TUGAS
INDIVIDU
SEJARAH PERADABAN ISLAM
TENTANG BANGSA MONGOL
MAKALAH
INI DIBUAT UNTUK MELENGKAPI TUGAS MATA KULIAH SPI
DISUSUN
O
L
E
H
EFIFAH
KESUMA MATONDANG
FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI
SUMATERA UTARA
MEDAN
DAFTAR ISI
Daftar
Isi.....................................................................................................................
2
BAB I
Pendahuluan :
a. Latar
Belakang Masalah.............................................................................3
b. Rumusan
Masalah......................................................................................4
c. Tujuan
Penulisan…………………………………………………………4
BAB II
Pembahasan :
a. Asal-Usul Bangsa Mongol…………..……………..……….………….5
b. Motivasi
Serangan Mongol………………………….…………………7
c. Penyerangan
Mongol dan Wilayah Kekuasaannya……………............8
BAB III Penutup
:
a.
Simpulan...................................................................................................14
b. Saran.........................................................................................................15
Daftar
Pustaka............................................................................................................16
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latara belakang Masalah
Jatuhnya Kota Baghdad pada tahun 1258 M, ke tangan bangsa
Mongol bukan saja mengakhiri khilafah Abbasiyah, tapi juga merupakan awal dari
masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Baghdad sebagai pusat
kebudayaan dan perandaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu
pengetahuan itu ikut pula lenyap di bumihanguskan oleh pasukan Mongol yang
dipimpin oleh Hulagu Khan.
Ratusan ribu mayat tanpa kepala berserakan dan tumpang
tindih memenuhi jalan-jalan, parit-parit dan lapangan-lapangan. Disekitarnya
bangunan-bangunan megah dan indah banyak yang tinggal puing-puing dan
rerontokan. Asap masih mengepul dari bangunan-bangunan yang dibakar. Tentara
dari pangkat rendah sampai tinggi sibuk memenggal kepala ribuan manusia dan
kemudian memisahkan kepala yang terpisah dari tubuhnya itu menurut kelompok,
kepala wanita, anak-anak, orang tua, dipisahkan satu dari yang lain.
Sungai Dajlah atau Tigris berubah menjadi hitam disebabkan
tinta ribuan manuskrip yang dilempar ke dalamnya. Perpustakaan, rumah sakit, mesjid,
madrasah, tempat pemandian dan rumah para bangsawan, toko dan rumah makan
semuanya dihancurkan. Demikianlah, kota yang selama beberapa abad menjadi pusat
terbesar peradaban Islam itupun musnah dalam sekejap mata. Setelah puas,
pasukan penakluk itupun bersiap-siap pergi tanpa penyesalan sedikitpun. Mereka
kini hanya sibuk mengumpulkan barang-barang jarahan yang berharga: timbunan
perhiasan yang tak ternilai harganya, berkilo kilo batangan emas dan uang
dinar, batu permata, intan berlian semua dimasukkan ke dalam ratusan karung dan
kemudian diangkut dalam iringan gerobak dan kereta yang sangat panjang.
Penyair Sa’idi (1184 – 1291) pernah menyaksikan peristiwa
serupa sebelumnya, yaitu di kota Shiraz. Dia berhasil menyelamatkan diri dan
merekam peristiwa yang dia saksikan dalam sajaknya :
Maka
langit pun mencurahkan
Hujan lebat darah ke atas bumi
Dan
kebinasaan menyapu bersih
Kerajaan
al-Mu’tasim, khalifah orang mukmin
Ya
Muhammad ! Apabila hari pengadilan datang
Angkutlah
kepala tuan dan lihat
Kesengsaraan
umatmu ini !
Kitab salinan al-Qur’an yang tidak ternilai harganya
dilempar dan diinjak-injak, seorang sejarawan abad ke-13, yang berhasil
melarikan diri dari Bukhara ketika kota itu diserang beberapa tahun sebelumnya,
melihat bagaimana kota kelahiran Imam Bukhari ahli hadis yang masyhur itu
diratakan dengan tanah “Mereka datang, merusak, menghancurkan, membunuh,
memperkosa wanita muda, dan tua, menjarah harta, dan akhirnya pergi dengan
tenang dan puas hati.”
Timbul pertanyaan: jenis manusia dan bangsa macam apakah
orang-orang Mongol pada abad ke-13 itu ? Mengapa mereka tiba-tiba muncul
menjadi kekuatan yang menggemparkan dunia beradab dan dapat menaklukkan wilayah
yang sangat luas. Dari ujung timur negeri Cina sampai ujung barat Polandia,
dari batas utara Rusia hingga batas selatan teluk Parsi – semua ditundukkan dan
dikuasai hanya dalam waktu kurang lebih 40 tahun.
B.
Rumusan Masalah
Latar belakang sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka
dapat dirumuskan beberapa masalah pokok dalam pembahasan ini yaitu:
·
Bagaimanakah sejarah kepribadian Jengis Khan dan bangsa
Mongol pada umumnya.
·
Bagaimanakah hubungan Jengis Khan dengan Baghdad hingga ia
berambisi menguasainya.
·
Apakah akibat-akibat yang ditimbulkan dalam sebuah peradaban
tatkala Jengis Khan menguasai Baghdad.
C.
Tujuan Penulisan
·
Untuk mengetahui sejarah kepribadian Jengis Khan dan bangsa
Mongol pada umumnya.
·
Untuk mengetahui hubungan Jengis Khan dengan Baghdad hingga
ia berambisi menguasainya.
·
Untuk dapat mengertahui dan memahami akibat-akibat yang
ditimbulkan dalam sebuah peradaban tatkala Jengis Khan menguasai Baghdad.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Asal-Usul Bangsa Mongol
Bangsa Mongol adalah suku bangsa di wilayah Mongolia, yang
berbatasan dengan Cina di selatan, Turkestan di barat, Manchuria di timur, dan
Siberia sebelah utara.[1]
Daerah ini kalau musim dingin, amat dingin dan kalau musim panas, amat panas.
Angin panas (Samun) sering menimpa mereka.[2]
Mereka mendirikan kemah-kemah dan berpindah-pindah dari satu tempat ke
tempat lain, menggembala kambing, dan hidup dari hasil buruan. Mereka juga
hidup dari hasil perdagangan tradisional, yaitu mempertukarkan kulit binatang
dengan binatang yang lain, baik di antara sesama mereka maupun dengan bangsa
Turki dan Cina yang menjadi tetangga mereka.
Sebagaimana umumnya bangsa nomad, orang-orang Mongol
mempunyai watak yang kasar, suka berperang, dan berani menghadang maut dalam
mencapai keinginannya. Mereka menganut agama Syamaniyah (Syamanisme), m-nyembah
binatang-binatang, dan sujud kepada matahari yang sedang terbit.[3]
Bangsa ini berasal dari seorang tokoh terkemuka setempat
bernama Alanja Khan. Ia mempunyai dua orang putra kembar bernama Tatar dan
Mongol. Kedua putra itu melahirkan dua suku bangsa besar, Tatar dan Mongol.
Mongol mempunyai anak bernama Ilkhan[4],
yang melahirkan keturunan bangsa Mongol di kemudian hari.[5]
Ilkhan mempunyai putra bernama Yasugi Bahadur Khan yang
kemudian memiliki putra bernama Temujin, bergelar Jenghis Khan (Raja Yang
Perkasa). Putra dari Jenghis Khan bernama Toluy/Tuli kemudian memiliki putra
bernama Hulagu Khan. Hulagu Khan inilah yang menyerang dan menghancurkan kota
Baghdad.[6]
Kemajuan bangsa Mongol secara besar-besaran terjadi pada
masa kepemimpinan Yasugi Bahadur Khan.[7]
Ia berhasil menyatukan 13 kelompok suku yang ada waktu itu. Setelah Yasugi
meninggal, putranya Temujin yang masih berusia 13 tahun tampil sebagai
pemimpin. Dalam waktu 30 tahun, ia berusaha memperkuat angkatan perangnya
dengan menyatukan bangsa Mongol dengan suku bangsa lain sehingga menjadi satu
pasukan yang teratur dan tangguh. Pada tahun 1206 M., ia mendapat gelar Jengis
Khan, Raja Yang Perkasa.[8]
Ia menetapkan undang-undang yang disebutnya Alyasak atau Alyasah, untuk
mengatur kehidupan rakyatnya. Wanita mempunyai kewajiban yang sama dengan
laki-laki dalam kemiliteran. Pasukan perang dibagi dalam beberapa kelompok
besar dan kecil, seribu, dua ratus, dan sepuluh orang. Tiap-tiap kelompok
dipimpin oleh seorang komandan.
Undang-undang Alyasak ini berisi antara lain; larangan
mencari-cari kesalahan orang lain, larangan membantu salah seorang di antara
dua orang yang berselisih, jujur dalam menerima kepercayaan, keharusan saling
tolong-menolong dalam peperangan dan melaksanakan hukum dengan disiplin yang
ketat tanpa pandang bulu. Di samping itu ada juga keharusan bagi warga negara
untuk memperlihatkan anak gadisnya kepada raja untuk dijadikan sebagai istri
anak-anaknya. Undang-undang ini dimasyarakatkan terus, sehingga merupakan
sebuah agama yang senantiasa dipedomani dan dilanjutkan oleh penggantinya
kemudian.[9]
Undang-undang ini juga mengatur tentang hukuman mati bagi
pezina, orang yang sengaja berbuat bohong, melaksanakan magic, mata-mata,
memberi makan atau pakaian kepada tawanan perang tanpa ijin, demikian pula bagi
yang gagal melaporkan budak belian yang melarikan diri juga dikenakan hukuman
mati.
Jenghis Khan (melalui Alyasak) juga mengatur kehidupan
beragama dengan tidak boleh merugikan antara satu pemeluk agama dengan yang
lainnya, dan membebaskan pajak bagi keluarga Nabi Muhammad saw, para penghafal
al-Qur’an, ulama, tabib, pujangga, orang saleh dan zuhud serta muazin/yang
menyerukan adzan.[10]
Sedangkan dalam urusan militer, prajurit-prajurit bersenjata
lengkap diinspeksi terlebih dahulu sebelum pergi berperang, dan setiap orang
harus memperlihatkan segala sesuatu yang ia miliki, bahkan sampai jarum dan
benang sekalipun. Kemudian jika seseorang didapatkan lengah, maka dia harus
dihukum. Orang-orang perempuan diharapkan siap untuk membayar pajak kepada perbendaharaan
negara selama suami-suami mereka pergi berperang. Jenghis Khan juga mendirikan
pos pelayanan agar dia bisa memantau dan mengetahui segala sesuatu yang terjadi
di negaranya.[11]
Dari sini tampak bahwa armada perang Mongol sangatlah kuat dan memiliki kedisiplinan
tinggi, sehingga banyak ditakuti musuh-musuhnya.
B.
Motivasi Serangan Mongol
Serangan-serangan yang dilakukan oleh Mongol memiliki latar
belakang yang menjadi motivasi mereka untuk melakukan penyerang tersebut.
Maidir Harun dan Firdaus[12] memaparkan bahwa ada beberapa hal yang menjadi motivasi
bagi Mongol untuk melakukan serangan, sebagai berikut:
1. Faktor Politik
Pada tahun 615 H. sekitar 400 orang pedagang bangsa Tartar
dibunuh atas persetujuan wali (gubernur) Utrar. Barang dagangan mereka dirampas
dan dijual kepada saudagar Bukhara dan Samarkand dengan tuduhan mata-mata
Mongol. Tentu saja hal ini menimbulkan kemarahan Jenghis Khan. Jenghis Khan
mengirimkan pasukan kepada Sultan Khawarizmi untuk meminta agar wali Utrar
diserahkan sebagai ganti rugi kepadanya. Utusan ini juga dibunuh oleh
Khawarizmi Syah sehingga Jenghis Khan dengan pasukannya melakukan penyerangan
terhadap wilayah Khawarizmi.[13]
Sedangkan menurut Muhammad Masyhur Amin, bahwa faktor
politik yang menyebabkan bangsa Mongol melakukan penyerangan ke wilayah Islam
adalah pertama, karena Sultan Alauddin Muhammad Khawarizmi Syah memasukkan
daerah suku Qarahatun ke dalam kekuasaannya pada tahun 1210 M., sehingga
wilayahnya langsung berbatasan dengan wilayah kerajaan Jenghis Khan. Kedua,
pembataian pedagang Mongol disebabkan karena tiga orang Islam saudagar besar
bersama rombongan-nya dibunuh dan dirampas barang dagangannya oleh orang-orang
Mongol di Ibu Kota Qoraqarun. Oleh sebab itu, amir Ghayun Khan diperintahkan
oleh Sultan Alauddin agar membunuh 150 orang pedagang Mongol yang ada di Utrar.[14]
2. Motif Ekonomi
Motif ini diperkuat oleh ucapan Jenghis Khan sendiri, bahwa
penaklukan-penaklukan dilakukannya adalah semata-mata untuk memperbaiki nasib
bangsanya, menambah penduduk yang masih sedikit, membantu orang-orang miskin
dan yang belum berpakaian. Sementara di wilayah Islam rakyatnya makmur, sudah
berperadaban maju, tetapi kekuatan militernya sudah rapuh.
3. Tabiat Orang Mongol yang Suka Mengembara
Tabiat mereka yang suka mengembara, diundang ataupun tidak
diundang mereka akan datang juga menjarah dan merampas harta kekayaan penduduk
dimana mereka berdiam. Penyerangan-penyerangan yang dilakukan oleh Jenghis Khan
dengan pasukan perangnya yang terorganisir, berusaha memperluas wilayah
kekuasaan dengan melakukan penaklukan. Para ahli pertukangan mereka bawa dalam
pasukan batalion Zeni (yon-zipur) untuk membuat jembatan dan menjamin
melancarkan transportasi dalam penyerangan. Para tawanan perang dimanfaatkan
secara paksa untuk memanggul perlengkapan perang dan makanan. Strategi perang
Jenghis Khan yang tidak ketinggalan juga adalah membariskan penduduk sipil yang
telah kalah di depan tentara sebagai tameng untuk menggetarkan musuh. Di
samping itu, Jenghis Khan membawa penasehat yang terdiri dari para rahib dan
tukang ramal.[15]
C.
Penyerangan
Mongol dan Wilayah Kekuasaannya
Pada tahun 607 H/1211 M. Jenghis Khan meluaskan wilayahnya.
Ia berhasil merebut Cina Utara dan mendirikan ibu kota Qaraqorun, lalu
menduduki Siangkiang.[16]
Penyerangan ke wilayah Islam dimulai melalui daerah Khawarizmi pada tahun 606
H/1209 M. Daerah yang menjadi tujuan utama mereka adalah Turki, Ferghana dan
Samarkand, karena daerah ini yang berdekatan dan yang berkasus dengan mereka.
Sewaktu bangsa Mongol memasuki wilayah Khawarizmi, sultan
Alauddin sudah siap untuk memukul mundur pasukan Mongol. Pasukan Mongol kembali
ke negeri asal mereka untuk melatih pasukannya dengan intensif. Sewaktu mereka
kembali ke daerah Khawarizmi 10 tahun kemudian, sudah banyak perubahan terhadap
pasukannya, sehingga mereka bisa memasuki Bukhara, Samarkand, Khurasan,
Hamadzan, Quzwain dan sampai ke perbatasan Irak. Di Bukhara, ibu kota
Khawarizmi, mereka kembali mendapat perlawanan dari sultan Alauddin, tetapi
kali ini mereka dengan mudah dapat mengalahkan pasukan Khawarizmi. Sultan
Alauddin tewas dalam pertempuran di Mazindaran tahun 1220 M. Ia digantikan oleh
putranya Jalaluddin yang kemudian melarikan diri ke India karena terdesak dalam
pertempuran di dekat Attock tahun 1224 M. Dari sana pasukan Mongol terus ke
Azerbeijan. Penaklukkan Bukhara ini disebutkan oleh Jenghis Khan sebagai
bencana dari Tuhan yang dikirimkan sebagai hukuman atas orang-orang yang
berdosa.[17]
Di Bukhara, sangat terkenal karena penduduknya yang taat dan
berpengetahuan. Orang-orang Mongol menempatkan kuda mereka di sekeliling masjid
yang suci dan menyobek-nyobek al-Qur’an untuk dibuang di tempat sampah,
penduduk yang tidak dibantai diambil sebagai tawanan. Begitulah nasib kota
Samarkand, Balkh dan kota-kota yang lainnya di Asia Tengah, yang merupakan
tempat kebudayaan Islam yang tinggi, tempat tinggal orang-orang terkemuka dan
pusat ilmu pengetahuan.[18]
Sepulangnya ke Ibu Kota Karaqorun, ia menumpas pemberontakan
di wilayah Ala Shan dan Kausu, lalu meninggal dunia dan dikebumikan di tempat
asalnya, Deligun Buldak.[19]
Namun, sebelum Jenghis Khan meninggal pada tahun 624 H./1227 M, pada saat
kondisinya mulai lemah, dia membagi wilayah kekuasaannya menjadi empat bagian
kepada empat orang putranya, yaitu Juchi, Chagatai, Ogotai dan Tuli.[20]
Juchi anaknya yang sulung mendapat wilayah Siberia bagian
barat dan stepa Qipchaq yang membentang hingga ke Rusia Selatan, di dalamnya
terdapat Khawarizmi. Namun ia meninggal dunia sebelum wafat ayahnya, Jenghis
Khan, dan wilayah warisannya itu diberikan kepada anak Juchi yang bernama Batu
dan Orda. Batu mendirikan Horde (Kelompok) Biru di Rusia Selatan sebagai pilar
dasar berkembangnya Horde Keemasan (Golden Horde). Sedangkan Orda mendirikan
Horde Putih di Siberia Barat. Kedua kelompok itu bergabung dalam abad
keempatbelas yang kemudian muncul sebagai kekhanan yang bermacam ragamnya di
Rusia, Siberia dan Turkistan, termasuk di Crimea, Astarakhan, Qazan, Qasimov,
Tiumen, Bukhara dan Khiva. Syaibaniyah atau Ozbeg. Salah satu cabang keturunan
Juchi berkuasa di Khawarazmi dan Transoxania dalam abad kelima belas dan enam
belas.[21]
Golden Horde selanjutnya berkembang menjadi kerajaan Mongol
Islam pertama, yaitu pada saat diperintah oleh Barka Khan (anak dari Batu).
Wilayahnya meliputi Eropa Timur (Rusia dan Finlandia) dan Eropa Tengah dan
padang-padang stepa yang luas, dan beribukota di Lembah Wolga (Sarai). Dalam
suatu riwayat disebutkan bahwa Najmuddin Mukhtar az-Zahidi menyusun risalah
untuk Barka Khan. Risalah tersebut mengulas tentang kebenaran ajaran Islam dan
kelemahan ajaran Nasranai, dengan dalail dan bukti yang logis, dapat diterima
akal.[22]
Hal inilah yang membuat Barka Khan masuk Islam.
Chagatai ditugasi untuk menguasai daerah Illi, Ergana, Ray,
Hamazan dan Azerbeijan. Sultan Khawarizmi, Jalaluddin berusaha keras untuk
merebut kembali daerah-daerah yang dikuasai oleh Mongol ini, namun dia tidak
sanggup menghadapi serangan Chagatai. Sultan melarikan diri ke arah pegunungan,
tetapi malang padanya, seorang Kurdi membunuhnya. Dengan kematian Sultan
Jalaluddin ini berakhirlah dinasti Khawarizmi. Dengan demikian Chagatai lebih
leluasa mengembangkan wilayah kekuasaannya.[23]
Ogotai adalah putra Jenghis Khan yang terpilih oleh Dewan Pemimpin
Mongol untuk menggantikan ayahnya sebagai Khan Agung yang mempunyai wilayah di
Pamirs dan Tien Syan.[24]
Tetapi dua generasi Kekhanan Tertinggi jatuh ke tangan keturunan Tuli. Walaupun
demikian cucu Ogotai yang bernama Qaydu dapat mempertahankan wilayahnya di
Pamirs dan Tien Syan, mereka berperang melawan anak turun Chagatay dan Kubilai
Khan, hingga meninggal dunia.[25]
Sedangkan menurut Badri Yatim, Ogotai pada tahun 1234 dapat menaklukkan Peking
(sekarang Beijing),[26]
dan menurut masyhur amin kekuasaannya pada tahun 1240 sampai ke kota Moskow.[27]
Tuli (Toluy) anak terakhir Jenghis Khan ini mendapat bagian
wilayah Mongolia sendiri. Anak-anaknya, yakni Mongke dan Kubilai menggantikan
Ogotai sebagai Khan Agung. Mongke bertahan di Mongolia yang beribu kota di Qaraqorun.
Sedangkan Kubilai Khan menaklukkan Cina dan berkuasa di sana yang dikenal
sebagai dinasti Yuan yang memerintah hingga abad keempat belas, yang kemudian
digantikan oleh dinasti Ming. Mereka memeluk agama Budha yang berpusat di
Beijing, dan mereka akhirnya bertikai melawan saudara-saudaranya dari khan-khan
Mongol yang beragama Islam di Asia Barat dan Rusia (Kerajaan Golden Horde).
Adalah Hulagu Khan, saudara Mongke Khan dan Kubilai Khan, yang menyerang
wilayah-wilayah Islam sampai ke Baghdad.[28]
Pada tahun 1253, Hulagu Khan bergerak dari Mongol memimpin
pasukan berkekuatan besar untuk membasmi kelompok Pembunuh (Hasyasyin) dan
menyerang kekhalifahan Abbasiyah. Inilah gelombang kedua yang dilakukan bangsa
Mongol. Mereka menyapu bersih semua yang mereka lewati dan yang menghadang
perjalanan mereka; menyerbu semua kerajaan kecil yang berusaha tumbuh di atas
puing-puing imperium Syah Khawarizm. Hulagu mengundang Khalifah al-Musta’shim
(1242-1258) untuk bekerjasama menghancurkan kelompok Hasyasyin Ismailiyah.
Tetapi undangan itu tidak mendapat jawaban.
Pada 1256, sejumlah besar benteng Hasyasyin, termasuk “puri
induk” di Alamut, telah direbut tanpa sedikit pun kesulitan, dan kekuatan
kelompok yang ketakutan itu hancur lebur. Bahkan lebih tragis lagi, bayi-bayi
disembelih dengan kejam. Pada bulan September tahun berikutnya, tatkala
merangsek menuju jalan raya Khurasan yang termasyhur, Hulagu mengirimkan
ultimatum kepada khalifah agar menyerah dan mendesak agar tembok kota sebelah
luar diruntuhkan. Tetapi khalifah tetap enggan memberikan jawaban. Pada Januari
1258, anak buah Hulagu bergerak dengan efektif untuk meruntuhkan tembok
ibukota. Tak lama kemudian upaya mereka membuahkan hasil dengan runtuhnya salah
satu menara benteng.[29]
Khalifah al-Musta’shim benar-benar tidak dapat membendung
“topan” tentara Hulagu Khan. Pada saat yang kritis itu, wazir khalifah
Abbasiyah, Ibn al-‘Alqami ingin mengambil kesempatan dengan menipu khalifah.[30]
Ia mengatakan kepada khalifah, “Saya telah menemui mereka untuk perjanjian
damai. Raja (Hulagu Khan) ingin mengawinkan anak perempuannya dengan Abu Bakar,
putera khalifah. Dengan demikian, Hulagu Khan akan menjamin posisimu. Ia tidak
menginginkan sesuatu kecuali kepatuhan, sebagaimana kakek-kakekmu terhadap
sultan-sultan Seljuk”.
Khalifah menerima usul itu. Ia keluar bersama beberapa orang
pengikut dengan membawa mutiara, permata dan hadiah-hadiah berharga lainnya
untuk diserahkan kepada Hulagu Khan. Hadiah-hadiah itu dibagi-bagikan Hulagu
kepada para panglimanya. Keberangkatan khalifah disusul oleh para pembesar
istana yang terdiri dari ahli fikir dan orang-orang terpandang. Tetapi,
sambutan Hulagu Khan sungguh di luar dugaan khalifah. Apa yang dikatakan
wazirnya ternyata tidak benar. Mereka semua, termasuk wazir sendiri, dibunuh
dengan leher dipancung secara bergiliran. Dengan pembunuhan kejam ini,
berakhirlah kekuasaan Abbasiyah di Baghdad. Kota Baghdad sendiri dihancurkan
rata dengan tanah, sebagaimana kota-kota lain yang dilalui tentara Mongol
tersebut. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 10 Pebruari 1258. Dengan demikian,
untuk pertama kalinya dalam sejarah, dunia muslim terbengkalai tanpa khalifah
yang namanya biasa disebut dalam salat Jum’at.[31]
Walaupun sudah dihancurkan, Hulagu Khan memantapkan
kekuasaannya di Baghdad selama dua tahun, sebelum melanjutkan gerakan ke Syiria
dan Mesir. Dari Baghdad pasukan Mongol menyeberangi sungai Euphrat menuju
Syiria, kemudian melintasi Sinai, Mesir. Pada tahun 1260 mereka berhasil
menduduki Nablus dan Gaza. Panglima tentara Mongol, Kitbugha, mengirim utusan
ke Mesir meminta supaya Sultan Qutuz yang menjadi raja kerajaan Mamalik di sana
menyerah. Permintaan itu ditolak oleh Qutuz, bahkan utusan Kitbugha dibunuhnya.
Tindakan Qutuz ini menimbulkan kemarahan di kalangan tentara
Mongol. Kitbugha kemudian melintasi Yordania menuju Galilie. Pasukan ini
bertemu dengan pasukan Mamalik yang dipimpin langsung oleh Qutuz dan Baybars di
‘Ain Jalut. Pertempuran dahsyat terjadi, pasukan Mamalik berhasil menghancurkan
tentara Mongol, 3 September 1260.[32]
Baghdad dan daerah-daerah yang ditaklukkan Hulagu
selanjutnya diperintah oleh dinasti Ilkhan. Daerah yang dikuasai dinasti ini
adalah daerah yang terletak antara Asia Kecil di barat dan India di timur,
dengan ibukotanya Tabriz. Umat Islam, dengan demikian, dipimpin oleh Hulagu
Khan. Hulagu meninggal tahun 1265 dan diganti oleh anaknya, Abaga (1265-1282)
yang masuk Kristen.[33]
Pada masa Abaga bangsa dinasti Ilkhan bersekutu dengan orang-orang Salib,
penguasa Kristen Eropa, Armenia Cicilia untuk melawan Mamluk dan keturunan
saudara-saudaranya dari dinasti Horde Keemasan (Golden Horde) yang telah
bersekutu dengan Mamluk, penguasa muslim yang berpusat di Mesir.[34]
Dari sini tampak bahwa adanya hubungan erat antara orang-orang Mongol dengan
orang-orang Nasrani yang ingin menghancurkan Islam.
Ahmad Teguder (1282-1284), raja ketiga dinasti Ilkhan yang
pertama kali masuk Islam. Karena masuk Islam, Ahmad Teguder ditantang oleh
pembesar-pembesar kerajaan yang lain. Akhirnya, ia ditangkap dan dibunuh oleh
Arghun yang kemudian menggantikannya menjadi raja (1284-1291). Raja dinasti
Ilkhan yang keempat ini sangat kejam terhadap umat Islam. Banyak di antara
mereka yang dibunuh dan diusir.
Selain Teguder, Mahmud Ghazan (1295-1304), raja yang
ketujuh, dan raja-raja selanjutnya adalah pemeluk agama Islam. Dengan masuk
Islamnya Mahmud Ghazan sebelumnya beragama Budha Islam meraih kemenangan yang
sangat besar terhadap agama Syamanisme. Sejak itu pula orang-orang Persia
mendapatkan kemerdekaannya kembali.[35]
Dari sini terlihat bahwa meskipun wilayah Islam secara politis telah
ditaklukkan dan dikuasai oleh dinasti Ilkhan, tetapi akhirnya Mongol sendiri
terserap ke dalam kultur Islam. Sehingga para raja-raja dinasti Ilkhan akhirnya
memeluk agama Islam.[36]
Berbeda dengan raja-raja sebelumnya, Ghazan mulai
memperhatikan per-kembangan peradaban. Ia seorang pelindung ilmu pengetahuan
dan sastra. Ia amat gemar kepada kesenian terutama arsitektur dan ilmu
pengetahuan seperti astronomi, kimia, mineralogi, metalurgi dan botani. Ia
membangun semacam biara untuk para darwis, perguruan tinggi untuk mazhab
Syafi’i dan Hanafi, sebuah perpustakaan, observatorium, dan gedung-gedung umum
lainnya. Ia wafat dalam usia muda, 32 tahun, dan digantikan oleh Muhammad
Khubanda Uljeitu (1304-1317), seorang penganut Syi’ah yang ekstrim. Ia
mendirikan kota raja Sultaniyah, dekat Zanjan. Pada masa pemerintahan Abu Sa’id
(1317-1335), pengganti Muhammad Khubanda, terjadi bencana kelaparan yang sangat
menyedihkan dan angin topan dengan hujan es yang mendatangkan malapetaka.
Kerajaan Ilkhan yang didirikan Hulagu Khan ini terpecah belah sepeninggal Abu
Sa’id. Masing-masing pecahan saling memerangi. Akhirnya, mereka semua
ditaklukkan oleh Timur Lenk.[37]
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Sejarah kejayaan dan keemasan Islam dibumihanguskan dalam
masa kurang lebih 5 tahun. Hal ini ditandai dengan adanya serangan yang
dilakukan oleh Hulagu Khan sejak 1253 ke wilayah Baghdad (pusat pemerintahan
bani Abbasiyah) hingga 1258. Serangan Mongol (Jenghis Khan) bermula dari
perampasan dan pembunuhan oleh Gubernur Utrar terhadap para pedagang bangsa
Tartar pada 615 H./1219 M. dengan tuduhan mata-mata Mongol. Disamping memang
sudah menjadi tabiat orang Mongol yang suka berperang ditambah lagi dengan
dorongan faktor ekonomi. Sehingga perluasan wilayah pun dilakukan oleh Mongol.
Dan sampai akhir masa Jenghis Khan (1162-1227) wilayah kekuasaan Mongol
meliputi; Tiongkok, Asia Tengah, Persia, dan Mongolia.
Sebelum Jenghis Khan meninggal, dia membagi wilayah
kekuasaannya kepada 4 orang putranya. Pertama, Juchi anaknya yang sulung
mendapat wilayah Siberia bagian barat dan stepa Qipchaq yang membentang hingga
ke Rusia Selatan, di dalamnya terdapat Khawarizm. Kedua, Chagatai ditugasi
untuk menguasai daerah Illi, Ergana, Ray, Hamazan dan Azerbeijan. Ketiga,
Ogotai mempunyai wilayah di Pamirs dan Tien Syan. Keempat, Tuli (Toluy) anak
terakhir Jenghis Khan ini mendapat bagian wilayah Mongolia sendiri.
Hulagu Khan (1217 – 8 February 1265) anak dari Tuli,
merupakan orang kedua Mongol yang memimpin pasukan berkekuatan besar untuk
membasmi kelompok Pembunuh (Hasyasyin) dan menyerang kekhalifahan Abbasiyah.
Pada 10 Pebruari 1258, anak buah Hulagu membumihanguskan Baghdad sehingga rata
dengan tanah. Sehingga masa keemasan dan kejayaan Islam (Abbasiyah) hancur dalam
kurun waktu hanya 5 tahun.
Namun, akhirnya Ahmad Teguder (1282-1284) dan Mahmud Ghazan
(1295-1304), dan raja-raja selanjutnya adalah pemeluk agama Islam. Dengan masuk
Islamnya Mahmud Ghazan —sebelumnya beragama Budha— Islam meraih kemenangan yang
sangat besar terhadap agama Syamanisme. Sejak itu pula orang-orang Persia
mendapatkan ke-merdekaannya kembali.
Potret peradaban Islam pada masa Dinasti Ilkhan tidak benar
selamanya suram. Kendatipun pada awalnya kehadirannnya kerap dikatakan sebagai
sebagai dinasti pembawa bencana, namun dalam perjalanan sejarahnya dinasti ini
telah memiliki andil di dalam upaya membangun dan mengembangkan peradaban
Islam, terutama sekali setelah dinasti ini diperintah oleh raja-rajanya yang
memeluk agama Islam.
Pada masa Dinasti Ilkhan dipegang oleh raja-raja yang telah
memeluk Islam peradaban Islam berkembang dengan pesat, sekalipun tidak dapat
dipersamakan dengan periode sebelumnya. Hal ini terlihat dari masih banyak
berbagai bentuk khazanah peninggalan peradaban yang ditinggalkan pada periode
ini. Ini telah mengindikasikan bahwa para penguasa Muslim Mongol dari dinasti
ini banyak memberikan perhatian terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan
infrastruktur masyarakat, bahkan peradaban Islam.
B.
Kritik dan Saran
Dari keterangan dan penjelasan-penjelasan di atas
mudah-mudahan pembaca dapat mengambil ibrah dan pelajaran, semoga bermanfaat
bagi kita semua umumnya bagi penyusun. Dan dari semua pembahasan di atas
mungkin terdapat kesalahan baik dari segi penulisannya maupun penjelasannya,
kami selaku penyusun meminta maaf dan mengharafkan kritik dan sarannya yang
bersifat membangun, agar dapat memperbaiki makalah-makalah selanjutnya. Yang
baik datangnya dari Allah, dan yang buruk datangnya dari pemakala.
DAFTAR PUSTAKA
1. Amin, Muhammad Masyhur. Sejarah
Peradaban Islam. Bandung: Indonesia Spirit Foundation, 2004.
2. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi
Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, cet.IX, 2001.
3. Harun, Maidir & Firdaus. Sejarah
Peradaban Islam. Padang: IAIN-IB Press, jld.2, 2002.
4. Hasan, Ibrahim Hasan. Sejarah dan
Kebudayaan Islam. terj. Djahdan Hamami, Surabaya: Kota Kembang, 1989.
5. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet
Riyadi. Sejarah bangsa Arab Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005.
6. Mufrodi, Ali. Islam di Kawasan
Kebudayaan Arab. Jakarta: Logos, 1997.
7. Nata, Abudin. Metodologi Studi
Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. VIII, 2003.
8. Yatim, Badri. Sejarah Peradaban
Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet.VII, 1998
9. Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan
Islam. Terj, Djahdan Hamami. Surabaya : Kota Kembang, 1989.
[1] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta
: PT. Ichtiar Baru, 2001. Hal 241
[2] Muhammad Masyhur Amin, Sejarah Peradaban Islam, Bandung :
Indonesia Spirit Foundation, 2004. Hal 168
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 1998. Hal 111-112
[4] Dewan redaksi Ensiklopedi Islam, 2001, hal 241
[5] Badri yatim, 1998, hal 111
[6] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, Padang :
IAIN-IB Press, 2002. Hal 105
[7] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 1998. Hal 112
[8] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta :
Logos, 1997. Hal 127, lihat juga Muhammad Masyhur Amin, hal 169.
[9] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, Padang :
IAIN-IB Press, 2002. Hal 106-107
[10] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, Surabaya :
Kota Kembang, 1989. Hal 260, lihat juga Ali Mufrodi, hal 127.
[11] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta :
Logos, 1997. Hal 128
[12] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, Padang :
IAIN-IB Press, 2002. Hal 107-108
[13] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta
: PT. Ichtiar Baru, 2001. Hal 242
[14] Muhammad Masyhur Amin, Sejarah Peradaban Islam, Bandung :
Indonesia Spirit Foundation, 2004. Hal 171
[15] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta
: PT. Ichtiar Baru, 2001. Hal 242-243
[17] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, Padang :
IAIN-IB Press, 2002. Hal 109, lihat juga Badri Yatim, hal 113
[18] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, Padang :
IAIN-IB Press, 2002. Hal 109, lihat juga Badri Yatim, hal 113
[19] Ibrahim Hasan Sejarah dan Kebudayaan Islam. Terj, Djahdan
Hamami. Surabaya : Kota Kembang, 1989. Hal 262
[20] Muhammad Masyhur Amin, Sejarah Peradaban Islam, Bandung :
Indonesia Spirit Foundation, 2004. Hal 169
[21] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 1998. Hal 113
[22] Muhammad Masyhur Amin, Sejarah Peradaban Islam, Bandung :
Indonesia Spirit Foundation, 2004. Hal 181
[23] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, Padang :
IAIN-IB Press, 2002. Hal 109, lihat juga Badri Yatim, hal 111
[25] Islam Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta :
Logos, 1997. Hal 130, Padang : IAIN-IB Press, 2002. Hal 109, lihat juga Badri
Yatim, hal 111
[26] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 1998. Hal 112
[27] Muhammad Masyhur Amin, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Indonesia
Spirit Foundation, 2004. Hal 169
[28] Ali Mufrodi, 1997, hal 130
[29] Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, sejarah Peradaban Arab,
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005. 619
[30] Muhammad Masyhur Amin, Sejarah Peradaban Islam, Bandung :
Indonesia Spirit Foundation, 2004. Hal 179
[31] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 1998. Hal 114-115, lihat juga Ali Mufrodi, 1997, hal 131
[32] Muhammad Masyhur Amin, Sejarah Peradaban Islam, Bandung :
Indonesia Spirit Foundation, 2004. Hal 179
[33] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 1998. 115
[34] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta :
Logos, 1997. Hal 131-132
[35] Badri Yatim, 1998, hal 115-117
[36] Ali Mufrodi, 1997, hal 113
[37] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 1998. 117
Tidak ada komentar:
Posting Komentar