BAB II
PEMBAHASAN
IDDAH
Kata
iddah berasal dari bahasa Arab yang berarti menghitung, menduga,
mengira. Menurut istilah, ulama-ulama memberikan pengertian sebagai berikut :
»
Syarbini Khatib dalam kitabnya Mugnil Muhtaj
mendifinisikan iddah dengan “Iddah adalah nama masa menunggu bagi seorang
perempuan untuk mengetahui kekosongan rahimnya atau karena sedih atas meninggal
suaminya.
»
Drs. Abdul Fatah Idris dan Drs. Abu Ahmadi
memberikan pengertian iddah dengan “Masa yang tertentu untuk menungu, hingga
seorang perempuan diketahui kebersihan rahimnya sesudah bercerai.”
»
Prof. Abdurrahman I Doi, Ph.D memberikan
pengertian iddah ini dengan “suatu masa penantian seorang perempuan sebelum
kawin lagi setelah kematian suaminya atau bercerai darinya.”
»
Sayyid Sabiq memberikan pengertian dengan “masa
lamanya bagi perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh kawin setelah kematian
suaminya.”
Selain
pengertian tersebut diatas, banyak lagi pengertian-pengertian lain yang
diberikan para ulama, namun pada prinsipnya pengertian tersebut hampir
bersamaan maksudnya yaitu Iddah ialah masa yang diwajibkan atas perempuan yang
diceraikan suaminya (cerai hidup ataupun cerai mati), gunanya supaya diketahui
kandungannya berisi atau tidak, agar bisa rujuk lagi dengan bekas
suaminya atau batasan untuk boleh kawin lagi.
Perempuan
yang ditinggalkan suaminya tadi adakalanya hamil, adakalanya tidak. Maka
ketentuan iddahnya adalah sebagai berikut :
1.
Bagi perempuan yang hamil, iddahnya adalah sampai lahir
anak yang dikandungnya itu, baik cerai mati mapun cerai hidup. Berdasarkan
firman Allah Swt yang berbunyi :
واولات
الاحمال اجلهن ان يضعن حملهن. الطلاق : 4
“Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya”.(At-Taubah : 4)
2.
Perempuan yang tidak hamil, adakalanya cerai mati
ataupun cerai hidup. Cerai mati iddahnya yaitu 4 bulan 10 hari. Allah berfirman
:
والذين يتوفون
منكم ويذرون ازواجا يتربصن بانفسهن اربعة اشهر وعشرا. البقرة : 234
“Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu,dengan meninggalkan
istri-istri (hendak lah para istri itu)menangguhkan dirinya (beriddah) 4 bulan
10 hari”.(Al-Baqarah: 234)
Ayat
yang pertama (At-Talaq ayat 4) bersifat umum, meliputi cerai hidup atau cerai
mati. Apabila ia hamil, iddahnya adalah sampai lahir anaknya. Ayat kedua
(Al-Baqarah ayat 234) juga umum meliputi perempuan yang hamil atau tidak.
Apabila cerainya cerai mati iddahnya selama 4 bulan 10 hari.
Disini
timbul perselisihan paham mengenai perempuan yang cerai mati, sedangkan ia
hamil, dan anaknya lahir sebelum cukup 4 bulan 10 hari terhitung dari
meninggalnya suaminya. Apakah iddahnya habis dengan melahirkan anak. Menurut
jumhur ulama salaf, iddahnya habis setelah anaknya lahir, walaupun belum cukup
4 bulan 10 hari. Menurut pendapat lain yang diriwayatkan dari Ali, iddahnya
harus mengambil waktu yang lebih panjang daripada salah satu di antara kedua
iddah itu. Artinya, apabila anaknya lahir sebelum 4 bulan 10 hari, iddahnya
harus menunggu sampai cukup 4 bulan 10 hari, dan apabila telah sampai 4 bulan
10 hari anaknya belum lahir juga, maka iddahnya harus menunggu sampai anaknya
lahir.
Selain
itu ada perbedaan paham mengenai iddah perempuan yang sedang hamil. Syafi’i
berpendapat bahwa iddah wanita yang sedang hamil, syaratnya apabila anak itu
adalah anak suami yang menceraikannya.. sedangkan menurut imam Hanifah,
perempuan itu beriddah dengan lahirnya anak, baik anak bekas suaminya yang
menceraikannya ataupun bukan, sekalipun anak zina.
Wanita
yang menjalani iddah wajib tinggal di rumah suami sampai habis iddahnya. Ia
tidak boleh keluar dari rumah suaminya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar