Sabtu, 09 November 2013

sejarah Peradaban islam tentang Khalifah Ali bin Abi Thalib


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
            Perkembangan Islam pada zaman Nabi Muhammad SAW dan Para Sahabat adalah merupakan Agam Islam pada zaman keemasan, hal itu bisa terlihat bagaimana kemurnian Islam itu sendiri dengan adanya pelaku dan faktor utamanya yaitu Rasulullah SAW. Kemudian pada zaman selanjutnya yaitu zaman para sahabat, terkhusus pada zaman Khalifah empat atau yang lebih terkenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidin, Islam berkembang dengan pesat dimana hampir 2/3 bumi yang kita huni ini hampir dipegang dan dikendalikan oleh Islam. Hal itu tentunya tidak terlepas dari para pejuang yang sangat gigih dalam mempertahankan dan juga dalam menyebarkan islam sebagai agama Tauhid yang diridhoi.
            Perkembangan islam pada zaman inilah merupakan titik tolak perubahan peradaban kearah yang lebih maju. Maka tidak heran para sejarawan mencatat bahwa islam pada zaman Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin merupakan islam yang luar biasa pengaruhnya. Namun yang terkadang menjadi pertanyaan adalah kenapa pada zaman sekarang ini seolah kita melupakannya. Sekaitan dengan itu perlu kiranya kita melihat kembali dan mengkaji kembali bagaimana sejarah islam yang sebenarnya.
            Pertama kali yang dirasakan kaum muslimin ketika mengkaji sejarah tentang Ali bin Abi Thalib adalah kerumitan-kerumitan yang menjadi tanda tanya besar bagi kami. Pada waktu itu, terjadi berbagai konflik atau tepatnya fitnah di kalangan para sahabat, seperti Perang Jamal (terjadi antara golongan Ali dan Aisyah) dan perang Shifin (terjadi antara golongan Ali dan Muawiyah). Generasi sahabat yang disebut di dalam al-Qur’an sebagai Khairu Ummah mengalami peristiwa yang benar-benar tidak terduga, bahkan oleh para sahabat di masa itu sekali pun. Hal itu menimbulkan banyak pertanyaan yang harus diselesaikan oleh kaum muslim, terutama para pengkaji sejarah Islam.
            Melihat permasahan yang sedemikian rumit ini, bahkan sering juga muncul fitnah yang mencitrakan buruk bagi generasi sahabat di masa itu, maka saya sebagai mahasiswa Islam selain dalam rangka menyelesaikan tugas MID semester  Sejarah Peradaban Islam, kami juga merasa ada kewajiban untuk ikut serta meluruskan opini-opini miring tentang Ali bin Abi Thalib. Terutama yang disajikan oleh kalangan Orientalis dan para pengikutnya yang tidak jujur dan obyektif dalam mengkaji Sejarah Islam. Konflik-konflik yang terjadi di masa itu menjadi bulan-bulanan untuk memberikan citra buruk terhadap Islam.
            Sebenarnya, pembahasan masa khalifah Ali ra sudah banyak dilakukan oleh para mu’arrikhin. Ada yang menganalisa masa khalifah Ali dari segi politiknya, seperti yang dilakukan oleh dosen STID Mohammad Natsir, Jeje Zainudin Abu Himam, MA, dalam buku yang berjudul “Akar Konflik Umat Islam, Sebuah Pelajaran dari Konflik Politik Pada Zaman Sahabat”. Meskipun dalam judul bukunya terdapat kata “Zaman Sahabat”, namun fokusnya adalah masa khalifah Ali ra. Buku itu secara spesifik membahas tentang konflik politik yang terjadi pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib.[1] Buku itu cukup representatif untuk meng-counter buku-buku sejarah Islam yang ada di Indonesia yang tidak adil dalam memaparkan sejarah tentang Ali ra. Ada juga buku yang membahas Ali ra, yang menurut kami tidak proposional/subyektif–  sebagai sosok yang telah dicederai oleh para ulama Sunni, seperti yang dilakukan oleh George Jordac. Jordac dalam bukunya tersebut menyebut bahwa Abdullah bin Saba yang sering disebut Sunni sebagai tokoh fiktif yang sengaja dibuat-buat.[2]
            Tentunya, membahas khalifah Ali dalam sebuah makalah yang sederhana tidaklah akan cukup dan memuaskan. Namun, belajar dari uraian buku-buku di atas, kami berusaha untuk memberikan beberapa analisa dengan menggunakan buku-buku itu, untuk kemudian menguatkan atau bahkan mengkritisi, bila memang terdapat pernyataan-pernyataan yang tidak sesuai dengan data-data sejarah yang ada. Kami akan mulai pembahasan ini dengan menganalisa situasi di akhir pemerintahan Utsman bin Affan. Kemudian akan kami bahas tentang pemerintahan Ali dan berbagai peristiwa penting yang terjadi. Adapun masalah futuhat, di sini kami akan membahasnya secara sepintas. Di makalah ini juga, kami tidak akan menhadirkan biografi Ali, sebab yang jadi fokusan kami adalah masa kekhalifahannya. Ini sengaja kami lakukan agar tidak memperlebar pembahasan.
B.     Rumusan Masalah
            Agar tidak terjadi kesimpang siuran dalam penyusunan makalah ini, maka saya merumuskan masalah sebagai berikut:
BAB II
PEMBAHASAN
KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB
A.    Silsilah dan Kepribadian Ali bin Abi Tholib
            Ali bin Abi Tholib lahir pada tahun 603 M disamping ka’bah kota Mekkah, lebih muda 32 tahun dari Nabi Muhammad SAW. Ali termasuk keturunan Bani Hasyim. Abu Tholib memberi nama Ali dengan Haidarah, mengenang kakeknya yang bernama Asad. Haidarah dan Asad dalam Bahasa Arab artinya singa. Sedang Nabi Muhammad memberi nama “ALI” yang menakutkan musuh-musuhnya. Pada usia 6 tahun, Ali bin Abi Tholib diasuh oleh Nabi Muhammad sebagaimana Nabi diasuh oleh ayahnya, Abu Tholib. Karena mendapat didikan dan asuhan langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka Ali tumbuh sebagai anak yang berbudi luhur, cerdik, pemberani, pintar dalam berbicara dan berpengetahuan luas. Gelar-gelar yang disandang oleh Ali antara lain:
»        Babul Ilmu gelar dari Rasulullah yang artinya karena beliau termasuk orang yang banyak meriwayatkan hadist.
»        Zulfikar karena pedangnya yang bermata, juga disebut “Asadullah” (singa Allah) dua dan setiap Rasulullah memimpin peperangan Ali selalu ada dibarisan depan dan memperoleh kemenangan.
»        Karramallahu Wajhahu  gelar dari Rasulullah yang artinya wajahnya dimuliakan oleh Allah, karena sejak kecil beliau dikenal kesalehannya dan kebersihan jiwanya.
»        Imamul masakin  (pemimpin orang-orang miskin), karena beliau selalu belas kasih kepada orang-orang miskin, beliau selalu mendahulukan kepentingan orang-orang fakir, miskin dan yatim. Meskipun ia sendiri sangat membutuhkan.[3]
            Ali termasuk salah satu seorang dari tiga tokoh yang didalamnya bercermin kepribadian Rasulullah SAW. Mereka itu adalah Abu Bakar As- Shiddiq, Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Tholib. Mereka bertiga laksana mutiara memancarkan cahayanya, itulah sebabnya Ali dijuluki “Almurtadha” artinya orang yang diridhai Allah dan Rasulnya.
B.     Proses pemilihan Khalifah Ali bin Abi Thalib
            Sudah dimaklumi bahwa satu peristiwa pasti berkaitan dengan peristiwa yang lain, hal itu biasa disebut dengan kausalitas. Begitu juga dengan peristiwa yang menyangkut dengan pemerintahan Ali bin Abi Thalib, besar hubungannya dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada pemerintahan Utsman bin Affan, terutama pada masa-masa akhir pemerintahannya. Utsman bin Affan dibunuh secara tragis oleh salah seorang yang disebut dalam sejarah-sejarah sebagai rombongan penentang pemerintahan kekhalifahan Utsman bin Affan.
            Pembunuhan kepada sang khalifah terjadi akibat berbagai insiden yang mendera pemerintahan Utsman dan rakyatnya. Peristiwa itu diawali dengan pembangkangan yang dilakukan penduduk Kuffah, Mesir dan Basharah terhadap kekhalifahan Utsman bin Affan. Mereka memprotes kebijakan Utsman yang dinilai terlalu mementingkan sukunya. Oleh karena itu, mereka meminta kepada khlalifah Utsman untuk memecat para pejabat pemerintahan yang mereka tidak sukai. Diantaranya adalah Al-Walid bin Uqbah (Gubernur Kuffah), Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah (Gubernur Mesir). Mereka bergabung menjadi satu koalisi pergi ke Madinah untuk memprotes dan menentang terhadap kebijakan-kebijakan Utsman.[4]
            Khalifah Utsman akhirnya bersedia untuk mengabulkan permintaan mereka dengan mengganti Al-Walid bin Uqbah dengan Sa’id bin Ash, dan Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah dengan Muhammad bin Abu bakar. Keputusan itu untuk sementara memberi rasa lega kepada rombongan koalisi penentang dan memberi optimisme kembalinya perdamaian. Karena itu pula mereka bersedia membubarkan diri untuk kemudian pulang ke negeri asal mereka.
            Beberapa saat kemudian, sejarah berbicara lain, rombongan itu kembali lagi ke Madinah dengan membawa kemarahan meluap-luap. Mereka membawa sepucuk surat rahasia yang dirampas dari seorang budak  Utsman yang sedang berlari kencang menuju Mesir. Isi surat yang berstempel Khalifah Utsman tersebut memerintahkan kepada Gubernur Mesir agar menangkap dan membunuh para penentang khalifah. Anehnya Khalifah Utsman pun berani bersumpah bahwa ia tidak pernah menulis surat semacam itu. Bahkan ia meminta dibawakan bukti dan dua orang saksi untuk mengklarifikasi keberadaan surat itu. Setelah tiga hari tiga malam, ultimatum para penentang ini tidak digubris oleh Utsman, beberapa orang berhasil menerobos barisan penjaga gedung Utsman dari atap rumah bagian samping lalu membunuh Khalifah Utsman yang sedang membaca al-Qur’an.[5]
            Peristiwa terbunuhnya Utsman di tangan rombongan penentang itu menyisakan banyak teka-teki sejarah  yang tak kunjung memuaskan. Terutama mengenai misteri surat rahasia itu yang menjadi tanda tanya besar bagi para pengkaji sejarah Islam. Siapakah sebenarnya yang paling bertanggung jawab atas keberadaan surat itu. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya berbagai konflik pada masa kekhalifahan selanjutnya. Setelah Utsman wafat pada hari selasa 18 zulhijah 35 H (17 Juni 656 M), masyarakat beramai-ramai membai’at Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah melalui sebuah majelis. Terhadap baiat itu Ali berkata :
“Aku ingin sidang pemilihan khalifah didasarkan atas kebenaran, tidak mengikuti emosional, tidak mengkualitaskan individu tertentu dan tidak mencela umat lain”.
            Walau pada awalnya Ali bin Abi Thalib menolak, akan tetapi karena diminta harus, akhirnya Ali menerima kepercayaan tersebut dan berkata :
”Kalau begitu baiat ini harus berlangsung di mesjid, sebab baiat kepadaku boleh secara sembunyi dan tidak boleh berlangsung kecuali atas dasa kerelaan kaum muslimin”.[6]
            Pembai’atan Ali berjalan dengan mulus dan mayoritas penduduk Madinah menerima kekhalifah Ali dengan antusias. Setelah dilantik menjadi khalifah, Ali bin Abi Thalib menyampaikan pidato politik untuk pertama kalinya. Pidatonya tersebut secara umum menggambarkan garis besar dari visi politiknya.
            Menurut Jeje Zainudin, sedikitnya ada lima visi politik Ali dari pidatonya itu. Yaitu :
Ø  Sumber hukum dan dasar keputusan politik yang akan dilaksanakan oleh Ali adalah kitab suci al-Quran. Ini tidak berarti bahwa Ali akan mengabaikan al-Sunnah, sebab al-Quran hanya dapat dilaksanakan secara tepat jika ia dibimbing oleh Sunnah Nabi saw, dan Ali tentulah orang yang paling memahami persoalan ini.
Ø  Mewujudkan nilai-nilai kebaikan ideal al-Quran dan menolak segala keburukan dalam masyarakat.
Ø  Tulus ikhlas dalam memimpin dan mengutamakan integrasi kaum muslimin.
Ø  Melindungi kehormatan jiwa dan harta benda rakyat dari segala gangguan kezaliman lidah dan tangan. Kelima, membangun kehidupan masyarakat yang bertanggungjawab terhadap bangsa dan Negara dengan landasan ketaatan kepada Allah swt.[7]
            Menarik untuk dibahas, meskipun pembai’atan Ali berjalan mulus dan lancar, akan tetapi ada beberapa kelompok dari kalangan kaum muslimin saat itu dalam menyikapi kekhalifan Ali bin Abi Thalib. Diantaranya :
Ø  Kelompok yang melarikan diri dari Madinah menuju Syam segera setelah terbunuhnya Utsman dan menghindari ikut campur dalam pembai’atan pengangkatan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Mereka adalah anak cucu Bani Umayyah dan para pendukung setianya. Di antaranya adalah tokoh dari Bani Umayah :
·         Marwan bin al-Hakam
·         al-Walid bin Uqbah
            Sementara dari tokoh-tokoh pendukung setianya yang ikut melarikan diri ke Syam adalah :
·         Qudamah bin Madh’un
·         Abdullah bin Sallam
·         Mughirah bin Syu’bah
·         Nu’man bin Basyir.
Ø  Kelompok yang menangguhkan pembai’atan terahadap Ali dan menyatakan menunggu perkembangan situasi. Diantaranya adalah :
·         Sa’ad bin Abi Waqqas
·         Abdullah bin Tsabit
·         Muhammad bin Salamah
·         Usamah bin Zaid
·         Salamah bin Salamah bin Raqis.
Ø  Kelompok yang sengaja tidak mau memberikan bai’at kesetiannya kepada Ali bin Abi Thalib meskipun mereka tetap berada di Madinah saat pembaiatan Ali. Diantaranya adalah :
·         Hasan bin Tsabit
·         Ka’ab bin Malik
·         Zaid bin Tsabit
·         Rafi’ Khadij
·         Abu Sa’id al-Khudry
·         Muhammad bin Maslamah
·         Maslamah bin Mukhallad
Mereka disebut-sebut sebagai kelompok yang sangat loyal terhadap Utsman bin Affan.
Ø  Kelompok sahabat penduduk Madinah yang menunaikan ibadah haji pada tahun itu dan belum pulang saat terjadi pembai’atan. Setelah terjadi pembai’atan, sebagian kecil mereka tidak pulang ke Madinah melainkan menunggu perkembangan situasi dari Mekkah. Termasuk di antara mereka adalah Aisyah radiyallahu ‘anhaa.[8]
            Sikap kaum muslimin di atas, berpengaruh besar terhadap pemerintahan khalifah Ali di kemudian hari. Gambaran situasi awal pembaiatan Ali seperti diungkapkan diatas cukup menjadi isyarat tentang rumitnya situasi politik menjelang dan pasca pembunuhan Utsman. Hal ini menjadi preseden tidak baik bagi situasi politik yang dihadapi Ali. Bagaimanapun, Madinah adalah ibukota Negara dan pusat kewibawaan agama semenjak Nabi Muhammad Saw hingga tiga Khalifah sesudahnya. Keputusan politik dan keagamaan yang disepakati penduduk Madinah menjadi acuan bagi seluruh wilayah Islam yang ada di luarnya. Untuk saat itu, dapatlah dikatakan Madinah menjadi barometer keutuhan umat. Sebab, disinilah berkumpulnya  para sahabat Nabi yang sangat dihormati oleh generasi sesudahnya. Jika penduduk Madinah saja sudah tidak utuh dan bilat dalam suatu keputusan politik public, maka penduduk di luar Madinah akan lebih sulit lagi untuk bersatu menerimanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar