Sabtu, 09 November 2013

hubungan filsafat dengan agama


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Menurut catatan sejarah, filsafat bermula di Yunani. Bangsa Yunani mulai mempergunakan akal ketika mempertanyakan mitos yang berkembang di masyarakat sekitar abad VI SM. Perkembangan pemikiran ini menandai usaha manusia untuk mempergunakan akal dalam memahami segala sesuatu. Pemikiran Yunani sebagai embrio filsafat Barat berkembang menjadi titik tolak pemikiran Barat abad pertengahan, modern dan masa berikutnya.
            Disamping menempatkan filsafat sebagai sumber pengetahuan, Barat juga menjadikan agama sebagai pedoman hidup, meskipun memang harus diakui bahwa hubungan filsafat dan agama mengalami pasang surut. Pada abad pertengahan misalnya dunia Barat didominasi oleh dogmatisme gereja (agama), tetapi abad modern seakan terjadi pembalasan terhadap agama. Peran agama di masa modern digantikan ilmu-ilmu positif. Akibatnya, Barat mengalami kekeringan spiritualisme. Namun selanjutnya, Barat kembali melirik kepada peranan agama agar kehidupan mereka kembali memiliki makna.
            Filsafat dan agama secara umum merupakan pengetahuan. Jika agama merupakan pengetahuan yang berasal dari wakyu, filsafat sendiri adalah hasil dari pemikiran manusia.[1] Dasar-dasar agama merupakan pokok-pokok kepercayaan ataupun konsep tentang ketuhanan, alam, manusia, baik buruk, hidup dan mati, dunia dan akhirat. Dan lain-lain. Sedangkan filsafat adalah sistem kebenaran tentang agama sebagai hasil berfikir secara radikal, sistematis dan universal.[2]
            Jika agama membincangkan tentang eksistensi-eksistensi di alam dan tujuan akhir perjalanan segala maujud, lantas bagaimana mungkin agama bertentangan dengan filsafat. Bahkan agama dapat menyodorkan asumsi-asumsi penting sebagai subyek penelitian dan pengkajian filsafat. Pertimbangan-pertimbangan filsafat berkaitan dengan keyakinan-keyakinan dan tradisi-tradisi agama hanya akan sesuai dan sejalan apabila seorang penganut agama senantiasa menuntut dirinya untuk berusaha memahami dan menghayati secara rasional seluruh ajaran, doktrin, keimanan dan kepercayaan agamanya. Dengan demikian, filsafat tidak lagi dipandang sebagai musuh agama dan salah satu faktor perusak keimanan, bahkan sebagai alat dan perantara yang bermanfaat untuk meluaskan pengetahuan dan makrifat tentang makna terdalam dan rahasia-rahasia doktrin suci agama, dengan ini niscaya menambah kualitas pengahayatan dan apresiasi kita terhadap kebenaran ajaran agama.
            Walaupun hasil-hasil penelitian rasional filsafat tidak bertolak belakang dengan agama, tapi selayaknya sebagian penganut agama justru bersikap proaktif dan melakukan berbagai pengkajian dalam bidang filsafat sehingga landasan keimanan dan keyakinannya semakin kuat dan terus menyempurna, bahkan karena motivasi keimananlah mendorongnya melakukan observasi dan pembahasan filosofis yang mendalam terhadap ajaran-ajaran agama itu sendiri dengan tujuan menyingkap rahasia dan hakikatnya yang terdalam.
            Filsafat dan agama mempunyai hubungan yang sangat reflektif dengan manusia, dikarenakan mempunyai keduanya mempunyai keterkaitan, keduanya tidak bisa berkembang apabila tidak ada alat dan tenaga utama yang berada dalam diri manusia. Tiga alat dan tenaga utama manusia adalah akal pikiran, rasa, dan keyakinan.[3]
            Dengan satu ungkapan dapat dikatakan bahwa filosof agama mestilah dari penganut dan penghayat agama itu sendiri. Lebih jauh, filosof-filosof hakiki adalah pencinta-pencinta agama yang hakiki. Sebenarnya yang mesti menjadi subyek pembahasan di sini adalah agama mana dan aliran filsafat yang bagaimana memiliki hubungan keharmonisan satu sama lain. Adalah sangat mungkin terdapat beberapa ajaran agama, karena ketidaksempurnaannya, bertolak belakang dengan kaidah-kaidah filsafat, begitu pula sebaliknya, sebagian konsep-konsep filsafat yang tidak sempurna berbenturan dengan ajaran agama yang sempurna.[4]
            Karena asumsinya adalah agama yang sempurna bersumber dari hakikat keberadaan dan mengantarkan manusia kepada hakikat itu, sementara filsafat yang berangkat dari rasionalitas juga menempatkan hakikat keberadaan itu sebagai subyek pengkajiaannya, bahkan keduanya merupakan bagian dari substansi keberadaan itu sendiri. Keduanya merupakan karunia dari Tuhan yang tak dapat dipisah-pisahkan. Filsafat membutuhkan agama (wahyu) karena ada masalah-masalah yang berkaitan dengan dengan alam gaib yang tak bisa dijangkau oleh akal filsafat. Sementara agama juga memerlukan filsafat untuk memahami ajaran agama. Berdasarkan perspektif ini, adalah tidak logis apabila ajaran agama dan filsafat saling bertolak belakang.
            Dalam sebuah ungkapan  ada kalimat yang sangat menarik, yang, “Saya beriman supaya bisa mengetahui. Apabila kalimat ini kita balik akan menjadi: jika saya tidak beriman, maka saya tak dapat mengetahui. Tak dapat disangkal bahwa dapat diyakini  bahwa keimanan agama adalah sumber motivasi dan pemicu yang kuat untuk mendorong seseorang melakukan penelitian dan pengkajian yang mendalam terhadap ajaran-ajaran doktrinal agama, lebih jauh, keimanan sebagai sumber inspirasi lahirnya berbagai ilmu dan pengetahuan. Kesempurnaan iman dan kedalaman pengahayatan keagamaan seseorang adalah berbanding lurus dengan pemahaman rasionalnya terhadap ajaran-ajaran agama, semakin dalam dan tinggi pemahaman rasional maka semakin sempurna keimanan dan semakin kuat apresiasi terhadap ajaran-ajaran agama. Baik agama maupun filsafat pada dasarnya mempunyai kesamaan dalam tujuan, yakni mencapai kebenaran yang sejati. Agama yang dimaksud di sini adalah agama Samawi.[5]
            Manusia membutuhkan rasionalisasi dalam semua aspek kehidupannya, termasuk dalam doktrin-doktrin keimanannya, karena akal dan rasio adalah hakikat dan substansi manusia, keduanya mustahil dapat dipisahkan dari wujud manusia, bahkan manusia menjadi manusia karena akal dan rasio. Tolok ukur kesempurnaan manusia adalah akal dan pemahaman rasional. Akal merupakan hakikat manusia dan karenanya agama diturunkan kepada umat manusia untuk menyempurnakan hakikatnya. Penerimaan, kepasrahan dan ketaatan mutlak kepada ajaran suci agama sangat berbanding lurus dengan rasionalisasi substansi dan esensi ajaran-ajaran agama.
            Substansi dari semua ajaran agama adalah keyakinan dan kepercayaan terhadap eksistensi Tuhan, sementara eksistensi Tuhan hanya dapat dibuktikan secara logis dengan menggunakan kaidah-kaidah akal-pikiran (baca: kaidah filsafat) dan bukan dengan perantaraan ajaran agama itu sendiri. Walaupun akal dan agama keduanya merupakan ciptaan Tuhan, tapi karena wujud akal secara internal terdapat pada semua manusia dan tidak seorang pun mengingkarinya, sementara keberadaan ajaran-ajaran agama yang bersifat eksternal itu tidak diterima oleh semua manusia.
            Dengan demikian, hanya akallah yang dapat kita jadikan argumen dan dalil atas eksistensi Tuhan dan bukan ajaran agama. Seseorang yang belum meyakini wujud Tuhan, lantas apa arti agama baginya. Kita mengasumsikan bahwa ajaran agama yang bersifat doktrinal itu adalah ciptaan Tuhan, sementara belum terbukti eksistensi Pencipta dan pengenalan sifat-sifat sempurna-Nya, dengan demikian adalah sangat mungkin yang diasumsikan sebagai "ciptaan Tuhan" sesungguhnya adalah "ciptaan makhluk lain" dan makhluk ini lebih sempurna dari manusia (sebagaimana manusia lebih sempurna dari hewan dan makhluk-makhluk alam lainnya). Lantas bagaimana kita dapat meyakini bahwa seluruh ajaran agama itu adalah berasal dari Tuhan. Walaupun kita menerima eksistensi Tuhan dengan keimanan dan membenarkan bahwa semua ajaran agama berasal dari-Nya, tapi bagaimana kita dapat menjawab soal bahwa apakah Tuhan masih hidup? Kenapa sekarang ini tidak diutus lagi Nabi dan Rasul yang membawa agama baru? Dan masih banyak lagi soal-soal seperti itu yang hanya bisa diselesaikan dengan kaidah akal-pikiran. Berdasarkan perspektif ini, akal merupakan syarat mendasar dan mutlak atas keberagamaan seseorang, dan inilah rahasia ungkapan yang berbunyi: Tidak ada agama bagi yang tidak berakal.
B.     Rumusan Masalah
            Adapun masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
o   Apa pengertian umum filsafat dan agama..?
o   Apa hubungan filsafat dan agama..?
o   Apa sajakah perbedaan filsafat dan agama...?
o   Mengapa ada perbedaan antara filsafat dan agama..?
C.    Tujuan Penulisan
            Adapun manfaat penbuatan makalah ini adalah :
o   Agar mahasiswa mampu mengetahui pengertian filsafat dan agama
o   Agar mahasiswa dapat menjelaskan apa saja perbedaan dan hubungan antara filsafat dan agama.
o   Mahasiswa mampu menjabarkan apa saja masalah-masalah yang timbul dalam masalah filsafat dan agama.
D.    Metode Penulisan
            Metode yang digunakan penulis adalah metode kepustakaan yaitu memberikan gambaran tentang materi-materi yang berhubungan dengan permasalahan melalui literatur buku-buku yang tersedia, tidak lupa juga penulis ambil sedikit dari media massa/internet. Dan diskusi mengenai masalah yang dibahas dengan teman-teman.
BAB II
PEMBAHASAN
FILSAFAT DAN AGAMA
            Istilah filsafat dan agama mengandung pengertian yang dipahami secara berlawanan oleh banyak orang. Filsafat dalam cara kerjanya bertolak dari akal, sedangkan agama bertolak dari wahyu. Oleh sebab itu, banyak kaitan dengan berfikir sementara agama banyak terkait dengan pengalaman. Filsafat mebahas sesuatu dalam rangka melihat kebenaran yang diukur, apakah sesuatu itu logis atau bukan. Agama tidak selalu mengukur kebenaran dari segi logisnya karena agama kadang-kadang tidak terlalu memperhatikan aspek logisnya.
            Perbedaan tersebut menimbulkan konflik berkepanjangan antara orang yang cenderung berfikir filosofis dengan orang yang berfikir agamis, pada hal filsafat dan agama mempunyai fungsi yang sama kuat untuk kemajuan, keduanya tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Untuk menelusuri seluk-beluk filsafat dan agama  secara mendalam perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan agama dan filsafat  itu.
A.    Pengertian Filsafat
            Salah satu kebiasaan dunia penelitian dan keilmuan, berfungsi bahwa penemuan konsep tentang sesuatu berawal dari pengetahuan tentang satuan-satuan. Setiap satuan yang ditemukan itu dipilih dan dipilah, dikelompokkan berdasarkan persamaan, perbedaan, ciri-ciri tertentu dan sebagainya. Berdasarkan penemuan  yang telah diverivikasi itulah orang merumuskan definisi tentang sesuatu itu. Dalam sejarah perkembangan pemikirian manusia, filsafat juga bukan diawali dari definisi, tetapi diawali dengan kegiatan berfikir tentang segala sesuatu secara mendalam. Orang yang berfikir tentang segala sesuatu itu tidak semuanya merumuskan definisi dari sesuatu yang dia teliti, termasuk juga pengkajian tentang filsafat.
            Jadi ada benarnya Muhammad Hatta dan Langeveld mengatakan "lebih baik pengertian filsafat itu tidak dibicarakan lebih dahulu. Jika orang telah banyak membaca filsafat ia akan mengerti sendiri apa filsafat itu.[6] Namun demikian definisi filsafat bukan berarti tidak diperlukan. Bagi orang yang belajar filsafat definisi itu juga diperlu-kan, terutama untuk memahami pemikiran orang lain. 
