BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Berbicara mengenai seorang anak,
tidak luput dari pada membahas tentang perkembangan dan petumbuhan anak.
Pertumbuhan dan perkembangan anak menurut teori kovergensi pertumbuhan dan
perkembangan anak dipengaruhi oleh genetik dan millieu (bawaan dan lingkungan).
Pada dasarnya seorang anak telah dianugrahi oleh Allah SWT potensi-potensi yang
begitu banyak, dan ini harus dikembangkan melalui pendidikan dan lain
sebagainya.
Di Indonesia pendidikan untuk anak
0-6 tahun masih boleh dikatakan kurang dalam artiyan belum pemileyer dikalangan
orang tua. Mereka hanya tahu pendidikan dasar (SD), sekolah menengah pertama
(SMP) dan sekolah menengah atas (SMA). Namun semenjak terbitnya undang-undang Sisdiknas
nomor 20 tahun 2003. Padangan orang tua tentang pendidikan sudah beransur
berubah, karena di Sisdiknas tersebut ada pasal yang membahas tentang
pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini.
Perkembangan merupakan suatu
perubahan, dan perubahan ini tidak bersifat kuantitatif, melainkan kualitatif.
Perkembangan tidak ditekankan pada segi material, melainkan pada segi
fungsional. Pengertian lain dari perkembangan adalah “perubahan-perubahan yang
dialami oleh individu atau organisme menuju tingkat kedewasaannya atau
kematangannya (maturation) yang berlangsung secara sistematis, progresif dan
berkesinambungan, baik menyangkut fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah).
Dalam hal ini, Perkembangan sosial pada anak usia dini dapat dilihat dari
tingkatan kemampuannya dalam berhubungan dengan orang lain dan menjadi anggota
masyarakat sosial yang produktif. Hal ini mencakup bagaimana seorang anak
belajar untuk memiliki suatu kepercayaan terhadap perilakunya dan hubungan
sosialnya.
1.2
Rumusan
Masalah
Agar pembahasan penyusun tidak lari
dari sub tema, maka ada baiknya penyusun merumuskan masalah-masalah yang akan
dibahas, diantaranya :
ü Perkembangan dan pertumbuhan social anak usia dini;
ü Aspek perilaku social anak usia dini;
ü Kerakteristik perkembangan social anak usia dini;
ü Factor yang mempengaruhi perkembangan social anak usia dini;
ü Strategi pengembangan social anak usia dini.
1.3
Tujuan
Penulisan
Ada beberapa tujuan penyusun menulis
makalah ini, antara lain :
ü Pertama-tama untuk melengkapi tugas mata kuliah Pendidikan anak
usia dini;
ü Mahasiswa dapat mengetahui pengertian pertumbuhan, perkembangan,
dan social;
ü Mahasiswa dapat memahami pertumbuhan dan perkembangan anak usia
dini;
ü Mahasiswa dapat memahami aspek perilaku dan krakteristik
perkembangan social anak usia dini;
ü Mahasiswa mampu mengetahui factor-faktor apa saja yang mempengaruhi
perkembangan social anak usia dini;
ü Mahasiswa mengetahui strategi apa saja yang dapat digunakan oleh
pendidik dalam mengembangkan prilaku social anak usia dini.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan dan Pertumbuhan Social Anak Usia Dini
Setiap organisme
pasti mengalami peristiwa perkembangaan selama hidupnya. Perkembangan merupakan
suatu perubahan, dan perubahan ini tidak bersifat kuantitatif, melainkan
kualitatif. Perkembangan tidak ditekankan pada segi material, melainkan pada
segi fungsional. Pengertian lain dari perkembangan adalah “perubahan-perubahan
yang dialami oleh individu atau organisme menuju tingkat kedewasaannya atau
kematangannya (maturation) yang berlangsung secara sistematis, progresif dan
berkesinambungan, baik menyangkut fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah).
Oemar Hamalik menambahkan bahwa
“perkembangan menunjuk kepada perubahan yang progresif dalam organisme bukan
saja perubahan dalam segi fisik (jasmaniah) melainkan juga dalam segi fungsi
misalnya kekuatan dan koordinasi”. Dengan demikian berarti kita dapat
mengartikan bahwa perkembangan sebagai perubahan kualitatif dari pada
fungsi-fungsi. (Ahmad Susanto, 2011 : 19). Pertumbuhan itu sendiri adalah
ukuran dan bentuk tubuh atau anggota tubuh. Kata pertumbuhan sering dikaitkan
dengan kata perkembangan, ada juga yang mengatakan bahwa pertumbuhan merupakan
bagian dari perkembangan.
Perkembangan sosial merupakan
pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Dapat juga diartikan sebagai
proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral,
dan tradisi; meleburkan diri menjadi suatu kesatuan yang saling berkomunikasi
dan bekerja sama. Secara potensial (fitrah) menurut Plato, manusia dilahirkan
sebagi mahluk sosial (zoon politicon). Namun untuk mewujudkan potensi tersebut
ia harus berada dalam interaksi dengan lingkungan manusia-manusia lain.
Perkembangan perilaku sosial anak
ditandai dengan adanya minat terhadap aktivitas teman-teman dan meningkatnya
keinginan yang kuat untuk diterima sebagai anggota suatu kelompok, dan tidak
puas bila tidak bersama teman-temannya. Anak tidak lagi puas bermain sendiri
dirumah atau dengan saudara-saudara kandung atau melakukan kegiatan-kegiatan
dengan anggota-anggota keluarga. Anak ingin bersama teman-temannya dan akan
merasa kesepian serta tidak puas bila tidak bersama teman-temannya. Dua atau
tiga teman tidaklah cukup baginya. Anak ingin bersama dengan kelompoknya,
karena hanya dengan demikian terdapat cukup teman untuk bermain dan berolah
raga, dan dapat memberikan kegembiraan. Sejak anak masuk sekolah sampai masa
puber, keinginan untuk bersama dan untuk diterima kelompok menjadi semakin
kuat. Hal ini berlaku baik untuk anak laki-laki maupun anak perempuan. (Dadang
Gani Ginanjar, 07-12-2012).
Makna sosial itu sendiri dapat
dipahami sebagai upaya pengenalan (sosialisasi) anak terhadap orang lain yang
ada diluar dirinya dan lingkungannya, serta pengaruh timbale balik dari
berbagai segi kehidupan bersama yang mengadakan hubungan satu dengan yang
lainnya, baik berbentuk perorangan maupun kelompok. (Ahmad Susanto, 2011 :
134). Perkembangan sosial anak-anak dapat dilihat dari tingkatan kemampuannya
dalam berhubungan dengan orang lain dan menjadi anggota masyarakat sosial yang
produktif. Hal ini mencakup bagaimana seorang anak belajar untuk memiliki suatu
kepercayaan terhadap perilakunya dan hubungan sosialnya. Perkembangan sosial
meliputi :
ü Kompetensi Sosial (kemampuan untuk bermanfaat bagi lingkungan
sosialnya);
ü Kemampuan Sosial(perilaku yang digunakan dalam situasi sosial);
ü Pengamatan Sosial (memahami pikiran-pikiran, niat, dan perilaku diri
sendiri maupun orang lain);
ü Perilaku Prososial ( sikap berbagi, menolong, bekerjasama, empati,
menghibur, meyakinkan, bertahan, dan menguatkan orang lain );
ü Perolehan nilai dan moral (perkembangan standar untuk memutuskan
mana yang benar atau salah, kemampuan untuk memperhatikan keutuhan dan
kesejahteraan orang lain). (Sunardi Nur, 2009 : 102).
Perkembangan social anak dimulai
dari sifat egosentrik individual, kearah interaktif komunal. pada mulanya anak
bersifat egosentrik, hanya memandang dari satu sisi, yaitu dirinya sendiri. Ia
tidak mengerti bahwa orang lain bias berpandangan berbeda dengan dirinya. (Syafaruddin
& Herdianto, 2011 : 83). Pada tahun awal perkembangannya, seorang anak
mengalami pertumbuhan yang sangat pesat di dalam beradaptasi dengan lingkungan
sekitarnya. Pengetahuan tentang tahap-tahap perkembangan perilaku dapat
menolong kita untuk memahami tindakan setiap anak dan memberikan pengalaman
yang akan mendukung perkembangan sosial mereka yang positif. Perkembangan
sosial meliputi perubahan peningkatan pengetahuan yang berbentuk spiral tentang
dirinya sendiri dan orang lain. Hal ini dipengaruhi baik oleh pengalaman maupun
hubungan sosial anak dengan orang dewasa dalam kehidupannya, dan oleh tingkatan
perkembangankognitifnya. Ada 4 aspek kognisi yang berhubungan dengan
perkembangan sosial anak :
v Perpindahan dari sikap egosentris melihat dunia hanya dari sudut
pandangnya sendiri ke perkembangan kemampuan untuk memahami bagaimana
pikiran/pendapat orang lain dan apa yang dirasakan oleh orang lain;
v Pertumbuhan dalam kemampuan untuk memahami sebab dan akibat untuk
melihat hubungan antra sikap seseorang dan konsekwensi yang harus dipikul;
v Perubahan dari berpikir konkrit (kamu adalah temanku jika kamu
bermain dengan aku) ke pola piker abstrak (kamu adalah temanku walau ketika aku
tidak melihat kamu setiap hari, karena kita suka bermain bersama);
v Perkembangan kognisi yang kompleks, seperti kemapuan untuk memahami
hubungan keluarga yang lebih luas (ibu saya adalah seorang ibu, bibi, istri dan
juga anak). (Dadang Gani Ginanjar, 07-12-2012).
Perkembangan sosial anak sangat
tergantung pada individu anak, peran orang tua, lingkungan masyarakat dan
termasuk sekolah. Kita telah ketahui perkembangan sosial anak ialah bagaimana
anak usia dini berinteraksi dengan teman sebayanya atau teman-teman yang lebih
tua dari padanya ; terlepas dari betul dan salahnya anak dalam bergaul dengan
temannya. Anak yang cerdas, walaupun umurnya 6 tahun, tetapi sudah mampu
mengikuti permainan yang membutuhkan strategi berpikir seperti catur. Oleh
karena itu biasanya anak yang cerdas lebih suka bermain dengan anak yang usianya
lebih tua, sedangkan anak yang kurang cerdas merasa lebih cocok dengan anak
yang lebih muda usianya. (Sunardi Nur, 2009 : 102)
Perekembangan sosial anak bemula
dari semenjak bayi, sejalan dengan pertumbuhannya badannya, bayi yang telah
menjadi anak dan seterusnya menjadi orang dewasa itu, akan mengenal
lingkungannya lebih luas, mengenai banyak manusia. Perkenalannya dengan orang
lain dimulai dengan mengenal ibunya, kemudian mengenal ayah dan keluarganya.
Selanjutnya manusia yang dikenalnya semakin banyak dan amat hitrogen, namun
pada umumnya setiap anak akan lebih tertarik kepada teman sebaya yang sama
jenis. Anak membentuk kelompok sebaya sebagai dunianya, memahami dunia anak,
dan kemudian dunia pergaulan yang lebih luas. Akhirnya manusia mengenal kehidupan
bersama, kemudian bermasyarakat atau kehidupan sosial. Dalam perkembangan
setiap anak (manusia) akhirnya mengetahui bahwa manusia itu saling membantu dan
dibantu, memberi dan diberi. (Sunarto dan Agung Hartono, 2008 : 26-27)
2.2 Aspek Perilaku Sosial Anak Usia Dini
Perilaku social
dapat diartikan sebagai perilaku yang dilakukan secara sukarela, yang dapat
menguntungkan atau menyenangkan orang lain tanpa antisipasi reward eksternal.
Perilaku social ini dilakukan dengan tujuan yang baik, seperti menolong,
membantu, berbagi, dan lain-lainnya. Bentuk perilaku social yang paling penting
diterapkan pada anak usia dini pada tahun pertama yakni untuk penyesuaian
social yang memungkinkan anak dapat bergaul dengan teman-temannya. Menurut
hasil penelitian yang dilakukan Waldrop dan Halverson bahwa anak yang pada usia
2,5 tahun telah bersikap ramah dan aktif secara social akan terus bersikap
seperti itu sampai usia 7,5 tahun. Secara spesifik, Hurlock mengklasifikasikan
pola perilaku social pada anak usia dini ini kedalam pola-pola perilaku sebagai
berikut :
a.
Meniru,
yaitu agar sama dengan kelompok, maka anak meniru sikap dan perilaku orang yang
sangat ia kagumi;
b.
Persaingan,
yaitu keinginan untuk mengungguli dan mengalahkan orang lain. Anak bersaing
dengan teman-temannya untuk meraih prestasi;
c.
Kerja
sama, mulai usia tahun ketiga akhir, anak mulai bermain secara bersama dan
koopratif, serta kegiatan kelompok mulai berkembang dan meningkat baik dalam
frekuensi maupun lamanya berlangsung;
d.
Simpati,
karena simpati membutuhkan pengertian tentang perasaan dan emosi orang lain,
maka hal ini terkadang hanya timbul sebelum 3 tahun;
e.
Empati,
seperti halnya simpati, empati membutuhkan pengertian tentang perasaan dan
emosi orang lain, tetapi disamping itu juga membutuhkan kemampuan untuk
membayangkan diri sendiri di tempat orang lain;
f.
Dukungan
social, menjelang berakhirnya awal masa kanak-kanak dukungan dari teman-teman
menjadi lebih penting daripada persetujuan orang dewasa;
g.
Membagi,
anak mengetahui bahwa salah satu cara memperolah persetujuan social ialah
membagi miliknya, terutama permainan untuk anak-anak lainnya. Pada momen-momen
tertentu, anak juga rela membagi makanannya kepada anak lain dalam rangka
mempertebal tali pertemanan;
h.
Perilaku
akrab, anak memberikan rasa kasih saying kepada guru dan teman. Bentuk dari
perilaku akrab diperlihatkan dengan canda gurau dan tawa diantara mereka.
(Ahmad Susanto, 2011 : 138-140)
Secepat individu menyadari bahwa
diluar dirinya itu ada orang lain, maka mulailah pula menyadari bahwa ia harus
belajar apa yang seyogyanya ia perbuat seperti yang diharapkan orang lain.
Proses belajar untuk menjadi mahluk sosial ini disebut sosialisasi. Anak
dilahirkan belum bersifat sosial. Dalam arti, dia belum memiliki kemampuan
untuk bergaul dengan orang lain. Untuk mencapai kematangan sosial, anak harus
belajar tentang cara-cara menyesuaikan diri dengan orang lain. Kemampuan ini
diperoleh anak melalui kesempatan atau pengalaman bergaul dengan orang-orang
dilingkungannya, baik orang tua, saudara, teman sebaya ataupun orang dewasa
lainnya.
Perkembangan anak sangat dipengaruhi
oleh proses perlakuan atau bimbingan orang tua terhadap anak dalam mengenal
berbagai aspek kehidupan sosial, atau norma-norma kehidupan bermasyarakat serta
mendorong dan memberikan contoh kepada anaknya bagaimana menerapkan norma-norma
tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Proses bimbingan orang tua ini lazim
disebut sosialisasi. Suean Robinson Ambron (1981) mengartikan sosialisasi itu
sebagai proses belajar yang membimbing anak ke arah perkembangan kepribadian
sosial sehingga dapat menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab. Sosialisasi
dari orang tua ini sangatlah penting bagi anak, karena dia masih terlalu muda
dan belum memiliki pengalaman untuk membimbing perkembangannya sendiri ke arah
kematangan. (Sunardi Nur, 2009 : 103-104)
2.3 Kerakteristik Perkembangan Sosial Anak Usia Dini
Anak-anak usia
dini umumnya mudah bersosialisasi dengan orang sekitarnya. Biasanya anak usia
dini memiliki atau dua sahabat. Menurut Paten, ada beberapa kerakteristik
perkembangan social anak, antara lain :
·
Tingkah
laku unoccupied, anak tidak bermain dengan sesungguhnya. Ia mungkin berdiri di
sekitar anak lain dan memandang temannya tanpa melakukan kegiatan apa pun;
·
Bermain
soliter, anak bermain sendiri dengan menggunakan alat permainan berbeda dengan
apa yang dimainkan oleh teman yang ada didekatnya.
·
Tingkah
laku unlooker, anak menghabiskan waktu dengan mengamati, kadang member komentar
tentang apa yang dimainkan anak lain, tetapi tidak berusaha untuk bermain
bersama;
·
Bermain
parallel, anak bermain dengan saling berdekatan, tetapi tidak sepenuhnya
bermain bersama dengan anak lain;
·
Bermain
aosiatif, anak bermain dengan anak lain tetapi tanpa organisasi, tidak ada
peran tertentu, masing-masing anak bermain dengan caranya sendiri;
·
Bermain
kooperatif, anak bermain dalam kelompok dimana ada organisasi, ada pemimpinnya.
Masing-masing anak melakukan kegiatan bermain dalam kegiatan bersama. Misal
perang-perangan. (Ahmad Susanto, 2011 : 148-149)
2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak Usia Dini
Masa lima tahun
pertama merupakan masa terbentuknya dasar-dasar kepribadian manusia, kemampuan
mengindra, berfikir, keterampilan berbahasa dan berbicara, dan bertingkah laku
social. Secara garis besarnya terdapat dua factor yang mempengaruhi proses
perkembangan social yang optimal bagi seorang anak, yaitu :
v Factor internal
Factor internal
adalah factor-faktor yang terdapat dalam diri anak itu sendiri, baik berupa
bawaan maupun yang diperoleh dari pengalaman. Menurut Depkes, factor internal
ini dapat meliputi ; (a) hal-hal yang diturunkan dari orang tua, (2) unsure
berfikir dan kemampuan intelektual, (3) keadaan kelenjar zat-zat dalam tubuh,
(4) emosi dan sifat-sifat (temperamen) tertentu.
v Factor eksternal
Factor
eksternal adalah factor-faktor yang diperoleh seorang anak dari luar dirinya,
seperti keluarga, gizi, budaya, dan teman bermain. (Ahmad Susanto, 2011 : 154-155)
Menurut teori
Bronfenbrenner, ada 3 konteks yang dapat mempengaruhi perkembangan social anak.
(Santrock, 2011 : 90) Dimana anak menghabiskan sebagaian besar waktunya, yaitu
:
Keluarga
Keluarga sangat
berpengaruh dalam membentukk kepribadian anak, sikap dan kebiasaan keluarga
dalam mengasuh dan mendidik anak, hubungan orang tua dengan anak, dan hubungan
anggota keluarga. Missal, hubungan keluarga antara ayah dan ibu yang tidak
harmonis, sering bertengkar, perlakuan kasar terhadap anak, terlalu ketat dan
mengekang kebebasan anak, kesemuanya sangat mempengaruhi perkembangan
kepribadian anak. (Ahmad Susanto, 2011 : 155) Anak-anak yang tumbuh di situasi
yang bervariasi, ada anak yang mempunyai saudara dan ada juga yang tidak, ada
yang dikekang dan ada juga yang tidak, ada orang tuanya yang telah bercerai dan
ada juga yang tidak. Situasi yang bervariasi ini akan mempengaruhi perkebangan
sosaial anak. (Santrock, 2011 : 90)
Teman
sebaya
Teman sebaya juga memerankan peranan penting dalam perkembangan
social anak. Dalam konteks perkembangan anak, teman sebaya adalah anak pada
usia yang sama atau pada level kedewasaan yang sama. Hubungan teman sebaya yang
baik mungkin dibutuhkan untuk perkembangan normal. Isolasi social atau ketidak
mampuan untuk menyambung dengan jaringan social, akan memunculkan banyak
problem dan gangguan, mulai dari kejahatan, mabuk-mabukan, hingga defresi.
Hubungan teman sebaya mungkin mempengaruhi kemungkinan munculnya problem di
usia remaja. (Santrock, 2011 : 100) Ada sebuah sair Persia mengatakan :
يَا رَبَدْبَدْ تَرْبُوْدَ جَمَارِبَدْ يَا رَبَدْ عَرَدْتَرَ سِوَى جَحِيْمِ
يَا رَانِيْكُ قِيْرَانَ يَبِي نَعِيْمِ
“Berteman dengan seorang yang jahat, akan mendekatkan kita
kepada neraka, berteman dengan orang yang baik akan membawa kita kesurga”
Sekolah
Disekolah anak menghabiskan banyak waktu sebagai anggota masyarakat
kecil yang sangat mempengaruhi perkembanangan social mereka. Misal, dikonteks
sekolah selalu bervariasi sejak anak-anak awal, sekolah dasar hingga perguruan
tinggi. Dalam hal ini, seorang anak akan berinteraksi dengan guru dan murid
lainnya dalam lingkungan sekolah. (Santrock, 2011 : 103)
2.5 Strategi Pengembangan Sosial Anak Usia Dini
Ada beberapa
aliran yang berpengaruh di dunia ilmu dalam mengartikan belajar. Salah satunya
aliran Behaviorisme. Menurut behaviorisme belajar ialah perubahan perilaku yang
terjadi melalui proses stimulus dan respon yang bersifat mekanis. Oleh karena
itu, lingkungan yang sistematis, teratur, dan terencanna dapat memberikan
pengaruh yang baik sehingga manusia berinteraksi terhadap stimulus dan
memberikan respons yang sesuai. John H. Pestalozzi mengemukakan metode
pembelajaran yang serasi pada tingkatan anak usia dini yakni dengan membimbing
anak secara perlahan dan dengan usaha anak itu sendiri. secara fitrah setiap
anak telah dilengkapi dengan suatu organ yang disebut dengan intelegensi yang
bersumber dari otaknya. Apabila struktur otak ini dapat berfungsi dengan
optimal, maka kemungkinan besar potensi tersebut berkembang mencapai
realisasinya optimal. Dalam fungsinya, otak sangat dipengaruhi oleh interaksi
dengan lingkungannya. Jadi, apabila lingkungannya berpengaruh positif untuk
dirinya, kemungkinan besar potensi itu berkembang sacara optimal.
Bacharuddin
Musthafa menyajikan ada empat prinsip dalam pembelajaran anak usia dini, yang
sekaligus dapat dijadikan sebagai upaya pengembangan sosioemosional anak, yaitu
:
ü Berangkat dari yang dibawa anak-anak. Semua upaya pembelajaran
harus bermula dan berakhir pada kebaikan perkembangan anak;
ü Aktifitas belajar harus menantang pemahaman anak dari waktu
kewaktu;
ü Guru menyodorkan persoalan-persoalan yang relefan dan kondisi dan
lingkungan anak;
ü Guru membangun unit-unit pembelajaran seputar konsep-konsep pokok
dan tema-tema besar.
The Consultative Grouf on Early
Childhood care and Development memberikan gambaran tentang langkah-langkah
dalam membantu pengembangan anak usia dini. Yaitu :
ü Memberikan kesempatan perkembangan social secara positif pada anak.
Misalnya memberikan kesempatan kepada anak untuk mengungkapkan pikiran dan
perasaannya;
ü Menciptakan proses pendidikan dan pembelajaran yang memberikan
wahana untuk pengembangan social anak secara positif. Misalnya menciptakan area
bermain, permainan derama, dan lain-lain;
ü Menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam pengembangan
social secara positif. Misalnya membiarkan anak bermain dan melengkapi alat
permainan yang dibutuhkannya. (Ahmad Susanto, 2011 : 167-170)
ü
2.6 Peran Aktivitas Bermain dalam Mengembangkan Sosial Anak
Dalam kamus bahasa Indonesia bermain
barasal dari kata main yang artinya melakukan perbuatan untuk menyenangkan hati
yang dilakukan dengan alat-alat kesenangan, sedangkan bermain ialah proses
ketika melakukan sesuatu untuk menyenangkan hati. (Desy Anwar, 2003 : 270) Menurut
Spodek dalam Soemiarti Patmonodewo bermain merupakan suatu fenomena yang sangat
menarik perhatian para pendidik, psikolog ahli filsafat dan banyak orang lagi
sejak beberapa dekade. Mereka bertentangan untuk lebih memahami arti bermain
dikaitkan dengan tingkah laku manusia. Bermain benar-benar merupakan pengertian
yang sulit dipahami karena muncul dalam beraneka ragam bentuk. Bermain itu
sendiri bukan hanya tampak pada tingkah laku anak pada usia dewasa bahkan bukan
hanya pada manusia. ( Soemiarti Patmodewo, 2009 : 103)
Bermain sering dikatakan sebagai
suatu fenomena yang paling alamiah dan luas serta memegang peranan penting
dalam proses perkembanga anak. Ada 5 pengertian sehubungan dengan bermain yaitu
:
ü
Sesuatu
yang menyenangkan dan memiliki nilai positif bagi anak;
ü
Tidak
memiliki tujuan ekstrinsik, namun motivasinya lebih bersifat intrinsic;
ü
Bersifat
spontan dan sukarela;
ü
Melibatkan
peran aktif anak;
ü
Memiliki
hubungan sistematik yang khusus dengan sesuatu yang bukan bermain seperti
misalnya : kemampuan kreatifitas, kemapuan memecahkan masalah, belajar bahasa,
perkembangan sosial, disiplin, mengendalikan emosi dan lain sebgainya. (Martinis Yamin
& Jamilah Sabri Manan, 2010 : 285)
Bermain dapat juga diartikan sebagai
sesuatu yang khusus serta mengsyikan bagi anak-anak usia dini. Bermain dapat
membantu anak-anak untuk memantapkan kesatuan pengetahuan, sebab semua itu
menyatukan bahasa, berfikir, sikap, dan imaninasi serta kreativitas. Bermain
mengarahkan perkembangan dan menstimulasi anak-anak untuk memperkaya dan
membekali mereka agar berprilaku sesuai dengan aturan. (Martinis Yamin &
Jamilah Sabri Manan, 2010 : 289-290) Kegiatan bermain dan belajar dapat
terjadi dalam ruangan maupun diluar ruangan. Agar kelas dan ruang diluar kelas
dapat membantu anak untuk berkembang dengan baik, maka lingkungan bermain ini
perlu direncanakan dan ditata sedemekian rupa oleh guru dan stafnya.
Menurut Yeni Rachmawati dan Euis
Kurniati bermain adalah metode efektif untuk mengembangkan kreativitas anak.
Strategi dan pendekatan apa pun yang
digunakan untuk mengembangkan kreativitas dapat dilakukan dalam bentuk
permainan. Sebab pada hakekatnya bermain bagi anak adalah belajar dan bekerja,
dan kreatifitas lebih banyak berkaitan dengna bermain daripada bekerja. (Yeni Rachmawati
dan Euis Kurniati, 2005 : 55)
Jadi, menurut penulis bahwa metode
bermain anak usia dini ialah suatu cara anak untuk bisa mengekspresikan apa
yang anak kehendaki melalui arahan gurunya, dan dengan bermain anak bisa
memberdayakan kognitifnya melalui ekspresi yang anak perbuat.
Bermain dalam tatanan sekolah dapat
digambarkan sebagai suatu rentang rangkaian kesatuan yang berujung pada bermain
bebas, bermain dengan bimbingan dan berakhir pada bermain dengan diarahkan,
dalam bermain bebas dapat didefenisikan sebagai suatu kegiatan bermain di mana
anak mendapat kesempatan melakukan berbagai pilihan alat dan mereka dapat
memilih begaiman menggunakan alat-alat tersebut, sedangkan kegiatan bermain
dengan bimbingan, guru memilih alat permainan dan diharapkan anak-anak dapat
memilih guna menemukan suatu konsep (pengertian) tertentu. Sedangkan dalam
bermain diarahkan guru mengajarkan bagaimana cara menyelesaikan suatu tugas
yang khusus. Menyanyikan suatu lagu, bersama bermain jari dan bermain dalam
lingkaran.
Para pendidik manyadari bahwa
bermain adalah suatu kegiatan yang sangat penting bagai anak-anak usia
muda/dini. Bermain merupakan cara/jalan bagi aka untuk mengungkapkan hasil
pemikiran, perasaan serta cara mereka menjelajahi dunia lingkungnnya. Bermain
juga membantu anak dalam menjalin hubungan sosial antar anak. Hampir semua
program kegiatan pendidikan prasekolah menyelenggarakan kegiatan bermain dalam
porsi besar bagi anak didiknya. Untuk itu para guru sebaiknya merencanakan
secara cermat kegiatan bermain tersebut dengan dukungan lingkungan sekolah. (Soemiarti
Patmodewo, 2009 : 112)
Bermain merupakan hal yang esensial
bagi kesehatan anak-anak, meningkatkan afliasi dengan teman sebaya, mengurangi
tekanan, meningkatkan perkembangan kognitif, meningkatkan daya jelajah, dan
memberi tempat berteduh yang aman bagi perilaku yang secara potensial
berbahaya. Permainan meningkatkan kemungkinan bahwa anak-anak akan berbicara
dan beriteraksi dengan satu sama yang lain. Selama interaksi ini anak-anak
mempraktikan peran-peran yang mereka akan laksanakan dalam kehidupan masa
depanya.
Peran bermain bagi anak, sangatlah
penting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Bermain harus dilakukan atas
inisiatif anak dan atas keputusan anak itu sendri. Bermain selayaknya dilakukan
dengan rsa senang, sehingga semua kegiatan bermainyang menyenangkan akan
menghasilkan proses belajar pada anak. Anak-anak belajar melalui permainan
mereka. Pengalaman bermain yang menyenangkan dengan bahan, benda, anak lain,
dan dukungan orang dewasa membantu anak-anak berkembang secara oftimal.
Bermain dapat menjadi sumber
belajar, karena memberi kesempatan untuk belajar berbagai hal yang tidak
diperoleh anak di sekola maupun di rumah. Disamping itu, akan menimbulkan
pengaruh yang sangat penting bagi penyesuaian pribadi dan sosial anak di sekolah
maupun di rumah. Di samping itu, akan menimbulkan pengaruh yang sangat penting
bagi penyesuaian pribadi dan sosial anak. Karena dengan bermain anak belajar
untuk bermasyarakat, beriteraksi dengan teman lainnya, belajar dalam mebentuk
hubungan sosial, belajar berkomunikasi dan acara mengahadapi serta memecahkan
masalah yang muncul dalam hubungan tersebut. Dalam bermain anak juga belajar
dalam mamahami standar moral, tentang nilai-nilai yang baik dan nilai yang
kurang baik (buruk), sehingga terjalin bentuk komunikasi karena dari hubungan
tersebut anak akan belajar bekerja sama murah hati, jujur, sportif, dan
disanangi banyak orang atau teman.
Bermain juga mengembangkan
asfek kognitif. Dalam bermain gerak dan
lagu, anak-anak belajar untuk menyadari dan menguasai tentang bilangan, huruf,
kecepatan, berah, arah, keseimbangan, dan lain-lain. Dan dengan bermain bersama
teman. Mereka belajar melatih konsep sosial, mengetahui aturan dan belajar
tentang aspek-aspek yang ada dalam kebudayaan mereka.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Jhon Locke mengemukakan bahwa
pengalaman dan lingkungan anak merupakan faktor yang paling menentukan dalam
perkembangan sosial anak. Perkebangan sosial adalah perkembangan perilaku anak
dalam pengendalian dan penyesuaian diri dengan aturan-aturan masyarakat di mana
anak itu berada. Perkembangan sosial bukan hanya sekedar hasil kematangan,
tetapi sebagian besar merupakan hasil belajar. Oleh karena itu menyediakan
kondisi yang kondusifsangat penting dilakukan agar meningkatkan kematangan dan
kesempatan belajar. Pengkondisian yang baik akan menjadikan fungsi sosial
emosional.
Bermain merupakan salah satu metode
pengajaran di pendidikan anak prasekolah. Dengan bermain, anak prasekolah bisa
lebih leluasa mengenal sesuatu dan anak bisa berinteraksi dengan teman
sebayanya, sehingga membuat anak tidak anti terhadap sesuatu yang baru. Dan
dengan bermain dapat mengembangkan rasa sosial anak terhadap lingkunngannya.
Jadi dapatlah disimpulkan bahwa peran bermain bagi pengembangan sosial anak sangatlah
berperan, karena dengan bermain ; disanalah terjadi interaksi anak terhadap apa
yang ada di sekolah maupun dilingkungannya.
3.2 Kritik & Saran
Dari hasil makalah
kami yang singkat ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita semua umumnya
kami pribadi. Dan dapat kita ambil ibrah supaya kita menggunakan media yang
paling tepat dalam pembelajaran. Agar proses pendidikan berjalan dengan lancar.
Dan segala yang baik datangnya dari Allah, dan yang buruk datangnya dari diri
saya. Dan saya sedar bahwa makalah kami ini jauh dari kata sempurna, masih
banyak kesalahan dari berbagai sisi, jadi kami harafkan saran dan kritik nya
yang bersifat membangun, untuk perbaikan karya ilmiah selanjutnya
DAFTAR PUSTAKA
1.
Ahmad
Susanto, Perkembangan Anak Usia Dini, Jakarta : Kencana, 2011.
2.
Syafaruddin
& Herdianto, Pendidikan Pra Sekolah, Medan : Perdana Publishing,
2011.
3.
John
W. Santrock, Psikologi Pendidikan, Jakarta Kencana, cet-ke 4, 2011.
4.
Sunardi
Nur, Pendidikan Anak Usia Dini, Jokjakarta : Diva Press, 2009.
5.
Desy Anwar. Kamus Bahasa Indonesia,
Surabaya : Amelia Surabaya, 2003.
6.
Soemiarti
Patmodewo, Pendidikan Anak Prasekolah. Jakarta : PT Rineka Cipta, 2009.
7.
Martinis
Yamin dan Jamilah Sabri Manan, Panduan Pendidikan Anak Usia Dini.
Jakarta : Gaung Persada Press, 2010.
8.
Yeni
Rachmawati dan Euis Kurniati, Strategi Pengembangan Kreatifitas Pada Anak
Usia TamanKanak-kanak. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan
dan Ketenagaan Keguruan Tinggi, 2005.
9.
Dadang Gani Ginanjar Haitam , perkembangan social anak, di kutip
dari sebuah situs :
http://dadanggani.blogspot.com/2012/03/perkembangan-sosial-anak-usia-dini.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar