BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Filsafat
adalah berfikir dan merasa sedalam-dalamnya terhadap segala sesuatu sampai
kepada inti persoalan. Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang tersusun dari
dua kata, yaitu Fhilos dan Sophia. Filos berarti senang,
gemar atau cinta, sedangkan Sophia dapat diartikan sebagai
kebijaksanaan. Dengan begitu filsafat dapat diartikan sebagai suatu kecintaan
kepada kebijaksanaan.[1]
Kata
lain dari flsafat adalah Hakikat dan Hikmah jadi kalau ada orang
yang mengatakan, “Apa Hikmah dari semua ini”, berarti mencari latar belakang
dalam kejadian sesuatu dengan kejadian secara filsafat, yaitu apa, bagaimana,
dan mengapa sesuatu itu terjadi, yang dalam filsafat disebut dengan Ontologi,
Epistemologi dan Aksiologi.
Immanuel
Kant (1724-1804) berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang
menjadi pangkal/pokok dan puncak segala pengetahuan yang tercakup di dalam nya
empat persoalan, yaitu :
§ Apa yang dapat kita ketahui....? dijawab
oleh Metafisika
§ Apa yang harus kita lakukan....? dijawab
oleh Etika
§ Samapai dimanakah harapan kita...?
dijawab oleh Agama
§ Apa hakikat manusia....? dijawab oleh
Anthropologi.[2]
Filsafat
menela’ah hal-hal yang menjadi objeknya. Dari sudut intinya yang mutlak,
terdalam tetapi tidak berubah, atau perenungan yang sedalam-dalamnyatentang
sebab ada dan perbuat, kenyataan yang sedalam-dalamnya sampai kepada mengapa
yang penghabisan, menjawab pertanyaan terakhir, tidak dangkaldan dogma,
melainkan kritis sehingga kita sadar akan kekaburan dan kekacauan pengertian
sehari-hari.
Karena
itu filsafat juga diartikan dengan berfikir dan merasa
sedalam-dalamnya, maka perlu dijelaskan bahwa penulis mendialektikakan berfikir
dengan merasa karena berfikir adalah kegiatan logika, sedangkan merasa adalah
kegiatan estetika dan etika. Oleh karena itu uraian selanjutnya adalah
menjelaskan filsafat pengetahuan, hal mana dalam pengetahuan tersebut
terkandung ilmu (logika), moral (etika) dan seni (estetika).
Pendidikan
haruslah bersendikan atas nilai-nilai yang dapat mendatangkan kestabilan. Agar
dapat terpenuhi maksud tersebut nilai-nilai itu perlu dipilih yang mempunyai
tata yang jelas dan yang telah truji oleh waktu. Nilai-nilai yang dapat
memenuhi adalah berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif selama 4
abad belakangan ini, dengan perhitungan Zaman Renaisans, sebagai pangkal
timbulnya pandangan-pandangan esensialistis awal. Essensialisme percaya bahwa
pendidikan harus didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak
awal peradaban umat manusia.
Dalam
dunia pendidikan, manusia memiliki rasionalitas berpikir untuk memecahkan
masalahnya, baik berupa reaksi, aksi maupun keinginan (cita-cita). Pengertian
masing-masing suatu kesimpulan sebagai belum final, valid, tidak mutlak dan
lain sebagainya, memberi kebebasan untuk menganut atau menolak suatu aliran.
Sikap demikian pra kondisi bagi perkembangan aliran-aliran filsafat, salah
satunya adalah esensialisme
Filsafat
Esensial merupakan filsafat pendidikan konservatif yang dirumuskan sebagai
suatu kritik terhadap praktek pendidikan progresif di sekolah-sekolah, para
esensialis berpendapat bahwa fungsi utama sekolah adalah menyampaikan warisan
budaya dan sejarah kepada generasi muda dimana pendidikan harus nilai-nilai
luhur yang tertata jelas.
Esensialisme
bukan merupakan bangunan filsafat yang berdiri sendiri, melainkan merupakan
terhadap pendidikan progresivisme. Pada umumnya pemikiran aliran pendidikan
esensialisme dilandasi dengan filsafat tradisional idealisme klasik dan
realisme. Dua aliran tersebut adalah pendukung esensialisme, namun tidak
melebur menjadi satu dan tidak melepaskan karakteristiknya masing-masing.
Esensialisme
secara umum menekankan pada pilihan kreatif, subjektifitas pengalaman manusia
dan tindakan kongkrit dari keberadaan hakikat atas setiap skema rasional untuk
hakikat manusia atau realitash.
B. Rumusan Masalah
Adapun masalah-masalah
yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1. Pengertian filsafat pendidikan
esensialisme
2. Sejarah dan yang melatar belakangi lahirnya
ajaran esensialisme
3. Konsep apa saja yang menjadi dasar
pemikiran dari pendidikan esensialisme
4. Karakteristik filsafat pendidikan
esensialisme
5. Tokoh-tokoh esensialisme dan
pandangannya.
C. Tujuan Penulisan
Penyususnan makalah ini bertujuan
agar mahasiswa mengerti dan memahami apa saja masalah-masalah yang ada di dalam
aliran filsafat pendidikan esensialisme ini, baik dari segi pengertian, sejarah
munculnya, konsep pendidikan, dan tokoh-tokoh aliran ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat Esensialisme
Esenssialisme adalah suatu filsafat dalam aliran
pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik pada
trend-trend progresif di sekolah-sekolah.[3]
Bagi aliran ini "Education as Cultural Conservation", pendidikan
sebagai pemeliharaan kebudayaan karena dalil ini maka aliran esensialisme
dianggap para ahli sebagai "Conservatif road to culture, "yakni
aliran ini ingin kembali kepada kebudayaan lama warisan sejarah yang telah
membuktikan kebaikan-kebaikannya bagi kehidupan manusia.[4]
Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang
memiliki kejelasan dan tahan lama, yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai
terpilih yang mempunyai, tata yang jelas. Pendapat ini dikemukakan oleh
Jalaluddin dkk yang dikutip dari pendapat Zuharnini.[5]
Esensialisme percaya bahwa pendidikan harus didasarkan kepada nilai-nilai
kebudayaan yang telah ada sejak zaman awal peradaban umat manusia, kebudayaan
yang mereka wariskan kepada kita hingga sekarang, telah teruji oleh zaman,
kondisi dan sejarah kebudayaan demikian ialah esensial yang mampu pula
pengembangan hari ini dan masa depan umat manusia.[6]
Dengan artian esensialisme ingin kembali ke masa dimana
nila-nilai kebudayaan itu masih tetap terjaga, yang nilai itu tersimpul dalam
ajaran para filosof, ahli pengetahuan yang agung, yang ajaran dan nilai-nilai
ilmu mereka kekal. Esensialisme suatu filsafat pendidikan konservatif yang pada
mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik terhadap pendapat aliran progesif di
sekolah-sekolah.[7]
B. Latar Belakang Munculnya Esensialisme
Gerakan ini muncul pada awal tahun 1930, dengan beberapa
orang pelopornya, seperti William C. Bagley, Thomas Brigger, Frederick Breed,
dan Isac L Kandel, pada tahun 1983 mereka membentuk suatu lembaga yang di sebut
"The esensialist commite for the advanced of American Education"
Bagley sebagai pelopor esensialisme adalah seorang guru besar pada
"teacher college," Columbia University, ia yakin bahwa fungsi utama
sekolah adalah menyampaikan warisan budaya dan sejarah kepada generasi muda.
Esensialisme muncul pada zaman Renaisance dengan
ciri-ciri yang berbeda dengan pregresivisme. Dasar pijakan aliran ini lebih
fleksibel dan terbuka untuk perubahan, toleran, dan tidak ada keterkaitan
dengan doktrin tertentu.[8]
Nilai-nilai yang di dalamnya adalah yang berasal dari kebudayaan dan dan
filsafat yang korelatif selama empat abad belakang. Kesalahan dari kebudayaan
sekarang menurut essensialisme yaitu terletak pada kecenderungan bahkan
gejala-gejala penyimpangannya dari jalan lurus yang telah ditanamkan kebudayaan
warisan itu. Fenomena-fenomena sosial-kultural yang tidak diingini kita
sekarang, hanya dapat di atasi dengan kembali secara sadar melalui pendidikan,
yaitu kembali ke jalan yang telah ditetapkan itu, dengan demikian kita boleh
optimis terhadap masa depan kita dan masa depan kebudayaan umat manusia.[9]
Essensialisme mengadakan protes terhadap progressvisme,
namun dalam proses tersebut tidak menolak atau menentang secara keseluruhan
pandangan proregssvisme seperti halnya yang dilakukan perenialisme. Ada
beberapa aspek dari progresivisme yang secara prinsipil tidak dapat
diterimanya. Mereka berpendapat bahwa betul ada hal-hal yang esensial dari
pengalaman anak yang memiliki nilai esensial tersebut apabila manusia
berpendidikan. Akar filsafat mereka mungkin idealisme, mungkin realisme, namun
kebanyakan mereka tidak menolak epistemologi Dewey.[10]
Esensialisme didukung oleh idelisme modern yang mempunyai
pandangan yang sistematis mengenai alam semesta tempat manusia berada, dan juga
didukung oleh Realisme yang berpendapat bahwa kualitas nilai tergantung ada apa
dan bagaimana keadaannya apabila dihayati oleh subjek tertentu, dan selanjutnya
tergantung pola pada subjek tersebut. Menurut idealisme, nilai akan menjadi
kenyataan (ada) atau disadari oleh setiap orang apabila orang yang bersangkutan
berusaha untuk mengetahui/ menyesuaikan diri dengan sesuatu yang menunjukkan
nilai kepadanya dan orang itu mempunyai pengalaman emosional yang berupa
pemahaman dan peragaan senang tak senang mengenai nilai tersebut. Menurut
Realisme pengetahuan tersebut terbentuk berkat bersatunya stimulus dan
tanggapan tertentu menjadi satu kesatuan. Sedangkan menurut Idealisme,
pengetahuan timbul kerena adanya hubungan antara dunia kecil dengan dunia
besar.
Esensialisme berpendapat bahwa pendidikan haruslah
bertumpu pada nilai-nilai yang telah teruji ketangguhannya dan kekuatannya
sepanjang masa. Essemnsialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada
nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan
dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.[11]
essensislisme suatu aliran filsafat yang lebih merupakan perpaduan ide filsafat
idealisme objektif di satu sisi dan realisme objektif di sisi lainnya.[12]
Oleh karena itu wajar jika ada yang mengatakan Platolah sebagai peletak
asas-asas filosofis aliran ini, ataupun Aristoteles dan Democratos sebagai
peletak dasar-dasarnya. Kendatipun aliran ini kemunculan aliran ini di dasari
oleh pemikiran filsafat idealisme Plato dan realisme Aristoteles, namun bukan berarti
kedua aliran ini lebur kedalam paham esensialisme.[13]
Aliran filsafat essensialisme pertama kali muncul sebagai reaksi atas
simbolisme mutlak dan dogmatisme abad pertengahan. Filsafat ini menginginkan
agar manusia kembali kepada kebudayaan lama karena kebudayaan lama telah banyak
melakukan kebaikan untuk manusia.[14]
Dari paparan diatas dapat disimpulkanb bahwa prinsip-prinsip
Essensislisme adalah :
o Esensialisme berakar pada ungkapan
realisme objektif dan idealisme objektif yang moderen, yaitu alam semesta
diatur oleh hukum alam sehingga tugas manusia memahami hukum alam adalah dalam
rangka penyesuaian diri dan pengelolaannya.
o Sasaran pendidikan adalah mengenalkan
siswa pada karakter alam dan warisan budaya. Pendidikan harus dibangun atas
nilai-nilaiyang kukuh, tetap dan stabil.
o Nilai (kebenaran bersifat korespondensi
).berhubungan antara gagasan dengan fakta secara objekjtif.
o Bersifat konservatif (pelestarian
budaya) dengan merefleksikan humanisme klasik yang berkembang pada zaman
renaissance.
C. Konsep Pendidikan Esensialisme
1. Gerakan Back to Basic
Kaum esensialis mengemukakan bahwa sekolah harus
melatih/mendidik siswa untuk berkomunikasi dengan jelas dan logis,
keterampilan-keterampilan inti kurikulum haruslah berupa membaca, menulis,
berbicara dan berhitung, serta sekolah memiliki tanggung jawab untuk
memperhatikan penguasaan terhadap keterampilan-keterampilan tersebut. Menurut
filsafat esensialisme, pendidikan sekolah harus bersifat praktis dan memberi
pengajaran yang logis yang mempersiapkan untuk hidup mereka, sekolah tidak
boleh mempengaruhi atau menetapkan kebijakan-kebijakan sosial.
2. Tujuan Pendidikan
Tujuannya adalah untuk meneruskan warisan budaya dan
warisan sejarah melalui pengetahuan inti yang terakomulasi dan telah bertahan
dalam kurun waktu yang lama, serta merupakan suatu kehidupan yang telah teruji
oleh waktu yang lama, selain itu tujuan pendidikan esensialisme adalah
mempersiapkan manusia untuk hidup, tidak berarti sekolah lepas tangan tetapi
sekolah memberi kontribusi bagaimana merancang sasaran mata pelajaran
sedemikian rupa, yang pada akhirnya memadai untuk mempersiapkan manusia hidup.
3. Kurikulum
Kurikulum esensialisme seperti halnya perenialisme, yaitu
kurikulum yang berpusat pada mata pelajaran (subjek matter centered). Pengusaan
materi kurikulum tersebut merupakan dasar yang esensialisme general education
(filsafat, matematika, IPA, sejarah, bahasa, seni dan sastra) yang diperlukan
dalam hidup belajar dengan tepat berkaitan dengan disiplin tersebut akan mampu
mengembangkan pikiran (kemampuan nalar) siswa dan sekaligus membuatnya sadar
akan dunia fisik sekitarnya.
Bogoslousky, dalam bukunya The Ideal School, mengutarakan
hal-hal yang lebih jelas dari Horne. Disamping menegaskan supaya kurikulum
dapat terhindar dari adanya pemisahan mata pelajaran yang satu dengan yang
lain, kurikulum dapat diumpamakan sebagai sebuah rumah yang mempunyai empat
bagian, ialah :
·
Universum.
Pengetahuan yang merupakan latar belakang dari segala manifestasi hidup
manusia, diantaranya adalah adanya kekuatan-kekuatan alam, asal-usul tata surya
dan lain-lainnya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu pengetahuan alam kodrat
yang diperluas.
·
Sivilisasi.
Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat. Dengan
sivilisasi manusia mampu mengadakan pengawasan terhadap lingkungannya, mengejar
kebutuhan, hidup aman dan sejahtera.
·
Kebudayaan.
Karya manusia yang mencakup diantaranya filsafat, kesenian, kesusasteraan,
agama, penafsiran dan penilaian mengenai lingkungan.
·
Kepribadian.
Bagian yang bertujuan pembentukan kepribadian dalam arti riil yang tidak
bertentangan dengan kepribadian yang ideal.
Jadi, tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk
pribadi bahagia didunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu
pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu menggerakan kehendak manusia.
Kurikulum sekolah bagi esensialisme merupakan semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran
kenyataan, kebenaran dan kegunaan. Maka dalam sejarah perkembangannya,
kurikulum esensialisme menerapkan berbagai pola kurikulum, seperti pola
idealisme, realisme dan sebagainya. Sehingga peranan sekolah dalam
menyelenggarakan pendidikan bisa berfungsi sesuai dengan prinsip-prinsip dan
kenyataan sosial yang ada dimasyarakat.
4. Peranan Guru dan Sekolah.
Peranan sekolah adalah memelihara dan menyampaikan
warisan budaya dan sejarah pada generasi pelajar dewasa ini, melalui hikmat dan
pengalaman yang terakumulasi dari disiplin tradisional. Selanjutnya mengenai
peranan guru banyak persamaan dengan perenialisme. Guru dianggap sebagai seorang
yang menguasai lapangan subjek khusus dan merupakan model contoh yang sangat
baik untuk digugu dan tiru. Guru merupakan orang yang mengusai pengetahuan, dan
kelas berada di bawah pengaruh dan pengawasan guru.[15]
5. Prinsip-prinsip pendidikan
Prinsip-prinsip
pendidikan esensialisme dapat dikemukakan sebagai berikut :
·
Pendidikan
haruslah dilakukan melalui usaha keras tidak begitu saja timbul dari dalam diri
siswa.
·
Inisiatif
dalam pendidikan ditekankan pada guru bukan pada siswa.
·
Inisiatif
proses pendidikan adalah asimilasi dari mata pelajaran yang telah ditentukan.
·
Sekolah
harus mempertahankan metode-metode trasdisional yang bertautan dengan disiplin
mental.
·
Tujuan
akhir pendidikan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umum merupakan
tuntutan demokrasi yang nyata.
·
Metode-metode
tradisional yang bertautan dengan disiplin mental merupakan metode yang
diutamakan dalam pendidikan di sekolah.[16]
D. Ciri-ciri (karakteristik) Aliran
Esensialisme
Esensialisme yang berkembang pada zaman Renaissance
mempunyai tinjauan yang berbeda dengan progressivisme mengenai pendidikan dan
kebudayaan. Jika progressivisme menganggap pendidikan yang penuh fleksibelitas,
serba terbuka untuk perubahan, tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu,
toleran dan nilai-nilai dapat berubah dan berkembang, maka aliran Esensialisme
ini memandang bahwa pendidikan yang bertumpu pada dasar pandangan fleksibilitas
dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah,
mudah goyah dan kurang terarah dan tidak menentu serta kurang stabil. Karenanya
pendidikan haruslah diatas pijakan nilai yang dapat mendatangkan kestabilan dan
telah teruji oleh waktu, tahan lama dan nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan
terseleksi.
Nilai-nilai yang dapat memenuhi adalah yang berasal dari kebudayaan
dan filsafat yang korelatif, selama empat abad belakangan ini, dengan
perhitungan zaman Renaisans, sebagai pangkal timbulnya pandangan-pandangan
Esensialistis awal. Puncak refleksi dari gagasan ini adalah pada pertengahan
kedua abad ke sembilan belas.[17]
Idealisme dan Realisme adalah aliran-aliran filsafat yang
membentuk corak Esensialisme. Sumbangan yang diberikan oleh masing-masing ini
bersifat eklektik, artinya dua aliran filsafat ini bertemu sebagai pendukung
Esensialisme, tetapi tidak lebur menjadi satu. Berarti, tidak melepaskan
sifat-sifat utama masing-masing. Realisme modern yang menjadi salah satu
eksponen esensialisme, titik berat tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia
fisik; sedangkan idealisme modern sebagai eksponen yang lain, pandangan-pandangannya
bersifat spiritual.
Idealisme modern mempunyai pandangan bahwa realita adalah
sama dengan substansi gagasan-gagasan(ide-ide). Di balik duni fenomenal ini ada
jiwa yang tidak terbatas yaitu Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmos. Manusia
sebagai makhluk yang berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan. Dengan
menguji menyelidiki ide-ide serta gagasan-gagasannya, manusia akan dapat
mencapai kebenaran, yang sumbernya adalah Tuhan sendiri. Sedangkan, ciri-ciri
filsafat pendidikan esensialisme yang disarikan oleh William C. Bagley adalah
sebagai berikut :
1. Minat-minat yang kuat dan tahan lama
sering tumbuh dari upaya-upaya belajar awal yang memikat atau menarik perhatian
bukan karena dorongan dari dalam diri siswa.
2. Pengawasan pengarahan, dan bimbingan
orang yang dewasa adalah melekat dalam masa balita yang panjang atau keharusan
ketergantungan yang khusus pada spsies manusia.
3. Oleh karena kemampuan untuk mendisiplin
diri harus menjadi tujuan pendidikan, maka menegakan disiplin adalah suatu cara
yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.
4. Esensialisme menawarkan sebuah teori
yang kokoh, kuat tentang pendidikan, sedangkan sekolah-sekolah pesaingnya
(progresivisme) memberikan sebuah teori yang lemah.
E. Beberapa Pandangan Umum Filsafat Esensialisme
Ø Pandangan Ontologi
Para filusuf Esensialisme merupakan suatu konsepsi bahwa
dunia atau realitas ini dikuaasai oleh tata tertentu yang mengatur dunia
beserta isinya. Bahwa bagaimanapun bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita, dan
perbuatan manusia harus disesuaikan dengan tata tersebut. Konsep tata dipandang
menurut idealism dan realisme.
·
Ontology
Idealisme. Pendukung Esensialisme adalah idealisme yang berpandangan, bahwa
manusia adalah makhluk yang semua tata serta kesatuan atau totalitasnya merupakan
bagian yang tak terpisahkan dan sama dengan alam semesta atau makrokosmos,
kalaupun berbeda hanya skala atau ukurannya saja.
·
Ontology
Realisme. Realisme pendukung esensialisme adalah realisme objektif. Manusia
adalah makhluk yang memiliki intelegensi atau kesadaran hakikatnya adalah
biologi dan berkembang, kesadaran bukan primordial melainkan muncul kemudian
dalam sejarah evolusi. Karena itu sering disebut lebih disebut sebagai produk
alam.[18]
Ontologi
filsafat pendidikan idealisme menyatakan bahwa kenyataan dan kebenaran itu pada
hakikatnya adalah ide-ide atau hal-hal yang berkualitas spiritual. Oleh karena
itu, hal pertama yang perlu ditinjau pada peserta didik adalah pemahaman
sebagai makhluk spiritual dan mempunyai kehidupan yang bersifat teleologis dan
idealistik. Pendidikan bertujuan untuk membimbing peserta didik menjadi makhluk
yang berkepribadian, bermoral, serta mencita-citakan segala hal yang serba baik
dan bertaraf tinggi.
Ø Pandangan Epistomologi
Aspek epistemologi yang perlu diperhatikan halam
pendidikan adalah pengetahuan hendaknya bersifat ideal dan spiritual, yang
dapat menuntun kehidupan manusia pada kehidupan yang lebih mulia. Pengetahuan
semacam itu tidak semata-mata terikat kepada hal-hal yang bersifat fisik,
tetapi mengutamakan yang bersifat spiritual. Sedangkan aspek aksiologi
menempatkan nilai pada dataran yang bersifat tetap dan idealistik. Artinya,
pendidik hendaknya tidak menjadikan peserta didik terombang-ambing oleh hal-hal
yang bersifat relative atau temporer.[19]
Ontologi dari filsafat pendidikan realisme bahwa pendidikan itu seyogyanya
mengutamakan perhatian pada peserta didik seperti apa adanya, artinya utuh
tanpa reduksi.
Dalam bidang epistemologi, bahwa pengetahuan adalah hasil
yang dicapai oleh proses mana subjek dan objek mengadakan pendekatan. Dengan
demikian hasilnya adalah perpaduan antara pengamatan, pemikiran, dan
keseimpulan dari kemampuan manusia dalam menyerap objeknya. Oleh karena itu,
epistemologi dalam filsafat pendidikan realisme adalah proses dan produk dari
seberapa jauh pendidik dapat mempelajari secara ilmiah emperis mengenai peserta
didiknya. Hasil-hasilnya akan digunakan sebagai dasar untuk menyelenggarakan
pendidikan.
·
Epistomologi
Idealisme
Sumber Pengetahuan. Bahwa kesadaran manusia adalah bagian
dari kesadaran yang absolute. Karena itu, dalam diri manusia tercermin suatu
harmoni dengan alam semesta, khususnya pikiran manusia (human mind) ada pun
manusia memperoleh pengetahuan melalui berfikir, intuisi, atau introspeksi.
·
Epistomologi
Realisme
Sumber Pengetahuan adalah dunia luar subjek, pengetahuan
diperoleh pengalaman pengamatan (kontak langsung melalui panca indra). Criteria
kebenaran. Suatu pengetahuan diakui benar jika pengetahuan itu sesuai dengan
realitas eksternal (yang objektif) dan independen.[20]
Ø Pandangan Aksiologi
Sedangkan
dalam bidang aksiologi, faktor peserta didik perlu dipandang sebagai agen yang
ikut menentukan hakikat nilai. Esensialisme didasari atas pandangan humanisme yang
merupakan reaksi terhadap hidup yang mengarah pada keduniaan, serba ilmiah dan
materialistis. Selain itu juga diwarnai oleh pandangan-pandangan dari paham
penganut aliran idealisme dan realisme. Tujuan umum aliran esensialisme adalah
membentuk pribadi bahagia di dunia dan akhirat.[21]
Johann Amos Comenius (1592-1670) sebagai salah satu tokoh esensialisme
mengatakan bahwa karena dunia ini dinamis dan bertujuan, kewajiban pendidikan
adalah membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan. Tugas utama pendidikan
ialah membina kesadaran manusia akan semesta dan dunia, untuk mencari kesadaran
spiritual, menuju Tuhan.[22]
Teori nilai
menurut Idealisme bahwa hukum-hukum etika adalah hukum kosmos, karena itu
seseorang dikatakan baik hanya bila ia secara aktif berada di dalam dan
melaksanakan hukum-hukum itu. Dengan demikian posisi seseorang jelas dapat
dimengerti dalam hubungannya dengan nilai-nilai itu. Dalam filsafat, misalnya
agama dianggap mengajarkan doktrin yang sama, bahwa perintah-perintah Tuhan
mampu memecahkan persoalan-persoalan moral bagi siapapun yang mau menerima dan
mengamalkannya. Meskipun Idealisme menjunjung asas otoriter atas nilai-nilai
itu, namun ia tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif bersifat menentukan
nilai-nilai itu atas dirinya sendiri yaitu memilih dan melaksanakan.
·
Aksiologi
Idealisme
Cita-cita manusia adalah manifestasi dari keanggotaannya
dalam suatu masyarakat pribadi yang spiritualis yang diperintah oleh Tuhan.[23]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa idealism mungkin melandasi
totalitarianism, mungkin juga pendukung demokrasi.
·
Aksiologi
Realisme
Moral berasal dari adat istiadat, kebiasaan atau dari
kebudayaan masyarakat. Moral itu disosialisasikan oleh masyarakat terhadap
anggotanya atau diinternalisasikan sendiri oleh individu melalui pengalaman
hidupnya dalam masyrakat. Ini berarti bahwa kata hati adalah cerminan aspirasi
masyarakat, bukan Tuhan.
F. Tokoh-Tokoh filsafat Esensialisme
1. Johan Frieddrich Herbart (1776-1841)
Ia berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa
seseorang dengan kebijaksanaan Tuhan artinya adanya penyesuaian dengan hukum
kesusilaan. Proses untuk mencapai tujuan pendidikan itu oleh Herbart disebut
pengajaran.
2.
William
T. Harris (1835-1909)
Tugas pendidikan adalah menjadikan terbukanya realitas
berdasarkan susunan yang tidak terelakkan dan bersendikan ke kesatuan spiritual
sekolah adalah lembaga yang memelihara nilai-nilai yang turun menurut, dan
menjadi penuntun penyesuaian orang pada masyarakat.
3.
Georg
Wilhelm Friedrich Hegel (1770 – 1831)
Georg
Wilhelm Friedrich HegelHegel mengemukakan adanya sintesa antara ilmu
pengetahuan dan agama menjadi suatu pemahaman yang menggunakan landasan
spiritual. Sebuah penerapan yang dapat dijadikan contoh mengenai sintesa ini
adalah pada teori sejarah. Hegel mengatakan bahwa tiap tingkat kelanjutan, yang
dikuasai oleh hukum-hukum yang sejenis. Hegel mengemukakan pula bahwa sejarah
adalah manifestasi dari berpikirnya Tuhan. Tuhan berpikir dan mengadakan
ekspresi mengenai pengaturan yang dinamis mengenai dunia dan semuanya nyata
dalam arti spiritual. Oleh karena Tuhan adalah sumber dari gerak, maka ekspresi
berpikir juga merupakan gerak.
4. George Santayana
George Santayana memadukan antara aliran idealisme dan
aliran realisme dalam suatu sintesa dengan mengatakan bahwa nilai itu tidak
dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian dan
pengalaman seseorang menentukan adanya kualitas tertentu. Walaupun idealisme
menjunjung asas otoriter atau nilai-nilai, namun juga tetap mengakui bahwa
pribadi secara aktif bersifat menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri(memilih,melaksanakan).
Dia memadukan antara aliran idealisme
dan realisme dalam suatu sintesa dengan mengatakan bahwa nilai tidak dapat
ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian dan pengalaman
seseorang menentukan adanya kualitas tertentu.[24]
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
Pendidikan esensialisme merupakan sebuah aliran
pendidikan yang tidak pendidikan yang tidak setuju terhadap praktek-praktek
pendidikan progressivisme, yang mengklaim bahwa pergerakan progressive telah
merusak standar-standar intelektual dan moral diantara kaum muda. Metode yang
digunakan adalah metode tradisional yang menekankan pada inisiatif guru, guru
haruslah orang terdidik dan dapat menguasai pengetahuan dan kelas semua itu
harus berada di bawah penguasaan guru.
Esensialis menginginkan agar sekolah berfungsi sebagai
penyampaian warisan budaya dan sejarah yang mengandung nilai-nilai luhur para
filosof sebagai ahli pengetahuan dimana nilai-nilai kebudayaan itu masih tetap
terjaga dan kekal. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Aliran filsafat Esensialisme adalah
suatu aliran filsafat yang menginginkan agar manusia kembali kepada kebudayaan
lama.
2. Aliran Esensialisme ini memandang bahwa
pendidikan yang bertumpu pada dasar pandangan fleksibilitas dalam segala bentuk
dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah, mudah goyah, kurang
terarah, tidak menentu dan kurang stabil.
3. Ciri-ciri filsafat pendidikan
Esensialisme oleh William C. Bagley sebagai berikut :
·
Minat-minat
yang kuat dan tahan lama yang sering tumbuh dari upaya-upaya belajar awal.
·
Pengawasan,
pengarahan dan bimbingan orang yang dewasa adalah melekat dalam masa balita
yang panjang.
·
Kemampuan
untuk mendisiplin diri harus menjadi tujuan pendidikan.
·
Esensialisme
menawarkan sebuah teori yang kokoh tentang pendidikan
·
Tokoh-tokoh
terkemuka yang berperan dalam penyebaran aliran esensialisme diantarnya adalah
Desidarius Erasmus, Johann Amos Comenius, John Locke, Johann Henrich Pesta
Lozzi, Johann Friederich Frobel, Johann Friedrich Herbart dan William T.
Harris.
4. Beberapa pandangan dalam esensialisme
diantaranya :
·
Pandangan
mengenai pendidikan
·
Pandangan
mengenai Ontologi
·
Pandangan
mengenai Epistimologi
·
Pandangan
mengenai aksiologi
B. Saran
Di dalam makalah ini, mungkin banyak sekali terdapat
kesilapan ataupun kesalahan, baik dari segi penulisan ataupun pengertian. Jadi
oleh sebab itu, saya selaku penulis memohon maaf dan meminta saran dan kritikan
yang sifatnya membangun, agar dapat menjadi perbaikan bagi saya untuk
makalah-makalah selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Drs. Usiono, M.A, Pengantar Filsafat
Pendidikan, Jakarta : Hijri Pustaka Utama,2006.
2. DR, Nur Ahmad Fadhil Lubis, MA, Pengantar
Filsafat Umum, Medan : Penerbit IAIN Press, 2001.
3. Uyoh Sadullah, Pengantar Filsafat
Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2008.
4. Muhammad Noor Syam, Filsafat
kependidikan dan dasar filsafat kependidikan Pancasila, Surabaya : Usaha
Nasional, 1988.
5. Jalaluddin dan Abdullah idi, Filsafat
Pendidikan Manusia, Filsafat dan Pendidikan, Jogjakarta: Usaha Nasional,
1988.
6. Zuhairini dan Dkk, Filsafat pendidikan Islam, Jakarta:
Bumi aksara, 1994.
7. Muhmidayeli, filsafat pendidikan
Islam,Yogyakarta : Aditya media, 2005.
8. Hamdani Ali, Filsafat pendiikan, Yogyakarta
: kota kembang, 1993.
9. Tim Pengajar UNIMED, Filsafat
Pendidikan, Medan, 2010.
10. Prof. Imam Barnadib, M. A. D.Filsafat
Pendidikan. Yogyakarta: Andi Offset,1990.
[1] Drs. Usiono, M.A, Pengantar Filsafat Pendidikan, Jakarta :
Hijri Pustaka Utama,2006. Hal 39
[2] DR, Nur Ahmad Fadhil Lubis, MA, Pengantar Filsafat Umum, Medan
: Penerbit IAIN Press, 2001, hal 11
[3] Uyoh Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung:
Alfabeta, 2008, hal 158.
[4] Muhammad Noor Syam, Filsafat kependidikan dan dasar filsafat
kependidikan Pancasila, Surabaya : Usaha Nasional, 1988, hal 260
[5] Jalaluddin dan Abdullah idi, Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat
dan Pendidikan, Jogjakarta: Usaha Nasional, 1988, hal260.
[6] Muhammad Noor Syam, Filsafat kependidikan dan dasar filsafat
kependidikan Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional, 1988, hal.260
[7] Drs. Usiono, M.A, Pengantar Filsafat Pendidikan, Jakarta :
Hijri Pustaka Utama,2006. Hal 153
[8] Jalaluddin dan Abdullah idi, Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat dan
Pendidikan, op, cet, hal.99
[9] Muhammad Noor Syam, Filsafat kependidikan dan dasar filsafat
kependidikan Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional, 1988, hal.260
[10] Uyoh Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung:
Alfabeta, 2008. hal.159.
[11] Zuhairini dan Dkk, Filsafat pendidikan Islam, Jakarta:
Bumi aksara, 1994, hal 21.
[12] Jalaluddin, Adullah Idi,
Filsafat Pendidikan, Jakarta : Gramedia Pratama, 1997, hal 82,
[13] Muhmidayeli, filsafat
pendidikan Islam,Yogyakarta : Aditya media, 2005, hal 184
[14] B.Hamdani Ali, Filsafat
pendiikan, Yogyakarta : kota
kembang, 1993, hal 116
[15] Uyoh Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung:
Alfabeta, 2008. hal.160. dapat juga dilihat Drs. Usiono, M.A, Pengantar
Filsafat Pendidikan, Jakarta : Hijri Pustaka Utama,2006. Hal 153-155
[16] Tim Pengajar UNIMED, Filsafat Pendidikan, Medan, 2010. Hal
35-36
[17] http://kumpulanmakalahdanartikelpendidikan.blogspot.com/2011/01/aliran-esensialisme-dalam-filsafat.html
[18] http://yunifar.multiply.com/journal/item/4
[22] Muhammad Noor Syam, Filsafat kependidikan dan dasar filsafat
kependidikan Pancasila, Surabaya : Usaha Nasional, 1988, hal 261
[23] Ibin, hal 261
[24] http://One.Indoskripsi.com/Aliran -Aliran Pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar