BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengertian pendidikan seperti yang lazim dipahami sekarang
belum terdapat pada zaman Nabi Muhammad SAW. Tetapi usaha dan kegiatan yang
dilakukan oleh Nabi dalam menyampaikan seruan agama dengan berdakwah,
menyampaikan ajaran, memberikan contoh, melatih keterampilan berbuat, memberi
motivasi dan menciptakan lingkungan sosial yang mendukung ide-ide pembentukan
pribadi muslim itu, telah mencakup arti pendidikan pada masa sekarang. Orang
Mekah Arab yang tadinya menyembah berhala, musyrik, kafir, kasar, dan sombong
maka dengan usaha kegiatan Nabi mengIslamkan mereka, lalu tingkah laku mereka
berubah menjadi penyembah Allah Tuhan Yang Maha Esa. Dengan itu Nabi telah
mendidik, membentuk kepribadian yaitu kepribadian muslim dan sekaligus berarti
bahwa Nabi SAW adalah seorang pendidik yang berhasil. Perubahan dan tingkah
laku yang sesuai dengan petunjuk ajaran Islam. Untuk itu perlu adanya usaha,
kegiatan, cara, alat dan lingkungan hidup yang menunjang keberhasilan.
Maka pendidikan Islam itu lebih banyak ditujukan kepada
perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi
keperluan diri sendiri maupun orang lain. Dari segi lainnya, pendidikan Islam
tidak hanya bersifat teoritis saja, tetapi juga praktis. Ajaran Islam tidak
memisahkan antara iman dan amal shaleh. Oleh karena itu, pendidikan Islam
adalah sekaligus pendidikan iman dan pendidikan amal. Dan karena ajaran Islam
berisi ajaran tentang sikap dan tingkah laku pribadi masyarakat, menuju
kesejahteraan hidup perorangan dan bersama, maka pendidikan Islam adalah
pendidikan individu dan pendidikan masyarakat.[1]
Pendidikan Islam mengalami beberapa fase perkembangan
seiring dengan perkembangan agama Islam itu sendiri. Dimulai dari pada masa
Nabi Muhammad SAW, kemudian dilanjutkan pada masa Khulafaur Rasyidin, dan
mencapai masa kegemilangan pada masa Khalifah-Khalifah yang memerintah Negara
Islam silih berganti. Sampai akhirnya Islam mengalami kemunduran yang juga
turut mempengaruhi pendidikan Islam.
Kemudian pendidikan Islam mengalami masa kebangkitan kembali
yang dinamakan fase pembaharuan. Pada fase ini pendidikan Islam mulai naik
kembali dengan beberapa tokoh pembaharu Islam.
B. Rumusan Masalah
Objek pembahasan dalam Makalah ini selanjutnya dijabarkan
melalui rumusan masalah antara lain :
ü Bagaimana pendidikan Islam pada masa
pembaharuan ?
ü Siapa saja tokoh pembaharuan
pendidikan Islam masa pembaharuan, dan sejauh mana kontribusi mereka dalam
pendidikan Islam ?
ü Apa saja faktor-faktor yang
mempengaruhi pendidikan Islam masa pembaharuan ?
C. Tujuan Penyusunan Makalah
Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Tersturuktur Mata
Kuliah Sejarah Pendidikan Islam IAIN Sumatera Utara. Selain itu juga untuk menambah
khazanah ilmu pengetahuan mengenai pendidikan Islam pada masa pembaharuan
Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Sosial Politik Kemunduran Pendidikan Islam
Tampilnya dinasti
Abasiyah yang menggantikan dinasti Umayyah dalam peradaban Islam membawa corak
baru dalam budaya Islam dan terutama dalam bidang pendidikan Islam. Pada
periode pertama dinasti Abasiyah (132 H/750 M-232 H/847 M), dunia pendidikan
Islam mengalami masa kejayaannya (lahirnya sekolah-sekolah yang tak terhitung
banyaknya yang tersebar dari kota-kota sampai desa-desa) dan sekaligus pada
periode kedua dinasti Abasiyah (847 M-942 M) menjadi awal kemunduran
intelektual Islam dan terlihat nyata pada periode kelima (akhir dinasti
abasiyah 1258 M).[2]
Hal ini sesuai dengan siklus sejarah yang bersifat faktual yang dijelaskan oleh
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya, yaitu ada generasi perintis, generasi
penerus, generasi penikmat, dan generasi penghancur.
Beberapa
hal yang melatar belakangi dinasti tersebut mundur/hancur, tentunya juga
berpengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan Islam di dunia. Adapun beberapa hal
yang menjadi akar kehancurannya yaitu; adanya faktor internal (konflik dalam
keluarga Istana, dominasi militer, keuangan, berdirinya dinasti-dinasti kecil,
luasnya wilayah, dan fanatisme keagamaan/aliran-aliran) dan faktor ekternal
(terjadinya perang salib dan serangan tentara Mongol).
Sedangkan
Islam di bagian Barat telah mengalami kemajuan dan kesuksesan selama kurang
lebih delapan abad. Spanyol dengan pusat ibu kotanya di Cordova telah menjadi
kiblat ilmu pengetahuan yang menyaingi Baghdad. Perkembangan ilmu pengetahuan
di Spanyol juga mengalami kemandekan bahkan kemunduran sebagaimana kota Baghdad
karena beberapa faktor: (1) adanya konflik kekeluargaan karena tidak jelasnya
sistem peralihan kekuasaan diantara ahli waris, (2) lemahnya figur dan
kharismatik para khalifah pengganti, (3) perselisihan di kalangan umat Islam
sendiri, (4) konflik Islam dengan Kristen di dalam negeri karena kebijakan
pemerintah tidak melakukan islamisasi secara sempurna, (5) munculnya
kerajaan-kerajaan kecil yang saling berebut kekuasaan.[3]
Dalam
posisi yang lemah tersebut kemudian dimanfaatkan oleh orang Kristen Spanyol
untuk menyerang dan menghancurkan Islam. Hancurnya kekuasaan Islam di Baghdad
dan Cordova adalah sebagai faktor utama yang melatar belakangi kemunduran
pendidikan Islam.
- Faktor-faktor Penyebab Kemunduran Pendidikan Islam
Dalam
sejarah kehancuran total yang dihadapi kota-kota pendidikan dan kebudayaan
Islam yang mengakibatkan runtuhnya sendi-sendi pendidikan Islam dan melemahnya
pemikiran Islam yaitu disebabkan:
1)
Berlebihannya filsafat Islam yang bersifat sufistik
Dalam
buku “Sejarah Pendidikan Islam” editor Samsul Nizar (2009) yang mengutip dari
Zuhairini dkk, menjelaskan tentang 2 pola intelektual yang saling berlomba
mengembangkan diri dan memiliki pengaruh yang besar dalam pengembangan pola
pendidikan umat Islam yang muncul dalam sejarah panjang dunia Islam. Dari pola
pikir yang bersifat tradisional yang selalu mendasarkan diri pada wahyu yang
kemudian berkembang menjadi pola sufistik dan mengembangkan pola pendidikan
sufi. Pola ini sangat memperhatikan aspek-aspek batiniyah dan akhlak (budi
pekerti). Sedangkan pola pemikiran rasional mementingkan akal pikiran yang
menimbulkan pola pendidikan empiris rasional. Pola yang kedua ini sangat
memperhatikan intelektual dan penguasaan materi.
2)
Sedikitnya kurikulum Islam
Dalam
buku “Sejarah Pendidikan Islam” editor Samsul Nizar (2009) yang mengutip dari
Mahmud Yunus, menjelaskan tentang sedikitnya materi kurikulum dan mata
pelajaran umum yang ada di madrasah-madrasah, seperti menafikan perhatian
kepada ilmu-ilmu kealaman dan hanya terbatas pada ilmu-ilmu keagamaan yang
ditambah dengan sedikit gramatikal dan bahasa sebagai alat yang diperlukan.
Dengan penyempitan kurikulum yang ada juga sudah mulai meninggalkan ilmu-ilmu
keagamaan yang murni (tafsir hadits, fiqih, usul fiqih, ilmu kalam, dan teologi
Islam). Sedangkan ilmu-ilmu keagamaan yang ada adalah yang tujuannya untuk
mendekatkan diri kepada Allah dan menyucikan diri dan ditambah dengan
pendidikan sufi.[4]
3)
Tertutupnya pintu ijtihad
Ini
disebabkan dengan runtuhnya kota-kota pendidikan Islam, sehingga pelaksanaan
pendidikan Islam banyak dilaksanakan dirumah-rumah para ulama yang pada
akhirnya madrasah-madrasah kurang berfungsi. Namun demikian, pendidikan di
madrasah masih terus dilakukan akan tetapi dengan mata pelajaran yang beraliran
sufi dan sehingga para ulama banyak yang meninggalkan ijtihad. Selain itu, hal
ini akan mengakibakan semakin ditinggalkannya pendidikan intelektual yang
mengakibatkan semakin statis kebudayaan Islam karena daya intelektual generasi
penerus tidak mampu mengadakan kreasi-kreasi budaya yang baru, bahkan ketidak
mampuan untuk mengatasi persoalan-persoalan baru yang muncul.[5]
4. Kebangkitan (Aufklarung) Pendidikan Barat
Kebangkitan Barat dalam pendidikan dan
ilmu pengetahuan ditandai dengan zaman Renainssance (lahir kembali),
setelah mereka mengalami zaman pertengahan yang telah dikungkung oleh dominasi
dogma-dogma Gereja. Keadaan seperti itu mengakibatkan perkembangan pendidikan
menjadi mandek dan mengalami kegelapan. Oleh sebab itu di dalam kegelapan itu
mereka merenung mencari alternatif, sehingga teringat suatu zaman yang berpendikan
maju, pemikiran tidak dikungkung yaitu zaman Yunani kuno.[6]
Kebangkitan
Barat yang telah mencapai kedudukan setara dengan kebudayaan-kebudayaan besar
terjadi pada abad ke-16. Masa ini adalah proses tranformasi yang sangat penting
yang akan memungkinkan Barat akan menguasai dunia secara keseluruhan.
Perkembangan ini telah disiapkan Barat sejak dari 300 tahun. Sebagai masyarakat
agraris konvensional, Eropa telah mentransformasikan diri dari lapisan atas
hingga lapisan bawah, dan menata ulang seluruh sektor ekonomi, sosial, agama,
pendidikan, politik, dan intelektual secara keseluruhan.[7]
Kebangkitan Eropa ini barang tentu sangat didukung oleh kemajuan dibidang ilmu
pengetahuan dan pendidikan. Pada masa ini telah ditandai dengan banyaknya
temuan dibidang sains dan munculnya beberapa tokoh ilmuwan, seperti Nicolaus
Copernicus (1473-1543), Johanes Kepler (1571-1630), Galileo Galilei
(1564-1643), dan lain sebagainya.[8]
Kebangkitan
kembali Barat dalam segala sektor, khususnya ilmu pengetahuan tidak lepas dari pengaruh
pemerintahan Islam. Islam yang pada masa kejayaan telah menganut pola pemikiran
yang rasional, mementingkan akal pemikiran, yang dapat menimbulkan pola
pendidikan empiris rasional, serta memperhatikan pendidikan intelektual dan
penguasaan material sedikit demi sedikit telah berpindah ke Barat.
Perpindahan ilmu
pengetahuan ini melalui daerah-daerah yang terjadi kontak langsung antara Islam
dan Barat yaitu melalui Andalusia, pulau Silsilia (Italia), dan perang Salib.
Di Andalusia saat Spanyol jatuh ke tangan kekuasaan raja Alfonso VII pada tahun
1236 M, orang Spanyol Kristen, sebagai kata Hitti telah terpesona pada
peradaban Islam yang gemilang, serta sadar atas kerendahan mereka dalam seni,
sastra, filsafat, dan ilmu pengetahuan serta mereka segera mencontoh Arab dalam
cara hidup. Di pulau Silsilia saat penguasaan bani Aghlab berakhir, Constatin
African mendirikan sekolah tinggi kedokteran yang menjadi sekolah tinggi
kedokteran pertama di Eropa sebagai pengembang llmu kedokteran Islam. Banyak
buku-buku kedokteran yang diterjemahkan ke dalam bahasa latin, seperti karangan
Hunain bin Ishaq, Ali Abbas, dan ar-Razi.[9]
5.
Profil Pendidikan Islam pada Masa Kemunduran
Kehancuran total
kekuasaan Islam di Baghdad dan Cordova
juga sangat berdampak pada kemunduran pendidikan dan kebudayaan Islam.
Musnahnya lembaga-lembaga pendidikan dan buku ilmu pengetahuan di kedua pusat
kota Islam itu menyebabkan mandeknya aktifitas intelektual diseluruh wilayah
Islam. Suasana gelap dan memprihatinkan telah menyelimuti dunia Islam akibat
berbagai krisis yang mencekam.[10]
Kemandekan dalam
intelektual itu telihat dalam suatu pernyataan “pintu ijtihad telah tertutup”
dan ajaran menyatakan bahwa “dunia adalah penjara bagi kaum muslimin”.
Penutupan pintu ijtihad ini telah menyumbat pemikiran yang orisinal dan bebas
serta membawa pada kemancetan umum pada aspek ilmu hukum dan intelektual. Dalam
bidang fiqih yang berkembang adalah tradisi taklid buta dan menganggap
kitab-kitab fiqih lama sebagai sesuatu yang sudah baku dan harus diikuti dengan
apa adanya. Kebiasaan menulis dengan penulisan karya-karya asli tidak lagi
ditemukan. Tradisi yang berkembang adalah hanya memberi komentar-komentar dari
buku-buku lama. Tidak seperti halnya yang terjadi sebelumnya, misalnya
Fakhruddin al-Razi menulis sebuah komentar tentang karangan Ibn Sina, akan
tetapi dia tetap membuat karya yang independen.
Kemunduran
pendidikan ini Nampak jelas dengan sedikitnya materi kurikulum dan mata
pelajaran. Selain itu juga menyempitnya bidang ilmu pengetahuan umum dan terbatasnya
ilmu-ilmu agama. Kemudian waktu yang diperlukan dalam menempuh studi juga
relatif singkat, sehingga mengakibatkan kurangnya pendalaman materi pelajaran
yang diterima. Hal ini menjadikan perkembangan ilmu pengetahuan mandek dan
mengalami kemorosotan. Madrasah-madrasah yang berkembang diwarnai oleh khalaqah-khalaqah
dan zawiat-zawiat sufi, karya-karya sufi dimasukkan ke dalam kurikulum
yang formal, dan kurikulum akademis terdiri dari hampir seluruh buku-buku
tentang sufi.
Pada masa
kejayaan kerajaan Turki, walaupun mereka sangat kuat dalam bidang politik dan
kemiliteran akan tetapi dalam ilmu pengetahuan tidak begitu menonjol, kecuali
bidang arsitektur. Sufisme pada masa itu sangat digemari mayarakat dan sangat
berkembang pesat. Keadaan frustasi yang merata karena hancurnya tatanan
kehidupan intelektual dan material akibat konflik internal dan serangan tentara
mongol yang membabi buta dan menyebabkan mereka bersifat fatalistik dan kembali
kepada Tuhan. Pada masa itu lapangan ilmu pengetahuan menyempit. Madrasah
adalah satu-satunya lembaga pendidikan umum dan di dalamnya hanya mengajarkan
pendidikan keagamaan.[11]
Pada masa
pemerintahan Mahmud II, Turki mengadakan reformasi dalam bidang pendidikan. Hal
ini dipicu karena kemajuan militer Turki tidak diimbangi dengan sains sehingga
saat berperang dengan musuh lamanya Eropa, pihak Turki mengalami kekalahan saat
kontak senjata. Sultan Mahmud II mengubah pola madrasah tradisional disesuaikan
dengan zamanya (abad 19), dan mengikis buta aksara. Dalam kurikulum baru
dimasukkan pelajaran umum dengan memulai sosialisasi kepada masyarakat. Dia
mendirikan sekolah militer, sekolah teknik, sekolah kedokteran, dan sekolah
pembedahan. Selain mendirikan sekoslah modern sultan Mahmud II juga banyak
mengirimkan pelajar ke Eropa. Akan tetapi dengan waktu yang sangat singkat ini,
Turki tidak bisa mengejar ketertinggalanya dengan Eropa yang telah bangkit
lebih dahulu dengan persiapan kurang lebih 300 tahun.
- Pemikiran Pembaharuan Dalam Islam
Tercatat beberapa nama ulama besar yang berperan sebagai
pembaharu bidang pendidikan Islam yang muncul di Timur Tengah, seperti Muhammad
Ali Pasya, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dari Mesir.
Kemudian tercatat nama Muhammad Iqbal dari India dan sebagainya. Pada masa
kemunduran Islam abad 13-18, segala warisan filsafat dan ilmu pengetahuan
diperoleh Eropa dari Islam, ketika umat Islam larut dalam kegemilangan sehingga
tidak memperhatikan lagi pendidikan, maka Eropa tampil mencuri ilmu pengetahuan
dan belajar dari Islam. Eropa kemudian bangkit dan Islam mulai dijajah dan
mengalami kemunduran. Hampir seluruh wilayah dunia Islam dijajah oleh Bangsa
Eropa termasuk Indonesia. Penemuan-penemuan baru dibidang ilmu pengetahuan dan
teknologi muncul di Eropa. Misalnya dalam bidang mesin, listrik, radio, yang
semuanya itu menunjang semakin kuatnya Eropa terhadap dunia Timur bahkan sampai
ke Indonesia. Dunia jadi berbalik, dunia Timur terpukau dan terbius kemujuan
yang dialami Eropa.
Sebenarnya kesadaran akan kelemahan dan ketertinggalan kaum
muslimin dari Bangsa Eropa telah timbul mulai abad ke 11 sampai ke 17 Masehi.
Dengan kekalahan-kekalahan yang diderita oleh Turki Utsmani dalam peperangan
dengan Negara-Negara Eropa. Mereja mulai memperhatikan kemajuan yang dialami
Eropa dengan mengirimkan utusan-utusan untuk mempelajari kemajuan Eropa
terutama dari Prancis dan didirikan sekolah-sekolah Militer di Turki pada tahun
1734.[12]
Dalam membuka mata kaum muslimin akan kelemahan dan
keterbelakangannya, sehingga akhirnya timbul berbagai macam usaha pembaharuan
dalam segala bidang kehidupan, untuk mengejar ketertinggalan dan
keterbelakangan, termasuk usaha-usaha dibidang pendidikan.[13]
Kebangkitan kembali umat Islam khususnya bidang pendidikan Islam adalah dalam
rangka untuk pemurnian kembali ajaran-ajaran Islam dengan pelopor-pelopor di
berbagai daerah masing-masing. Adapun mereka mengemukakan opini kebangkitan
dengan mengacu kepada tema yang sama yaitu adalah :
·
Mengembalikan ajaran Islam kepada unsur-unsur aslinya,
dengan bersumberkan kepada Al-Qur’an, Hadist dan membuang segala bid’ah, khurafat,
tahayul, dan mistik.
·
Menyatakan dan membuka kembali pintu ijtihad setelah beberapa
abad dinyatakan ditutup.[14]
B. Pola Pembaharuan Pendidikan Islam
Dengan memperhatikan berbagai macam sebab kelemahan dan
kemunduran umat Islam sebagaimana nampak pada masa sebelumnya, dan dengan
memperhatikan sebab-sebab kemajuan dan kekuatan yang dialami oleh Bangsa Eropa,
maka pada garis besarnya terjadi tiga pola pemikiran pembaharuan pendidikan
Islam. Ketiga pola tersebut adalah :
1) Pola pembaharuan pendidikan Islam
yang berorientasi pada pola pendidikan modern di Eropa,
2) Golongan yang berorientasi pada
sumber Islam yang murni,
3) Usaha yang berorientasi pada
Nasionalisme.

Mereka berpandangan, pada dasarnya kekuatan dan
kesejahteraan yang dialami Barat adalah hasil perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern yang mereka capai. Golongan ini berpendapat bahwa apa yang
dicapai oleh Barat sekarang ini merupakan pengembangan dari ilmu pengetahuan
dan kebudayaan yang pernah berkembang di dunia Islam. Maka untuk mengembalikan
kekuatan dan kejayaan umat Islam, sumber kekuatan itu harus dikuasai kembali.
Cara pengembalian itu tidak lain adalah melalui pendidikan, karena pola
pendidikan Barat dipandang sukses dan efektif, maka harus meniru pola Barat
yang sukses itu. Pembaharuan pendidikan dengan pola Barat, mulai timbul di
Turki Utsmani akhir abad ke 11 H / 17 M setelah mengalami kalah perang dengan
berbagai negara Eropa Timur pada masa itu.[15]
Pada dasarnya, mereka (golongan ini) berpandangan bahwa pola
pendidikan Islam harus meniru pola Barat dan yang dikembangkan oleh Barat,
sehingga pendidikan Islam bisa setara dengan pendidikan mereka. Mereka
berpandangan bahwa usaha pembaharuan pendidikan Islam adalah dengan jalan
mendirikan lembaga pendidikan / sekolah dengan pola pendidikan Barat, baik sistem
maupun isi pendidikannya.[16]
Jadi intinya, Islam harus meniru Barat agar bisa maju.

Mereka berpendapat bahwa sesungguhnya Islam itu sendiri
merupakan sumber dari kemajuan dan perkembangan peradaban Ilmu Pengetahuan
modern. Dalam hal ini Islam telah membuktikannya. Sebab-sebab kelemahan umat
Islam meurut mereka adalah karena tidak lagi melaksanakan ajaran Agama Islam
sebagaimana mestinya. Ajaran Islam yang sudah tidak murni lagi digunakan untuk
sumber kemajuan dan kekuatan. Pola ini dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab,
Jamaluddin Al-Afghani, dan Muhammad Abduh.[17]
Disamping itu, dengan berhentinya perkembangan ilmu yang
ditandai dengan penutupan pintu ijtihad, umat Islam telah kekurangan daya untuk
mengatasi problematika hidup yang menantangnya sebagai akibat dari perubahan
dan perkembangan zaman. Pola pembaharuan ini telah dirintasi oleh Muhammad bin
Abdul Wahab, kemudian dicanangkan kembali oleh Jamaluddin Al-Afghani (akhir
abad 19 M). Menurut Jamaluddin Al-Afghani, pemurnian ajaran Islam dengan
kembali kepada Al-Qur’an dan Hadist dalam artinya yang sesungguhnya, tidaklah
mungkin tidak dilakukan. Ia berkeyakinan bahwa Islam adalah sesuai untuk semua
bangsa, zaman dan semua keadaan.
Dalam hal ini, apabila ditemukan adanya pertentangan antara
ajaran Islam dengan kondisi yang ada pada perubahan zaman, penyesuaian akan
diperoleh dengan mengadakan interpretasi baru pada ajaran Islam. Oleh karenanya,
pintu ijtihad harus dibuka.[18]
Menurut Jamaluddin Al-Afghani, kemunduran umat Islam bukanlah karena Islam,
sebagaimana dianggap oleh kebanyakan orang karena tidak sesuai dengan perubahan
zaman dan kondisi baru. Umat Islam mundur, karena telah meninggalkan
ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya dan mengikuti ajaran yang datang dari luar
lagi asing bagi Islam. Ajaran Islam sebenarnya hanya tinggal dalam ucapan dan
diatas kertas.[19] Jadi,
umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam murni yang tidak terkontaminasi
oleh ajaran dan paham asing. Kalau manusia berpedoman kepada agama, ia tidak
sesat untuk selama-lamanya.[20]

Golongan ini melihat di Barat rasa Nasionalisme ini timbul bersamaan
dengan berkembangnya pola kehidupan modern sehingga mengalami kemajuan yang
menimbulkan kekuatan politik yang berdiri sendiri. Keadaan ini pada umumnya
mendorong Bangsa timur dan bangsa terjajah lainnya untuk mengembangkan
nasionalisme mereka masing-masing. Yang mendorong berkembangnya nasionalisme
adalah karena kenyataannya mereka terdiri dari berbagai bangsa dengan latar
belakang dan sejarah perkembangan kebudayaan yang berbeda satu sama lain.[21]
Golongan ini berusaha memperbaiki kehidupan umat Islam
dengan memperhatikan situasi dan kondisi objektif umat Islam yang bersangkutan.
Dalam usaha mereka bukan semata mengambil unsur-unsur budaya Barat yang sudah
maju, tetapi juga mengambil unsur dari budaya warisan bangsa yang bersangkutan.
Ide kebangsaan inilah yang akhirnya menimbulkan timbulnya usaha merebut
kemerdekaan dan mendirikan pemerintahan sendiri dikalangan pemeluk Islam.
Sebagai akibat dari pembaharuan dan kebangkitan kembali pendidikan ini terdapat
kecendrungan dualisme sistem pendidikan kebanyakan negara tersebut, yaitu
sistem pendidikan modern dan sistem pendidikan tradisional.[22]
BAB III
PENUTUP
- Simpulan
Dari beberapa pemaparan diatas dapat kami simpulkan bahwa
islam pernah mencatat pencapaian sains dan teknologi yang sangat mencengangkan.
Masa keemasan itu ditandai oleh berkembangnya tradisi intelektual dan kuatnya
spirit pencarian pengembangan sains. Akan tetapi pada saat ini dunia islam
mengalami kemunduran dan kemerosotan yang disebabkan oleh beberapa faktor yang
secara umum dibagi menjadi faktor eksternal dan internal. Sehingga dari
beberapa faktor eksternal tersebut kami ambil salah satu faktor saja bahwa
penyebab kemunduran pendidikan dikarenakan adanya pemberontakan yang dibarengi
dengan serangan dari luar. Sedangkan dari faktor internal adalah dikarenakan
ummat islam terutama pemerintahnya sudah tidak lagi memperhatikan ilmu
pengetahuan dan para ahli lebih tertarik untuk terlibat dalam urusan-urusan
politik.
Oleh karena itu keadaan ummat islam terutama pada pendidikan
sangat statis. Hingga masyarakat pada waktu itu lebih memilih untuk
mengembalikan segala sesuatunya kepada Tuhan. Atau yang disebut dengan aliran
pemikiran tradisionalisme ketimbang mereka sehingga ketidakmampuan intelektual
tersebut merealisasikan ”pernyataan” bahwa pintu ijtihad telah tertutup.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa ini dapat dikatakan macet total.
B. Saran & Kritikan
Berkreasilah dengan fikiranmu karena fikiranmu adalah Tuhan
yang akan menentukan masa depanmu. Dan jika ada yang salah pemakalah minta
maaf. Atas perhatiannya pemakalah ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
1. Harun
Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Jakarta : Penerbit Bulan Bintang,
1982.
2. Boehori,
Islam Mengisi Kehidupan, Surabaya : Al-Ikhlas, 1982.
3. Edi
Yusrianto, Lintasan Sejarah Pendidikan Islam. Pekanbaru : Intania
Grafika.
4. Zuhairini
dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara. 1995.
5. Abudin
Nata, 2004, sejarah pendidikan Islam”, Jakarta; PT Raja Grafindo Persada.
6. Samsul
Nizar, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Cet: Ke-3, 2009.
7. Ahmad
Tafsir,“Filsafat Umum”, Bandung, PT Remaja Rosyda Karya, 1990.
8. Karen
Armstrong, “ISLAM Sejarah Singkat” Yogyakarta: Jendela, 2003, hal:
163-164
9. Zakiah
Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara, 1991, hal : 28
[1] Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi
Aksara, 1991, hal : 28
[2] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Kencana Prenada
Media Group. Cet: Ke-3, 2009, hal: 183
[4] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Kencana Prenada
Media Group. Cet: Ke-3, 2009, hal: 190-191
[5] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Kencana Prenada
Media Group. Cet: Ke-3, 2009, hal: 191-192
[6] Ahmad Tafsir,“Filsafat Umum”, Bandung, PT Remaja Rosyda
Karya, 1990, hal: 125
[7] Karen Armstrong, “ISLAM Sejarah Singkat” Yogyakarta:
Jendela, 2003, hal: 163-164
[8] Ahmad Tafsir, Op.Cit, hal 126
[9] Musrifah Sunanto,“SEJARAH ISLAM KLASIK” Jakarta Timur;
Prenata Media, 2003, hal: 223-228
[10] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Kencana
Prenada Media Group. Cet: Ke-3, 2009, hal: 191-192
[11] Abudin Nata, 2004, “SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM”, Jakarta; PT Raja
Grafindo Persada, hal 283-286
[12] Edi Yusrianto, Lintasan Sejarah Pendidikan Islam. Pekanbaru
: Intania Grafika, hal : 52
[13] Zuhairini dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi
Aksara. 1995, hal : 117
[14] Edi Yusrianto, Lintasan Sejarah Pendidikan Islam. Pekanbaru
: Intania Grafika, hal : 51
[15] Ibid, hal : 52-53
[16] Zuhairini dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi
Aksara. 1995, hal : 118
[17] Edi Yusrianto, Lintasan Sejarah Pendidikan Islam. Pekanbaru
: Intania Grafika, hal : 53
[18] Zuhairini dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi
Aksara. 1995, hal : 122
[19] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Jakarta : Penerbit
Bulan Bintang, 1982, hal : 55
[20] Boehori, Islam Mengisi Kehidupan, Surabaya : Al-Ikhlas,
1982, hal : 24
[21] Edi Yusrianto, Lintasan Sejarah Pendidikan Islam. Pekanbaru
: Intania Grafika, hal : 53
[22] Zuhairini dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi
Aksara. 1995, hal : 124
Tidak ada komentar:
Posting Komentar