            Dengan demikian, timbul pertanyaan siapa yang pertama sekali memakai istilah filsafat dan siapa yang merumuskan definisinya. Yang merumuskan definisinya adalah orang yang datang belakangan. Penggunaan kata filsafat pertama sekali adalah Pytagoras sebagai reaksi terhadap para cendekiawan pada masa itu yang menamakan dirinya orang bijaksana, orang arif atau orang yang ahli ilmu pengetahuan. Dalam membantah pendapat orang-orang tersebut Pytagoras mengatakan pengetahuan yang lengkap tidak akan tercapai oleh manusia.[7]
            Semenjak semula telah terjadi perbedaan pendapat tentang asal kata filsafat. Ahmad Tafsir umpamanya me-ngatakan filsafat adalah gabungan dari kata philein dan sophia. Menurut Harun Nasution  kedua  kata tersebut  setelah digabungkan menjadi philosophia dan diterjemah-kan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti cinta hikmah atau kebijaksanaan. Orang Arab memindahkan kata Yunani  philosophia ke dalam bahasa mereka dan menyesuaikannya dengan susunan kata bahasa Arab, yaitu فلسفة dengan pola فعلل. Dengan demikian kata benda dari falsafa itu adalah falsafah  atau filsaf.[8]
            Dalam al-Quran kata filsafat tidak ada, yang ada  hanya adalah kata hikmah.  Pada umumnya orang memahami antara hikmah dan kebijaksanaan itu sama, pada hal sesungguhnya maksudnya berbeda. Harun Hadiwijono mengartikan kata philosophia dengan mencintai kebijaksanaan.[9] Sedangkan Harun Nasution mengartikan dengan hikmah.[10] Kebijaksanaan biasanya diartikan dengan peng-ambilan keputusan berdasarkan suatu pertimbangan terten-tu yang kadang-kadang berbeda dengan peraturan yang telah ditentukan. Adapun hikmah sebenarnya diungkapkan pada sesuatu yang agung atau suatu peristiwa yang dahsyat atau berat.
            Dari pengertian kebahasaan itu dapat dipahami bahwa filsafat berarti cinta kepada kebijaksanaan. Tetapi pengertian itu belum memberikan pemahaman yang cukup, karena maksudnya belum dipahami dengan baik. Pemahaman yang mendasar tentang filsafat diperoleh melalui pengertian. Karena berbagai pandangan dalam melihat sesuatu menyebabkan  pandangan pemikir tentang filsafat juga berbeda. Oleh sebab itu, banyak orang memberikan pengertian yang berbeda pula tentang filsafat.
            Ada beberapa pengertian filsafat menurut para ahli, diantaranya :
Ø  Plato, menurut ia filsafat tidaklah lain dari pengetahuan tentang segala yang ada.
Ø  Aristoteles, menurutnya filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metefisika, logika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.[11]
Ø  Herodotus mengatakan filsafat adalah perasaan cinta kepada ilmu kebijaksanaan dengan memperoleh keahalian tentang kebijaksanaan itu.
Ø  Cicero, mengatakan filsafat adalah pengetahuan terluhur dan keinginan untuk mendapatkannya.
Ø  Thomas Hobes, salah seorang filosof Inggris mengemukakan filsafat ialah ilmu pengetahuan yang menerangkan hubungan hasil dan sebab, atau sebab dan hasilnya dan oleh karena itu terjadi perubahan.[12]
Ø  Alfred Ayer, mengatakan filsafat adalah pencarian akan jawaban atas sejumlah pertanyaan yang sudah semen-jak zaman Yunani dalam hal-hal pokok. Pertanyaan-perta-nyaan mengenai apa yang dapat diketahui dan bagaimana mengetahuinya, hal-hal apa yang ada dan bagaimana hu-bungannya satu sama lain. Selanjutnya mempermasalah-kan apa-apa yang dapat diterima, mencari ukuran-ukuran dan menguji nilai-nilainya apakah asumsi dari pemikiran itu dan selanjutnya memeriksa apakah hal itu berlaku.
Ø  Immanuel Kant, salah seorang filosof Jerman mengatakan filsafat adalah pengetahuan yang men-jadi pokok pangkal pengetahuan yang tercakup di dalam-nya empat persoalan, yaitu :
·         Apa yang dapat diketahui, Jawabnya : Metafisika.
·         Apa yang seharusnya diketahui ? Jawabnya : etika.
·         Sampai di mana harapan kita ? Jawabnya :Agama.
·         Apa manusia itu ? Jawabnya Antropologi.[13]
Ø  Jujun  S Suriasumantri mengatakan bahwa filsafat menelaah segala persoalan yang mungkin dapat dipikirkan manu-sia. Sesuai dengan fungsinya sebagai pionir, filsafat mempermasalahkan hal-hal pokok, terjawab suatu per-soalan, filsafat mulai merambah pertanyaan lain.[14]
            Dari sekian banyaknya yang mendefinisikan filsafat ada beberapa point-point yang penting, empat sudut pandang yang saling melengkapi yaitu :
·         Filsafat adalah suatu sikap terhadap hidup dan alam semesta.
            Dari sudut ini dapat dijelaskan bahwa suatu sikap filosofis adalah sikap berfikir yang melibatkan usaha untuk memikirkan masalah hidup dan alam semesta dari semua sisi yang meliputi kesiapan menerima hidup dalam alam semesta sebagaimana adanya dan mencoba melihat dalam keseluruhan hubungan. Sikap filosofik dapat ditandai misalnya dengan sikap kritis, berfikir terbuka, toleran dan mau melihat dari sisi lain.
·         Suatu metode berfikir reflektif dan metode pencarian yang beralasan.
            Ini bukalah metode fil-safat yang eksklusif, tetapi merupakan metode berfikir yang akurat dan sangat berhati-hati terhadap seluruh pengalaman.
·         Filsafat adalah kumpulan masalah.
            Semenjak dahulu sampai sekarang banyak masalah yang sangat mendasar yang masih tetap tidak terpecahkan, meskipun para filosof telah benyak mencoba memberikan jawabannya. Contohnya apakah kebenaran itu ? apakah keindahan itu, apakah perebedaan antara benar dan salah. ?
·         Filsafat merupakan kumpulan teori atau sistem-sistem pemikiran.
            Dalam hal ini filsafat berarti teori-teori filosofis yang beraneka ragam atau sistem-sistem pemikiran yang telah muncul dalam sejarah yang biasanya dikaitkan dengan nama-nama filosof ; seperti Sokrates, Plato, Aristoteles, Agustinus. Mereka sangat berpengaruh bagi pemikiran di masa sekarang. Dari mereka lahir istilah-istilah seperti idealisme, realisme, pragmatisme dan sebagainya.[15]
·         Filsafat merupak ilmu pengetahuan kodrati
            ilmu pengetahuan yang dengan cahaya kodrati akal budi mencari sebab-sebab yang pertama atau azas-azas  yang tertinggi segala sesuatu. Filsafat dengan kata lain merupakan ilmu pengeahuan tentang hal-hal pada sebab-sebabnya yang pertama termasuk dalam ketertiban alam.[16]
·         Filsafat sebagai nilai
            Filsafat merupakan ukuran pertama tentang nilai filsafat itu dan berakhir dengan kesimpulan yang jika dihubungkan kembali dengan pengalaman hidup sehari-hari, serta peristiwa-peristiwanya menjadikan pengalaman-pengalaman serta peristiwa itu lebih bermakna yang menyebabkan kita lebih berhasil menanganinya.[17]
            Liang Gie mengemukan  metode yang berbeda dalam pembahasan filsafat. Penulis itu meninjau filsafat dan segi pelaku filsafat sendiri. Menurutnya pelaku filsafat itu terdiri atas beberapa kelompok, antara lain :
·         Pengejek filsafat, yaitu orang-orang yang mencemoohkan atau memperolok-olokan filsafat maupun filosof karena ketidak tahuannya.
·         Peminat filsafat, yaitu seseorang yang sekedar mempunyai arah hidup, pandangan dunia, ukuran moral atau telah membaca karya filsafat sehingga tertarik kepada filsafat.
·         Penghafal filsafat, pada umumnya mereka ialah mahasiswa yang kerjanya sehari-hari menghafal buku atau diktat filsafat untuk menghadapi ujian yang diberikan oleh dosennya.
·         Sarjana filsafat, yaitu mahasiswa yang lulus di perguruan tinggi filsafat dengan memperoleh gelar dok-torandus atau lainnya.
·         Pengajar filsafat, yaitu sarjana yang mem-berikan kuliah dalam mata kuliah filsafat atau salah satu cabangnya di perguruan tinggi.
·         Pemikir filsafat, yaitu seorang pemikir da-lam bidang filsafat, dan itulah yang sebenarnya disebut filosof. Filosof ialah seorang yang senantiasa memahami persoalan-persoalan filsafat dan terus menerus melakukan pemikiran terhadap jawaban-jawaban dari persoalan-persoalan itu dari waktu ke waktu dan diungkapkan dalam bentuk lisan maupun tulisan.[18]
            Itulah di antara definisi yang dikemukakan oleh filosof. Perbedaan itu definisi itu menimbulkan kesan bahwa perbedaan itu disebabkan oleh berbagai faktor, seperti latar belakang sosial,  politik, ekonomi dan sebagainya. Jika disadari, perbedaan pendapat itu adalah wajar karena perkembangan ilmu pengetahuan menimbulkan berbagai spesialisasi ilmu yang sesungguhnya terpecah dari filsafat pada umumnya dan selanjutnya muncullah filsafat khsus, seperti filsafat politik, filsafat akhlak, filsafat agama dan sebagainya.
            Dengan demikian diketahui betapa luasnya lapangan filsafat. Tetapi walaupun telah terjadi berbagai pemikiran dalam filsafat yang berbentuk umum menjadi berbagai bidang filsafat tertentu, ternyata ciri khas filsafat itu tidak hilang, yaitu pembahasan bersikap radikal, sistematis, universal dan bebas. Dengan demikian dalam pembahasan ini semua prinsip itu memang diperlukan dalam mengkaji berbagai hal tentang agama sehingga hasil itu disebut filsafat agama.
Ada beberapa ciri-ciri utama agar pemikiran itu dapat dikatakan berfilsafat,  antara lain :
·         Universal
Pemikiran yang luas dan menyeluruh, tidak ada aspek tertentu saja.
·         Radikal
Pemikiran yang mendalam dan mendasar hingga sampai kepada hasil yang fundamental dan esensial.
·         Sistematis
Suatu uraian yang terperinci tentang sesuatu, menjelaskan mengapa sesuatu terjadi.
·         Kritis
Mempertanyakan segala sesuatu termasuk hasil filsafat, tidak menerima begitu saja apa yang dilihat sepintas, yang dikatakan dan dilakukan masyarakat.
·         Analisis
Mengulas dan mengkaji secara rinci dan menyeluruh tentang sesuatu.
·         Evaluatif
Upaya sungguh-sungguh dalam menilai dan menyikapi segala persoalan yang dihadapinya.
·         Spekulatif
Upaya akal budi manusia yang bersifat perekaan, penjelajahan dan pengandaian, tidak membatasi hanya pada rekaman indera dan pengamatan ilmiah.[19]
B.     Pengertian Agama
            Kata “agama” berasal dari bahasa Sanskreta “a” yang berarti tidak dan “gam” yang berarti pergi, tetap di tempat, diwarisi turun temurun dalam kehidupan manusia.[20] Ter-nyata agama memang mempunyai sifat seperti itu. Agama, selain bagi orang-orang tertentu, selalu menjadi pola hidup manusia. Dick Hartoko menyebut agama itu dengan religi, yaitu ilmu yang meneliti hubungan antara manusia dengan “Yang Kudus” dan hubungan itu direalisasikan dalam ibadat-ibadat. Kata religi berasal dari bahasa Latin rele dan gere yang berarti mengumpulkan, membaca. Agama memang merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan dan semua cara itu terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Di sisi lain kata religi berasal dari religare yang berarti mengikat. Ajaran-ajaan agama memang mem-punyai sifat mengikat bagi manusia.[21] Seorang yang beragama tetap terikat dengan hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan oleh agama.
            Sidi Gazalba mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata relegere asal kata religi  mengandung makna berhati-hati. Sikap berhati-hati ini disebabkan dalam religi terdapat norma-norma dan aturan yang ketat. Dalam religi ini orang Roma mempunyai anggapan bahwa manusia harus hati-hati terhadap Yang kudus dan Yang suci tetapi juga sekalian tabu.[22] Yang kudus dipercayai  mempunyai sifat baik dan sekaligus mempunyai sifat jahat.
            Religi juga merupakan kecenderungan asli rohani manusia yang berhubungan dengan alam semseta, nilai yang meliputi segalanya, makna yang terakhir hakikat dari semua itu. Religi mencari makna dan nilai yang berbeda-beda sama sekali dari segala sesuatu yang dikenal. Karena itulah religi tidak berhubungan dengan yang kudus. Yang kudus itu belum tentu Tuhan atau dewa-dewa. Dengan demikian banyak sekali kepercayaan yang biasanya disebut religi, pada hal sebenarnya belum pantas disebut religi karena hubungan antara manusia dan yang kudus itu belum jelas. Religi-religi yang bersahaja dan Budhisma dalam bentuk awalnya misalnya menganggap Yang kudus itu bukan Tuhan atau dewa-dewa. Dalam religi betapa pun bentuk dan sifatnya selalu ada penghayatan yang berhubungan dengan Yang Kudus.[23]
            Manusia mengakui adanya ketergantungan kepada Yang Mutlak atau Yang Kudus yang dihayati  sebagai  kontrol bagi manusia. Untuk mendapatkan pertolongan dari Yang Mutlak itu  manusia secara bersama-sama men-jalankan ajaran tertentu. Jadi religi adalah hubungan antara manusia dengan Yang Kudus. Dalam hal ini yang kudus itu terdiri atas ber-bagai kemungkinan, yaitu bisa berbentuk benda, tenaga, dan bisa pula berbentuk pribadi manusia. Selain itu dalam al-Quran  terdapat kata din  yang menunjukkan pengertian agama. Kata din dengan akar katanya dal, ya dan nun diungkapkan dalam dua bentuk yaitu din dan dain. Al-Quran menyebut kata din ada me-unjukkan arti agama dan ada menunjukkan hari kiamat, sedangkan kata dain diartikan dengan utang.
            Dalam tiga makna tersebut terdapat dua sisi yang berlainan dalam tingkatan, martabat atau kedudukan. Yang pertama mempunyai kedudukan, lebih tinggi, ditakuti dan disegani oleh yang kedua. Dalam agama, Tuhan adalah pihak pertama yang mempunyai kekuasaan, kekuatan yang lebih tinggi, ditakuti, juga diharapkan untuk memberikan bantuan dan bagi manusia. Kata din dengan arti  hari kiamat juga milik Tuhan dan manusia tunduk kepada ketentuan Tuhan. Manusia merasa takut terhadap hari kiamat sebagai milik Tuhan karena  pada waktu itu dijanji-kan azab yang pedih bagi orang yang berdosa.
            Adapun orang beriman merasa segan dan juga menaruh harapan mendapat rahmat dan ampunan Allah pada hari kiamat itu. Kata dain yang berarti utang juga terdapat pihak pertama sebagai yang berpiutang yang jelas lebih kaya dan yang kedua sebagai yang berutang, bertaraf rendah, dan merasa segan terhadap yang berpiutang.[24]
            Dalam diri orang yang berutang pada dasarnya terdapat harapan supaya utangnya dimaafkan dengan arti tidak perlu dibayar, walaupun harapan itu jarang sekali terjadi. Dalam Islam manusia berutang kepada Tuhan berupa kewajiban melaksanakan ajaran agama.  Dalam bahasa Sempit istilah di atas berarti undang-undang atau hukum. Kata itu juga berarti menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan. Dan semua itu memang terdapat dalam agama. Di balik semua aktifitas dalam agama itu terdapat balasan yang akan diterimanya nanti. Balasan itu diperoleh setelah manusia berada di akhirat.
            Semua ungkapan di atas menunjuk kepada pengertian agama secara etimologi. Namun  banyak pula di antara pemikir yang mencoba memberikan definisi agama. Dengan demikian agama juga diberi definisi oleh berbagai pemikir dalam bentuk yang berbagai macam. Dengan kata lain agama itu mempunyai berbagai pengertian. Dengan istilah yang sangat umum ada  orang yang mengatakan bahwa agama adalah peraturan tentang cara hidup di dunia ini.[25]
            Sidi Gazalba memberikan definisi bahwa agama ialah kepercayaan kepada Yang Kudus, menyatakan diri berhubungan dengan Dia dalam bentuk ritual, kultus dan permohonan dan membentuk sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu.[26] Karena dalam definisi yang dikemuka-kan di atas terlihat kepercayaan yang diungkapkan dalam agama itu masih bersifat umum, Gazalba mengemukakan definisi agama Islam, yaitu: kepercayaan kepada Allah yang direalisasikan dalam bentuk peribadatan, sehingga membentuk taqwa berdasarkan al-Quran dan Sunnah.
            Selanjutnya dijelaskan bahwa agama itu dapat dike-lompokkan menjadi dua bentuk, yaitu agama yang mene-kankan kepada iman dan kepercayaan dan yang ke dua menekankan kepada aturan tentang cara hidup. Namun demikian kombinasi antara keduanya akan menjadi defi-nisi agama yang lebih memadai, yaitu sistem keperca-yaan dan praktek yang sesuai dengan kepercayaan tersebut, atau cara hidup lahir dan batin.[27]
            Bila dilihat dengan seksama istilah-istilah itu bermuara kepada satu fokus yang disebut ikatan. Dalam agama terkandung ikatan-ikatan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh setiap manusia, dan ikatan itu mem-punyai pengaruh yang besar dalam kehidupan sehari-hari. Ikatan itu bukan muncul dari sesuatu yang umum, tetapi berasal dari kekuatan yang lebih tinggi dari manusia.
Harun Nasution mengemukakan delapan definisi untuk  agama, yaitu :
·         Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan  gaib  yang harus dipatuhi.
·         Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang me-nguasai manusia.
·         Mengikatkan diri kepada suatu bentuk hidup yang me-ngandung pengakuan pada  suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang  mempengaruhi perbu-atan-perbuatan  manusia.
·         Kepercayaan kepada sesuatu ikatan gaib yang menim-bulkan cara hidup tertentu.
·         Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari kekuatan gaib.
·         Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini berasal dari suatu kekuatan gaib.
·         Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
·         Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang  Rasul.
            Dari delapan difinisi di atas dapat diklasifikasikan bahwa terdapat empat hal penting dalam setiap agama, yaitu :
Ø  Kekuatan gaib, manusia merasa dirinya lemah dan berhajat pada kekuatan gaib itu sebagai tempat minta tolong. Oleh sebab itu, manusia merasa harus mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut. Hubungan baik itu dapat diwujudkan dengan mematuhi perintah dan larangan kekuatan gaib itu.
Ø  Keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidup akhirat tergantung pada adanya hu-bungan baik dengan kekuatan gaib itu. Dengan hilangnya hubungan baik itu, kesejahteraan dan kebahagiaan, yang dicari akan hilang pula.
Ø  Respon yang bersifat emosionil dari manusia. Res-pon itu bisa berupa rasa takut seperti yang terdapat dalam agama-agama primitif, atau perasaan cinta seperti yang terdapat dalam agama-agama monoteisme. Selanjutnya respon mengambil bentuk penyembahan yang terdapat di dalam agama primitif, atau pemujkaan yang terdapat dalam agama menoteisme. Lebih lanjut lagi respon itu mengambil bentuk cara hidup tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan.
Ø  Paham adanya yang kudus (sacred) dan suci dalam bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk kitab yang mengandung ajaran-ajaran agama itu dan dalam bentuk tempat-tempat tertentu.[28]
             
C.    Agama Sebagai Objek Filsafat
            Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa agama dan filsafat adalah dua pokok persoalan yang berbeda. Agama banyak berbicara tentang hubungan antara manusia dengan Yang Maha Kuasa. Dalam agama samawi (Yahudi, Nas-rani dan Islam), Yang Kuasa itu disebut Tuhan atau Allah, sedangkan dalam agama ardi Yang Kuasa itu mempunyai sebutan yang bermacam-macam, antara lain Brahma, Wisnu dan Siwa dalam agama Hindu, dan sebagainya. Semua itu merupakan bagian dari ajaran agama dan setiap ajaran  agama itulah yang menjadi  objek pembahasan filsafat agama. Filsafat seperti yang dikemukakan bertujuan menemukan kebenaran. Jika kebenaran yang sebenarnya itu mempunyai ciri sistematis, jadilah ia kebenaran filsafat.
            Kata objek dalam bahasa Indonesia sering diartikan dengan sasaran atau sesuatu yang menjadi pelengkap dari suatu aktivitas. Apa saja yang menjadi sasaran dalam suatu aktivitas berarti hal itu menjadi objek dari aktivitas tersebut. Jika seorang peneliti  melakukan penelitian tentang pola hidup masyarakat nelayan di A maka  semua pola hidup dan tingkah laku masyarakat nelayan tersebut  adalah menjadi objek penelitian. Dengan kata lain setiap nelayan yang ada di lokasi penelitian yang dilakukan itu jelas menjadi objek dari penelitian tersebut. 
            Isi filsafat itu ditentukan oleh objek apa yang dipikirkan. Karena filsafat mempunyai pengertian yang berbeda sesuai dengan pandangan orang yang meninjaunya, akan besar kemungkinan objek dan lapangan pembicaraan filsafat itu akan berbeda pula. Objek yang dipikirkan filosof adalah segala yang ada dan yang mungkin ada, baik ada dalam kenyataan, maupun yang ada dalam fikiran dan bisa pula yang ada itu dalam kemungkinan.[29]
            Aristoteles mengemukakan bahwa objek filsafat adalah fisika, metafisika, etika, politik, biologi, bahasa.[30] Al-Kindi mengemukakan bahwa objek filsafat itu adalah fisika, matematika dan ilmu ketuhanan. Menurut al-Farabi, objek filsafat adalah semua yang maujud.Selain yang dikemukakan oleh para filosof di atas, menambahkan bahwa kepercayaan itu termasuk objek pembicaraan filsafat.
            Semua sasaran pembahasan di atas merupakan materi pembahasan filsafat. Agama adalah salah satu materi yang menjadi sasaran pembahasan filsafat. Dengan demikian, agama menjadi objek materia filsafat. Ilmu pengetahuan juga mempunyai objek materia yaitu materi yang empiris, tetapi objek materia filsafat adalah bagian yang abstraknya. Dalam agama terdapat dua aspek yang berbeda yaitu aspek pisik dan aspek metafisik. Aspek metafisik adalah hal-hal yang berkaitan dengan yang gaib, seperti Tuhan, sifat-sifat-Nya, dan hubungan manusia dengan-Nya, sedangkan aspek pisik adalah manusia sebagai pribadi, maupun sebagai anggota masyarakat.
            Kedua aspek ini (pisik dan metafisik) menjadi objek materia filsafat. Namun demikian objek filsafat agama banyak ditujukan kepada aspek metafisik daripada aspek pisik. Aspek pisik itu sebenarnya sudah menjadi pem-bahasan ilmu seperti ilmu sosiologi, psikologi, ilmu biologi dan sebagainya. Ilmu dalam hal ini sudah memi-sahkan diri dari filsafat. 
            Dengan demikian, agama ternyata termasuk objek materia filsafat yang tidak dapat diteliti oleh sain. Objek materia filsafat jelas lebih luas dari objek materi sain.[31] Perbedaan itu sebenarnya disebabkan oleh sifat penyelidik-an. Penyelidikan filsafat yang dimaksud di sini adalah penyelidikan yang mendalam, atau keingintahuan filsafat adalah bagian yang terdalam. Yang menjadi penyelidikan filsafat agama adalah aspek yang terdalam dari agama itu sendiri. 
            Selain objek materia itu terdapat pula objek formal filsafat yaitu cara pandang yang menyeluruh, radikal dan objektif tentang yang ada untuk mengetahui hakikatnya. Dengan demikian, agama sebagai objek forma filsafat adalah cara pandang yang radikal tentang agama dan berbagai persoalan yang terdapat dalam agama itu. Dengan kata lain objek formal filsafat adalah pembahasan yang mendalam dan mendasar dari setiap hal yang menjadi ajaran dari seluruh agama di dunia ini. Seperti diungkapkan di atas bahwa pembahasan terpenting dalam setiap agama adalah ajaran tentang Tuhan. Pembahasan ini tidak hanya melihat argumentasi yang memperkuat keya-kinan tentang Tuhan, tetapi juga argumen yang membantah, melemahkan  bahkan menolak wujud Tuhan itu. Hal inilah yang akan dibahas dalam filsafat agama.
            Karena begitu mendalamnya pembahasan tentang Tuhan terdapat dua kemungkinan yang akan terjadi. Dengan mempelajari agama bisa seseorang berubah keyakinan. Ada orang yang membahas persoalan kepercayaan dalam agama itu menambah keyakinannya terhadap Tuhan. Ada orang yang membahas persoalan kepercayaan tentang Tuhan, tetapi karena ia tidak mendapatkan kepua-an dalam penemuannya sehingga orang itu berpaling dari keyakinannya semula. Jika seorang pada mulanya percaya kepada Tuhan, tetapi setelah membahas eksistensi Tuhan ia bisa menjadi tidak percaya kepada Tuhan. Nietzsche, seorang keturunan yang taat beragama adalah salah satu contoh dari persoalan ini.[32] Sebaliknya, seorang yang ateis, yang kemungkinan dalam hidupnya mengalami kekosongan dan kegersangan jiwa setelah berfikir tentang pengalaman orang yang beragama bisa pula menjadi penganut agama yang kuat.
            Tidaklah terlalu asing orang mengatakan bahwa pembahasan filsafat agama tidak menambah keyakinan atau tidak meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan. Ini bisa berarti bahwa pembahasan agama secara filosofis tidak perlu dan usaha itu adalah sia-sia. Tetapi perlu diingat bahwa pembahasan filsafat agama bertujuan untuk menggali kebenaran ajaran-ajaran agama tertentu atau paling tidak untuk mengemukakan bahwa hal-hal yang diajarkan dalam agama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip logika.[33]
            Sebenarnya objek filsafat agama tersebut tidak hanya persoalan-persoalan ketuhanan semata, tetapi juga sampai kepada persoalan-persoalan eskatologis. Persoalan eskato-logis pada umumnya berbicara tentang hari kiamat dan hal-hal yang akan dialami manusia pada waktu itu, seperti persoalan keadilan Tuhan, penerimaan pahala dan siksa. Pentingnya persoalan eskatologis sebagai objek pemba-hasan  filsafat agama karena eskatologislah yang mendorong  orang bersemangat orang untuk menjalankan ajaran agamanya. Tanpa ada tanggung jawab terhadap amal perbuatannya keberadaan agama menjadi kurang menarik. Hidup sesudah mati inilah yang membuat pemeluknya menjadi tertarik kepada kepada agama.
            Filsafat agama sebenarnya bukanlah langkah untuk menyelesaikan persoalan agama secara tuntas. Pemba-hasan filsafat agama hanya bertujuan untuk mengungkap-kan argumen-argumen yang mereka kemukakan dan memberikan penilaian terhadap argumen tersebut dari segi logisnya. Pernyataan ini menunjukkan bahwa objek filsafat bukanlah hal-hal yang empiris, bukan seperti penyelidikan sain yang keingingtahuannya hanya pada batas yang dapat diteliti secara empiris. Dalam istilah lain, batas penelitian dalam ilmu pengetahuan adalah pada daerah yang dapat diriset, sedangkan objek filsafat adalah hal-hal yang dapat dipikirkan secara logis. Sain meneliti dengan riset, sedang-kan filsafat meneliti dangan memikirkannya.[34]
D.    Perbadingan Agama dan Filsafat
            Dari uraian di atas diketahui bahwa antara agama dan filsafat itu terdapat perbedaan. Perbedaan antara filsafat dan agama bukan terletak pada bidangnya, tetapi terletak pada cara menyelidiki bidang itu sendiri. Filsafat adalah berfikir, sedangkan agama adalah mengabdikan diri, agama banyak hubungan dengan hati, sedangkan filsafat banyak hubungan dengan pemikiran. Menurut Prof. Nasroen, S.H, ia mengemukakan bahwa filsafat yang sejati haruslah berdasarkan kepada agama. Malahan filsafat yang sejati itu terkandung dalam agama. Apabila filsafat tidak berdasarkan kepada agama dan filsafat hanya semata-mata berdasarkan akal dan pemikiran saja, maka filsafat tidak akan memuat kebenaran obyektif , karena yang memberikan pandangan dan keputusan hanyalah akal pikiran. Sedangkan kesanggupan akal pikiran ituterbatas, sehingga filsafat yang hanya berdasarkan kepada akal pikiran semata tidak akan sanggup memberikan kepuasan bagi manusia, terutama dalam tingkat pemahamannya terhadap yang gaib.[35] Williem Temple, seperti yang dikutip Rasyidi, mengatakan bahwa filsafat menuntut pengetahuan untuk memahami, sedangkan agama menuntut pengetahuan untuk beribadah atau mengabdi. Pokok agama bukan pengetahuan tentang Tuhan, tetapi yang penting adalah hubungan manusia dengan Tuhan.
            Agama dan filsafat memainkan peran yang mendasar dan fundamental dalam sejarah dan kehidupan manusia. Orang-orang yang mengetahui secara mendalam tentang sejarah agama dan filsafat niscaya memahami secara benar bahwa pembahasan ini sama sekali tidak membicarakan pertentangan antara keduanya dan juga tidak seorang pun mengingkari peran sentral keduanya. Sebenarnya yang menjadi tema dan inti perbedaan pandangan dan terus menyibukkan para pemikir tentangnya sepanjang abad adalah bentuk hubungan keharmonisan dan kesesuaian dua mainstream disiplin ini. Filasafat adalah sistem kebenaran tentang agama sebagai hasil dari berfikir secara radikal, sistematis dan universal. Dasar-dasar agama yang dipersoalkan dipikirkan menurut logika (teratur dan disiplin) dan bebas.[36]
            Di sisi lain Harun Nasution membandingkan pembahasan filsafat agama dengan pembahasan teologi, karena setiap persoalan tersebut juga menjadi pembahasan tersendiri dalam teologi. Jika dalam filsafat agama pembahasan ditujukan kepada dasar setiap agama, pembahasan teologi ditujukan pada dasar-dasar agama tertentu.[37] Dengan demikian terdapatlah teologi Islam, teologi Kristen, teologi Yahudi dan sebagainya. Dengan demikian, seorang ahli agama bisa menyelidiki ajaran agamanya sendiri, demikian juga agama lain, tetapi dia harus menyadari posisinya pada waktu meneliti agama untuk menghindari banyaknya unsur subjektif yang sering muncul dalam pekiran ahli agama itu.
BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
            Dari keterangan-keterangan di atas, penyusun dapat simpulkan :
1.      Filsafat adalah sikap berfikir yang melibatkan usaha untuk memikirkan masalah hidup dan alam semesta dari semua sisi yang meliputi kesiapan menerima hidup dalam alam semesta sebagaimana adanya dan mencoba melihat dalam keseluruhan hubungan. Sikap filosofik dapat ditandai misalnya dengan sikap kritis, berfikir terbuka, toleran dan mau melihat dari sisi lain.
2.      Agama adalah kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan, agama juga diartikan dengan mengikat. Ajaran-ajaan agama memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia pemeluknya.
3.      Filsafat dan agama ternyata mempunyai beberapa hubungan yang tidak dapat dipisahkan, dikarnakan objek materia filsafat yang tidak dapat diteliti oleh sain. Objek materia filsafat jelas lebih luas dari objek materi sain.[38] Perbedaan itu sebenarnya disebabkan oleh sifat penyelidikan. Penyelidikan filsafat yang dimaksud di sini adalah penyelidikan yang mendalam, atau keingintahuan filsafat adalah bagian yang terdalam. Yang menjadi penyelidikan filsafat agama adalah aspek yang terdalam dari agama itu sendiri. 
4.      Filsafat dan agama juga mempunyai beberapa perbedaan, diantaranya di dalam filsafat untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki, manusia harus mencarinya sendiri dengan mempergunakan alat yang dimilikinya berupa segala potensi lahir dan batin. Sedangkan dalam agama, untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki manusia tidak hanya mencarinya sendiri, melainkan harus menerima hal-hal yang diwahyukan Tuhan, dengan kata lain percaya atau iman.
B.     Saran
            Dari pembahasan yang penulis susun, mungkin di dalam makalah ini ada terdapat kesalahan, karena tidak ada suatu hal pun yang sempurna, selain Allah. Maka oleh sebab itu penyusun meminta maaf dan memohon kririk dan sarannya yang bersifat membangun, karena sanagt berguna bagi penyusun untuk perbaikan makalah-makalah selanjutnya. Terimakasih
DAFTAR PUSTAKA
1.      Drs. Usiono, M.A, Pengantar Filsafat Pendidikan, Jakarta : Hijri Pustaka Utama, 2006.
2.      Siddi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang, 1992.
3.      Drs. H. Ahmad Syadali, M.A, & Drs. Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung : Pustaka Setia, 1999.
4.      Prof. Dr. Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Jakarta : Prenada Media, 2003.
5.      Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai James, Bandung : Rosdakarya, 1994.
6.      H.A. Dardiri, Humaniora, Filsafat dan Logika, Jakarta : Rajawali Press, 1986.
7.      Dr. Nur Ahmad fadhil Lubis, MA, Pengantar Filsafat Umum, Medan : IAIN Press, 2001.
8.      Harun Hadiwijono, Sari-Seri Sejarah Filsafat Barat I, Yogyakarta: Kanisius, 1991.
9.      Harun Nasution, Filsafat Agama, Jakarta : Bulan Bintang, 1983.
10.  Hamzah Ya`qub, Filsafat Agama,  Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1991.
11.  Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar Harapan, 1995.
12.  Soejono Soemargono, Pengantar Filsafat, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1992.
13.  Harun Nasution,Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,  Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1979.
14.  Harry Hammersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Moderen, Jakarta : Gramedia, 1990.


[1] Drs. Usiono, M.A, Pengantar Filsafat Pendidikan, Jakarta : Hijri Pustaka Utama, 2006. Hal 65
[2] Siddi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang, 1992. Hal 71-72
[3] Drs. H. Ahmad Syadali, M.A, & Drs. Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung : Pustaka Setia, 1999. Hal 37
[4] Dikutip dari www.wisdoms4all.com/Indonesia
[5] Prof. Dr. Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Jakarta : Prenada Media, 2003. Hal 15
[6] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai James, Bandung : Rosdakarya, 1994. Hal 8
[7] H.A. Dardiri, Humaniora, Filsafat dan Logika, Jakarta : Rajawali Press, 1986. Hal 9. Lihat juga Dr. Nur Ahmad fadhil Lubis, MA, Pengantar Filsafat Umum, Medan : IAIN Press, 2001. Hal 7
[8] Ibid, hal 9-10
[9] Harun Hadiwijono, Sari-Seri Sejarah Filsafat Barat I, Yogyakarta: Kanisius, 1991. Hal 7
[10] Harun Nasution, Filsafat Agama, Jakarta : Bulan Bintang, 1983. Hal 9
[11] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang, 1992. Hal 16-18
[12] Hamzah Ya`qub, Filsafat Agama,  Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1991. Hal  3
[13] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai James, Bandung : Rosdakarya, 1994. Hal 9
[14] Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar Harapan, 1995. Hal 25
[15] H.A. Dardiri, Humaniora, Filsafat dan Logika, Jakarta : Rajawali Press, 1986. Hal 10-11
[16] Soejono Soemargono, Pengantar Filsafat, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1992. Hal 67
[17] Ibid, hal 68
[18] H.A. Dardiri, Humaniora, Filsafat dan Logika, Jakarta : Rajawali Press, 1986. Hal 12
[19] Dr. Nur Ahmad fadhil Lubis, MA, Pengantar Filsafat Umum, Medan : IAIN Press, 2001. Hal 12-13
[20] Harun Nasution,Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,  Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1979. Hal  9
[21] Ibid, hal 10
[22] Sidi Gazalba,  Ilmu Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama, Jakarta : Bulan Bintang, 1978. Hal 100
[23] Ibid, hal 101
[24]http://sites.google.com/site/afrizalmansur/filsafat-agama
[25] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai James, Bandung : Rosdakarya, 1994. Hal 7
[26] Sidi Gazalba,  Ilmu Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama, Jakarta : Bulan Bintang, 1978. Hal 103
[27] Ibid, hal 103
[28] Harun Nasution,Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,  Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1979. Hal 11
[29] H.A. Dardiri, Humaniora, Filsafat dan Logika, Jakarta : Rajawali Press, 1986. Hal 13
[30] Ibid, hal 65
[31] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai James, Bandung : Rosdakarya, 1994. Hal 19
[32] Harry Hammersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Moderen, Jakarta : Gramedia, 1990. Hal 79-81
[33] Harun Nasution, Filsafat Agama, Jakarta:Bulan Bintang, 1983. Hal 10
[34] http://sites.google.com/site/afrizalmansur/filsafat-agama
[35] Drs. H. Ahmad Syadali, M.A, & Drs. Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung : Pustaka Setia, 1999. Hal 37-38
[36] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang, 1992. Hal
[37] Harun Nasution, Filsafat Agama, Jakarta:Bulan Bintang, 1983. Hal 10
[38] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai James, Bandung : Rosdakarya, 1994. Hal 19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar