Banyak
orang mengaku cinta pada Allah dan Allah hendak menguji cintanya itu.
Namun sering orang gagal membuktikan cintanya pada sang Khaliq, karena
disebabkan secuil musibah yang ditimpakan padanya. Yakinlah wahai
saudaraku kesenangan dan kesusahan adalah bentuk kasih sayang dan cinta
Allah kepada hambanya yang beriman...
Dengan kesusahan, Allah hendak memberikan tarbiyah terhadap ruhiyah kita, agar
kita sadar bahwa kita sebagai makhluk adalah bersifat lemah, kita tidak
bisa berbuat apa-apa kecuali atas izin-Nya. Saat ini tinggal bagi kita
membuktikan, dan berjuang keras untuk memperlihatkan cinta kita pada
Allah, agar kita terhindar dari cinta palsu.
Dan Allah tidak
akan menyia-nyiakan hambanya yang betul-betul berkorban untuk Allah
Untuk membuktikan cinta kita pada Allah, ada beberapa hal yang perlu
kita persiapkan yaitu:
1) Iman yang kuat
2) Ikhlas dalam beramal
3) Mempersiapkan kebaikan Internal dan eksternal. kebaikan internal
yaitu berupaya keras untuk melaksanakan ibadah wajib dan sunah. Seperti
qiyamulail, shaum sunnah, bacaan Al-qur'an dan haus akan ilmu. Sedangkan
kebaikan eksternal adalah buah dari ibadah yang kita lakukan pada
Allah, dengan keistiqamahan mengaplikasikannya dalam setiap langkah, dan
tarikan nafas disepanjang hidup ini. Dengan demikian InsyaAllah kita
akan menggapai cinta dan keridhaan-Nya....
Minggu, 24 November 2013
Selasa, 19 November 2013
Makalah teori Belajar Kognitif
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Teori-teori belajar bermunculan
seiring dengan perkembangan teori psikologi. Salah satu diantara teori belajar
yang terkenal adalah teori belajar behaviorisme dengan tokohnya B.F. Skinner,
Thorndike, Watson dan lain-lain. Dikatakan bahwa, teori-teori belajar hasil
eksperimen mereka secara prinsipal bersifat behavioristik dalam arti lebih
menekankan timbulnya perilaku jasmaniah yang nyata dan dapat diukur.
Namun seiring dengan kemajuan zaman
dan perkembangan ilmu pengetahuan, teori tersebut mempunyai beberapa kelemahan,
yang menuntut adanya pemikiran teori belajar yang baru. Dikatakan bahwa,
teori-teori behaviorisme itu bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan
stimulus dan respon, sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot,
padahal setiap manusia memiliki kemampuan mengarahkan diri (self-direction) dan
pengendalian diri (self control) yang bersifat kognitif, dan karenanya ia bisa
menolak respon jika ia tidak menghendaki, misalnya karena lelah atau berlawanan
dengan kata hati, dan proses belajar manusia yang dianalogikan dengan perilaku
hewan itu sangat sulit diterima, mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik
dan psikis antara manusia dan hewan. Hal ini dapat diidentifikasi sebagai
kelemahan teori behaviorisme.
Dari kelemahan-kelemahan yang terdapat
dalam teori behaviorisme dapat diambil suatu pertanyaan, “Upaya apa yang akan
dilakukan oleh para ahli psikologi pendidikan dalam mengatasi kelemahan teori
tersebut ?’’Realitas ini sangat penting untuk dibahas dalam makalah ini.
Untuk itu pembahasan makalah ini
diangkat untuk mengungkap masalah-masalah tersebut. Berdasarkan tulisan-tulisan
dalam berbagai literatur, ditemukan bahwa para ahli telah menemukan teori baru
tentang belajar yaitu teori belajar kognitif yang lebih mampu meyakinkan dan
menyumbangkan pemikiran besar demi perkembangan dan kemajuan proses belajar
sebagai lanjutan dari teori behaviorisme tersebut.
1.2
Rumusan
Masalah
Agar pembahasan dalam makalah ini
tidak lari dari sub pembahasan ada baiknya pemakalah rumuskan masalah-masalah
yang akan dibahas dalam makalah ini, antara lain :
ü Pengertian teori belajar Kognitif
ü Tokoh-tokoh (pemikir) dalam teori belajar Kognitif
ü Implikasi teori belajar Kognitif dalam pendidikan
1.3
Tujuan
Penulisan
ü Mahasiswa mampu menjelaskan serta menjabarkan pengertian teori
belajar Kognitif.
ü Mahasiswa mampu mengetahui tokoh-tokoh teori belajar Kognitif
beserta contoh-contoh pemikirannya.
ü Mahasiswa mampu mengetahui serta implikasikan teori belajar
kognitif dalam proses belajar mengajar.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Teori Belajar Kognitif
Secara bahasa
Kognitif berasal dari bahasa latin ”Cogitare” artinya berfikir.[1] Dalam
pekembangan selanjutnya, kemudian istilah kognitif ini menjadi populer sebagai
salah satu wilayah psikologi manusia/satu konsep umum yang mencakup semua
bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan
masalah pemahaman, memperhatikan, memberikan, menyangka, pertimbangan,
pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan, pertimbangan, membayangkan,
memperkirakan, berpikir dan keyakinan.
Sedangkan secara istilah dalam
pendidikan Kognitif adalah salah satu teori diantara teori-teori belajar dimana
belajar adalah pengorganisasian aspek-aspek kognitif dan persepsi untuk
memperoleh pemahaman. Dalam model ini, tingkah laku seseorang ditentukan oleh
persepsi dan pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan, dan
perubahan tingkah laku, sangat dipengaruhi oleh proses belajar berfikir
internal yang terjadi selama proses belajar.[2]
Teori belajar ini
hadir dan muncul disebabkan para Ahli Psikologi belum puas dengan penjelasan
yang teori-teori yang terdahulu. Mereka berpendapat bahwa tingkah laku
seseorang selalu di dasarkan pada kognisi, yaitu suatu perbuatan mengetahui
atau perbuatan pikiran terhadap situasi dimana tingkah laku itu terjadi.[3] Teori
belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang
terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan oleh Winkel (1996)
bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam
interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam
pengetahuan pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat
secara relatif dan berbekas”.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa
pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas
mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi
aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk
pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, keterampilan dan nilai sikap yang
bersifat relatif dan berbekas. Objek-objek yang di amatinya dihadirkan dalam
diri seseorang melalui tanggapan, gagasan, atau lambing yang merupakan sesuatu
yang bersifat mental. Misalnya, seseorang menceritakan hasil perjalanannya
berupa pengalaman kepada temannya. Ketika dia menceritakan pengalamannya selama
dalam perjalanan, dia tidak dapat mennghadirkan objek-objek yang pernah
dilihatnya selama dalam perjalanan itu, dia hanya dapat menggambarkan semua
objek itu dalam bentuk kata-kata atau kalimat.[4]
Dari keterangan dan penjelasan di
atas dapat pemakalah simpulkan bahwa Kognitif adalah salah satu ranah dalam
taksonomi pendidikan. Secara umum kognitif diartikan potensi intelektual yang
terdiri dari beberapa tahapan, yaitu ; pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehention),
penerapan (aplication), analisa (analysis), sintesa (sinthesis), evaluasi
(evaluation). Kognitif berarti persoalan yang menyangkut kemampuan untuk
mengembang kan kemampuan rasional (akal).
2.2 Teori Belajar Koqnitif menurut Jean Piaget
Menurut Piaget,
perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetika, yaitu proses yang
didasarkan atas mekanisme biologis, yaitu perkembangan system syaraf. Dengan
bertambahnya umur maka susunan syaraf seseorang akan semakin kompleks dan
memungkinkan kemampuannya akan semakin meningkat.[5] Jean
Piaget meneliti dan menulis subjek perkembangan kognitif ini dari tahun 1927
sampai 1980. Berbeda dengan para ahli-ahli psikologi sebelumnya, Piaget
menyatakan bahwa cara berpikir anak bukan hanya kurang matang dibandingkan
dengan orang dewasa karena kalah pengetahuan , tetapi juga berbeda secara
kualitatif. Menurut penelitiannya juga bahwa tahap-tahap perkembangan individu
/pribadi serta perubahan umur sangat mempengaruhi kemampuan belajar individu.[6]
Piaget
mengembangkan teori perkembangan kognitif yang cukup dominan selama beberapa
dekade. Dalam teorinya Piaget membahas pandangannya tentang bagaimana anak
belajar. Menurut Jean Piaget, dasar dari belajar adalah aktivitas anak bila ia
berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisiknya. Pertumbuhan anak
merupakan suatu proses sosial. Anak tidak berinteraksi dengan lingkungan
fisiknya sebagai suatu individu terikat, tetapi sebagai bagian dari kelompok
sosial. Akibatnya lingkungan sosialnya berada diantara anak dengan lingkungan
fisiknya. Interaksi anak dengan orang lain memainkan peranan penting dalam
mengembangkan pandangannya terhadap alam. Melalui pertukaran ide-ide dengan
orang lain, seorang anak yang tadinya memiliki pandangan subyektif terhadap
sesuatu yang diamatinya akan berubah pandangannya menjadi obyektif.
Proses belajar
haruslah di sesuaikan dengan perkembagan syaraf seorang anak, dengan
bertambahnya umur maka susunan saraf seorang akan semakin kompleks dan
memungkinkan kemampuannya semakin meningkat. Karena itu proses belajar
seseorang akan mengikuti pola dan tahap perkembangan tertentu sesuai dengan
umurnya. Perjenjangan ini bersifat hierarki, yaitu melalui tahap-tahap tertentu
sesuai dengan umurnya. Seseorang tidak dapat mempelajari sesuatu yang diluar
kemampuan kognitifnya.[7] Dalam
perkembangan intelektual ada tiga hal penting yang menjadi perhatian Piaget
yaitu :
·
Struktur,
Piaget memandang ada hubungan fungsional antara tindakan fisik, tindakan mental
dan perkembangan logis anak-anak. Tindakan (action) menuju pada operasi-operasi
dan operasi-operasi menuju pada perkembangan struktur-struktur.
·
Isi,
merupakan pola perilaku anak yang khas yang tercermin pada respon yang
diberikannya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapinya.
·
Fungsi,
Adalah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan intelektual.
Menurut Piaget perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi yaitu
organisasi dan adaptasi. Organisasi memberikan pada organisme kemampuan untuk
mengestimasikan atau mengorganisasi proses-proses fisik atau psikologis menjadi
sistem-sistem yang teratur dan berhubungan. Adaptasi, terhadap lingkungan
dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.[8]
Menurut Pieget, proses belajar
sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yaitu asimilasi, akomodasi dan
equilibrasi.
·
Asimilasi,
adalah proses penyatuan informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada
dalam benak siswa.
·
Akomodasi,
adalah proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi baru.
·
Equilibrasi,
adalah proses penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.[9]
Menurut Piaget, bahwa belajar akan
lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta
didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen
dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan
dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan
rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara
aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.[10]
Menurut Piaget aspek perkembangan kognitif meliputi empat tahap,[11]
yaitu:
·
Sensory-motor
(sensori-motor)
Selama perkembangan dalam periode
ini berlangsung sejak anak lahir sampai usia 2 tahun, intelegensi yang dimiliki
anak tersebut masih berbentuk primitif dalam arti masih didasarkan pada
perilaku terbuka. Meskipun primitif dan terkesan tidak penting, intelegensi
sensori-motor sesungguhnya merupakan intelegensi dasar yang amat berarti karena
ia menjadi pondasi untuk tipe-tipe intelegensi tertentu yang akan dimiliki anak
tersebut kelak.
·
Pre
operational (praoperasional)
Perkembangan ini bermula pada saat
anak berumur 2-7 tahun dan telah
memiliki penguasaan sempurna mengenai objek permanence, artinya anak
tersebut sudah memiliki kesadaran akan tetap eksisnya suatu benda yang ada atau
biasa ada, walaupun benda tersebut sudah ia tinggalkan atau sudah tak dilihat
dan tak didengar lagi. Jadi, padangan terhadap eksistensi benda tersebut
berbeda dari pandangan pada periode sensori-motor, yakni tidak lagi bergantung
pada pengamatan belaka.
·
Concrete
operational (konkret-operasional)
Dalam periode konkret operasional
ini belangsung hingga usia menjelang remaja, kemudian anak mulai memperoleh
tamnbahan kemampuan yang disebut sistem of operations (satuan langkah
berfikir). Kemampuan ini berfaedah bagi anak untuk mengkoordinasikan pemikiran
dan idenya dengan peristiwa tertentu dalam sistem pemikirannya sendiri.
·
Formal
operational (formal-operasional)
Dalam perkembngan formal
operasional, anak yang sudah menjelang atau sudah menginjak masa remaja, yakni
usia 11-15 tahun, akan dapat mengatasi masalah keterbatasan pemikiran. Dalam
pperkembangan kognitif akhir ini seorang remaja telah memiliki kemampuan
mengkoordinasikan baik secara simultan (serentak) maupun berurutan dua ragam
kemampuan kognitif, yakni:
o kapasitas menggunakan hipotesis
o kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak
Dalam
dua macam kemampuan kognitif yang sangat berpengaruh terhadap kualiatas skema
kognitif itu tentu telah dimiliki oleh orang-orang dewasa. Oleh karenanya,
seorang remaja pelajar yang telah berhasil menempuh proses perkembangan formal
operasional secara kognitif dapat dianggap telah mulai dewasa.[12]
2.2.1 Implikasi Teori Pieget untuk Pendidikan
Para pendidik memandang bahwa teori
Pieget itucdapat dipakai sebagai dasar pertimbangan guru di dalam menyusun
struktur dan urutan mata pelajaran di dalam kurikulum. Hunt mempraktekkan di
dalam program pendidikan TK yang menekankan pada perkembangan sensori motoris
dan proeperasional.[13]
Misal belajar menggambar, mengenal benda, dan menghitung.
Seorang guru yang tidak
memperhatikan tahapan-tahapan perkembangan kognitif anak ini akan cenderung
menyulitkan siswa. Contoh, mengajarkan konsep-konsep abstrak tentang Shalat kepada
sekelompok siswa kelas dua SD, tanpa adanya usaha untuk mengkongkretkan
konsep-konsepp tersebut, tidak hanya sia-sia, tetapi justru akan lebih membingungkan
siswa.[14]
Implementasi Teori Perkembangan
Kognitif Piaget Dalam Pembelajaran, adalah :
·
Bahasa
dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru
mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
·
Anak-anak
akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru
harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
·
Bahan
yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.[15]
Teori
belajar Piaget dalam aplikasi praktisnya mementingkan keterlibatan siswa dalam
proses belajar mengajar, karena hanya dengan melibatkan atau mengaktifkan
siswa, maka proses asimilasi dan akoomodasi pengetahuan dapat terjadi dengan
baik. Secara umum pengaplikasian teori piaget dalam kegiatan pembelajaran
biasanya mengikuti pola berikut :
a.
Menentukan
tujuan-tujuann instruksional
b.
Memilih
amteri pelajaran
c.
Menentukan
topic-topik yang mungkin dipelajari secara aktif oleh siswa (dengan bimbingan
minimum dari guru).
d.
Menentukan
dan merancang kegiatan belajar yang cocok untuk topic-topik yang akan
dipelajari siswa.
e.
Mempersiapkan
berbagai pertanyaan yang dapat memacu kreativitas siswa untuk berdiskusi atau
bertanya.
f.
Mengevaluasi
proses dan hasil belajar.[16]
2.2.2 Kritik terhadap teori
Pieget
Kebanyakan ahli
psikologi sepenuhnya menerima prinsip-prinsip umum Piaget bahwa pemikiran
anak-anak pada dasarnya berbeda dengan pemikiran orang dewasa, dan jenis logika
anak-anak itu berubah seiring dengan bertambahnya usia. Namun, ada juga
peneliti yang meributkan detail-detail penemuan Piaget, terutama mengenai usia
ketika anak mampu menyelesaikan tugas-tugas spesifik.
Pada sebuah studi klasik, McGarrigle
dan Donalson (1974) menyatakan bahwa anak sudah mampu memahami konservasi
(conservation) dalam usia yang lebih muda daripada usia yang diyakini oleh
Piaget. Studi lain yang mengkritik teori Piaget yaitu bahwa anak-anak baru
mencapai pemahaman tentang objek permanence pada usia di atas 6 bulan.
Balillargeon dan De Vos (1991) 104 anak diamati sampai mereka berusia 18 tahun,
dan diuji dengan berbagai tugas
operasional formal berdasarkan tugas-tugas yang dipakai Piaget, termasuk
pengujian hipotesa. Mayoritas anak-anak itu memang belum mencapai tahap
operasional formal. Hal ini sesuai dengan studi-studi McGarrigle dan Donaldson
serta Baillargeon dan DeVos, yang menyatakan bahwa Piaget terlalu meremehkan
kemampuan anak-anak kecil dan terlalu menilai tinggi kemampuan anak-anak yang
lebih tua.[17]
2.3 Teori Belajar Ausubel
Menurut Ausubel belajar haruslah
bermakna, materi yang dipelajari diasimilasikan secara non arbitrer dan
berhubungan dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.[18]
Ausubel seorang psikologist kognitif, ia mengemukakan bahwa yang perlu
diperhatikan seorang guru ialah strategi mengajarnya. Sebagai contoh pelajaran
berhitung bisa menjadi tidak berhasil jika murid hanya di suruh menghafal
formula-formula tanpa mengetahui arti formula-formula itu. Sebaliknya bisa
lebih bermakna jika murid diajari fungsi dan arti dari formula-formula
tersebut.[19]
Dalam
aplikasinya teori Ausubel ini menuntut siswa belajar secara deduktif (dari umum
ke khusus). Secara umum, teori Ausubel ini dapat diterapkan dalam proses
pembelajaran melalui tahap-tahap sebagai berikut :
·
Menentukan
tujuan-tujuan intruksional;
·
Mengukur
kesiapan peserta didik seperti minat, kemampuan, dan struktur kognitifnya
melalui tes awal, interview, pertanyaan, dan lain-lain;
·
Memilih
materi pelajaran dan mengaturnya dalam bentuk penyajian konsep-konsep kunci;
·
Mengidentifikasikan
prinsip-prinsip yang harus dikuasai dari materi itu;
·
Menyajikan
suatu pandangan secara menyeluruh tentang apa yang harus dipelajari;
·
Membuat
rangkuman terhadap materi yang baru saja disampaikan dengan uraian yang
singkat;
·
Membelajarkan
peserta didik memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang ada dengan
memberikan focus pada hubungan yang terjalin antara konsep yang ada;
·
Mengevaluasi
proses dan hasil bejar.[20]
Menurut
Ausubel, siswa akan belajar dengan baik jika apa yang disebut “pengatur
kemajuan” (advance organizer) didefenisikan dan dipresentasikan dengan baik dan
tepat kepada siswa. Pengatur kemajuan belajar adalah konsep atau informasi umum
mewadahi (mencakup) semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa. Ada
tiga manfaat dari “advance organizer” ini, yaitu :
·
Dapat
menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi pelajaran yang akan
dipelajari;
·
Dapat
berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang sedang dipejari
siswa saat ini dan dengan apa yang akan dipelajari;
·
Dapat
membantu siswa untuk memahami bahan secara lebih mudah.[21]
2.4 Teori Belajar Bruner
Bruner menusulkan teorinya yang
disebut free discovery learning. menurut teori ini, proses belajar akan
berjalan dengan baik dan kreatif jika dosen member kesempatan kepada siswa
untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep, teori, defenisi, dan
sebagainya), melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupan. Dengan kata
lain siswa dibimbing secara induktif untuk memahami suatu kebenaran umum. Untuk
memahami konsep kejujuran misalnya siswa tidak semata-mata menghafal defenisi
kata kejujuran tersebut melainkan dengan mempelajari contoh-contohnya yang
konkret tentang kejujuran dan dari contoh itulah siswa dibimbing untuk
mendefenisikan kata kejujuran.
Menurut
Brunner, pembelajaran hendaknya dapat menciptakan situasi agar mahasiswa dapat
belajar dari diri sendiri melalui pengalaman dan eksperimen untuk menemukan
pengetahuan dan kemampuan baru yang khas baginya. Dari sudut pandang psikologi
kognitif, bahwa cara yang dipandang efektif untuk meningkatkan kualitas output
pendidikan adalah pengembangan program-program pembelajaran yang dapat
mengoptimalkan keterlibatan mental intelektual pembelajar pada setiap jenjang
belajar. Sebagaimana direkomendasikan Merril, yaitu jenjang yang bergerak dari
tahapan mengingat, dilanjutkan ke menerapkan, sampai pada tahap penemuan
konsep, prosedur atau prinsip baru di bidang disiplin keilmuan atau keahlian
yang sedang dipelajari.[22]
Teori
belajar Bruner ini dalam aplikasinya sangat membebaskan siswa untuk belajar sendiri.
Karena itulah teori Bruner ini dianggap sanagt cenerung bersifat discovery
(belajar dengan cara menemukan). Disamping itu karena teori Bruner ini banyak
menuntut pengulangan-pengulangan maka desain yang berulang-ulang ini lazim
disebut sebagai kurikulum spiral Bruner. Kurikulum piral menuntut guru untuk
member materi pembelajaran setahap-demi setahap dari yang sederhana ke yang
kompleks, dimana suatu materi yang sebelumnyasudah diberikan, suatu saat muncul
kembali, secara terintegrasi, di dalam suatu materi baru yang lebih kempleks.[23]
Dalam
teori belajar, Bruner juga berpendapat bahwa kegiatan belajar akan berjalan
baik dan kreatif jika siswa dapat menemukan sendiri suatu aturan atau
kesimpulan tertentu. Dalam hal ini Bruner membedakan menjadi tiga tahap. Ketiga
tahap itu adalah:
·
Tahap
informasi, yaitu tahap awal untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru;
·
Tahap
transformasi, yaitu tahap memahami, mencerna dan menganalisis pengetahuan baru
serta mentransformasikan dalam bentuk baru yang mungkin bermanfaat untuk
hal-hal yang lain;
·
Evaluasi,
yaitu untuk mengetahui apakah hasil tranformasi pada tahap kedua tadi benar
atau tidak.
Bruner
mempermasalahkan seberapa banyak informasi itu diperlukan agar dapat
ditransformasikan . Perlu Anda ketahui, tidak hanya itu saja namun juga ada
empat tema pendidikan yaitu:
·
Mengemukakan
pentingnya arti struktur pengetahuan;
·
Kesiapan
(readiness) siswa untuk belajar;
·
Nilai
intuisi dalam proses pendidikan dengan intuisi;
·
Motivasi
atau keinginan untuk belajar siswa, dan cura untuk memotivasinya.
Dengan
demikian Bruner menegaskan bahwa mata pelajaran apapun dapat diajarkan secara
efektif dengan kejujuran intelektual kepada anak, bahkan dalam tahap
perkembangan manapun. Bruner beranggapan bahwa anak kecilpun akan dapat mengatasi
permasalahannya, asalkan dalam kurikulum berisi tema-tema hidup, yang
dikonseptualisasikan untuk menjawab tiga pertanyaan. Berdasarkan uraian di
atas, teori belajar Bruner dapat disimpulkan bahwa, dalam proses belajar
terdapat tiga tahap, yaitu informasi, trasformasi, dan evaluasi. Lama tidaknya
masing-masing tahap dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain banyak
informasi, motivasi, dan minat siswa.
Bruner
juga memandang belajar sebagai “instrumental conceptualisme” yang mengandung
makna adanya alam semesta sebagai realita, hanya dalam pikiran manusia. Oleh
karena itu, pikiran manusia dapat membangun gambaran mental yang sesuai dengan
pikiran umum pada konsep yang bersifat khusus. Semakin bertambah dewasa
kemampuan kognitif seseorang, maka semakin bebas seseorang memberikan respon
terhadap stimulus yang dihadapi. Perkembangan itu banyak tergantung kepada
peristiwa internalisasi seseorang ke dalam sistem penyimpanan yang sesuai
dengan aspek-aspek lingkungan sebagai masukan. Teori belajar psikologi kognitif
memfokuskan perhatiannya kepada bagaimana dapat mengembangkan fungsi kognitif
individu agar mereka dapat belajar dengan maksimal. Faktor kognitif bagi teori
belajar kognitif merupakan faktor pertama dan utama yang perlu dikembangkan
oleh para guru dalam membelajarkan peserta didik, karena kemampuan belajar
peserta didik sangat dipengaruhi oleh sejauhmana fungsi kognitif peserta didik
dapat berkembang secara maksimal dan optimal melalui sentuhan proses
pendidikan.
Peranan
guru menurut psikologi kognitif ialah bagaimana dapat mengembangkan potensi
kognitif yang ada pada setiap peserta didik. Jika potensi kognitif yang ada
pada setiap peserta didik telah dapat berfungsi dan menjadi aktual oleh proses
pendidikan di sekolah, maka peserta didik akan mengetahui dan memahami serta
menguasai materi pelajaran yang dipelajari di sekolah melalui proses belajar
mengajar di kelas. Bloom dan Krathwohl menunjukkan apa yang mungkin dikuasai
(dipelajari) oleh siswa, yang tercakup dalam tiga kawasan yang diantaranya :
Kognitif. Kognitif terdiri dari enam tingkatan, yaitu :
·
Pengetahuan
(mengingat, menghafal),
·
Pemahaman
(menginterpretasikan),
·
Aplikasi
/ penerapan (menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah),
·
Analisis
(menjabarkan suatu konsep),
·
Sintesis
(menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh),
·
Evaluasi
(membandingkan nilai, ide, metode dan sebagainya).
2.5 Teori Belajar Gestalt
Teori Gestalt dikembangkan oleh
Koffka, Kohler, dan Wertheimer. Menurut teori Gestalt belajar adalah proses
pengembangan insight. Insight adalah pemahaman terhadap hubungan antar bagian
dalam suatu situasi permasalahan. Berbeda dengan teori Behavioristik yang
menganggap belajar itu bersifat mekanistis, sehingga mengabaikan atau
mengingkari peranan insight. Teori Gestalt justru menganggap bahwa insight
adalah inti dari pembentukan tingkah laku.[24]
Peletak dasar teori belajar Gestalt ialah Max Wertheimer sebagai usaha untuk
memperbaiki proses belajar denga rote learning dengan pengertian bukan
menghapal.[25]
Dalam belajar, menurut teori Gestalt, yang terpenting adalah penyesuaian
pertama, yaitu mendapatkan respons atau tanggapan yang tepat. Belajar yang
terpenting bukan mengulangi hal-hal yang harus dipelajari, tetapi mengerti atau
memperoleh insight. Belajar dengan pengertiian lebih dipentingkan daripada
hanya memasukkan sejumlah kesan. Belajar dengan insight adalah sebagai berikut
:
a.
Insight
tergantungg dari kemampuan dasar;
b.
Insight
tergantung dari pengalaman masa lampau yang relevan;
c.
Insight
hanya timbul apabila situasi belajar diatur sedemikian rupa, sehingga segala
aspek yang perlu dapat diamati;
d.
Insight
adalah hal yang harus dicari, tidak dapat jatuh dari langit;
e.
Belajar
dengan insight dapat diulangi;
f.
Insight
sekali didapat dapat digunakan untuk menghadapi situasi-situasi baru.[26]
2.5.1
Prinsip-prinsip Teori belajar Gestalt
Seperti diketahui Teori Belajar
gestalt lebih menekankan kepada persepsi. Karena itu prinsip-prinsip atau
hokum-hukum yanga ada pada Gestalt pada umumnya menyangkut persepsi. Adapun
teori-teori gestalt antara lain :
·
Belajar
berdasarkan keseluruhan
·
Belajar
adalah suatu proses perkembangan
·
Anak
didik sebagai organism keseluruhan
·
Terjadi
transfer
·
Belajar
adalah reorganisasi pengalaman
·
Belajar
harus dengan insight
·
Belejar
lebih berhasil bila berhubungan dengan minat, keinginan, dan tujuan.
·
Belajar
berlangsung secara terus-menerus.[27]
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dari
pembahasan Teori Belajar kognitif dapat kami simpulkan sebagai berikut :
a. Pandangan
Teori Belajar Kognitif adalah:
·
Elemen
terpenting dalam proses belajar adalah pengetahuan yang dimiliki oleh tiap
individu.
·
Perilaku
manusia tidak ditentukan oleh stimulus yang berada diluar dirinya, melainkan
oleh faktor yang ada pada dirinya sendiri.
·
Belajar
sebagai proses pemfungsian unsur-unsur kognisi terutama pikiran, untuk dapat
mengenal dan memahami stimulus yang datang dari luar. Dengan kata lain,
aktivitas belajar manusia ditentukan pada proses internal dalam berpikir yakni
pengolahan informasi.
·
Belajar
pada asasnya adalah peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral yang bersifat
jasmaniah meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata dalam
hampir setiap peristiwa belajar siswa.
·
Teori
belajar kognitif lebih menekankan arti penting proses internal, mental manusia.
Tingkah laku manusia yang tampak, tak dapat diukur dan diterangkan tanpa
melibatkan proses mental, seperti : motivasi, kesengajaan, keyakinan dan
sebagainya.
b. Tokoh-Tokoh
Teori Belajar kognitif adalah :
·
Piagiet
·
Ausubel
·
Bruner
·
Gestalt
3.2 Saran
Hendaknya
pengetahuan tentang kognitif siswa perlu dikaji secara mendalam oleh para calon
guru dan para guru demi menyukseskan proses pembelajaran di kelas. Tanpa pengetahuan
tentang kognitif siswa, guru akan mengalami kesulitan dalam membelajarkannya di
kelas, yang pada akhirnya mempengaruhi rendahnya kualitas proses pendidikan
yang dilakukan oleh guru di kelas. Karena faktor kognitif yang dimiliki oleh
siswa merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan proses
pembelajaran di kelas. Faktor kognitif merupakan jendela bagi masuknya berbagai
pengetahuan siswa melalui kegiatan belajar baik secara mandiri maupun secara
kelompok
DAFTAR
PUSTAKA
Fauziah Nasution,
Psikologi Umum, Buku Panduan untuk Fakultas Tarbiyah IAIN SU, 2011.
Al Rasyidin
& Wahyudin Nur Nasution, Teori Belajar dan pembelajaran, Medan :Perdana
Publishing, 2011.
Abu Ahmad &
Widodo Aupriyono, Psikologi Belajar, Jakarta : Rineka Cipta, 1991.
Syaiful bahri
Djamarah,, Psikologi Belajar, Jakarta : Rineka Cipta, 2011.
Muhibbin Syah, Psikologi
Belajar, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003.
[1] Fauziah Nasution, Psikologi Umum, Buku Panduan untuk
Fakultas Tarbiyah IAIN SU, 2011, hal : 17
[2] Al Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution, Teori Belajar dan
pembelajaran, Medan :Perdana Publishing, 2011, hal : 32
[3] Abu Ahmad & Widodo Aupriyono, Psikologi Belajar, Jakarta
: Rineka Cipta, 1991, hal : 214-215
[4] Syaiful bahri Djamarah,, Psikologi Belajar, Jakarta : Rineka
Cipta, 2011, hal : 28-29
[5] Al Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution, Teori Belajar dan
pembelajaran, Medan :Perdana Publishing, 2011, hal: 33
[6] Di kutip dari : http://valmband.multiply.com/journal/item/12
[7] Al Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution, Teori Belajar dan
pembelajaran, Medan :Perdana Publishing, 2011, hal: 33
[8] Di kutip dari : http://valmband.multiply.com/journal/item/12
[9] Al Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution, Teori Belajar dan
pembelajaran, Medan :Perdana Publishing, 2011, hal: 33
[10] Di kutip dari : http://meetabied.wordpress.com/2010/03/20/teori-perkembangan-kognitif-piaget//
[11] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2003, hal : 26
[12] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2003, hal : 26
[13] Abu Ahmad & Widodo Aupriyono, Psikologi Belajar, Jakarta
: Rineka Cipta, 1991, hal : 216
[14] Al Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution, Teori Belajar dan
pembelajaran, Medan :Perdana Publishing, 2011, hal: 35
[15] Di kutip dari : http://meetabied.wordpress.com/2010/03/20/teori-perkembangan-kognitif-piaget//
[16] Al Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution, Teori Belajar dan
pembelajaran, Medan :Perdana Publishing, 2011, hal: 35
[17] Di kutip dari : http://meetabied.wordpress.com/2010/03/20/teori-perkembangan-kognitif-piaget//
[18] Al Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution, Teori Belajar dan
pembelajaran, Medan :Perdana Publishing, 2011, hal: 35
[19] Abu Ahmad & Widodo Aupriyono, Psikologi Belajar, Jakarta
: Rineka Cipta, 1991, hal : 220
[20] Al Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution, Teori Belajar dan
pembelajaran, Medan :Perdana Publishing, 2011, hal: 36-37
[21] Ibid, hal :37
[22] Di kutip dari : http://valmband.multiply.com/journal/item/12
[23] Al Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution, Teori Belajar dan
pembelajaran, Medan :Perdana Publishing, 2011, hal: 38
[24] Al Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution, Teori Belajar dan
pembelajaran, Medan :Perdana Publishing, 2011, hal: 39
[25] Abu Ahmad & Widodo Aupriyono, Psikologi Belajar, Jakarta
: Rineka Cipta, 1991, hal : 215
[26] Syaiful bahri Djamarah,, Psikologi Belajar, Jakarta : Rineka
Cipta, 2011, hal : 19
[27] Syaiful bahri Djamarah,, Psikologi Belajar, Jakarta : Rineka
Cipta, 2011, hal : 20-21
Langganan:
Postingan (Atom)