Selasa, 19 November 2013

pengertian aqidah dan iman



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Islam sebagai agama bisa dilihat dari berbagai dimensi; sebagai  keyakinan, sebagai ajaran dan sebagai aturan. Apa yang diyakini oleh  seorang muslim, boleh jadi sesuai dengan ajaran dan aturan Islam,  boleh jadi tidak, karena proses seseorang mencapai suatu keyakinan  berbeda-beda, dan kemampuannya untuk mengakses sumber ajaran juga  berbeda-beda. Diantara penganut satu agama bisa terjadi pertentangan  hebat yang disebabkan oleh adanya perbedaan keyakinan. Sebagai  ajaran, agama Islam merupakan ajaran kebenaran yang sempurna, yang  datang dari Tuhan Yang Maha Benar. Akan tetapi manusia yang pada  dasarnya tidak sempurna tidak akan sanggup menangkap kebenaran yang  sempurna secara sempurna.
            Dalam agama Islam terdapat pilar-pilar keimanan yang dikenal dengan rukun Iman, terdiri dari enam pilar. Ke enam pilar tersebut adalah keyakinan Islam terhadap hal-hal yang “ghoib” yang hanya dapat diyakini secara transedental, sebuah kepercayaan terhadap hal-hal yang diluar daya nalar manusia. Rukun Iman (pilar keyakinan) ini adalah terdiri dari: 1) iman kepada Allah, Malaikat-malaikat Allah, Kitab-kitab Allah, Rasul-rasul Allah, hari Kiamat, Qada dan Qadar.

1.2  Rumusan Masalah
            Agar pembahasan kita tidak lari dari sub judul, ada baiknya penyusun merumuskan masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, antara lain :
ü  Pengertian aqidah dan keimanan
ü  Landasan hukum akidah dan keimanan
ü  Macam-macam iman
ü  Hikmah orang yang beriman





BAB II
PEMBAHASAN
2.1 AQIDAH
2.1.1 Pengertian Aqidah
            Sesungguhnya aqidah merupakan masalah yang paling pokok dan paling mendasar bagi setiap mukmin. Aqidah menjadi pintu awal masuknya seseorang ke dalam Islam dan aqidah pula yang harus dia pertahankan hingga akhir hidupnya. Seorang mukmin dituntut untuk membawa serta kalimah tauhid, kalimat ikhlas ‘laa ilaaha illallah’ hingga menghembuskan napas yang terakhir agar dia dikategorikan ke dalam hamba-hamba Allah yang husnul khatimah. Semua mukmin meyakini bahwa barang siapa yang demikian adanya pasti meraih ridha Allah Swt, rahmat-Nya dan surga-Nya. Oleh karena itu bahasan tentang aqidah menjadi masalah paling urgen dan krusial bagi setiap mukmin.
Aqidah (العقيدة) dari segi bahasa (etimologis) berasal dari Bahasa Arab (عَقَدَ) yang bermakna 'ikatan' atau 'sangkutan' atau menyimpulkan sesuatu.[1] Aqidah juga di artikan al-Ibraam (pengesahan), al-ihkam(penguatan),  at-tawatstsuq(menjadi kokoh, kuat),  asy-syaddu biquwwah(pengikatan dengan kuat), at-tamaasuk (pengokohan) dan al-itsbaatu(penetapan). Di antaranya juga mempunyai arti al-yaqiin(keyakinan) dan al-jazmu(penetapan).[2]
            Aqidah artinya ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan. Sedang pengertian aqidah dalam agama sendiri adalah berkaitan dengan keyakinan bukan perbuatan. Seperti aqidah dengan adanya Allah dan diutusnya pada Rasul.[3] Jadi kesimpulannya, apa yang telah menjadi ketetapan hati seorang secara pasti adalah aqidah; baik itu benar ataupun salah.
            Secara terminologis terdapat beberapa definisi aqidah yang dikemukakan oleh para ulama Islam, antara lain:
·         Menurut Hasan Al-Banna
اَلْعَقَائِدُ هِيَ اْلاُمُوْرُ الَّتِيْ يَجِبُ أَنْ يُصَدِّقَ بهَا قَلْبُكَ وَتَطْمَئِنَّ اَلَيْهَا نَفْسُكَ وَ تَكُوْنَ يَقِيْناً عِنْدَكَ لاَ يُمَازِجُهُ رَيْبٌ وَلاَ يُخَالِطُهُ شَكُّ
Aqaid (bentuk jamak dari aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib di yakini kebenaranya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikit pun dengan keragu-raguan”.[4]
·         Menurut Abu bakar Jabir al-Jazairy
اَلْعَقِيْدَةُ هِيَ مَجْمُوْعَةٌ مِنْ قَضَايَا اْلحَقَّ اْلبَدَهِيَّةِ اْلمُسَلَّمَةِ بِاْلعَقْلِ وَالَّسمْعِ وَاْلفِطْرَةِ يَعْقِدُ عَلَيْهَا اْلاِنْسَاُن قَلْبَهَا وَيُثْنِي عَلَيْهَا صَدْرَهُ جَازِمًا بِصِحَّتِهَا قَاطِعًا بِوُجُوْدِهَا وَثُبُوْتِهَا لاَ يُرَي خِلاَفُهَا أَنَّهُ يُصِحُّ اَنْ يَكُوْنَ أَبَداً.
Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum (aksioma) oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan di dalam hati serta diyakini kesahihan dan keberadaanya secara pasti dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu”.
Dari dua definisi di atas, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam rangka mendapatkan suatu pemahaman mengenai aqidah yang lebih proporsional, yaitu:
a.       Setiap manusia memiliki fitrah mengakui kebenaran, indra untuk mencari kebenaran dan wahyu untuk menjadi pedoman dalam menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam beraqidah hendaknya manusia menempatkan fungsi masing-masing instrumen tersebut pada posisi sebenarnya.
b.      Keyakinan yang kokoh itu terbebas dari segala pencampur adukan dengan keragu-raguan walaupun sedikit. Keyakinan hendaknya bulat dan penuh, tiada bercampur dengan syak dan kesamaran. Oleh karena itu untuk sampai kepada keyakinan itu manusia harus memiliki ilmu, yakni sikap menerima suatu kebenaran dengan sepenuh hati setelah meyakini dalil-dalil kebenaran.
c.       Aqidah tidak harus mampu mendatangkan ketentraman jiwa kepada orang yang meyakininya. Dengan demikian, hal ini mensyaratkan adanya keselarasan dan kesejahteraan antara keyakinan yang bersifat lahiriyah dan keyakinan yang bersifat batiniyah. Sehingga tidak didapatkan padanya suatu pertentangan antara sikap lahiriyah dan batiniah.
d.      Apabila seseorang telah meyakini suatu kebenaran, konsekuensinya ia harus sanggup membuang jauh-jauh segala hal yang bertentangan dengan kebenaran yang diyakininya itu.[5]

Dari keterangan diatas penyusun dapat menyimpulkan bahwa aqidah adalah perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa menjadi tenteram karenanya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang teguh dan kokoh, yang tidka tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan.

2.1.2  Landasan Hukum Aqidah
            Sumber aqidah Islam adalah al-Qur’an dan as-sunnah. Artinya apa saja yang disampaikan oleh allah dalam al-qur’an dan rasulullah dalam sunnah-nya wajib di imani, diyakini, dan diamalkan.[6] Ada beberapa dalil tentang aqidah, yaitu :
·         Dalil Aqli
Dalil ini dapat diterima apabila hasil keputusannya dipandang masuk akal atau logis dan sesuai dengan perasaan, tentunya yang dapat menimbulkan adanya keyakinan dan dapat memastikan adanya iman yang dimaksudkan. Dengan menggunakan akal manusia merenungkan dirinya sendiri dan alam semesta, yang dengannya ia dapat melihat bahwa dibalik semua itu terdapat adanya Tuhan pencipta yang satu.[7]
·         Dalil Naqli
Yaitu dalil yang bersumber dari al-Qur’an. Dan dalam hal ini, landasan hukum aqidah yang bersumber dari al-Qur’an antara lain :
Surah al-Ikhlas, ayat 1-4
قُلْ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ. ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ. لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ.  وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌۢ۞
Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia".
            Surah an-Nahl, ayat 51 :
وَقَالَ ٱللَّهُ لَا تَتَّخِذُوٓا۟ إِلَٰهَيْنِ ٱثْنَيْنِ  إِنَّمَا هُوَ إِلَٰهٌۭ وَٰحِدٌۭ  فَإِيَّٰىَ فَٱرْهَبُونِ۞
Allah berfirman: "Janganlah kamu menyembah dua tuhan; sesungguhnya Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa, maka hendaklah kepada-Ku saja kamu takut".
            Surah al-Baqarah, ayat 163 :
وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌۭ وَٰحِدٌۭ لَّآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلرَّحْمَٰنُ ٱلرَّحِيمُ۞
Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.[8]
            Dan hadis yang diriwayatkan Imam Bukhori dan Muslim,bahwa Rasulullah bersabda :
فإن الله حرم على النار من قال لا إله إلا الله يبتغي بذلك وجه الله
Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang orang  yang mengucapkan لا إله إلا الله  dengan ikhlas dan hanya mengharapkan ( pahala melihat ) wajah  Allah”.[9]
2.1.3  Tingkatan Aqidah
            Tingkatan aqidah seseorang berbeda-beda antara satu dengan yang lainya tergantung dari dalil, pemahaman, penghayatan dan juga aktualisasinya. Tingkatan aqidah ini paling tidak ada empat, yaitu Taqlid, Ilmul yaqin, ‘Ainul yaqin, dan Haqqul yaqin.
·         Tingkat Taqlid
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا ۞
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”.[10]
Tingkat taqlid berarti menerima suatu kepercayaan dari orang lain tanpa diketahui alasan-alasanya.[11]
·         Tingkat Ilmul Yaqin
Tingkat ilmul yaqin adalah suatu keyakinan yang diperoleh berdasarkan ilmu yang bersifat teoritis. Sebagaimana yang disebutkan dalam al-qur’an :
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ ۞ .حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ۞ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ ۞ .ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ ۞ كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ ۞
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin.”[12]
·         Tingkat ‘Ainul Yaqin
Tingkat ‘ainul yaqin adalah suatu keyakinan yang diperoleh melalui pengamatan mata kepala secara langsung tanpa perantara.[13] Hal ini disebutkan di dalam surah at-Takatsur ayat 6-7, yaitu :
لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ ۞ ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ۞
“Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan `ainul yaqin”.

·         Tingkat Haqqul Yaqin
Tingkat haqqul yaqin adalah suatu keyakinan yang diperoleh melalui pengamatan dan penghayatan pengamalan (empiris).[14] Sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur’an :
فَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ۞ فَرَوْحٌ وَرَيْحَانٌ وَجَنَّةُ نَعِيمٍ ۞ وَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ ۞ فَسَلَامٌ لَكَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ ۞ وَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُكَذِّبِينَ الضَّالِّينَ ۞ فَنُزُلٌ مِنْ حَمِيمٍ ۞ وَتَصْلِيَةُ جَحِيمٍ ۞ إِنَّ هَذَا لَهُوَ حَقُّ الْيَقِينِ۞ فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ۞
“Adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah), maka dia memperoleh ketenteraman dan rezki serta surga keni`matan. Dan adapun jika dia termasuk golongan kanan, maka keselamatan bagimu karena kamu dari golongan kanan. Dan adapun jika dia termasuk golongan orang yang mendustakan lagi sesat, maka dia mendapat hidangan air yang mendidih, dan dibakar di dalam neraka. Sesungguhnya (yang disebutkan ini) adalah suatu keyakinan yang benar. Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Besar”.[15]

2.2  KEIMANAN
2.2.1  Pengertian Keimanan (iman)
Dalam islam Iman adalah aqidah atau kepercayaan. Sumbernya yang asasi ialah al-Qur’an.[16]  Iman secara bahasa berarti at-tashdiiq (pembenaran). Pengertian dasar dari istilah iman ialah memberi ketenangan hati atau  pembenaran hati. Jadi makna iman secara umum mengandung pengertian pembenaran hati yang dapat menggerakkan anggota badan memenuhi segala konsekuensi dari apa yang dibenarkan oleh hati.  Keimanan dipandang sempurna, apabila ada pengakuan dengan lidah, pembenaran dengan hati secara yakin dan tidak bercampur keraguan, dan dilaksanakan dalam perbuatan sehari-hari.[17] Iman sering juga dikenal dengan istilah aqidah, yang berarti ikatan, yaitu ikatan hati.
Bahwa seseorang yang beriman mengikatkan hati dan perasaannya dengan sesuatu kepercayaan yang tidak lagi ditukarnya dengan kepercayaan lain. Aqidah tersebut akan menjadi pegangan dan pedoman hidup, mendarah daging dalam diri yang tidak dapat dipisahkan lagi dari diri seorang mukmin. Bahkan seorang mukmin sanggup berkorban segalanya, harta dan bahkan jiwa demi mempertahankan aqidahnya.[18]

Ada beberapa defenisi iman menurut para ahli, diantaranya :
·         Al-Imam Isma’il bin Muhammad At-Taimiy
الإيمان في الشرع عبارة عن جميع الطاعات الباطنة والظاهرة
“Iman dalam pengertian syar’iy adalah satu perkataan yang mencakup makna semua ketaatan lahir dan batin”.
·         Al-Imam An-Nawawiy
الإيمان في لسان الشرع هو التصديق بالقلب والعمل بالأركان
“Iman dalam istilah syar’iy adalah pembenaran dengan hati dan perbuatan dengan anggota tubuh”.
·         Al-Imaam Ibnul-Qayyim
حقيقة الإيمان مركبة من قول وعمل. والقول قسمان : قول القلب، وهو الاعتقاد، وقول اللسان، وهو التكلّم بكلمة الإسلام. والعمل قسمان : عمل القلب، وهو نيته وإخلاصه، وعمل الجوارح . فإذا زالت هذه الأربعة، زال الإيمان بكماله، وإذا زال تصديق القلب، لم تنفع بقية الأجزاء.
“Hakekat iman terdiri dari perkataan dan perbuatan. Perkataan ada dua : perkataan hati, yaitu i’tiqaad; dan perkataan lisan, yaitu perkataan tentang kalimat Islam (mengikrarkan syahadat). Perbuatan juga ada dua : perbuatan hati, yaitu niat dan keikhlasannya; dan perbuatan anggota badan. Apabila hilang keempat hal tersebut, akan hilang iman dengan kesempurnaannya. Dan apabila hilang pembenaran (tashdiiq) dalam hati, tidak akan bermanfaat tiga hal yang lainnya”.[19]
Rasulullah bersabda :
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا أَبُو حَيَّانَ التَّيْمِيُّ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَارِزًا يَوْمًا لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ: مَا الإِيمَانُ قَالَ الإِيمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَبِلِقَائِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْث.
Musaddad telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Isma’il ibn Ibrahim telah menceritakan kepada kami, Abu Hayyan al-Taimiy dari Abi Zur’ah telah menyampaikan kepada kami dari Abu Hurairah r.a berkata: Pada suatu hari ketika Nabi saw. sedang duduk bersama sahabat, tiba-tiba datang seorang laki-laki dan bertanya, “apakah iman itu?”. Jawab Nabi saw.: “iman adalah percaya Allah swt., para malaikat-Nya, dan pertemuannya dengan Allah, para Rasul-Nya dan percaya pada hari berbangkit dari kubur.[20]
            Berdasarkan kedua redaksi hadis tersebut selanjutnya oleh sebagian besar ulama dirumuskan bahwa pengertian iman secara keseluruhan meliputi :
·         Keyakinan tentang adanya Allah swt.
·         Keyakinan terhadap malaikat-malaikat Allah swt.
·         Keyakinan tentang kebenaran kitab-kitab yang diturunkan-Nya.
·         Keyakinan tentang kebenaran rasul-rasul utusan-Nya.
·         Keyakinan tentang kebenaran adanya hari kebangkitan dari alam kubur.
·         Keyakinan kepada qadha dan qadar Allah, yang baik maupun yang buruk.[21]

2.2.2  Landasan Hukum Keimanan (iman)
            Allah berfirman :
ءَامَنَ ٱلرَّسُولُ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِۦ وَٱلْمُؤْمِنُونَ ۚ كُلٌّ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَمَلَٰٓئِكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍۢ مِّن رُّسُلِهِۦ ۚ وَقَالُوا۟ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ ٱلْمَصِير ُ
“Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali".[22]
            Surah al-Mu’minun, ayat 1-6 :
قَدْ أَفْلَحَ ٱلْمُؤْمِنُونَ ۞  ٱلَّذِينَ هُمْ فِى صَلَاتِهِمْ خَٰشِعُونَ ۞  وَٱلَّذِينَ هُمْ عَنِ ٱللَّغْوِ مُعْرِضُونَ ۞ وَٱلَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَوٰةِ فَٰعِلُونَ۞ وَٱلَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَٰفِظُونَ ۞ إِلَّا عَلَىٰٓ أَزْوَٰجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ۞
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela”.


Dan dalam sabda Rasulullah Saw, yang berbunyi :
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ   وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ : صَدَقْتَ، فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ، قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ.(اخرجه البخاري)
“Dari Abu Khurairah dia berkata: Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada lututnya (Rasulullah Saw) seraya berkata: “ Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?”, maka bersabdalah Rasulullah Saw : “ Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu “, kemudian dia berkata: “ anda benar “. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang  membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “ Beritahukan aku tentang Iman “. Lalu beliau bersabda: “ Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk “, kemudian dia berkata: “ anda benar“.  Kemudian dia berkata lagi: “ Beritahukan aku tentang ihsan “. Lalu beliau bersabda: “ Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau” . (dikeluarkan oleh Imam bukhari).[23]





2.2.3  Macam-macam Iman
            Macam-macam Iman (rukun iman) dapat diartikan sebagai pilar keyakinan, yakni pilar-pilar keyakinan seorang muslim, dalam hal ini terdapat enam pilar keyakinan atau rukun iman dalam ajaran Islam,[24] yaitu:
·         Iman kepada Allah
·         Iman kepada Malaikat-malaikat Allah
·         Iman kepada Kitab-kitab Allah
·         Iman kepada Rasul-rasul Allah
·         Iman kepada hari Kiamat
·         Iman kepada Qada dan Qadar.

a.      Iman Kepada Allah
Iman adalah kepercayaan. Dalam hal ini intinya adalah percaya dan mengakui bahwa Allah Maha Esa, tiada tuhan selain-Nya. Dalam hal ini, Ibn Hajar menjelaskan :
الايمان باالله هو التصديق بوجوده وانه متصف بصفات الكمال منزه عن صفات النقص.
“Iman kepada Allah adalah membenarkan tentang wujud Allah, Dia bersifat kesempurnaan, Maha Suci Allah memiliki sifat-sifat kekurangan”.
            Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa iman kepada Allah, ialah membenarkan dengan yakin sepenuhnya tanpa ada sedikitpun keraguan akan adanya Allah dan ke-Esaan-Nya.[25]
Iman kepada Allah adalah keyakinan yang kuat bahwa Allah adalah Rabb dan Raja segala sesuatu, Dialah Yang Mencipta, Yang Memberi Rizki, Yang Menghidupkan, dan Yang Mematikan, hanya Dia yang berhak diibadahi. Kepasrahan, kerendahan diri, ketundukan, dan segala jenis ibadah tidak boleh diberikan kepada selain-Nya, Dia memiliki sifat-sifat kesempurnaan, keagungan, dan kemuliaan, serta Dia bersih dari segala cacat dan kekurangan.[26]
Bagi seorang Muslim wajib mempunyai keyakinan sebagai berikut :
·         Allah itu Esa pada Zat
·         Allah itu Esa pada Sifat
·         Allah itu Esa pada Wujud
·         Allah itu Esa pada menerima ibadah hamba-Nya
·         Allah itu Esa dalam menyelesaikan segala hajat dan keperluan makhluk.
·         Allah itu Esa dalam membatas-bataskan hukum.[27]
Allah juga bersifat mutlak, berbeda dengan eksistensi manusia bersifat berubah-ubah. Aliran Sunni menambahkan beberapa Sifat-sifat Allah yang merupakan suatu kemestian,atau kewajiban untuk diketahui. Misal sifat yang wajib, mustahil dan harus bagi Allah.[28]

b. Iman kepada Malaikat-malaikat
            termasuk bagian dari rukun iman tersebut adalah mempercayai adanya para malaikat. Seorang mukmin wajib mengakui dan mengimani adanya malaikat. Mereka adalah makhluk Allah yang senantiasa taat kepada perintah-Nya dan tidak pernah melakukan maksiat kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya yang berbunyi :
لَّا يَعْصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ ۞
“Malaikat-malaikat tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.[29]
Ibnu Hajar pernah berkata :
الايمان بالملائكة هو التصديق بوجودهم وانهم كما وصفهم الله تعالى (عبادالمكرمون) وقدم الملائكة على الكتب والرسل نظرا للترتيب الواقع, لانه سبحانه وتعالى ارسل الملك بالكتاب الى الرسول وليس فيه متمسك لمن فضل الملك على الرسول.
”Iman terhadap malaikat adalah membenarkan tentang wujud mereka, mereka memiliki sifat sebagaimana yang dijelaskan Allah, yaitu hamba-hamba yang dimuliakan. Didahulukan para malaikat terhadap kitab-kitab dan para rasul (didalam urutan iman) adalah berdasarkan urutan peristiwa. Sebab, Allah Swt mengutus para malaikat untuk membawa kitab kepada para rasul. Urutan tersebut bukanlah berdasarkan pendapat orang yang mengatakan bahwa malaikat lebih mulia dari rasulullah.[30]
            Adapun yang diperintahkan kepada mereka, mereka laksanakan. Mereka bertasbih siang dan malam tanpa berhenti. Mereka melaksanakan tugas masing-masing sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah, sebagaimana disebutkan dalam riwayat-riwayat mutawatir dari nash-nash Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Jadi, setiap gerakan di langit dan di bumi, berasal dari para malaikat yang ditugasi di sana, sebagai pelaksanaan perintah Allah Azza wa Jalla.[31] Diantara nya adalah bertugas menyampaikan wahyu kepada para Rasul, mengatur cuaca, mencabut nyawa, menulis amal perbuatan makhluk, menjaga surga, neraka, menyoal mayyit dalam qubur, memikul arasy, meniupkan ruh kedalam rahim, dan lain sebainya.[32]

c. Iman kepada Kitab-kitab
            Maksudnya adalah, meyakini dengan sebenarnya bahwa Allah memiliki kitab-kitab yang diturunkan-Nya kepada para nabi dan rasul-Nya, yang benar-benar merupakan Kalam (firman, ucapan)-Nya. Ia adalah cahaya dan petunjuk. Apa yang dikandungnya adalah benar. Tidak ada yang mengetahui jumlahnya selain Allah.[33] Ibnu hajar menegaskan :
الايمان بكتب الله التصديق بانها كلام الله وان ما تضمنته حق.
“Iman terhadap kitab-kitab Allah adalah membenarkan keberadaannya sebagai kalam Allah dan segala isinya adalah kebenaran”.
            Sungguh, Muhammad saw, adalah penutup para Nabi, risalahnya sebagai pamungkas risalah-risalah sebelumnya dan al-Qur’an yang dibawanya merupakan penyempurna dari kitab-kitab Allah yang lainnya.[34] Tidak ada wahyu yang turun sesudahnya, kedatangan al-Qur’an adalah kitab pembenar terhadap kitab-kitab sebelumnya, memelihara kandungan kitab-kitab tersebut. Allah berfirman dalam surah at-Taubah yat 111, yang berbunyi :
إِنَّ ٱللَّهَ ٱشْتَرَىٰ مِنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَٰلَهُم بِأَنَّ لَهُمُ ٱلْجَنَّةَ  يُقَٰتِلُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ  وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّۭا فِى ٱلتَّوْرَىٰةِ وَٱلْإِنجِيلِ وَٱلْقُرْءَانِ  وَمَنْ أَوْفَىٰ بِعَهْدِهِۦ مِنَ ٱللَّهِ  فَٱسْتَبْشِرُوا۟ بِبَيْعِكُمُ ٱلَّذِى بَايَعْتُم بِهِۦ  وَذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ.
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar”.
Dalam ayat lain, Allah menjelaskan :
إِنَّ هَٰذَا لَفِى ٱلصُّحُفِ ٱلْأُولَىٰ ۞  صُحُفِ إِبْرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ ۞
“Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (yaitu) Kitab-kitab Ibrahim dan Musa”.[35]

d. Iman kepada rasul-rasul
            Rukun iman yang ke-empat adalah percaya kepada para Rasul Allah. Iman kepada para rasul adalah membenarkan dengan sesungguhnya bahwa Allah mengutus kepada setiap ummah seorang Rasul untuk membimbing ummah tersebut.[36] Firman Allah dalam surah Ali Imran, ayat 84 yang berbunyi :
قُلْ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَمَآ أُنزِلَ عَلَيْنَا وَمَآ أُنزِلَ عَلَىٰٓ إِبْرَٰهِيمَ وَإِسْمَٰعِيلَ وَإِسْحَٰقَ وَيَعْقُوبَ وَٱلْأَسْبَاطِ وَمَآ أُوتِىَ مُوسَىٰ وَعِيسَىٰ وَٱلنَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍۢ مِّنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُۥ مُسْلِمُونَ ۞
Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, 'Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri."
            Tugas utama seorang rasul adalah mengajak manusia untuk mentauhidkan Allah dan menjauhi kesyirikan serta menjalankan syariat yang dibawahnya. Para Rasul dibekali oleh Allah dengan mukjizat untuk mengukuhkan kerasulannya. Mukjizat adalah sesuatu yang menyelisihi kebiasaan yang terjadi (peristiwa yang luar biasa). [37]
Di dalam kitab suci Al-Qur'an terdapat nama dua puluh lima Rasul Allah, yang satu persatunya disebutkan dengan nyata, yaitu : Adam, Idris, Nuh, Hud, Shalih, Ibrahim, Luth, Ismail, Ishak, Yaakub, Yusuf, Ayub, Zulkifli, Syu'aib, Musa, Harun, Daud, Sulaiman, Ilyas, Ilyasa, Yunus, Zakharia, Yahya, Isa, dan Rasulullah Muhammad Saw.[38]
Wujud keimanan kepada Rasulullah adalah melaksanakan segala Sunnahnya dan menjauhi segala bid’ah (sesuatu yang dibut-buat tanpa dalil) atas ajarannya. Sunnah adalah setiap perkataan, perbuatan, dan pengakuan Nabi saw. Kedudukan Sunnah terhadap al-Qur’an adalah sebagai penjelas, perinci, dan penetap syari’at yang tidak dikemukakan secara jelas dalam al-Qur’an.

e. Iman kepada Hari Qiyamah
            Rukun iman yang ke-lima adalah beriman kepada Hari Qiamat, yaitu menyakini sepenuh hati tanpa ada keraguan sedikitpun bahwa hari qiyamat akan terjadi. Minculnya hari qiyamat merupakan waktu berakhirnya dunia ini, dan akan dimulainya dunia baru yaitu akhirat.[39] Iman kepada hari qiyamat akan menimbulkan  keyakinan yang kuat tentang adanya negeri akhirat. Di negeri itu Allah akan membalas kebaikan orang-orang yang berbuat baik dan kejahatan orang-orang yang berbuat jahat. Allah mengampuni dosa apapun selain syirik, jika Dia menghendaki. Pengertian alba’ts (kebangkitan) menurut syar’i adalah dipulihkannya badan dan dimasukkannya kembali nyawa ke dalamnya, sehingga manusia keluar dari kubur seperti belalang-belalang yang bertebaran dalam keadaan hidup dan bersegera mendatangi penyeru. Kita memohon ampunan dan kesejahteraan kepada Allah, baik di dunia maupun di akhirat.[40]
            Di dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang membahas tentang gambaran hari qiyamat, antara lain :
إِذَا وَقَعَتِ ٱلْوَاقِعَةُ ۞ لَيْسَ لِوَقْعَتِهَا كَاذِبَةٌ ۞ خَافِضَةٌۭ رَّافِعَةٌ ۞  إِذَا رُجَّتِ ٱلْأَرْضُ رَجًّۭا ۞  وَبُسَّتِ ٱلْجِبَالُ بَسًّۭا ۞  فَكَانَتْ هَبَآءًۭ مُّنۢبَثًّۭا ۞
“Apabila terjadi hari kiamat, terjadinya kiamat itu tidak dapat didustakan (disangkal), (Kejadian itu) merendahkan (satu golongan) dan meninggikan (golongan yang lain), apabila bumi digoncangkan sedahsyat-dahsyatnya, dan gunung-gunung dihancur luluhkan sehancur-hancurnya, maka jadilah dia debu yang beterbangan”.
            Pada hakikatnya, tidak ada yang mengetahui secara persis kapan terjadinya Hari Qiyamat kecuali Allah Swt.  Rasulullah hanya memberikan gambaran tentang tanda-tanda akan terjadinya hari qiyamat. Seperti keluarnya Yajuz dan Majuz, keluarnya Dajjal, lahirnya Imam Mahdi, dan Turunnya Nai Isa as. [41]Wujud iman kepada Hari Qiyamat dapat dilihat dari kesiapannya untuk membekali diri menyongsong hari tersebut. Sewaktu ia benar-benar beriman dengan hari yang dahsat itu maka ia akan melaksanakan perintah Allah swt, dan Rasul saw, serta menjauhi segala larangannya.



f. Iman kepada Qadha dan Qadar
            Seorang Muslim harus meyakini qadha dan qadar yang datang-Nya dari Allah, baik dan buruk datangnya dari Allah.[42] Iman kepada qadha dan qadar adalah meyakini secara sungguh-sungguh bahwa segala kebaikan dan keburukan itu terjadi karena takdir Allah. Allah ta’ala telah mengetahui kadar dan waktu terjadinya segala sesuatu sejak zaman azali, sebelum menciptakan dan mengadakannya dengan kekuasaan dan kehendak-Nya, sesuai dengan apa yang telah diketahui-Nya itu. Allah telah menulisnya pula di dalam Lauh Mahfuzh sebelum menciptakannya. Allah berfirman dalam surah al-Qamar, ayat 49 yang berbunyi :
إِنَّا كُلَّ شَىْءٍ خَلَقْنَٰهُ بِقَدَرٍۢ۞
”Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut qadar (ukuran).”
            Beriman kepada qadha dan qadar Allah akan menjadikan seseorang sadar bahwa ia tidak memiliki kemampuan apa pun dan tidak mengetahui sedikitpun tentang jalan kehidupannya. Oleh sebab itu, ia harus berikhtiar untuk terus menjalani hidup ini sesuai dengan perintah Allah.[43]

2.2.4 Hikmah orang yang beriman
Ada beberapa hikmah, pengaruh dan dampak keimanan seseorang muslim terhadap perilakunya sehari-hari.
·         Pengaruh Iman Kepada Allah
Iman kepada Allah serta iman kepada sifat-sifatnya akan mempengaruhi perilaku seorang muslim, sebab keyakinan yang ada dalam dirinya akan dibuktikan pada dampak perilakunya. Jika seseorang telah beriman bahwa Allah itu ada, Maha Melihat dan Maha Mendengar, maka dalam perilakunya akan senantiasa berhati-hati dan waspada, ia tidak akan merasa sendirian, kendati tidak ada seorang manusiapun di sekitarnya, sebab ia yakin bahwa Allah itu ada. Karena itu selama iman itu ada dalam dirinya, tidak mungkin ia dapat berbuat yang tidak sesuai dengan perintah Allah.
·         Pengaruh Iman Kepada Malaikat
Keyakinan terhadap adanya malaikat, bukan hanya sebatas mengetahui nama dan tugas-tugasnya, akan berpengaruh terhadap perilaku manusia. Jika kita yakin ada malaikat yang mencatat semua amal baik dan buruk kita, maka seorang muslim akan senantiasa berhati-hati dalam setiap perbuatannya karena ia akan menyadari bahwa semua perilakunya tersebut akan dicatat oleh malaikat.
·         Pengaruh Iman Kepada Kitab
Iman kepada kitab Allah bagi manusia dapat memberikan keyakinan yang kuat akan kebenaran jalan yang ditempuhnya, karena jalan yang harus ditempuh manusia telah diberitahukan Allah dalam kitab suci. Manusia tidak memiliki kemampuan untuk melihat masa depan yang akan ditempuhnya setelah kehidupan untuk melihat masa depan yang akan ditempuhnya setelah hidup berakhir, maka dengan pemberitahuan kitab suci manusia dapat mengatur hidupnya menyesuaikan dengan rencana Allah, sehingga manusia mempunyai masa depan yang jelas.
·         Pengaruh Iman Kepada Rasul
Iman kepada rasul merupakan kebutuhan manusia, karena dengan adanya rasul maka manusia dapat melihat contoh-contoh perilaku dan teladan terbaik yang sesuai dengan apa yang diharapkan Allah. Dengan perilaku yang dicontohkan Rasulullah, maka manusia akan mempunyai pegangan yang jelas dan lengkap mengenai berbagai tuntutan kehidupan baik yang berhubungan dengan Allah, hubungan antar manusia maupun lainnya.
·         Pengaruh Iman Kepada Hari Akhir
Beriman kepada hari akhir atau hari kiamat adalah keyakinan akan datangnya hari akhir sebagai ujung perjalanan umat manusia. Keimanan tersebut akan melahirkan  sikap optimis, yakni bahwa tidak akan ada yang sia-sia dalam kehidupan manusia, karena semuanya akan dipertanggungjawabkan amal ibadah dan balasannya.
·         Pengaruh Iman Kepada Takdir
Beriman kepada takdir akan melahirkan sikap optimis, tidak mudah kecewa dan putus asa, sebab yang menimpanya ia yakini sebagai ketentuan yang telah Allah takdirkan kepadanya dan Allah akan memberikan yang terbaik kepada seorang muslim, sesuai dengan sifatnya yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Oleh karena itu, jika kita tertimpa musibah maka ia akan bersabar, sebab buruk menurut kita belum tentu buruk menurut Allah, sebaliknya baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah. Karena itu dalam kaitan dengan takdir ini segogjayanya lahir sikap sabar dan tawakal yang dibuktikan dengan terus menerus berusaha sesuai dengan kemampuan untuk mencari takdir yang terbaik dari Allah.



BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
            Dari penjelasan diatas penyusun dapat simpulkan sebagai berikut :
ü  aqidah adalah perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa menjadi tenteram karenanya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang teguh dan kokoh, yang tidka tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan.
ü  Akidah mempunyai beberapa tingkatan, yaitu ; taklid, ilmu yakin, ‘ainul yakin, dan haqqul yakin.
ü  Pengertian dasar dari istilah iman ialah memberi ketenangan hati atau  pembenaran hati. Keimanan dipandang sempurna, apabila ada pengakuan dengan lidah, pembenaran dengan hati secara yakin dan tidak bercampur keraguan, dan dilaksanakan dalam perbuatan sehari-hari.
ü  Keimanan terbagi menjadi enam (6), yaitu; iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, Rasul-rasul, hari Qiyamat, dan Qadha dan Qadar.


3.2  Kritik & Saran
            Keimanan seseorang akan berpengaruh terhadap perilakunya sehari-hari, oleha karena itu penulis menyarankan agar kita senantiasa meningkatkan iman dan taqwa kita kepada Allah SWT agar hidup kita senantiasa berhasil menurut pandangan Allah SWT. Juga keyakinan kita terhadap malaikat, kitab, rasul, hari akhir dan takdir senantiasa harus ditingkat demi meningkatkan amal ibadah kita.
Dari makalah kami yang singkat ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita semua umumnya kami pribadi. Yang baik datangnya dari Allah, dan yang buruk datangnya dari kami. Dan kami sedar bahwa makalah kami ini jauh dari kata sempurna, masih banyak kesalahan dari berbagai sisi, jadi kami harafkan saran dan kritik nya yang bersifat membangun, untuk perbaikan makalah-makalah selanjutnya.




DAFTAR PUSTAKA

1.      Al-Qur’anul Karim
2.      Ohan Sudjana, Fenomena Aqidah Islamiyah Berdasarkan Quran dan Sunnah, Jakarta : Media Dakwah , 1994.
3.      Nasruddin Razak, Dienul Islam, Penafsiran kembali islam sebagai  suatu Aqidah & way of line, Bandung : PT AlMa’arif, 1989.
4.      Fazhur Ranchman, Islam, Jakarta : Bumi Aksara, cetakan ke-2, 1992.
5.      Hadis Purba, Tauhid Ilmu, Syahadat, dan amal, Medan : IAIN Press, 2011.
6.      Rachmat Syafe’I, al-Hadis aqidah, akhlak, social,dan hukum, Bandung : Pustaka Setia, 2000.
7.      Abdul hamid Ritonga, 16 tema pokok hadis seputar Islam dan tata kehidupan, Bandung : Citapustaka Media perintis, 2010.
Dari situs :


[1] Ohan Sudjana, Fenomena Aqidah Islamiyah Berdasarkan Quran dan Sunnah,  Jakarta : Media Dakwah , 1994,  hal : 8
[2] Nasruddin Razak, Dienul Islam, Penafsiran kembali islam sebagai  suatu Aqidah & way of line, Bandung : PT AlMa’arif, 1989, hal : 30
[3] Fazhur Ranchman, Islam, Jakarta : Bumi Aksara, cetakan ke-2, 1992, hal : 49
[4] Dikutip dari : http://blog.umy.ac.id/jogjabelitung/2011/12/01/tauhid/
[5] Ohan Sudjana, Fenomena Aqidah Islamiyah Berdasarkan Quran dan Sunnah,  Jakarta : Media Dakwah , 1994,  hal : 10-13, lihat juga di situs : http://blog.umy.ac.id/jogjabelitung/2011/12/01/tauhid/
[6] Hadis Purba, Tauhid Ilmu, Syahadat, dan amal, Medan : IAIN Press, 2011, hal : 11
[7] Dikutip dari : http://blog.umy.ac.id/jogjabelitung/2011/12/01/tauhid/
[8] Al-Qur’anul Karim
[9] Rachmat Syafe’I, al-Hadis aqidah, akhlak, social, dan hukum, Bandung : Pustaka Setia, 2000, hal : 15
[10] Al-Qur’anul Karim, surah al-Isra’ ayat 36
[11] Ohan Sudjana, Fenomena Aqidah Islamiyah Berdasarkan Quran dan Sunnah,  Jakarta : Media Dakwah , 1994,  hal : 17
[12] Al-Qur’anul karim, surah at-Takatsur, ayat 1-5
[13] Fazhur Ranchman, Islam, Jakarta : Bumi Aksara, cetakan ke-2, 1992, hal : 53
[14] Fazhur Ranchman, Islam, Jakarta : Bumi Aksara, cetakan ke-2,1992, hal : 53,lihat juga Ohan Sudjana, hal : 18
[15] Al-Qur’anul Karim, surah al-Waqi’ah ayat 88-89
[16] Nasruddin Razak, Dienul Islam, Penafsiran kembali islam sebagai  suatu Aqidah & way of line, Bandung : PT AlMa’arif, 1989, hal : 119
[17] Rachmat Syafe’I, al-Hadis aqidah, akhlak, social, dan hukum, Bandung : Pustaka Setia, 2000, hal : 17
[18] Abdul hamid Ritonga, 16 tema pokok hadis seputar Islam dan tata kehidupan, Bandung : Citapustaka Media perintis, 2010, hal : 6
[19] Dikutip dari : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/02/definisi-iman.html
[20] Abdul hamid Ritonga, 16 tema pokok hadis seputar Islam dan tata kehidupan, Bandung : Citapustaka Media perintis, 2010, hal : 1
[21] Abdul hamid Ritonga, 16 tema pokok hadis seputar Islam dan tata kehidupan, Bandung : Citapustaka Media perintis, 2010, hal : 6
[22] Al-Qur’anul Karim, surah al-Baqarah ayat 285
[23] Rachmat Syafe’I, al-Hadis aqidah, akhlak, social, dan hukum, Bandung : Pustaka Setia, 2000, hal : 17
[24] Fazhur Ranchman, Islam, Jakarta : Bumi Aksara, cetakan ke-2, 1992, hal : 60
[25] Abdul hamid Ritonga, 16 tema pokok hadis seputar Islam dan tata kehidupan, Bandung : Citapustaka Media perintis, 2010, hal : 6
[26] Nasruddin Razak, Dienul Islam, Penafsiran kembali islam sebagai  suatu Aqidah & way of line, Bandung : PT AlMa’arif, 1989, hal : 120
[27] Abdul hamid Ritonga, 16 tema pokok hadis seputar Islam dan tata kehidupan, Bandung : Citapustaka Media perintis, 2010, hal : 7
[28] Fazhur Ranchman, Islam, Jakarta : Bumi Aksara, cetakan ke-2, 1992, hal : 63
[29] Al-Qur’anul Karim, surah at-Tahrim ayat 6
[30] Abdul hamid Ritonga, hal : 8
[31] Nasruddin Razak, Dienul Islam, Penafsiran kembali islam sebagai  suatu Aqidah & way of line, Bandung : PT AlMa’arif, 1989, hal : 122
[32] Abdul hamid Ritonga, 16 tema pokok hadis seputar Islam dan tata kehidupan, Bandung : Citapustaka Media perintis, 2010, hal : 9
[33] Ohan Sudjana, Fenomena Aqidah Islamiyah Berdasarkan Quran dan Sunnah,  Jakarta : Media Dakwah , 1994,  hal : 30
[34] Abdul hamid Ritonga, hal : 9
[35] Al-Qur’anul Karim, surah al-A’la ayat 18-19
[36] Abdul hamid Ritonga, 16 tema pokok hadis seputar Islam dan tata kehidupan, Bandung : Citapustaka Media perintis, 2010, hal : 15
[37] Ibid, hal : 16-17
[38] Ohan Sudjana, Fenomena Aqidah Islamiyah Berdasarkan Quran dan Sunnah,  Jakarta : Media Dakwah , 1994,  hal : 35
[39] Abdul hamid Ritonga, 16 tema pokok hadis seputar Islam dan tata kehidupan, Bandung : Citapustaka Media perintis, 2010, hal : 18
[40] Nasruddin Razak, Dienul Islam, Penafsiran kembali islam sebagai  suatu Aqidah & way of line, Bandung : PT AlMa’arif, 1989, hal : 125
[41] Fazhur Ranchman, Islam, Jakarta : Bumi Aksara, cetakan ke-2, 1992, hal : 68
[42] Abdul hamid Ritonga, 16 tema pokok hadis seputar Islam dan tata kehidupan, Bandung : Citapustaka Media perintis, 2010, hal : 20
[43] Ibid, hal : 22

2 komentar:

  1. assalamu'alaikum. mohon izin kopas yaa :) syukran.

    BalasHapus
  2. wa'alikum salam warahmah...
    siiip... silahkan, semoga bermanfaat..
    Laaba'sa..

    BalasHapus