[1]
Sementara
itu bagi kelompok yang pesimis memandang kemajuan di bidang teknologi akan
memberikan dampak yang negatif, karena hanya memberikan kesempatan dan peluang
kepada orang-orang yang dapat bersaing saja, yaitu mereka yang memiliki
kekuasaan, ekonomi, kesempatan, kecerdasan dan lain-lain. Sementara bagi mereka
yang terbelakang tetap semakin terbelakang. Penggunaan teknologi di bidang
pertanian misalnya akan menyebabkab keuntungan bagi petani yang memiliki modal
saja, sedangkan bagi yang tidak memiliki modal semakin menghadapi masalah yang
serius. Lapangan kerja yang selama ini banyak menyerap tenaga kerja, sudah
mulai ditangani oleh teknologi yang hemat tenaga kerja, akibatnya terjadinya
pengangguran.
Teknologi
juga akan berbahaya jika berada di tangan orang yang secara mental dan
keyakinan agama belum siap. Mereka dapat menyalahgunakan teknologi untuk
tujuan-tujuan yang destruktif dan mengkhawatirkan. Penggunaan teknologi
kontrasepsi misalnya dapat menyebabkan orang dengan mudah dapat melakukan
hubungan seksual tanpa harus takut hamil atau berdosa. Demikian juga kemajuan
di bidang teknologi farmasi atau obat-obatan dapat menyebabkan diciptakannya
berbagai bentuk obat yang membahayakan dengan versi yang berlainan dan dapat
diperoleh dengan cara-cara yang mudah. Selanjutnya kemajuan di bidang teknologi
rekayasa genetika, melalui apa yang disebut dengan bayi tabung, dapat mendorong
manusia memproduksi manusia untuk dijualbelikan sebagaimana menjual
buah-buahan, atau binatang.
Selanjutnya
kemajuan di bidang teknologi persenjataan menyebabkan orang berbisnis dalam
bidang persenjatan, dan agar bisnis senjatanya ini lancar dan memperoleh
kenutungan, maka diciptakan situasi yang terus menerus komplik dan mencekam,
yang pada akhirnya mereka memerlukan pembelian senjata untuk mempertahankan
daya dan kelangsungan hidupnya. Keadaan ini terus berlanjut hingga dunia tak
pernah aman. Banyak negara-negara yang sudah memiliki senjata-senjata biokimia
yang dahsyat seperti virus yang dapat mengubah kota ramai menjadi kumpulan
bangkai, atau sepecis baru yang dapat menghancurkan ribuan hektar padi dalam
sehari. Untuk menaklukkan sebuah negara atau kota, cukuplah orang memasukkan
500 gram LSD 25 dalam pusat air minum, dan seluruh penduduk menjadi gila.[2]
Kemajuan
di bidang teknologi komunikasi seperti komputer, faximile, internet dan
sebagainya juga akan membuka peluang bagi orang untuk lebih meningkatkan
aktivitas jahatnya dalam bentuk yang lebih canggih. Jaringan-jaringan peredaran
obat-obat terlarang, tukar menukar informasi, penyaluran data-data flim yang
berbau pornografi dan sebagainya akan semakin intensif pelaksanaanya. Setelah
mengajukan sejumlah kekhawatiran dari dampak teknologi ini, maka kaum yang
pesimistis ini mengajukan pertanyaan: bolehkah ilmu pengetahuan dan teknologi
yang netral etika itu terus dikembangkan? Bukankah sebaiknya dibatasi
penggunaannya, sampai masyarakat benar-benar siap menerimanya? Dan kapankah
datangnya saat dimana manusia itu siap menerima kehadiran iptek tampaknya perlu
disiapkan.
Sementara
pertanyaan tersebut belum terjawab telah muncul persoalan baru. Saat ini para
ilmuwan sosial telah mencapai pula teknik-teknik pengendalian manusia melalui
teori-teori motivasi, proses persuasi, dan ketidak sadaran manusia. Pengetahuan
mereka telah dimampaatkan oleh produsan untuk menyeret jutaan manusia kepada
pola konsumtif yang irasional, kepada apa yang disebut oleh Reinhold Neibuhr
sebagai perbudakan produksi.[3]
Dalam
pada itu bagi kelompok yang mengambil sikap antara optimis dan pesimis terhadap
kemajuan ilmu pengatahuan dan teknologi (iptek) mengatakan, bahwa iptek itu
positif atau membahayakan pada pengangguran, inflasi dan pertumbuhan,
tergantung pada orang yang mengelolanya, tanpa harus ditangguhkan, demi kepentingan
kerja sama dan perdamaian. Dalam kaitan ini menarik sekali apa yang dikemukakan
sosiolog perancis Jacques Ellul yang mengatakan bahwa kemajuan dalam bidang
teknologi akan memberi pengaruh sebagai berikut:
1) Semua
kemajuan teknologi menuntut pengorbanan, yakni dari satu sisi teknologi memberi
nilai tambah, tapi pada sisi lain tetap mengurangi.
2) Nilai-nilai
manusia yang tradisional, misalnya harus dikorbankan demi efisien.
3) Semua
kemajuan teknologi lebih banyak menimbulkan masalah ketimbang memecahkannya.
4) Efek
negatif teknologi tidak dapat dipisahkan dari efek positifnya, teknologi tidak
pernah netral, efek negatif dan positif serenyak dan tidak terpisahkan.
5) Semau
penemuan teknologi mempunyai efek yang tidak terduga.
Sikap
manakah dari tiga sikap yang dikemikakan di atas itu yang akan timbul, itu
tampaknya amat tergantung kepada cara pandang dan sistem nilai yang dianut oleh
masyarakat yang bersangkutan. Bagi umat islam yang selalu diajarkan bersikap
adil terhadap berbagai masalah, tampaknya sikap pertengahan yang perlu diambil,
yaitu sikap yang dari satu sisi mau menerima dan memampaatkan kemajuan di
bidang iptek, sedangkan pada sisi lain kita berusaha menjaga agar iptek tidak
disalahgunakan. Kegiatan di bidang dakwah, jurnalistik, pengkajian Islam,
perbaikan mmasyarakat, dan sosial kemasyarakatan lainnya akan lebih efektif dan
berhasil secara efisien jika di dukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.
Demikian juga persaudaraan seiman dan seagama, sebagaimana yang diajarkan nabi
Muhammad. Bahwa umat Islam ini adalah sebagai suatu bangunan jasad yang satu,
dapat dilahirkan dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun
bagaimanakah agar kegiatan-kegiatan yang bersifat positif dilakukan oleh umat,
adalah bergantung kepada sikap mental dan kepribadian manusia.
Penggunaan
iptek modren yang demikian itu masih lebih banyak dikendalikan oleh orang-orang
yang secara moral kurang dapat dipertanggungjawabkan. Sikap hidup yang
mengutamakan marteri (materialistik), memperturutkan kesenangan dan kelezatan
syahwat (hedonistik), ingin menguasai aspek kehidupan (totaliteristik), hanya
percaya pada rumus-rumus pengetahuan empiri saja, serta paham hidup
positivistis yang bertumpu pada kemampuan akal pikiran manusia tampak lebih
menguasai manusia yang memegang ilmu pengetahuan dan teknologi. Di tangan
mereka yang berjiwa dan bermental demikian itu, ilmu pengetahuan dan teknologi
memang sangat mengkhawatirkan. Mereka akan menjadi penyebab kerusakan di
daratan dan dilautan sebagaimana diisyaratkan al-quran (lihat QS. Al-rum, 30:41).
Dari sikap mental yang demikian itu kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi
telah melahirkan sejumlah problematika masyarakat modren yang menyangkut
masalah tasawup sebagai berikut:
a. Desintegrasi
Ilmu Pengetahuan
Kehidupan
modren antara lain ditandai oleh adanya spesialisasi di bidang ilmu
pengetahuan. Masing-masing ilmu pengetahuan memiliki paradigma. Cara pandangnya
sendiri dalam memecahkan masalah yang di hadapi. Jika seorang menghadapi
masalah lalu ia pergi kepada kaum teolog, ilmuwan, polotisi, sosiologi, ahli
biologi, psikologi, etnologi, dan ekonom misalnya, ia kan memberikan jawaban
yang berbeda-beda dan terkadang saling bertolak belakang. Hal ini pada akhirnya
dapat membingungkan manusia. Keadaan bebagai limu pengetahuan yang saling
bertolak belakang itu diakui oleh Max Scheler sebagai dikutip Komaruddin
Hidayat. Menurutnya antara satu disiplin limu atau filsafat dan lainnya
terdapat kerenggangan, bahkan tidak tahu-menahu, mengiatkan ungkapan pragmented
knowledge yang dikemukakan Hussein Nasr, ilmuwan kenamaan dari Iran. Hal
ini menurut Nasr merupakan pangkal
terjadinya kekeringan spritual, akibat pintu masuknya tersumbat. Dengan
menyempitnya pintu masuk bagi persepsi dan konsepsi spritual, maka manusia
modren semakin berada pada garis tepi, sehingga tidak lagi memiliki etika dan
estetika yang mengacu pada sumber Ilahi.
Terjadinya
kepingan-kepingan ilmu yang mengarah pada spesialisasi, sehingga jikalau
semuanya berjalan sendiri-sendiri tanpa ada tali pengikat dan petunjuk jalan
yang menguasai semuanya, yang terjadi adalah kian jauhnya manusia dari
pengetahuan (kearifan) aklan kesatuan alam. Lebih dari itu, pengalian disiplin
di atas bisa jadi malah mendatangkan benturan-benturan antara yang satu dan
lainnya. Mengapa hal demikian terjadi? Jawabnya adalah karena mereka telah
menjeratkan dirinya pada rasionalistis teknoligis secara absolut, netral nilai
keagamaan tetapi sarat nafsu penakluikan. Perkembangan semacam ini diisyaratkan
oleh Nashr sebagai manusia modren yang memang tangannya dalam kobaran api
tetapi dirinya sendiri yang menyalakannya ketika ia mengijinkan dirinya untuk
melupakan siapa dia sesungguhnya.[4]
b. kepribadian
yang Terpecah (Split Personality)
Karena
kehidupan modren dipolakan oleh ilmu pengetahuan yang coraknya kering
nilai-milai spritual dan terkotak-kotak itu, maka manusianya menjadi pribadi
yang terpecah (split personality). Kehidupan manusia modren diatur menurut
rumus ilmu yang eksak dan kering. Akibatnya kini tengah menggelinding proses
hilangnya kekayaan rohaniah, karena dibiarkannya perluasan ilmu-ilmu positif (ilmu
yang hanya mengandalkan fakta-fakta emprik, obyektif, rasoonal dan terbatas)
dan ilmu-ilmu sosial. Kita sama sekalio bukan meremehkan atau tidak menghargai
jasa yang diberikan ilmu pengetahuan eksak dan sosial, tetapi yang kita
inginkan agar ilmu-ilmu tersebut diintegrasikan satu dan lainnya melalui tali
pengikat yaitu ajaran agama Tuhan sehingga seluruh ilmu itu diarahkan pada
tujuan kemuliaan manusia, mengabdikan dirinya pada tuhan berakhlak mulia dan
seterusnya. Jika proses keilmiwan yang berkembang ini tidak berada di bawah
kendali agama maka proses kehancuran
pribadi manusia akan terus berjalan. Dengan berlangsungnya proses tersebut
semua kekuatan yang lebih tinggi untuk mempertinggi derajat kehidupan manusia menjadi
nilang, sehinggs bukan hanya kehidupan kita yang mengalami kemerosotan, tetapi
juga kecerdasan dan moral kita.
c. Penyalahgunaan
Iptek
Sebagai
akibat dari terlepasnya ilmu pengetahuan dan teknologi dari ikatan spritual,
maka iptek telah disalahgunakan dengan segala implikasi negatifnya sebagaimana
disebutkan di atas. Kemampuan membuat senjata telah diarahkan untruk tujuan
penjajahan satu bangsa atas bangsa lain, subversi dan lain sebagainya.
Kemampuan di bidang rekayasa genetika diarahkan untuk tujuan jual-beli manusia.
Kecanggiahan di bidang teknologi komunikasi dan lainnya telah digunakan untuk
menggalang kekuatan yang menghancurkan moral uamt dan sebagainya.
d. Pengdangkalan
iman
Sebagai akibat
lain daripola pikiran keilmuwan tersebut di atas, khususnya ilmu-ilm u hanya
mengakui fakta-fakta yang besifat empiris menyebabkan manusia dangkal imannya,
ia yidak tersentuh oleh informasi yang diberikan oleh wahyu ini menjadi bahan
tertawaan dan dianggap sebagai tidak ilmiah dan kampungan.
e. Pola
hubungan materialistik
Semangat
persaudaraan dan rasa saling tolong yang didasarkan atas panggilan iman sudah
tidak tampak lagi karena iminnya memang sudah dangkal. Pola hubungan satu dan
lainnya ditentukan oleh sebagai seberapa jauh antara satu dan lainnya dapat
memberikan keuntungan yang bersifat material. Demikian pada penghormatan yang
diberikan seseorang atas orang lain banyak diukur oleh sejauh mana orang
tersenut dapat memberikan mamfaat secara material. Akibatnya ia menenpatkan
pertimbangan material di atas pertimbangan akal sehat, hati nurani, dan
imannya.
f. Menghalalkan
Segala Cara
Sebagai
akibat lebih jauh dari dangkalnya iman dan pola hidup materialistik sebagaimana
disebutkan di atas, maka manusia dengan mudah dapat menggunakan prinsif
menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan. Jika hal ini terjadi maka
terjadilah kerusakan akhlak dalam segala bidang, baik ekonomi, politik, sosial,
dan sebagainya. Beberapa dampak negatif dari kehadiran iptek yang berwatak tak
bermoral sertas pola hidup materialistis sebagainmana disebutkan di atas
tampaknya bukan masalah baru lagi bagi bangsa indonesia. Di sini kita lihat
lagi, untruk dicarikan jalan pemecahan.
g. Stres
dan Prustasi
Kehidupan modren
yang demikian kompetitif menyebabkan manusia harus mengerahkan selutuh pikiran tenaga
dan kemampuannya. Mereka terus bekerja dan bekerja tanpa mengenal batas dan
kepuasan. Hasil yang dicapai tak pernah disyukurinya dan selalu merasa kurang.
Apalagi jika usaha dan pronyeknya gagal, maka dengan mudah ia kehilangan
pegangan, karena memang tidak lagi memiliki pegangan yang kokoh yang berasal
dari tuhan. Mereka hanya berpegang atau bertuhan kepada hal-hal yang bersifat
material yang sama sekali tidak dapat membimbing hidupnya. Akibatnya jika
terkena problema yang tidak dapat dipecahkan dirinya, segera saja ia steres dan
prustasi yang jika hal ini terus-menerus akan berlanjut akan menjadikan ia gila
atau hilang ingatan. Jumlah manusia yang mengalami kondisi jiwa yang demikian
itu kian bertanbah banyak jumlahnya.
h. Kehilangan
Harga Diri dan masa depannya
Terdapat
sejumlah orang yang terjerumus atau salah memilih jalan kehidupan, masa mudanya
dihabiskan unutk memperturutkan hawa nafsu dan segala daya dan cara telah
ditempuhnya, namun ada suatu saat di mana ia sudah tua renta, sudah tidak
berdaya, tenaganya sudah tidak mendukung, dan berbagai kegiatan sudah tidak
bisa ia lakukan. Fasilitas dan kemewahan hidup sudah tidak berguna lagi, karena
fisik dan mentalnya sudah tidask memerlukan lagi. Manusia yang demikian ini
merasa kehilangan harga diri dan masa depannya, kemana ia harus berjalan, ia
tidak tahu. Mereka perlu bantuaqn dari kekuatan yang berada dari luar dirinya,
yaitu bantuan tuhan.
B. Peranan
Tasawup Dalam Mengatasi Problematika Sosial
Banyak
cara yang diajukan para ahli untuk mengatasi masalah tersebut, dan salah satu
cara yang hampir disepakati para ahli adalah denbgan cara mengembangkan
kehidupan yang berakhlak dan bertasawuf. Salah satu tokoh yang begitu
sungguh-sungguh memperjuangkan akhlak tasawuf bagi mengatasi masalah tersebut
adalah Hussein Nashr. Menurutnya paham sufismi ini mulai mendapat tempat
dikalangan masyrakat, karena mulai merasakan kerkeringan batin. Mereka mulai
mencari-cari dimana sefisme yang dapat menjawab sejumlah masalah tersebut di
atas. Dalam kebingungan semacam itu, sementaraq bagi mereka selama berabad-abad
Islam dipandangnya dari isinya legalistik formalistis tidak memiliki di mensi
esoteris (batiniah) maka kini saatnya dimensi batiniah islam harus
diperkenalkan sebagai alternatif. Bagi masyarakat Barat masih sangat asing kalau
muhammad ditempatkan sebagai tokoh spritual, dan islam memiliki kekayaan rohani
yang sesungguhnya amat mereka rindukan.
Mengapa
sufisme perlu dimasyarakatkan pada mereka ? jawabnya menurut Komaruddin Hidayat
terdapat tiga bagian, pertama, turut
serta terlibat dalam berbagai peran dalam menyelamatkan manusia dari kondisi
kebingungan akibat hilangnya nilai-nilai spritual. Kedua, memperkenalkan literatur atau pemahaman tentang aspek
esoteris (kebatinan) Islam, baik terhadap masyarakat Islam yang mulai melupakannya
atua non-muslim, khususnya terhadap masyarakar barat. Ketiga, untuk memberikan penegasan kembali bahwa sesungguhnya aspek
esoteris Islam, yakni sufisme, adalah jantung ajaran Islam, sehingga bila
wilayah ini kering dan tidak berdenyut maka keringlah aspek-aspek lain ajaran
Islam. Dalam hal ini nashr menegaskan “tarikat” atau “jalan rohani” yang
biasanya dikenal sebagai tasawuf atau sufisme adalah adalah merupakan dimensi
kedalaman dan kerahasiaan (esoteric)
dalam islam, sebagaimana syariat berakar pada al-Qur’an dan al-Sunnah. Ia
menjadi jiwa risalah Islam, seperti hati yang ada pada tubuh, tersembunyi jauh
dari pandangan luar. Betapun ia tetsp merupakan sumber kehidupan yang paling
dalam, yang mengatur seluruh organisasi keagamaan dalam Islam[5].
Namun
demikian penggunaan tasawuf mengatasi sejumlah masalah moral sebagaimana
tersenut di atas menghendaki adanya interpretasi baru terhadap term-term
tasawuf yang selama ini di pandang sebagai menyebabkan melemahnya daya juang
dikalangan umat Islam. Intisari ajaran tasawuf sebagaimana paham mistisisme
dalam agama-agama lain, adalah tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari
dengan tuhan, sehingga sesorang merasa dengan kesadarannya itu berada di
hadirat-nya. Upaya ini antara lain dilakukan dengan kontemplasi, melepaskan
diri dari jeratan dunia yang senantiasa berubah dan bersifat sementara ini.
Sikap dan pandangan sufistik ini sangat diperlukan oleh masyarakat modren yang
mengalami jiwa yang terpecah sebagaimana yang disenutkan di atas, adalkan
pandangan terhadap tujuan tasawuf tidak dilakukan secara eksklusif dan individual,
melainkan berdaya implikatif dalam meresponi berbagai masalah yang dihadapi.
Orang
yang telah samp[ai pada tujuan tersebut di atas akan selamat dari jeratan
duniawi. Dengan demikian seseorang yang tidak bisa melepaskan kaca mata
ilmiahnya, lalu beralih pada penglihatan mata hatinya, maka sulitlah baginya
menangkap bayang-bayang tuhan, mengadakan dialog dengannnya. Seseorang yang
terbiasa menggunakan analisis ilmiah terhadap obyek faktual sulit baginya
ditambati benang merah yang menghubungkan dirinya dengan titik pusat dalam
pendakian spritual menuju makrifat. Yaitu suatu tahap antara hamba dan tuhannya
tidak ada lagi tabir menutup, sementara hati sang hamba telah dipenuhi dengan
cinta yang mwmbara bukan rasa takut, terhadap tuhan. Penglaman spritual seperti
itu telah dialami oleh Rabi’ah al-Adawiyah dengan mahabbanya, Zun al-Nun Al
mishri dan Al-Ghazali dengan paham ma’rifahnya,
Abu Yazid al-Bustami dengan paham ittihadnya, ai-Hallaj dengan paham
Hululnya dan Ibnu arabi dengan paham Wahdatul Wujudnya.
Kesempurnaan
berhubungan dengan tuhan ini dapat mengintegrasikan seluruh ilmu pengetahuan
yang tampak berserakan itu, karena melalui tasawup inin seseorang disadarkan
bahwa sumber segala yang ada ini berasal dari Tuhan, bahwa dalam paham Wahdatul
Wujud, alam dam manusia yang menjadi objek ilmu pengetahuan ini sebenarnya
adalah bayang-bayang atau foto copy tuhan. Dengan cara demikian antara satu
ilmu dengan yang lainnya akan saling mengarah pada Tuhan. Di sinilah perlunya
ilmu dan teknologi yang berwawasan moral, yaitu ilmu yang diarahkan oleh
nilai-nilai tuhan. Orang yang demikian harus cemas jika ilmu yang dimilikinya
tidak dimamfaatkan sesuai perintah tuhan. Rasa cemas itu sebagai tanda beragama
dan bertuhan. Williem James menegaskan bahwa “selama manusia masih memiliki
naluri cemas dan mengharap, selama itu pula ia beragama (berhubungan dengan
Tuhan). Itulah sebabnya mengapa perasaan takut merupakan salah satu dorongan
yang terbesar untuk beragama.
Dengan
adanya bantuan tasawuf ini maka ilmi pengetahuan satu dan lainnya tidak akan
bertabrakan, karena ia berada dalam satu jalan dan satu tujuan. Dan di pihak
lain perasaan agama yang di dukung oleh ilmu pengetahuan itu juga akan semakin
mantap. Hubungan ilmu dengan ketuhanan yang diajarkan agama jelas sekali. Ilmu
mempercepat anda sampai ke tujuan, agama menentukan arah yang dituju. Ilmu
menyesuaikan manusia dengan ;lingkungannya dan agama menyesuaikan dengan jati
dirinya. Ilmu hiasan lahir dan agama hiasan batin. Ilmu memberikan kekuatan dan
memerangi jalan dan agama memberikan harapan dan dorongan bagi jiwa. Ilmu
memjawab pertanyaan yang di mulai dengan “bagaimana” agama menjawab ;pertanyaan
yang dimulai dengan “mengapa”. Ilmun tidak jarang mengeluarkan pikiran
pemiliknya sedangg agama selalu menenangkan jiwa pemeluknya yang tulus.
Selanjutnya
tasawuf melatih manusia agar memiliki ketajaman batin dan kehalusan budi
pekerti. Sikap batin dan kehalusan yang tajam ini menyebabkan ia akan selalu
mengutamakan pertimbangan kemanusiaan pada setiap masalah yang dihadapi. Dengan
cara demikian, ia akan terhindar dari melakukan perbuatan-perbuatan yang
tercela menurut agama. Demikian pula
tarikat yang terdapat dalam tasawup akan membawa manusia memiliki jiwa
istiqomah, jiwa yang selalu diisi dengan nilai-nilai ketuhanan, ia selalu
mempunyai pegangan da;lam hidupnya. Keadaan demikian menyebabkan ia tetap tabah
dan tidak mudah terhempas oleh cobaan yang membelokkkannya ke jurang
kehancuran. Dengan demikian, stres, putus asa dan lainnya akan dapat dihindari
berkenaan dengan tarikat ini nurcholis Madjid mengatakan bahwa dengan mengikuti
tarikat berarti kita menempuh jalan yang benar secara mantap dan konsisten.
Orang yang demikian dijanjikan Tuhan akan memperoleh karunia hidup bahagia yang
tiada terkira. Hidup bahagia ini adalah hidup sejati, yang dalam ayat suci
tersebut diumpamakan dengan air yang melimpah ruah. Dalam literatur kesufian air
karunia Ilahi itu disebut “air kehidupan” inilah yang secara simbolik dicari
oleh para pengamal tarikat, yang wujud sebenarnya adalah “pertemuan” dengan
tuhan dengan ridha-Nya.[6]
Selanjutnya
ajaran tawakkal pada tuhan, menyebabkan ia memiliki pegangan yang kokoh karena
ia telah mewakilkan atau menggadaikan dirinya sepenuhnya pada tuhan. Orang yang
pada suatu saat menaiki pesat supersonik dengan kecepatan yang tinggi, tidak
akan merasa nyaman dan mengasikkan, jika selalu ia takut jatuh atau mati. Orang
yang demikian akan merasa tenang jika bertawakkal. Ia serahkan urusannya itu
pada tuhan karena memang urusan mati bukan di tangan manuisa, tugas manuisa
hanya mengupayakan agar berbagai persyaratan keselamatan penerbangan telah di
lakukan, misalnya kmeadaan mesin pesawat, bahan bakar, kondisi pilotnya,
baling-baling pengerak mesin roda untuk take
off dan landing, dan seterusnya telah diusahakan. Sikap tawakkal ini akan
mengatasi sikap stres yang dia;lami manusia. Selanjutnya sikap frustasi bahkan
hilang ingatan alias gila dapat diatasi dengan sikap ridha yang diajarkan dalam
tasawuf, yaitu selalu pasrah dan menerima terhadap segala keputusan tuhan. Iaq
menyadari bahwa yang maha Kuasa atas segala sesuatu adalah tuhan. Sikap yang
demikian itu diperlukan untuk mengatasi masalah frustasi dan sebagainya.
Sikap
materialstik dan hedonistik yang meraqjalela dalam kehidupan modren ini dapat
diatasi dengan menerapkan konsefsi zuhud, yang pada intinya sikap yang tidak
mau diperbudak atau terperangkap oleh duniawi yang sementara itu. Jika sikap
ini telah mantap, maka ia akan tidak berani menggunakan segala cara untuk
mencapai tujuan. Sebab tujuan yang ingin dicapai dalam tasawuf adalah tuhan,
maka caranyapun harus di tempuh dengan cara yang disukai tuhan. Demikian pula
ajaran uzlah yang terdapat dalam tasawuf, yaitu usaha mengasingkan diri dari
terperangkap oleh tipu daya keduniaan. Dapat pula digunakan untuk membekali
manusia modren agar tidak menjadi sekruf dari mesin kehidupan, yang tidak tahu
lagi arahnya mau dibawa kemana. Tasawuf dengan konsep uzlahnya itu berusaha
membebaskan manusia dari perangkap-perangkap kehidupan yang memperbudaknya. Ini
tidak berarti seseorang harus pertapa, ia tetap terlihat dalam berbagai
kehidupan itu, tapi ia tetap mengendalikan aktivitasnya sesuia dengan
nilai-nilai ketuhanan, dan bukan sebaliknya larut dalam pengaruh kehidupan.
Dalam
pada itu tema tentang situasi kemanusiaan di zaman modren ini menjadi penting
dibicarakan, mengingat dewasa ini manusia menghadapi bermacam-macam persoalan
yang benar-benar membutuhkan pemecahan segera. Kadang-kadang kita merasa bahwa
situasi yang penuh problematik di dunia modren ini justru disebabkan oleh
perkembangan pemikiran manusia sendiri. Di balik kemajuan ilmu dan teknologi,
dunia modren sesungguhnya menyimpan suatu potensi yang dapat menghabcurkan
martabat manusia.[7]
Untuk menyelamatkannya perlu tasawuf yang wujud konkretnya dalam akhlak yang
mulia. Menurut Jalaluddin Rahmat, sekarang ini diseluruh dunia timbul kesadaran
betapa pentingnya memperhatikan etika dalam pengembangan sains. Di beberapa
negara maju telah didirikan lembaga lembaga “pengawal moral” untuk sains. Yang
paling terkenal ialah The Institut of
Society, Etics and Life Science di Hasting New York. Kini telah disadari,
seperti kata sir Manc farlance Burnet, biologi Australia, bahwa: sulit bagi
seorang ilmuwan aksprimental mengetahui apa yang tidak boleh diketahui.
Ternyata, sains tidak bisa dibiarkan lepas dari etika, kalau kita tidak ingin
senjata makan tuhan.[8]
Sekarang
dunia tampaknya sepakat bahwa sains harus dilandasi etika, tetapi etika pun
akarnya pemikiran filsafat pula, yaitu pemikiran yang mengandung keunggulan dan
kelemahan, makas masalah etika pun masih mengandung masalah, untukn itu yang
perlu adalah akhlak yang bersumber dalam Al-Qur’an dan al-hadis.[9]
Terakhir problematika masyarakat modren di atas adalah sejumlah manusia yang
kehilangan masa depannya, merasa kesunyian dan kehampaan jiwa di tengah derunya
lajunya kehidupan. Untuk itu ajaran akhlak tasawuf yang berkenaan dengan
ibadah, zikir, taubat dan berdoa menjadi penting adanya, sehingga ia tetap is
mempunyai harapan, yaitu bahagia hidup diakhirat nanti. Bagi orang-orang yang
sudah lanjut usia yang dahulu banyak menyimpang hidupnya, akan terus dibayangi
perasaan dosa, jika tidak segera bertaubat. Tasawup akhlak memberi kesempatan
bagi penyelamatan manusia yang demikian, itu penting dilakukan agar ia tidak
terperangkap ke dalam praktek kehidupan spritulal yang menyesatkan, sebagaiaman
yang akhir-akhir ini banyak berkembang di masyarakat.
Demikian
pula munculnya anak muda yang terjerumus ke dalam perbuatan tercela, seperti
menggunakan obat-obat terlarang, praktek hidup bebas tanpa mempedulikan ajaran
agama, dan pikiran mereka telah dipenuhi oleh konsep-konsep yang salah itu,
maka tasawup dengan sistem yang diakui paling kuat untuk menghubungkan manusia
dengan tuhan, merupakan salah satu alternatif penyembuhan. Pusat-pusat
rehabilitasi korban narkotik dan pergaulan bebas ternyata juga dapat dilakukan
melalui jalur tasawup dan pengembangan akhlak. Itulah sumbangan positif yang
dapat digali dan dikembangkan dari ajaran tasawup akhlak. Untuk itu dalam
mengatasi problematika kehidupan masyarakat modren saat ini, akhlak tasawup
harus dijadikan salah satu alternatif terpenting. Ajaran akhlak tasawup perlu
disuntikkan ke dalam seluruh konsep kehidupan. Ilmu pengetahuan, teknologi,
ekonomi, sosial, politik, kebudayaan dan lain sebagainya perlu dilandasi ajaran
akhlak tasawup. Inilah harapan kita.
Ada
beberapa keuntungan atas menerapkan akhlak taswup di zaman modren yaitu sebagai berikut:
a. Menghidupkan
Rasa Kehambaan
Ilmu tasawuf dapat menghidupkan
rasa kehambaan. Untuk kita terasa hamba. Menghidupkan rasa takut pada Allah
yang mesti ada di mana-mana. Rasa malu mesti dihidupkan kerana Allah melihat,
Allah memerhati. Menghidupkan rasa hina diri di hadapan Tuhan. Rasa kehambaan
ini bila dihidupkan, mazmumah akan hilang dengan sendiri. Orang yang terlalu
sombong, ego, ujub itu adalah disebabkan tidak ada rasa kehambaan.
b. Menghidupkan
Rasa Bertuhan
Hati sentiasa
sedar Allah melihat, mengetahui dan Allah sentiasa ada bersama kita. Inilah
kunci kita tidak melakukan dosa. Contohnya dalam majlis raja, kita tidak akan
buat salah sekalipun menguap. Kita amat jaga tingkah laku kerana kita sedar
raja yang berkuasa sedang melihat kita. Maka di hadapan Raja segala raja
sepatutnya lebih-lebih lagilah kita malu hendak buat dosa. Rasa bertuhan mesti
bertapak di hati, barulah rasa kehambaan itu diperolehi. Ilmu tasawuf adalah
ilmu tentang rohaniah. Ilmu rohaniah ertinya ilmu yang berkait rapat dengan roh
(hati nurani manusia). Al Quran menganjurkan ilmu ini yaitu:
Maksudnya: “Beruntunglah orang yang mensucikan
hatinya dan rugilah orang-orang yang mengotorinya.” (Asy Syam: 9 - 10)
c. Kontekstualisasi Sikap Zuhud di Abad Modern
Secara prinsip jalan sufi adalah jalan
yang ditempuh oleh seorang Muslim yang serius dan yang bersungguh-sungguh
meraih keredhaan Allah Swt. Hakikatnya jalan ke surga dipenuhi dengan onak duri
dan jalan ke neraka pula dipenuhi dengan perhiasan. Seorang Sufi betul-betul
menghayati hadith yang menyebut bahawa dunia adalah penjara bagi orang Mukmin
dan Syurga bagi orang kafir. Maka seorang sufi adalah seorang yang sanggup
melepaskan kenikmatan dan perhiasan dunia kemudian sanggup menempuh kepahitan,
kekurangan dan kehinaan demi mencapai keridhaan Tuhannya dan bertemu dengan
Sang Kekasih. Dibalik keseriusan,
kepahitan dan kesabaran yang dihadapi seorang sufi, ia dapat merasakan kenikmatan,
ketenangan dan kebahagiaan hati yang tidak dapat dirasakan oleh orang yang
terlingkupi oleh materialistik.
Oleh karena itu tasawwuf menawarkan
kebahagiaan hati di tengah gersangnya arus modernitas. Seorang yang tawadu‘
(merendah diri), zuhd (tidak materialistik), qana‘ah (merasa cukup), seringkali
mendapati dirinya bebas, tenang, dan damai. Kehidupan dunia ini sebagaimana
digambarkan dalam al-Qur’an seperti fatamorgana. Dalam Surah al-Nur: 39
dikatakan: “Dan orang-orang Yang kafir
pula, amal-amal mereka adalah umpama riak sinaran panas di tanah rata yang
disangkanya air oleh orang Yang dahaga, (lalu ia menuju ke arahnya) sehingga
apabila ia datang ke tempat itu, tidak didapati sesuatu pun Yang disangkanya
itu; (Demikianlah keadaan orang kafir, tidak mendapat faedah dari amalnya
sebagaimana Yang disangkanya) dan ia tetap mendapati hukum Allah di sisi
amalnya, lalu Allah meyempurnakan hitungan amalnya (serta membalasnya); dan
(ingatlah) Allah amat segera hitungan hisabNya. Oleh karenanya, Allah Swt. telah
mengingatkan bahwa kadangkala apa yang manusia sangka baik sebenarnya tidak
baik, dan kadangkala yang manusia sangka buruk pada hakikatnya adalah
baik. Allah telah memperingatkan
beberapa kali bahwa akhirat itu lebih baik daripada dunia: “Katakanlah (Wahai
Muhammad): “Harta benda yang menjadi kesenangan di dunia ini adalah sedikit
sahaja, (dan akhirnya akan lenyap), dan (balasan) hari akhirat itu lebih baik
lagi bagi orang-orang yang bertaqwa (kerana ia lebih mewah dan kekal
selama-lamanya), dan kamu pula tidak akan dianiaya sedikit pun.” (al-Nisa’: 77)
Walaupun dunia ini dikatakan perhiasan yang menipu dan fitnah (cubaan) yang
dapat menguji keimanan seseorang tetapi dunia tidak dikatakan hina, patut
ditinggalkan dan dijauhi.
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh
Muhammad Iqbal (1966: 21) bahwa manusia tidak boleh lari dari dunia yang telah
Allah percayakan kepada manusia. Manusia bertanggungjawab atas dunianya. Bagi
Iqbal (1966: 22) sikap asketisme dianggap sebagai pelarian dari realitas
kehidupan yang kongkret, dan itu berarti lari dari dunia fisiknya sendiri.
Mencintai Tuhan berarti sepenuhnya terlibat dengan dunia yang Tuhan ciptakan
bukan lari darinya. Pada hakikatnya dunia dijadikan oleh Allah sebagai tempat
untuk manusia mengabdi, ia adalah tempat ujian untuk menguji keimanan
hamba-hamba-Nya, sebagai tempat dan alat ia sepatutnya dilihat sebagai sesuatu
yang netral. Di bawah ini akan dijelaskan konsep zuhud yang menunjukkan bahwa
zuhud tidak berarti meninggalkan dunia. Kebanyakan masyarakat hari ini memahami
zuhud sebagai cara hidup yang meninggalkan dunia, berpakaian lusuh, makan dan
minum ala kadarnya -tidak berkhasiat, tidak memiliki harta benda dan rumah yang
kurang baik, menggunakan kendaraan yang buruk atau tidak berkendaraan langsung.
Dengan konsepsi zuhud seperti ini maka konsep zuhud disinonimkan dengan
kemunduran dan sikap konservatif. Jadi secara tidak langsung, orang yang
menerima konsepsi zuhud seperti ini telah menyifatkan Islam dengan kemunduran
dan anti dunia. Benarkah zuhud itu sinonim dengan kemunduran dan anti dunia?
Selain dari itu, persoalan yang lebih luas lagi adalah benarkah konsepsi
tersebut bersandarkan kepada karya-karya ulama besar dalam ilmu tasawwuf dan
akhlak seperti Ibn Arabi, al-Ghazzali dan Miskawayh.
Dalam usahanya menerangkan apa yang
dimaksudkan dengan zuhud, Imam al-Ghazzali (tt: 207) mendefinisikan zuhud
dengan: “tindakan seseorang yang menolak sesuatu yang diinginkan untuk
mendapatkan sesuatu yang lain yang lebih berharga.” Walaupun dari definisi yang
dinyatakan oleh al-Ghazzali ini mengisyaratkan perlunya dunia itu ditinggalkan
untuk mendapatkan akhirat, namun penulis berpendapat apa yang dimaksudkan oleh
al-Ghazzali adalah meninggalkan kecintaan terhadap dunia untuk memastikan
seseorang itu mendapatkan ampunan akhirat. Ini karena al-Ghazzali sendiri
sering menekankan perlunya dunia dan segala apa yang terkandung digunakan
sewajarnya, tidak berlebihan agar ia tidak jadi penghalang kepada penghambaan
diri kepada Allah Swt. Sebenarnya zuhud dekat dengan penolakan terhadap dunia,
tetapi penolakan tersebut tidak sama sekali bermaksud meninggalkan dunia. Yang
ditolak adalah kecintaan terhadap dunia (hubb al-dunya). Dunia dengan segala
kesenangan dan perhiasannya bersifat menggiurkan, manusia yang kurang imannya
akan terpedaya dan menjadikannya lengah lalu meninggalkan perintah Tuhannya.
Kecintaan terhadap dunia ini perlu dikawal dan ditundukkan karena jika tidak ia
akan menyesatkan seseorang. Rasulullah Saw. beberapa kali mengingatkan bahwa
hubb al-dunya merupakan faktor yang signifikan pada kelemahan umat Islam.
Bagi Sufyan al-Thawri, seorang tokoh
sufi yang ulung, zuhud adalah perbuatan hati yang menyerahkan segala sesuatu
demi mencapai keridhaan Allah Swt. dan menutup hati dari segala ambisi
keduniaan. Kaum sufi juga telah menjelaskan ciri-ciri orang yang benar-benar
memiliki sifat zuhud: orang yang tidak bergembira dengan mendapatkan keduniaan,
tidak juga sedih dengan kehilangannya, tidak merasa seronok dengan pujian dan
terancam dengan kritikan dan cacian, dan yang selalu mengutamakan pengabdian
kepada Allah atas segala sesuatu yang lain. Oleh karena zuhud adalah lawan
kepada hubb al-dunya, maka pada istilah yang sesuai untuk memperkenalkan
kembali zuhud dengan wajah yang segar adalah bahawa ia adalah lawan kepada sifat
materialistik. Seseorang yang zuhud sebenarnya adalah seseorang yang tidak ada
dalam dirinya sifat materialistik, kecintaan terhadap dunia atau pun
mementingkan keduniaan. Zuhud dalam arti kata hilangnya hubb al-dunya dalam
diri seorang Muslim bukan satu pilihan melainkan satu kemestian. Zuhud yang
selama ini dilihat sebagai suatu cara hidup yang khas dimiliki oleh para sufi
atau ‘golongan agama’ sebenarnya suatu cara hidup yang diinginkan oleh Islam
untuk diamalkan oleh setiap penganutnya. Islam mengajarkan umatnya agar melihat
dunia sebagai alat yang digunakan untuk meraih keridhaan Allah Swt. di akhirat.
Dunia dipandang sebagai alat dan bukan tujuan.
d.
Penyeimbang dunia Materil dan Spritual
Tasawwuf tidak boleh dilihat hanya berfungsi sebagai
pemenuhan kerohanian manusia. Tasawwuf sebenarnya berfungsi sebagai penyeimbang
kepada keharmonian hidup manusia. Kemajuan dan pembangunan yang tertumpu pada
aspek fisikal dan material akan melahirkan manusia yang berat sebelah
(pincang). Kehidupan modern yang didominasi oleh falsafah materialisme adalah
kehidupan yang kasar, kering, penuh dengan konflik, kepentingan, permusuhan dan
kebencian. Lebih daripada itu seorang yang materialistik pada kemuncaknya
sanggup melakukan perkara yang tidak etis demi memenuhi tujuannya. Ini
menunjukkan bahwa sifat materialistik (nafsu) telah memenjarakan dan
memperhambakan dirinya. Oleh itu, pada hakikatnya materialisme telah
merendahkan martabat manusia menjadi makhluk yang rendah Islam, sebagai panduan
hidup manusia, telah memberikan jalan keluar bagi kepincangan dan
ketidakharmonian kehidupan manusia. Solusi yang diberikan oleh Islam adalah
keseimbangan (i‘tidal) antara pembangunan jasmani dan pembangunan rohani, antara
keperluan material dan keperluan spiritual.
Walaupun orientalis tidak membedakan tasawwuf dengan
mistisisme, namun jelas bahwa terdapat perbedaan yang jelas antara tasawwuf
dengan mistisisme. Mistisisme, khususnya yang berkaitan dengan kuasa luar biasa
(paranormal) atau ilmu ghaib (occult), muncul setelah tasawwuf awal
diselewengkan oleh beberapa aliran tasawuf. Ibn Taymiyyah adalah di antara
ulama’ yang terang-terangan menentang penyelewengan kaum sufi di zamannya.
Penilaian kritis terhadap perkembangan tasawwuf juga dilakukan oleh Ibn Khaldun
dalam karyanya, Muqaddimah. Setelah mengkaji dengan mendalam, Ibn Khaldun
membincangkan perkembangan tasawwuf dengan cukup rinci dan ilmiah termasuk
beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh kaum sufi.
Beliau menolak pandangan tokoh-tokoh sufi yang
menyebabkan seseorang lari dari dunia. Ibn Khaldun (tt: 2005) juga mengatakan
bahwa konsep qutb ataupun ra’s al-‘Arifin (maqam yang tertinggi dalam tatanan
sufi) adalah konsep yang tidak berasas sama sekali. Umat Islam sewajarnya
adalah umat pertengahan (ummatan wasatan) di antara umat Yahudi yang rigid,
literal, menumpukan pada aspek perundangan semata (the ten commandents) dan
umat Nasrani yang telah memperkenalkan kerahiban (rahbaniyyah), meninggalkan
dunia demi menyucikan diri. Sejak awal Rasulullah s.a.w. telah memperingatkan
bahwa dalam Islam tiada kerahiban: la rahbaniyyata fi al-Islam. Dengan demikian
umat Islam terlepas dari satu keburukan yang terdapat dalam agama lain iaitu
bid‘ah kerahiban. Rasulullah s.a.w. tidak menyetujui orang yang terus menerus
beribadah dengan meninggalkan makan minum, seks dan tidur malam, sebaliknya
menyuruh mereka mengikuti sunnah baginda yang menjalani kehidupan seperti
manusia biasa. Di samping itu kekuatan rohani merupakan bekal yang penting
dalam mengarungi kehidupan yang penuh dengan tantangan. Seseorang yang hanya
dibekalkan dengan kekuatan akal akan rentan kekecewaan dan putus asa, karena
tidak semua perkara dapat diselesaikan dengan kemampuan akal manusia.
Hakikatnya, para saintis telah mengakui bahwa
kejayaan seseorang dalam kehidupan bukan saja ditentukan oleh ketinggian IQ
tetapi juga ketinggian EQ (emotional quotient) dan SQ (spiritual quotient) atau
pun oleh sarjana Muslim disebut sebagai kecerdasan rohaniah (transcendental intelligence).
(Tasmara: 2004:61). Kecerdasan rohaniah mampu membekalkan semangat, kekentalan,
kesabaran, keikhlasan, kejujuran, integriti, dsb. Seseorang yang merasakan
dirinya dekat dengan Tuhan akan sentiasa berbuat baik, berbakti kepada
masyarakat demi mencapai keridhaan Sang Kekasih dan mengharapkan ganjaran-Nya
di akhirat kelak. Kecerdasan rohaniah menghasilkan taqwa (self-restrain) yang
dapat menghalang seseorang Muslim daripada melakukan perbuatan maksiat, jahat
dan tercela walaupun tiada pengawasan dan kawalan luaran.
Tasawwuf tidak memundurkan seseorang. Seseorang yang
dekat dengan Allah Swt. adalah orang yang banyak berbuat dan bukan hanya
berharap. Ungkapan yang menggambarkan keperibadian para sahabat di zaman
Rasulullah s.a.w. adalah mereka itu seperti para rahib di waktu malam dan
pasukan berkuda pada waktu siang “ruhbanun fi al-layl wa fursanun bi al-nahar.”
Inilah gambaran sebenar seorang Muslim yang benar-benar mengikuti ajaran Islam.
Seorang yang dekat dengan Tuhan tetapi juga seorang yang beraksi dan bukan
hanya penonton. Seorang Muslim sejati adalah yang memainkan peranan sebagai
aktivis, reformis, pengurus, pentadbir, pemikir, pendidik dsb. Mereka adalah
golongan yang dirasakan akan kehadiran mereka oleh umat ini dan merasa
kehilangan dengan ketiadaan mereka. Revitalisasi Tasawwuf di Abad Modern.
Tasawwuf perlu diperkenalkan semula kepada masyarakat dengan pendekatan yang
baru. Pendekatan yang menumpukan pada substansi dan bukannya bentuk (form).
Pendedahan yang apresiatif sekaligus kritis perlu diperkenalkan kepada para
pendidik. Tidak seperti ilmu Syari‘ah lainnya, tasawwuf adalah ilmu yang
mengalami perkembangan yang luas dan terkadang tidak terkawal.
Dalam menggambarkan hal ini, al-Attas (2006:96)
mengatakan bahwa seseorang itu mesti dapat membedakan antara aspek positif
tasawwuf daripada aspek negatifnya. Menurutnya aspek negatif tasawwuf
sebenarnya tidak merujuk kepada tasawwuf yang sebenar. Al-Attas (2001: 96)
mendefinisikan tasawwuf sebagai pengamalan Syariah dalam maqam ihsan. Baginya
tasawwuf membentuk dimensi ruhani Islam di mana organ yang digunakan juga
adalah organ spiritual (fu’ad, qalb). Dimensi dalaman ini menuntut seseorang
pergi lebih jauh daripada sekedar pengamalan luaran. Muhammad al-Ghazzali (tt:
103) juga telah mencoba melakukan tajdid terhadap tasawuf. Persoalan utama yang
ingin diatasi olehnya adalah bagaimana mengeluarkan tasawwuf dari ‘gua
pertapaan’ sehingga ia dapat menjadi kekuatan yang menggerakkan. Muhammad
al-Ghazali (tt:104) menjelaskan bahawa konsep ihsan yang ditekankan dalam
hadist tidak seharusnya dibatasi pada ibadah khusus saja. Hadist lain menuntut
bahwa Allah Swt. mewajibkan hambanya berlaku ihsan pada setiap perkara yang
dilakukan. Berangkat daripada hadist ini Muhammad al-Ghazali (tt: 105)
mengatakan adalah tanggungjawab setiap Muslim untuk memastikan segala
tindakannya, pekerjaan yang dipilihnya, bidang yang digelutinya dilakukan
dengan sebaik mungkin untuk menjamin kualitas dan tahap kecemerlangan yang
tertinggi. Bahkan menurutnya, pelaksanaan fardu kifayah tersebut akan
menentukan setiap Muslim dapat melaksanakan fardu ‘ain.
Dengan demikian tidak ada alasan umat Islam
ketinggalan dalam bidang sains, teknologi, militer, ekonomi dsb. Kerena apabila
wujud sikap untuk berbuat yang terbaik (ihsan) dalam melakukan setiap perkara
maka umat Islam tidak akan ketinggalan dan mundur seperti sekarang ini
(Muhammad al-Ghazali, tt:106) Di Nusantara, telah muncul seorang ilmuwan besar
yang telah mencuba untuk memurnikan ajaran tasawwuf. Hamka (2005:21) menyadari
bahawa perkembangan Islam di Indonesia dan di dunia Islam umumnya telah
dipengaruhi oleh ajaran tasawwuf yang menyeleweng. Dalam menanggapi hal ini
antara lain Hamka mengatakan:
“Di dalam zaman kekacauan pikiran,
lantaran kurang baiknya ekonomi, sosial dan politik; kerapkali timbul kerinduan
ummat hendak melepaskan fikiran dari pengaruh kenyataan, lalu masuk ke dalam
daerah khayalan Tasawuf”. Menurut Hamka (2005:153), orang pertama yang
menyerukan tajdid tasawwuf di Nusantara adalah Ahmad Khatib bin ‘Abdul-Latif
al-Minangkabawi yang mengajar di Mekah. Beliau telah menentang keras
amalan-amalan ahli tariqat terutamanya tariqat al-Naqshbandiyyah yang
menghadirkan guru-guru tariqat ketika permulaan suluk. Menurut ulama’ ini
perbuatan seperti itu adalah syirik. Sebagai kesimpulan Hamka menyarankan agar
tasawwuf dikembalikan kepada pokok pangkalnya yaitu Tauhid. Perlu dijelaskan
bahwa dalam seseorang itu mempelajari tasawuf di abad modern ini tidak
semestinya bertariqat. Karena tasawwuf tidak hanya tertumpu pada zikir, suluk,
mujahadah, salasilah dan kuantiti ibadah khusus yang banyak tetapi yang lebih
penting adalah pemahaman dan penghayatan terhadap hakikat ajaran tasawwuf.
Hakikat tasawwuf ialah hidupnya hati
nurani dan jiwa manusia yang senatiasa sadar akan hakikat dirinya, dan hakikat
ketuhanan dalam setiap amal perbuatannya (Hamka, 2005: 17). Seorang sufi
melihat segalanya berasal daripada Allah Swt, dengan kuasa Allah Swt. dan akan
kembali kepada Allah Swt. Seorang sufi tidak terpikir untuk melepaskan dirinya
dari tunduk kepada Syariah, justru dia akan sentiasa memelihara diri daripada
perkara-perkara yang ditegah oleh Syari‘ah. Hasan Al-Banna (dalam Hawwa: tt:
116), pengasas al-Ikhwan al-Muslimin, memperkenalkan sistem usrah untuk
menjadikan tarbiyyah ruhiyyah sebagai asas pembangunan pejuang dakwah. Jelas
sekali bahwa Ia melakukan penggabungan antara tasawwuf dan fiqh al-harakah.
Tasawwuf tidak menjadi tujuan tetapi alat untuk membentengi diri dan memperkuat
barisan.
Tasawwuf yang ingin diketengahkan di
sini bertujuan untuk meningkatkan kerohanian dan mendidik jiwa para da‘i
sebelum mereka berperanan sebagai pembimbing masyarakat. Sebagai seorang da‘i
tasawwuf dapat menjadi sumber kekuatan, semangat dan daya juang yang sangat
diperlukan dalam penyebaran dakwak.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam kehidupan modren yang ditandai
oleh berbagai tantangan dan cobaan yang bersifat mendasar, tampaknya perlu
diatasi dengan cara yang mendasar pula, yaitu dengan kembali kepada ajaran
al-Qur’an dan al-Hadis, khususnya yang berkaitan dengan akhlak tasawup. Sebagai
ilmu hasil ijtihad manusia, akhlak tasawup sama dengan ilmu lainnya. Di sana
ada kekurangan, kelemahan dan keganjilan, dan di sana pula ada kelebihan,
kekuatan dan keistimewahan. Kiranya cara yang bijaksana yang perlu kita tempuh
adalah apabila kita mengambil kelebihan, kekuatan dan keistimewahan dari
tasawup itu untuk memandu hidup kita, dan meluruskan paham-paham yang kurang
proporsional. Sikap yang adil ini tampaknya belum banyak berkembang dikalangan
masyarakat.
Tasawwuf di abad modern semestinya
dikembalikan kepada fungsinya yang asal yaitu sebagai satu kaedah untuk membina
manusia rabbani, manusia yang unggul. Suatu jalan yang membina hubungan manusia
dengan Tuhannya dan masyarakat sekelilingnya. Ia juga berperan untuk
menyeimbangkan kehidupan manusia karena keseimbangan jasmani dan rohani yang
dapat menjamin kebahagiaannya di dunia dan di akhirat. Sufi-sufi modern tidak
anti dunia melainkan terlibat dalam dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali,
Abu Hamid, Ihya’ ‘Ulum al-Diin.
‘Ammin:
Maktabah Fayyai, t.t.(Terjemahan)hamka, Tasawwuf:
Perkembangan dan Pemurniannya, cetakan ke-20, Jakarta: Pustaka Panjimas,
2005
Ibn
Khaldun, Muqaddimah al-lamah Ibn Khaldun.
Beirut: Dar al-Fikr, 2004.
Nasr,
Seyyed Hussain, Tasawuf Dulu dan
Sekarang, penterjemah Abdul Hadi. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.
Nursi,
Said, Menikmati Takdir Langit,
diterjemahkan oleh Fauzy Bahreisy dan Joko Prayitno. Jakarta: lurai Kencana,
2003.
Al-Qaradawi,
Yusuf, Thaqifat al-Din’iyah. Kaherah:
Maktabah Wahbah, 1996.
Rahman,
Fazlur, Islam. Chicago: University of
Chicago Press, 1979 (Terjemahan)
Siddiq
Fadzil, Perspektif Qur’ani: Siri Wacana
Tematik. Kajang: Biro Dakwah dan Tarbiyah ABIM Pusat, 2003.
Toto
Tasmara, Kecerdasan Rohaniah
(transcendental Intelligence). Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Jalaluddin Rahmat, Tasawwuf dalam al-Qur’an dan Sunnah, dalam Sukardi (Ed.), Kuliah-kuliah Tasawwuf, (Bandung: Pustaka Hidayah:2000).
Jalaluddin Rahmat, Tasawwuf dalam al-Qur’an dan Sunnah, dalam Sukardi (Ed.), Kuliah-kuliah Tasawwuf, (Bandung: Pustaka Hidayah:2000).
Nata, H. Abuddin. Akhlak
Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 1996.
Prof. Hamka. Tasawup Modren. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
Toriquddin,Muhammad. Sekularitas Tasawup (membnyikan tasawup dalam dunia modren).Malang:
UIN Malang press, 2008.
Tebba,
Sudirman. Tasawup positif. Jakarta:
Prenada Media, 2003
Burhani, Ahmad Najib. Sufisme Kota. Jakarta: PT
Serambi Ilmu Semesra, 2001
Ath
Thusi, khawajah nashiruddin. Menyucikan Hati Menyempurnakan Jiwa. Jakarta:
Pustaka Zuhra,2003
Musawi,
Sayid Mujtaba. Menumpas Penyakit Hati. Jakarta:
KATA PENGANTAR
Puja
dan puji syukur kita haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kita
nikmat jasmani dan Rohani yang talah memberikan nikmat akal sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada
nabi besar Muhammad SAW yang telah membimbing kita dari zaman kegelapan
(Jahiliyah) menuju ke zaman yang terang benderang yang diterangi dengan iman,
islam dan ihsan.
Ucapan
terima kasih kami sampaikan kepada dosen pembimbing mata kuliah Akhlak Tasawuf,
yang telah memberikan kepercayaan kepada kami untuk membahas tentang “PERANAN
TASAWUF” dan terima kasih pula kepada teman-teman dan pihak-pihak yang telah
mendukung dalam penyelesaian makalah ini .
Saya
sadari bahwa makalah yang saya susun ini bukanlah merupakan makalah yang
sempurna, oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari para pembaca demi sempurnanya makalah ini. Semoga kita
semua dapat mencapai tingkatan ma’rifah dalam beribadah dalam kehidupan
sehari-hari.
Medan, 18 Januari 2011
ANDI PAHMAN HARAHAP
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR........................................................................................... !
DAFTAR
ISI ...................................................................................................... !!
BAB I
PANDAHULUAN............................................................................................... 1
BAB II
PEMBAHASAN.................................................................................................. 2
A. Problematika
Masyarakat Modren....................................................... 2
B. Peranan
Tasawup Dalam Mengatasi
Problematima Sosial............................................................................ 6
BAB III
KESIMPULAN.................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 16
[1] Astrid
S. Susanto, pengantar sosiologi dan perubahan
sosial, (Bandung:Bina cipta,1979),cet.II,hlm.178.
[2]
Jalaluddin rahmat, Islam Alternatif,
(bandung: mizan, 1991), cet.IV.hlm.157.
[3]
Ibid.,hlm 157
[4]
Komaruddin hidayat, upaya pembebasan
manusia: Tinjahuan sufistik terhadap Manusia Modren menurut nashr, dalam dawan
rahardjo (ed.) Insan kamil Konsepsi Manusia Menurut Islam (jakarta:grafiti
pers, 1987) ,cet II,hlm.191.
[5] M.
Quraish Shihab, wawasan al-Quran,
(Bandung:Mizan,1996),cet.III, hlm 376-377.
[6]Nurcholis
Madjid, Islam Agama Peradaban,
(Jakarta: Paradima, 1995), cet.I,hlm.109.
[7]
Kuntowijoyo, paradigma Islam interpretasi
untuk aksi, (Bandung:Mizan, 1991), cet.I,hlm.159.
[8]
Jalaluddin rahmat, op.cit, hlm. 158.
[9] Abuddin
Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT
Raja Grapindo Persada, 1996),hlm 300.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar