BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latara belakang Masalah
Jatuhnya
Kota Baghdad pada tahun 1258 M, ke tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri
khilafah Abbasiyah, tapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan
peradaban Islam, karena Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan perandaban Islam yang
sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap di bumihanguskan
oleh pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan.
Ratusan
ribu mayat tanpa kepala berserakan dan tumpang tindih memenuhi jalan-jalan, parit-parit
dan lapangan-lapangan. Disekitarnya bangunan-bangunan megah dan indah banyak
yang tinggal puing-puing dan rerontokan. Asap masih mengepul dari
bangunan-bangunan yang dibakar. Tentara dari pangkat rendah sampai tinggi sibuk
memenggal kepala ribuan manusia dan kemudian memisahkan kepala yang terpisah dari
tubuhnya itu menurut kelompok, kepala wanita, anak-anak, orang tua, dipisahkan
satu dari yang lain.
Sungai
Dajlah atau Tigris berubah menjadi hitam disebabkan tinta ribuan manuskrip yang
dilempar ke dalamnya. Perpustakaan, rumah sakit, mesjid, madrasah, tempat pemandian
dan rumah para bangsawan, toko dan rumah makan semuanya dihancurkan. Demikianlah,
kota yang selama beberapa abad menjadi pusat terbesar peradaban Islam itupun
musnah dalam sekejap mata. Setelah puas, pasukan penakluk itupun bersiap-siap
pergi tanpa penyesalan sedikitpun. Mereka kini hanya sibuk mengumpulkan
barang-barang jarahan yang berharga: timbunan perhiasan yang tak ternilai
harganya, berkilo kilo batangan emas dan uang dinar, batu permata, intan
berlian semua dimasukkan ke dalam ratusan karung dan kemudian diangkut dalam
iringan gerobak dan kereta yang sangat panjang.
Penyair
Sa’idi (1184 – 1291) pernah menyaksikan peristiwa serupa sebelumnya, yaitu di
kota Shiraz. Dia berhasil menyelamatkan diri dan merekam peristiwa yang dia
saksikan dalam sajaknya :
Maka
langit pun mencurahkan
Hujan
lebat darah ke atas bumi
Dan kebinasaan menyapu bersih
Kerajaan al-Mu’tasim, khalifah orang
mukmin
Ya Muhammad ! Apabila hari pengadilan
datang
Angkutlah kepala tuan dan lihat
Kesengsaraan umatmu ini !
Kitab
salinan al-Qur’an yang tidak ternilai harganya dilempar dan diinjak-injak,
seorang
sejarawan abad ke-13, yang berhasil melarikan diri dari Bukhara ketika kota itu
diserang beberapa tahun sebelumnya, melihat bagaimana kota kelahiran Imam
Bukhari ahli hadis yang masyhur itu diratakan dengan tanah “Mereka datang,
merusak, menghancurkan, membunuh, memperkosa wanita muda, dan tua, menjarah
harta, dan akhirnya pergi dengan tenang dan puas hati.”
Demikian
gambaran sekilas kebengisan dan teror yang dilakukan tentara Mongol di lebih
separo daratan Asia dan Eropa Timur sejak awal hingga pertengahn abad ke-13 M.
Baghdad, Ibukota kekhalifahan Abbasiyah, mendapat giliran agak akhir, pada
bulan Februari 1258 M. Serbuan kali ini dirancang dari Transoxania di Asia
Tengah dan dipimpin salah seorang cucu Jengis Khan yang tidak kalah bengis dari
kakeknya. Di antara catatan sejarah mengenai kebiadaban orang-orang Mongol ialah
catatan sejarawan terkemuka. Menurut mereka, tokoh tokoh muslm terkemuka, amir,
panglima perang, tabib, ulama, budayawan, ilmuan, cendekiawan, ahli ekonomi dan
politik, serta saudagar kaya tewas dalam keadaan mengenaskan. Kepala mereka dipenggal,
dipisahkan dari badan, karena khawatir ada yang masih hidup dan berpura-pura
mati.
Timbul
pertanyaan: jenis manusia dan bangsa macam apakah orang-orang Mongol pada abad
ke-13 itu ? Mengapa mereka tiba-tiba muncul menjadi kekuatan yang menggemparkan
dunia beradab dan dapat menaklukkan wilayah yang sangat luas. Dari ujung timur
negeri Cina sampai ujung barat Polandia, dari batas utara Rusia hingga batas selatan
teluk Parsi – semua ditundukkan dan dikuasai hanya dalam waktu kurang lebih 40
tahun.
B. Rumusan Masalah
Latar belakang sebagaimana yang
dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah pokok dalam pembahasan
ini yaitu:
ü Bagaimanakah
sejarah kepribadian Jengis Khan dan bangsa Mongol pada umumnya.
ü Bagaimanakah
hubungan Jengis Khan dengan Baghdad hingga ia berambisi menguasainya.
ü Apakah
akibat-akibat yang ditimbulkan dalam sebuah peradaban tatkala Jengis Khan
menguasai Baghdad.
C.
Tujuan Penulisan
ü Untuk
mengetahui sejarah kepribadian Jengis Khan dan bangsa Mongol pada umumnya.
ü Untuk
mengetahui hubungan Jengis Khan dengan Baghdad hingga ia berambisi
menguasainya.
ü Untuk
dapat mengertahui dan memahami akibat-akibat yang ditimbulkan dalam sebuah
peradaban tatkala Jengis Khan menguasai Baghdad.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Asal-Usul Bangsa Mongol
Bangsa
Mongol adalah suku bangsa di wilayah Mongolia, yang berbatasan dengan Cina di
selatan, Turkestan di barat, Manchuria di timur, dan Siberia sebelah utara.[1]
Daerah ini kalau musim dingin, amat dingin dan kalau musim panas, amat panas.
Angin panas (Samun) sering menimpa mereka.[2]
Mereka mendirikan kemah-kemah dan
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, menggembala kambing, dan
hidup dari hasil buruan. Mereka juga hidup dari hasil perdagangan tradisional,
yaitu mempertukarkan kulit binatang dengan binatang yang lain, baik di antara
sesama mereka maupun dengan bangsa Turki dan Cina yang menjadi tetangga mereka.
Sebagaimana
umumnya bangsa nomad, orang-orang Mongol mempunyai watak yang kasar, suka
berperang, dan berani menghadang maut dalam mencapai keinginannya. Mereka
menganut agama Syamaniyah (Syamanisme), m-nyembah binatang-binatang, dan sujud
kepada matahari yang sedang terbit.[3]
Bangsa
ini berasal dari seorang tokoh terkemuka setempat bernama Alanja Khan. Ia
mempunyai dua orang putra kembar bernama Tatar dan Mongol. Kedua putra itu
melahirkan dua suku bangsa besar, Tatar dan Mongol. Mongol mempunyai anak
bernama Ilkhan[4],
yang melahirkan keturunan bangsa Mongol di kemudian hari.[5]
Ilkhan
mempunyai putra bernama Yasugi Bahadur Khan yang kemudian memiliki putra
bernama Temujin, bergelar Jenghis Khan (Raja Yang Perkasa). Putra dari Jenghis
Khan bernama Toluy/Tuli kemudian memiliki putra bernama Hulagu Khan. Hulagu
Khan inilah yang menyerang dan menghancurkan kota Baghdad.[6]
Kemajuan
bangsa Mongol secara besar-besaran terjadi pada masa kepemimpinan Yasugi Bahadur
Khan.[7]
Ia berhasil menyatukan 13 kelompok suku yang ada waktu itu. Setelah Yasugi
meninggal, putranya Temujin yang masih berusia 13 tahun tampil sebagai
pemimpin. Dalam waktu 30 tahun, ia berusaha memperkuat angkatan perangnya
dengan menyatukan bangsa Mongol dengan suku bangsa lain sehingga menjadi satu
pasukan yang teratur dan tangguh. Pada tahun 1206 M., ia mendapat gelar Jengis
Khan, Raja Yang Perkasa.[8]
Ia menetapkan undang-undang yang disebutnya Alyasak atau Alyasah, untuk
mengatur kehidupan rakyatnya. Wanita mempunyai kewajiban yang sama dengan
laki-laki dalam kemiliteran. Pasukan perang dibagi dalam beberapa kelompok
besar dan kecil, seribu, dua ratus, dan sepuluh orang. Tiap-tiap kelompok
dipimpin oleh seorang komandan.
Undang-undang
Alyasak ini berisi antara lain; larangan mencari-cari kesalahan orang lain,
larangan membantu salah seorang di antara dua orang yang berselisih, jujur
dalam menerima kepercayaan, keharusan saling tolong-menolong dalam peperangan
dan melaksanakan hukum dengan disiplin yang ketat tanpa pandang bulu. Di
samping itu ada juga keharusan bagi warga negara untuk memperlihatkan anak
gadisnya kepada raja untuk dijadikan sebagai istri anak-anaknya. Undang-undang
ini dimasyarakatkan terus, sehingga merupakan sebuah agama yang senantiasa
dipedomani dan dilanjutkan oleh penggantinya kemudian.[9]
Undang-undang
ini juga mengatur tentang hukuman mati bagi pezina, orang yang sengaja berbuat
bohong, melaksanakan magic, mata-mata, memberi makan atau pakaian kepada
tawanan perang tanpa ijin, demikian pula bagi yang gagal melaporkan budak
belian yang melarikan diri juga dikenakan hukuman mati.
Jenghis
Khan (melalui Alyasak) juga mengatur kehidupan beragama dengan tidak boleh
merugikan antara satu pemeluk agama dengan yang lainnya, dan membebaskan pajak bagi
keluarga Nabi Muhammad saw, para penghafal al-Qur’an, ulama, tabib, pujangga,
orang saleh dan zuhud serta muazin/yang menyerukan adzan.[10]
Sedangkan
dalam urusan militer, prajurit-prajurit bersenjata lengkap diinspeksi terlebih
dahulu sebelum pergi berperang, dan setiap orang harus memperlihatkan segala
sesuatu yang ia miliki, bahkan sampai jarum dan benang sekalipun. Kemudian jika
seseorang didapatkan lengah, maka dia harus dihukum. Orang-orang perempuan
diharapkan siap untuk membayar pajak kepada perbendaharaan negara selama
suami-suami mereka pergi berperang. Jenghis Khan juga mendirikan pos pelayanan
agar dia bisa memantau dan mengetahui segala sesuatu yang terjadi di negaranya.[11]
Dari sini tampak bahwa armada perang Mongol sangatlah kuat dan memiliki
kedisiplinan tinggi, sehingga banyak ditakuti musuh-musuhnya.
B. Motivasi Serangan Mongol
Serangan-serangan yang dilakukan oleh
Mongol memiliki latar belakang yang menjadi motivasi mereka untuk melakukan
penyerang tersebut. Maidir Harun dan Firdaus[12]
memaparkan bahwa ada beberapa hal yang menjadi motivasi bagi Mongol untuk
melakukan serangan, sebagai berikut:
1.
Faktor Politik
Pada
tahun 615 H. sekitar 400 orang pedagang bangsa Tartar dibunuh atas persetujuan
wali (gubernur) Utrar. Barang dagangan mereka dirampas dan dijual kepada
saudagar Bukhara dan Samarkand dengan tuduhan mata-mata Mongol. Tentu saja hal
ini menimbulkan kemarahan Jenghis Khan. Jenghis Khan mengirimkan pasukan kepada
Sultan Khawarizmi untuk meminta agar wali Utrar diserahkan sebagai ganti rugi
kepadanya. Utusan ini juga dibunuh oleh Khawarizmi Syah sehingga Jenghis Khan
dengan pasukannya melakukan penyerangan terhadap wilayah Khawarizmi.[13]
Sedangkan
menurut Muhammad Masyhur Amin, bahwa faktor politik yang menyebabkan bangsa
Mongol melakukan penyerangan ke wilayah Islam adalah pertama, karena Sultan
Alauddin Muhammad Khawarizmi Syah memasukkan daerah suku Qarahatun ke dalam
kekuasaannya pada tahun 1210 M., sehingga wilayahnya langsung berbatasan dengan
wilayah kerajaan Jenghis Khan. Kedua, pembataian pedagang Mongol disebabkan
karena tiga orang Islam saudagar besar bersama rombongan-nya dibunuh dan
dirampas barang dagangannya oleh orang-orang Mongol di Ibu Kota Qoraqarun. Oleh
sebab itu, amir Ghayun Khan diperintahkan oleh Sultan Alauddin agar membunuh
150 orang pedagang Mongol yang ada di Utrar.[14]
2.
Motif Ekonomi
Motif
ini diperkuat oleh ucapan Jenghis Khan sendiri, bahwa penaklukan-penaklukan
dilakukannya adalah semata-mata untuk memperbaiki nasib bangsanya, menambah
penduduk yang masih sedikit, membantu orang-orang miskin dan yang belum
berpakaian. Sementara di wilayah Islam rakyatnya makmur, sudah berperadaban
maju, tetapi kekuatan militernya sudah rapuh.
3.
Tabiat Orang Mongol yang Suka Mengembara
Tabiat
mereka yang suka mengembara, diundang ataupun tidak diundang mereka akan datang
juga menjarah dan merampas harta kekayaan penduduk dimana mereka berdiam.
Penyerangan-penyerangan yang dilakukan oleh Jenghis Khan dengan pasukan
perangnya yang terorganisir, berusaha memperluas wilayah kekuasaan dengan
melakukan penaklukan. Para ahli pertukangan mereka bawa dalam pasukan batalion
Zeni (yon-zipur) untuk membuat jembatan dan menjamin melancarkan transportasi
dalam penyerangan. Para tawanan perang dimanfaatkan secara paksa untuk
memanggul perlengkapan perang dan makanan. Strategi perang Jenghis Khan yang
tidak ketinggalan juga adalah membariskan penduduk sipil yang telah kalah di
depan tentara sebagai tameng untuk menggetarkan musuh. Di samping itu, Jenghis
Khan membawa penasehat yang terdiri dari para rahib dan tukang ramal.[15]
C.
Penyerangan
Mongol dan Wilayah Kekuasaannya
Pada
tahun 607 H/1211 M. Jenghis Khan meluaskan wilayahnya. Ia berhasil merebut Cina
Utara dan mendirikan ibu kota Qaraqorun, lalu menduduki Siangkiang.[16]
Penyerangan ke wilayah Islam dimulai melalui daerah Khawarizmi pada tahun 606
H/1209 M. Daerah yang menjadi tujuan utama mereka adalah Turki, Ferghana dan
Samarkand, karena daerah ini yang berdekatan dan yang berkasus dengan mereka.
Sewaktu
bangsa Mongol memasuki wilayah Khawarizmi, sultan Alauddin sudah siap untuk
memukul mundur pasukan Mongol. Pasukan Mongol kembali ke negeri asal mereka
untuk melatih pasukannya dengan intensif. Sewaktu mereka kembali ke daerah
Khawarizmi 10 tahun kemudian, sudah banyak perubahan terhadap pasukannya,
sehingga mereka bisa memasuki Bukhara, Samarkand, Khurasan, Hamadzan, Quzwain
dan sampai ke perbatasan Irak. Di Bukhara, ibu kota Khawarizmi, mereka kembali
mendapat perlawanan dari sultan Alauddin, tetapi kali ini mereka dengan mudah
dapat mengalahkan pasukan Khawarizmi. Sultan Alauddin tewas dalam pertempuran
di Mazindaran tahun 1220 M. Ia digantikan oleh putranya Jalaluddin yang
kemudian melarikan diri ke India karena terdesak dalam pertempuran di dekat
Attock tahun 1224 M. Dari sana pasukan Mongol terus ke Azerbeijan. Penaklukkan
Bukhara ini disebutkan oleh Jenghis Khan sebagai bencana dari Tuhan yang
dikirimkan sebagai hukuman atas orang-orang yang berdosa.[17]
Di
Bukhara, sangat terkenal karena penduduknya yang taat dan berpengetahuan.
Orang-orang Mongol menempatkan kuda mereka di sekeliling masjid yang suci dan
menyobek-nyobek al-Qur’an untuk dibuang di tempat sampah, penduduk yang tidak
dibantai diambil sebagai tawanan. Begitulah nasib kota Samarkand, Balkh dan
kota-kota yang lainnya di Asia Tengah, yang merupakan tempat kebudayaan Islam
yang tinggi, tempat tinggal orang-orang terkemuka dan pusat ilmu pengetahuan.[18]
Sepulangnya
ke Ibu Kota Karaqorun, ia menumpas pemberontakan di wilayah Ala Shan dan Kausu,
lalu meninggal dunia dan dikebumikan di tempat asalnya, Deligun Buldak.[19]
Namun, sebelum Jenghis Khan meninggal pada tahun 624 H./1227 M, pada saat
kondisinya mulai lemah, dia membagi wilayah kekuasaannya menjadi empat bagian
kepada empat orang putranya, yaitu Juchi, Chagatai, Ogotai dan Tuli.[20]
Juchi
anaknya yang sulung mendapat wilayah Siberia bagian barat dan stepa Qipchaq
yang membentang hingga ke Rusia Selatan, di dalamnya terdapat Khawarizmi. Namun
ia meninggal dunia sebelum wafat ayahnya, Jenghis Khan, dan wilayah warisannya
itu diberikan kepada anak Juchi yang bernama Batu dan Orda. Batu mendirikan
Horde (Kelompok) Biru di Rusia Selatan sebagai pilar dasar berkembangnya Horde
Keemasan (Golden Horde). Sedangkan Orda mendirikan Horde Putih di Siberia
Barat. Kedua kelompok itu bergabung dalam abad keempatbelas yang kemudian
muncul sebagai kekhanan yang bermacam ragamnya di Rusia, Siberia dan Turkistan,
termasuk di Crimea, Astarakhan, Qazan, Qasimov, Tiumen, Bukhara dan Khiva.
Syaibaniyah atau Ozbeg. Salah satu cabang keturunan Juchi berkuasa di Khawarazmi
dan Transoxania dalam abad kelima belas dan enam belas.[21]
Golden
Horde selanjutnya berkembang menjadi kerajaan Mongol Islam pertama, yaitu pada
saat diperintah oleh Barka Khan (anak dari Batu). Wilayahnya meliputi Eropa
Timur (Rusia dan Finlandia) dan Eropa Tengah dan padang-padang stepa yang luas,
dan beribukota di Lembah Wolga (Sarai). Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa
Najmuddin Mukhtar az-Zahidi menyusun risalah untuk Barka Khan. Risalah tersebut
mengulas tentang kebenaran ajaran Islam dan kelemahan ajaran Nasranai, dengan
dalail dan bukti yang logis, dapat diterima akal.[22]
Hal inilah yang membuat Barka Khan masuk Islam.
Chagatai
ditugasi untuk menguasai daerah Illi, Ergana, Ray, Hamazan dan Azerbeijan.
Sultan Khawarizmi, Jalaluddin berusaha keras untuk merebut kembali
daerah-daerah yang dikuasai oleh Mongol ini, namun dia tidak sanggup menghadapi
serangan Chagatai. Sultan melarikan diri ke arah pegunungan, tetapi malang
padanya, seorang Kurdi membunuhnya. Dengan kematian Sultan Jalaluddin ini berakhirlah
dinasti Khawarizmi. Dengan demikian Chagatai lebih leluasa mengembangkan
wilayah kekuasaannya.[23]
Ogotai
adalah putra Jenghis Khan yang terpilih oleh Dewan Pemimpin Mongol untuk
menggantikan ayahnya sebagai Khan Agung yang mempunyai wilayah di Pamirs dan
Tien Syan.[24]
Tetapi dua generasi Kekhanan Tertinggi jatuh ke tangan keturunan Tuli. Walaupun
demikian cucu Ogotai yang bernama Qaydu dapat mempertahankan wilayahnya di
Pamirs dan Tien Syan, mereka berperang melawan anak turun Chagatay dan Kubilai
Khan, hingga meninggal dunia.[25]
Sedangkan menurut Badri Yatim, Ogotai
pada tahun 1234 dapat menaklukkan Peking (sekarang Beijing),[26]
dan menurut masyhur amin kekuasaannya pada tahun 1240 sampai ke kota Moskow.[27]
Tuli
(Toluy) anak terakhir Jenghis Khan ini mendapat bagian wilayah Mongolia
sendiri. Anak-anaknya, yakni Mongke dan Kubilai menggantikan Ogotai sebagai
Khan Agung. Mongke bertahan di Mongolia yang beribu kota di Qaraqorun.
Sedangkan Kubilai Khan menaklukkan Cina dan berkuasa di sana yang dikenal
sebagai dinasti Yuan yang memerintah hingga abad keempat belas, yang kemudian
digantikan oleh dinasti Ming. Mereka memeluk agama Budha yang berpusat di
Beijing, dan mereka akhirnya bertikai melawan saudara-saudaranya dari khan-khan
Mongol yang beragama Islam di Asia Barat dan Rusia (Kerajaan Golden Horde).
Adalah Hulagu Khan, saudara Mongke Khan dan Kubilai Khan, yang menyerang
wilayah-wilayah Islam sampai ke Baghdad.[28]
Pada
tahun 1253, Hulagu Khan bergerak dari Mongol memimpin pasukan berkekuatan besar
untuk membasmi kelompok Pembunuh (Hasyasyin) dan menyerang kekhalifahan
Abbasiyah. Inilah gelombang kedua yang dilakukan bangsa Mongol. Mereka menyapu
bersih semua yang mereka lewati dan yang menghadang perjalanan mereka; menyerbu
semua kerajaan kecil yang berusaha tumbuh di atas puing-puing imperium Syah
Khawarizm. Hulagu mengundang Khalifah al-Musta’shim (1242-1258) untuk
bekerjasama menghancurkan kelompok Hasyasyin Ismailiyah. Tetapi undangan itu
tidak mendapat jawaban.
Pada
1256, sejumlah besar benteng Hasyasyin, termasuk “puri induk” di Alamut, telah
direbut tanpa sedikit pun kesulitan, dan kekuatan kelompok yang ketakutan itu
hancur lebur. Bahkan lebih tragis lagi, bayi-bayi disembelih dengan kejam. Pada
bulan September tahun berikutnya, tatkala merangsek menuju jalan raya Khurasan
yang termasyhur, Hulagu mengirimkan ultimatum kepada khalifah agar menyerah dan
mendesak agar tembok kota sebelah luar diruntuhkan. Tetapi khalifah tetap
enggan memberikan jawaban. Pada Januari 1258, anak buah Hulagu bergerak dengan
efektif untuk meruntuhkan tembok ibukota. Tak lama kemudian upaya mereka
membuahkan hasil dengan runtuhnya salah satu menara benteng.[29]
Khalifah
al-Musta’shim benar-benar tidak dapat membendung “topan” tentara Hulagu Khan.
Pada saat yang kritis itu, wazir khalifah Abbasiyah, Ibn al-‘Alqami ingin
mengambil kesempatan dengan menipu khalifah.[30]
Ia mengatakan kepada khalifah, “Saya telah menemui mereka untuk perjanjian
damai. Raja (Hulagu Khan) ingin mengawinkan anak perempuannya dengan Abu Bakar,
putera khalifah. Dengan demikian, Hulagu Khan akan menjamin posisimu. Ia tidak
menginginkan sesuatu kecuali kepatuhan, sebagaimana kakek-kakekmu terhadap
sultan-sultan Seljuk”.
Khalifah
menerima usul itu. Ia keluar bersama beberapa orang pengikut dengan membawa
mutiara, permata dan hadiah-hadiah berharga lainnya untuk diserahkan kepada
Hulagu Khan. Hadiah-hadiah itu dibagi-bagikan Hulagu kepada para panglimanya.
Keberangkatan khalifah disusul oleh para pembesar istana yang terdiri dari ahli
fikir dan orang-orang terpandang. Tetapi, sambutan Hulagu Khan sungguh di luar
dugaan khalifah. Apa yang dikatakan wazirnya ternyata tidak benar. Mereka
semua, termasuk wazir sendiri, dibunuh dengan leher dipancung secara
bergiliran. Dengan pembunuhan kejam ini, berakhirlah kekuasaan Abbasiyah di
Baghdad. Kota Baghdad sendiri dihancurkan rata dengan tanah, sebagaimana
kota-kota lain yang dilalui tentara Mongol tersebut. Peristiwa ini terjadi pada
tanggal 10 Pebruari 1258. Dengan demikian, untuk pertama kalinya dalam sejarah,
dunia muslim terbengkalai tanpa khalifah yang namanya biasa disebut dalam salat
Jum’at.[31]
Walaupun
sudah dihancurkan, Hulagu Khan memantapkan kekuasaannya di Baghdad selama dua
tahun, sebelum melanjutkan gerakan ke Syiria dan Mesir. Dari Baghdad pasukan
Mongol menyeberangi sungai Euphrat menuju Syiria, kemudian melintasi Sinai,
Mesir. Pada tahun 1260 mereka berhasil menduduki Nablus dan Gaza. Panglima
tentara Mongol, Kitbugha, mengirim utusan ke Mesir meminta supaya Sultan Qutuz
yang menjadi raja kerajaan Mamalik di sana menyerah. Permintaan itu ditolak
oleh Qutuz, bahkan utusan Kitbugha dibunuhnya.
Tindakan
Qutuz ini menimbulkan kemarahan di kalangan tentara Mongol. Kitbugha[36]
kemudian melintasi Yordania menuju Galilie. Pasukan ini bertemu dengan pasukan
Mamalik yang dipimpin langsung oleh Qutuz dan Baybars di ‘Ain Jalut.
Pertempuran dahsyat terjadi, pasukan Mamalik berhasil menghancurkan tentara
Mongol, 3 September 1260.[32]
Baghdad
dan daerah-daerah yang ditaklukkan Hulagu selanjutnya diperintah oleh dinasti
Ilkhan. Daerah yang dikuasai dinasti ini adalah daerah yang terletak antara
Asia Kecil di barat dan India di timur, dengan ibukotanya Tabriz. Umat Islam,
dengan demikian, dipimpin oleh Hulagu Khan. Hulagu meninggal tahun 1265 dan
diganti oleh anaknya, Abaga (1265-1282) yang masuk Kristen.[33]
Pada masa Abaga bangsa dinasti Ilkhan bersekutu dengan orang-orang Salib,
penguasa Kristen Eropa, Armenia Cicilia untuk melawan Mamluk dan keturunan
saudara-saudaranya dari dinasti Horde Keemasan (Golden Horde) yang telah
bersekutu dengan Mamluk, penguasa muslim yang berpusat di Mesir.[34]
Dari sini tampak bahwa adanya hubungan erat antara orang-orang Mongol dengan
orang-orang Nasrani yang ingin menghancurkan Islam.
Ahmad
Teguder (1282-1284), raja ketiga dinasti Ilkhan yang pertama kali masuk Islam.
Karena masuk Islam, Ahmad Teguder ditantang oleh pembesar-pembesar kerajaan
yang lain. Akhirnya, ia ditangkap dan dibunuh oleh Arghun yang kemudian
menggantikannya menjadi raja (1284-1291). Raja dinasti Ilkhan yang keempat ini
sangat kejam terhadap umat Islam. Banyak di antara mereka yang dibunuh dan
diusir.
Selain
Teguder, Mahmud Ghazan (1295-1304), raja yang ketujuh, dan raja-raja
selanjutnya adalah pemeluk agama Islam. Dengan masuk Islamnya Mahmud Ghazan sebelumnya
beragama Budha Islam meraih kemenangan yang sangat besar terhadap agama
Syamanisme. Sejak itu pula orang-orang Persia mendapatkan kemerdekaannya
kembali.[35]
Dari sini terlihat bahwa meskipun wilayah Islam secara politis telah
ditaklukkan dan dikuasai oleh dinasti Ilkhan, tetapi akhirnya Mongol sendiri
terserap ke dalam kultur Islam. Sehingga para raja-raja dinasti Ilkhan akhirnya
memeluk agama Islam.[36]
Berbeda
dengan raja-raja sebelumnya, Ghazan mulai memperhatikan per-kembangan
peradaban. Ia seorang pelindung ilmu pengetahuan dan sastra. Ia amat gemar
kepada kesenian terutama arsitektur dan ilmu pengetahuan seperti astronomi,
kimia, mineralogi, metalurgi dan botani. Ia membangun semacam biara untuk para
darwis, perguruan tinggi untuk mazhab Syafi’i dan Hanafi, sebuah perpustakaan,
observatorium, dan gedung-gedung umum lainnya. Ia wafat dalam usia muda, 32
tahun, dan digantikan oleh Muhammad Khubanda Uljeitu (1304-1317), seorang
penganut Syi’ah yang ekstrim. Ia mendirikan kota raja Sultaniyah, dekat Zanjan.
Pada masa pemerintahan Abu Sa’id (1317-1335), pengganti Muhammad Khubanda,
terjadi bencana kelaparan yang sangat menyedihkan dan angin topan dengan hujan
es yang mendatangkan malapetaka. Kerajaan Ilkhan yang didirikan Hulagu Khan ini
terpecah belah sepeninggal Abu Sa’id. Masing-masing pecahan saling memerangi.
Akhirnya, mereka semua ditaklukkan oleh Timur Lenk.[37]
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
Sejarah
kejayaan dan keemasan Islam dibumihanguskan dalam masa kurang lebih 5 tahun.
Hal ini ditandai dengan adanya serangan yang dilakukan oleh Hulagu Khan sejak
1253 ke wilayah Baghdad (pusat pemerintahan bani Abbasiyah) hingga 1258. Serangan
Mongol (Jenghis Khan) bermula dari perampasan dan pembunuhan oleh Gubernur
Utrar terhadap para pedagang bangsa Tartar pada 615 H./1219 M. dengan tuduhan
mata-mata Mongol. Disamping memang sudah menjadi tabiat orang Mongol yang suka
berperang ditambah lagi dengan dorongan faktor ekonomi. Sehingga perluasan
wilayah pun dilakukan oleh Mongol. Dan sampai akhir masa Jenghis Khan
(1162-1227) wilayah kekuasaan Mongol meliputi; Tiongkok, Asia Tengah, Persia,
dan Mongolia.
Sebelum
Jenghis Khan meninggal, dia membagi wilayah kekuasaannya kepada 4 orang
putranya. Pertama, Juchi anaknya yang sulung mendapat wilayah Siberia bagian
barat dan stepa Qipchaq yang membentang hingga ke Rusia Selatan, di dalamnya
terdapat Khawarizm. Kedua, Chagatai ditugasi untuk menguasai daerah Illi,
Ergana, Ray, Hamazan dan Azerbeijan. Ketiga, Ogotai mempunyai wilayah di Pamirs
dan Tien Syan. Keempat, Tuli (Toluy) anak terakhir Jenghis Khan ini mendapat
bagian wilayah Mongolia sendiri.
Hulagu
Khan (1217 – 8 February 1265) anak dari Tuli, merupakan orang kedua Mongol yang
memimpin pasukan berkekuatan besar untuk membasmi kelompok Pembunuh (Hasyasyin)
dan menyerang kekhalifahan Abbasiyah. Pada 10 Pebruari 1258, anak buah Hulagu
membumihanguskan Baghdad sehingga rata dengan tanah. Sehingga masa keemasan dan
kejayaan Islam (Abbasiyah) hancur dalam kurun waktu hanya 5 tahun.
Namun,
akhirnya Ahmad Teguder (1282-1284) dan Mahmud Ghazan (1295-1304), dan raja-raja
selanjutnya adalah pemeluk agama Islam. Dengan masuk Islamnya Mahmud Ghazan
—sebelumnya beragama Budha— Islam meraih kemenangan yang sangat besar terhadap
agama Syamanisme. Sejak itu pula orang-orang Persia mendapatkan ke-merdekaannya
kembali.
Potret
peradaban Islam pada masa Dinasti Ilkhan tidak benar selamanya suram.
Kendatipun pada awalnya kehadirannnya kerap dikatakan sebagai sebagai dinasti
pembawa bencana, namun dalam perjalanan sejarahnya dinasti ini telah memiliki
andil di dalam upaya membangun dan mengembangkan peradaban Islam, terutama
sekali setelah dinasti ini diperintah oleh raja-rajanya yang memeluk agama
Islam.
Pada
masa Dinasti Ilkhan dipegang oleh raja-raja yang telah memeluk Islam peradaban
Islam berkembang dengan pesat, sekalipun tidak dapat dipersamakan dengan
periode sebelumnya. Hal ini terlihat dari masih banyak berbagai bentuk khazanah
peninggalan peradaban yang ditinggalkan pada periode ini. Ini telah
mengindikasikan bahwa para penguasa Muslim Mongol dari dinasti ini banyak
memberikan perhatian terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan infrastruktur
masyarakat, bahkan peradaban Islam.
B. Kritik dan Saran
Dari
keterangan dan penjelasan-penjelasan di atas mudah-mudahan pembaca dapat
mengambil ibrah dan pelajaran, semoga bermanfaat bagi kita semua umumnya bagi
penyusun. Dan dari semua pembahasan di atas mungkin terdapat kesalahan baik
dari segi penulisannya maupun penjelasannya, kami selaku penyusun meminta maaf
dan mengharafkan kritik dan sarannya yang bersifat membangun, agar dapat
memperbaiki makalah-makalah selanjutnya. Yang baik datangnya dari Allah, dan
yang buruk datangnya dari pemakala.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Amin,
Muhammad Masyhur. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Indonesia Spirit
Foundation, 2004.
2. Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru
van Hoeve, cet.IX, 2001.
3. Harun,
Maidir & Firdaus. Sejarah Peradaban Islam. Padang: IAIN-IB Press,
jld.2, 2002.
4. Hasan,
Ibrahim Hasan. Sejarah dan Kebudayaan Islam. terj. Djahdan Hamami,
Surabaya: Kota Kembang, 1989.
5. Cecep
Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Sejarah bangsa Arab Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2005.
6. Mufrodi,
Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta: Logos, 1997.
7. Nata,
Abudin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. VIII,
2003.
8. Yatim,
Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet.VII,
1998
9. Ibrahim
Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam. Terj, Djahdan Hamami. Surabaya : Kota
Kembang, 1989.
[1]
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta : PT.
Ichtiar Baru, 2001. Hal 241
[2]
Muhammad Masyhur Amin, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Indonesia
Spirit Foundation, 2004. Hal 168
[3]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 1998. Hal 111-112
[4]
Dewan redaksi Ensiklopedi Islam, 2001, hal 241
[5]
Badri yatim, 1998, hal 111
[6]
Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, Padang : IAIN-IB
Press, 2002. Hal 105
[7]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
1998. Hal 112
[8]Ali
Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta : Logos, 1997. Hal
127, lihat juga Muhammad Masyhur Amin, hal 169.
[9]
Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, Padang : IAIN-IB
Press, 2002. Hal 106-107
[10]
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, Surabaya : Kota Kembang,
1989. Hal 260, lihat juga Ali Mufrodi, hal 127.
[11]
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta : Logos, 1997.
Hal 128
[12]
Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, Padang : IAIN-IB
Press, 2002. Hal 107-108
[13]
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta : PT.
Ichtiar Baru, 2001. Hal 242
[14]
Muhammad Masyhur Amin, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Indonesia
Spirit Foundation, 2004. Hal 171
[15]
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta : PT.
Ichtiar Baru, 2001. Hal 242-243
[16]
Muhammad masyur Amin, 2004, hal 169
[17]
Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, Padang : IAIN-IB
Press, 2002. Hal 109, lihat juga Badri Yatim, hal 113
[18]
Ibrahim Hasan Sejarah dan Kebudayaan Islam. Terj, Djahdan Hamami.
Surabaya : Kota Kembang, 1989. Hal 262
[19]
Muhammad Masyhur Amin, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Indonesia
Spirit Foundation, 2004. Hal 169
[20]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
1998. Hal 113
[21]
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta : Logos, 1997.
Hal 129
[22]
Muhammad Masyhur Amin, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Indonesia
Spirit Foundation, 2004. Hal 181
[23]
Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, Padang : IAIN-IB
Press, 2002. Hal 109, lihat juga Badri Yatim, hal 111
[24]
Muhammad Masyhur Amin, 2004, hal 169
[25]
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta : Logos, 1997.
Hal 130
[26]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
1998. Hal 112
[27]
Muhammad Masyhur Amin, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Indonesia
Spirit Foundation, 2004. Hal 169
[28]
Ali Mufrodi, 1997, hal 130
[29]
Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, sejarah Peradaban Arab,
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005. 619
[30]
Muhammad Masyhur Amin, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Indonesia
Spirit Foundation, 2004. Hal 179
[31]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
1998. Hal 114-115, lihat juga Ali Mufrodi, 1997, hal 131
[32]
Muhammad Masyhur Amin, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Indonesia
Spirit Foundation, 2004. Hal 179
[33]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
1998. 115
[34]
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta : Logos, 1997.
Hal 131-132
[35]
Badri Yatim, 1998, hal 115-117
[36]
Ali Mufrodi, 1997, hal 113
[37]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
1998. 117
Tidak ada komentar:
Posting Komentar