Sabtu, 09 November 2013

Iddah


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Iddah
Bagi istri yang putus hubungan perkawinan dengan suaminya baik karena ditalaq atau karena ditinggal mati oleh suaminya, mempunyai akibat hukum yang harus diperhatikan yaitu masalah iddah. Keharusan beriddah merupakan perintah Allah yang dibebankan kepada bekas istri yang telah dicerai baik dia (istri) orang yang merdeka maupun hamba sahaya untuk melaksanakannya sebagai manifestasi ketaatan kepadanya. Untuk memudahkan pembahasan kita mengenai pengertian iddah ini,maka penulis mencoba mengungkapkan dan menyajikan dari dua segi yaitusegi bahasa dan segi istilah.
Ø  Dari Segi Bahasa
            Sebelum kita mengkaji lebih lanjut tentang nafkah iddah terlebih dahulu penulis kemukakan arti iddah ditinjau dari segi bahasa, iddah berasal dari kata عدد yang mempunyai arti bilangan atau hitungan.[1] Dalam Kamus Arab Indonesia karangan Mahmud Yunus, iddah berasal dari kata عدّ yang berarti menghitung.[2]
            Dengan demikian jika ditinjau dari segi bahasa, maka kata iddah dipakai untuk menunjukkan pengertian hari-hari haid atau hari suci pada wanita.[3]
Ø  Dari Segi Istilah
Para ulama’ telah merumuskan pengertian iddah dengan rumusan, antara lain
اسم للمدة التى تنتظر فيها المرأة وتمتسع عن التز ويج بعد وفاة زوجها او فراته لها.
            Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa iddah adalah suatu tenggang waktu tertentu yang harus dijalani seorang perempuan sejak ia berpisah. Baik disebabkan karena talak maupun karena suaminya meninggal dunia. Dalam hal iddah ini wanita (istri) tidak boleh kawin dengan laki-laki lain sebelum habis masa iddahnya. Dengan demikian dapat diambil suatu pengertian bahwa iddah itu mempunyai beberapa unsur yaitu :
a. Suatu tenggang waktu tertentu
b. Wajib dijalani si bekas istri
c. Karena ditinggal mati oleh suaminya maupun diceraikan oleh suaminya.
d. Keharaman untuk melakukan perkawinan selama masa iddah
            Untuk memperjelas pengertian tersebut di atas, dapat dikemukakan hasil Tim Departemen Agama RI yang merumuskan bahwa iddah menurut pengertian hukum Islam ialah masa tunggu yang ditetapkan oleh hukum syara’ bagi wanita untuk tidak melakukan akad perkawinan dengan laki-laki lain dalam masa tersebut. Sebagai akibat perceraian atau ditinggal mati suaminya. Dalam rangka membersihkan diri dari pengaruh dan akibat hubungan dengan suaminya itu. Jadi iddah itu adalah kewajiban pihak perempuan untuk menghitung hari-harinya dan masa bersihnya dan ini merupakan nama bagi masa lamanya perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh kawin setelah kematian suaminya atau setelah pisah dengan suaminya.
            Bertolak dari beberapa definisi tersebut di atas dapat dirumuskan bahwa iddah menurut pengertian dalam hukum Islam adalah masa tunggu yang ditetapkan oleh hukum syara’ bagi wanita (istri) untuk tidak melakukan aqad nikah baru dengan laki-laki lain dalam masa tersebut, dengan tujuan untuk membersihkan diri dari pengaruh akibat hubungan antara mantan suaminya itu serta sebagai ta’abudi kepada Allah SWT.
            Merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 akan kita ambil pengertian yang sifatnya sudah cukup tegas. Hal ini disebabkan karena definisi waktu tunggu iddah itu sendiri sudah diulas secara konkrit dan jelas. Menurut H. Arso Sastroadmojo dalam bukunya Hukum Perkawinan Indonesia dijelaskan bahwa : Iddah adalah tenggang waktu dimana janda bersangkutan tidak boleh kawin bahkan dilarang pula menerima pinangan atau lamaran dengan tujuan untuk menentukan nasab dari kandungan janda itu bila ia hamil. Dan juga sebagai masa berkabung bila suami yang meninggal dunia dan untuk menentukan masa rujuk bagi suami bila talak itu berupa talak faj’i.[4]
            Pemahaman ini diinspirasikan secara implisif oleh pasal-pasal yang berhubungan dengan masalah iddah itu sendiri yaitu pasal 11 Undangundang No. 1 tahun 1974 dan pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975. dengan demikian pengertian iddah adalah masa tenggang waktu atau tunggu sesudah jatuhnnya talak. Di dalam waktu iddah itu bekas suami diperbolehkan untuk merujuk kepada bekas istrinya. Atas dasar inilah si istri tidak diperbolehkan melangsungkan perkawinan baru dengan laki-laki lain.[5]
B. Dasar Hukum Iddah
            Setelah membahas masalah iddah dari segi pengertian, maka di bawah ini penyusun membahas dasar-dasar hukum iddah yang mengacu pada hukum naqli guna memperjelas tentang iddah itu sendiri.
1. Dasar dari Al Qur'an
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاث  قروء ولا يحل لهن ان يكتمن ما خلق الله في ارحامهن ان كن يوءمن بالله واليوم الاخر وبعولتهم احق بردهن في ذالك ان ارادوا اصلاحا ولهن مثل الذي عليهن بالمعرف وللرجال عليهن درجة والله عزيز حكيم.
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al Baqarah : 228)
            Ayat di atas walaupun sebenarnya telah dinasakh oleh ayat yang kemudian, akan tetapi kandungan dari hukum ayat tersebut tetaplah dipakai dan dipergunakan sebagai dalil hukum dalam penetapan hukum Islam syara’ yang berkenaan dengan masalah iddah istri.
2. Dasar hadist
            Hadits dari Bukhari dan Muslim yang berbunyi :
وعن ابي مسعود البدري رضي الله عنه عن النبي صلعم قال : انفق الرجل علي اهله يحتسبها فهوا له صدقة.
Dari Abu Mas'ud Al Badry ra. Dari Nabi saw. Beliau bersabda "Apabila seseorang menafkahkan harta untuk keperluan keluarga, hanya berharpa dapat memperoleh pahala maka hal itu akan dicatat sebagai sedekah baginya."[6]
3. Dasar Hukum Perdata
            Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan menetapkan waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinan.[7] Selanjutnya atas dasar pasal 11 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan ditetapkan waktu tunggu sebagai berikut :
Ayat (1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
Ayat (2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat satu akan diatur dalam peraturan pemerintah lebih lanjut.[8]
            Demikian pula pada Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur waktu tunggu yang dituangkan pada bab VII pasal 39.Pada pasal 153 Kompilasi Hukum Islam tentang Perkawinan dalam menentukan waktu tunggu sebagai berikut : Ayat (1) Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah kecuali qobla ardhukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami. Demikian pula dalam pasal 154 dan pasal 155 Kompilasi Hukum Islam tentang perkawinan, mengatur waktu iddah.
C.    Macam-macam Iddah
            Mengenai macam-macam iddah atau waktu tunggu menurut perundang-undangan hukum Indonesia, khususnya dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan serta dalam peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam. Telah memberikan klasifikasi dengan tidak menyebut suatu istilah tertentu yang dipergunakan, akan tetapi sebagaimana diketahui bahwa materi dari Undangundang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya merupakan cuplikan yang diambil dari norma masing-masing agama di Indonesia yang didominasi oleh aturan-aturan yang digariskan dalam syariat Islam. Sedangkan secara spesifikasi maka macam-macam iddah itu antara lain ialah :
1. Iddah Perempuan yang Haid
Jika perempuannya bisa haid maka iddahnya tiga kali quru'. Sebagaimana firman Allah :
والمطلقت يتربصن بانفسهن ثلاثة قروء.
Dan perempuan-perempuan yang berthalaq, hendaklah mereka menahan diri mereka tiga kali quru' (QS. Al Baqarah : 228)
            Dengan ayat tersebut di atas jelaslah bahwa istri yang diceraikan oleh suaminya. Sedangkan istri tersebut belum pernah disetubuhi oleh suami yang mentalaknya, maka bagi si istri tersebut tidak mempunyai masa iddah. Sedangkan istri yang ditinggal suami dan pernah bersetubuh, maka ia harus beriddah seperti iddah orang yang disetubuhi, hal ini berdasar firman Allah SWT yang berbunyi sebagai berikut :
والذين يتوفون منكم ويذرون ازواجا يتربصن بانفسهن اربعة اشهر وعشرا  فاذا بلغ اجلهن فلا جناح عليكم فيما فعلن في انفسهن بالمعروف....
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis `iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.(QS. Al Baqarah : 234)
            Wajib iddah bagi istri tersebut dimaksudkan untuk menghormati bekas suaminya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Sayyid Sabiq sebagai berikut : istri yang kematian suaminya wajib iddah sekalipun belum pernah disetubuhi, hal ini untuk menyempurnakan dan juga untuk menghargai hak suami yang meninggal dunia.[9] Istri yang telah dicerai dalam keadaan masih haid harus menjalani iddah (waktu tunggu) selama 3 (tiga) kali suci dan bila diharikan minimal 90 (sembilan puluh) hari. Hal ini sebagaimana yang disebut dalam pasal 39 peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975, ayat (1) sub (b) yang berbunyi sebagai berikut : Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari”[10]
2. Iddah istri yang tidak berhaid
            Istri yang tidak berhaid lagi jika dicerai oleh suaminya atau ditinggal mati oleh suaminya maka mereka (istri) beriddah selama 3 bulan. Ketentuan ini berlaku buat perempuan yang belum baligh dan perempuan yang sudah tua tetapi tidak berhaid lagi, baik ia sama sekali tidak berhaid sebelumnya atau kemudian berhaid akan tetapi putus haidnya. Hal ini berdasarkan pada firman Allah yang berbunyi sebagai berikut :
Dan orang-orang yang putus diantara istri-istri kamu, jika kamu ragu maka iddah mereka itu tiga bulan. Dan orang-orang yang tidak berhaid serta perempuan hamil masa iddahnya ialah sesudah mereka melahirkan (QS. Ath Thalaq : 4)
            Sedangkan berdasarkan hukum perdata Indonesia maka istri tersebut harus menjalani masa tunggu selama 90 (sembilan puluh) hari. Ini sejalan dengan pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 ayat (1) sub (b) yang berbunyi sebagai berikut :
 “Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari”.[11]
3.  Iddah istri yang telah disetubuhi
            Iddah istri yang telah disetubuhi masih haid dan adakalanya tidak berhaid lagi. Masa iddah yang masih haid adalah selama 3 kali quru’sebagaimana disebutkan dalam firman Allah sebagai berikut :
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(QS. Al Baqarah : 228)
            Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah bahwa kata quru’ hanya digunakan oleh agama yang berarti haid. Sesuai dengan firman Allah sebagai berikut :
...إذا طلقتم النساء فطلقوهن لعدتهن وأحصوا العدة...
4. Iddah perempuan hamil
            Perempuan yang dicerai atau ditinggal mati suami dan sedang hamil iddahnya sampai ia melahirkan. Hal ini didasarkan pada firman Allah yang berbunyi sebagai berikut :
واولات الاحمال اجلهن ان يضعن حملهن
Dan Perempuan-perempuan hamil masa iddah mereka ialah sesudah melahirkan (QS. At Thalaq : 4)
            Istri tersebut harus menjalani masa tunggu yakni sampai ia melahirkan bayinya. Ini sejalan dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 135, ayat (2), sub (c), yang berbunyi sebagai berikut :
“Apabila perkawinan putus karena perkawinan sedang janda tersebut dalam keadaan hamil waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan”. Allah berfirman :
والذين يتوفون منكم ويذرون ازواجا يتربصن بانفسهن اربعة اشهر وعشرا  
                Disini timbul perselisihan paham mengenai perempuan yang cerai mati, sedangkan ia hamil, dan anaknya lahir sebelum cukup 4 bulan 10 hari terhitung dari meninggalnya suaminya. Apakah iddahnya habis dengan melahirkan anak. Menurut jumhur ulama salaf, iddahnya habis setelah anaknya lahir, walaupun belum cukup 4 bulan 10 hari. Menurut pendapat lain yang diriwayatkan dari Ali, iddahnya harus mengambil waktu yang lebih panjang daripada salah satu di antara kedua iddah itu. Artinya, apabila anaknya lahir sebelum 4 bulan 10 hari, iddahnya harus menunggu sampai cukup 4 bulan 10 hari, dan apabila telah sampai 4 bulan 10 hari anaknya belum lahir juga, maka iddahnya harus menunggu sampai anaknya lahir.
            Selain itu ada perbedaan paham mengenai iddah perempuan yang sedang hamil. Syafi’i berpendapat bahwa iddah wanita yang sedang hamil, syaratnya apabila anak itu adalah anak suami yang menceraikannya.. sedangkan menurut imam Hanifah, perempuan itu beriddah dengan lahirnya anak, baik anak bekas suaminya yang menceraikannya ataupun bukan, sekalipun anak zina. Wanita yang menjalani iddah wajib tinggal di rumah suami sampai habis iddahnya. Ia tidak boleh keluar dari rumah suaminya.
D.    Hikmah di Syari’atkannya Iddah
            Suatu keyakinan yang mesti menjadi pegangan umat Islam ialah ajaran Islam yang termuat di dalam Al Qur'an dan as sunnah merupakan petunjuk Allah yang harus menjadi pedoman bagi manusia khususnya kaum muslimin dan muslimat demi keselamatan hidupnya di dunia maupun di akhirat. Berbeda hal dengan ajaran-ajaran yang pernah diturunkan Allah sebelumnya dimana ajaran tersebut hanya diperuntukkan untuk kaum tertentu. Ajaran Islam tidak hanya berlaku untuk kelompok atau kaum di dalam masyarakat tertentu serta tidak pula terbatas pada masa tertentu pula. Akan tetapi ajaran Islam sejak diturunkan telah ditetapkan sebagai pegangan dari semua kelompok dan kaum manusia pada berbagai tempat dan waktu sampai akhir masa (zaman).[12]
            Demikian pula halnya dengan masalah iddah yang merupakan suatu syari’at yang telah ada sejak zaman dahulu yang mana mereka tidak pernah meinggalkan kebiasaan ini dan tatkala Islam datang kebiasaan itu diakui dandijalankan terus karena banyak terdapat kebaikan dan faedah di dalamnya.[13] Para ulama’ telah mencoba menganalisa hikmah disyariatkannya iddah secara global dapat disebutkan sebagai berikut :
Ø  Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang perempuan, sehingga tidak tercampur antara keturunan seseorang dengan yang lain, atau dengan kata agar tidak terjadi percampuran dan kekacauan nasab.
Ø  Memberikan kesempatan kepada suami istri yang berpisah untuk berfikir kembali, apakah untuk rujuk kembali kepada istrinya ataukah akan meneruskan cerai tersebut jika hal tersebut dianggap lebih baik.
Ø  Kebaikan perkawinan tidak dapat terwujud sebelum kedua suami istri sama-sama hidup lama dalam ikatan aqadnya.
            Untuk lebih jelas dan lebih mendetailnya hikmah disyariatkannya iddah tersebut maka dapat dikemukakan seperti di bawah ini :
»        Sebagai Pembersih Rahim
            Ketegasan penisaban keturunan dalam Islam merupakan hal yang amat penting. Oleh karena itu segala ketentuan untuk menghindari terjadinya kekacauan nisab keturunan manusia ditetapkan di dalam Al Qur'an dan As Sunnah dengan tegas. Diantara ketentuan tersebut adalah larangan bagi wanita untuk menikah dengan beberapa orang pria dalam waktu yang bersamaan.[14] Dan disamping itu untuk menghilangkan keraguraguan tentang kesucian rahim perempuan tersebut, sehingga pada nantinya tidak ada lagi keragu-raguan tentang anak yang dikandung oleh perempuan itu apabila ia telah kawin lagi dengan laki-laki yang lain.[15]
»        Kesempatan untuk berfikir
            Iddah khususnya dalam talak ra’ji merupakan suatu tenggang waktu yang memungkinkan tentang hubungan mereka. Dalam masa ini kedua belah pihak dapat mengintropeksi diri masing-masing guna mengambil langkah-langkah yang lebih baik. Terutama bila mereka telah mempunyai putra-putri yang membutuhkan kasih sayang dan pendidikan yang baik dari orang tuanya.36 Disamping itu memberikan kesempatan berfikir kembali dengan pikiran yang jernih setelah mereka menghadapi keadaan rumah tangga yang panas dan yang demikian keruh sehingga mengakibatkan perkawinan mereka putus. Kalau pikiran mereka telah jernih dan dingin diharapkan pada nantinya suami akan merujuk istri kembali dan begitu pula si istri tidak menolak untuk rujuk dengan suaminya kembali. Sehingga perkawinan mereka dapat diteruskan kembali.[16]
»        Kesempatan untuk bersuka cita
            Iddah khususnya dalam kasus cerai mati, adalah masa duka atau bela sungkawa atas kematian suaminya. Cerai karena mati ini merupakan musibah yang berada di luar kekuasaan manusia untuk membendungnya. Justru itu mereka telah berpisah secara lahiriyah akan tetapi dalam hubungan batin mereka begitu akrab.38 Jadi apabila perceraian tersebut karena salah seorang suami istri meninggal dunia, maka masa iddah itu adalah untuk menjaga agar nantinya jangan timbul rasa tidak senang dari pihak keluarga suami yang ditinggal, bila pada waktu ini si istri menerima lamaran ataupun ia melangsungkan perkawinan baru dengan laki-laki lain.
»        Kesempatan untuk rujuk
            Apabila seorang istri dicerai karena talak yang mana bekas suami tersebut masih berhak untuk rujuk kepada bekas istrinya. Maka masa iddah itu adalah untuk berpikir kembali bagi suami untuk apakah ia akan kembali sebagai suami istri. Apabila bekas suami berpendapat bahwa ia sanggup mendayung kehidupan rumah tangganya kembali, maka ia boleh untuk merujuk kembali istrinya dalam masa iddah. Sebaliknya apabila suami berpendapat bahwa tidak mungkin melanjutkan kehidupan rumah tangga kembali, ia harus melepas bekas istrinya secara baik-baik dan jangan menghalang-halangi bekas istrinya itu untuk kawin dengan laki-laki lain.
            Dengan demikian tampak dengan jelas bahwa iddah itu memiliki berbagai keutamaan di berbagai aspek, yang mana masing-masing mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Sehubungan dengan itu maka dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa :
Ø  Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern tidaklah dapat mengubah ketentuan dalam kasus-kasus yang sudah jelas dikemukakan dan ditetapkan oleh Al Qur'an dan as sunnah. Namun hanya dalam kasus wathsyubhat dan zina perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dimanfaatkan, sebab hukum antara pria dan wanita dalam kasus ini hanya terkait pada masalah dhuhul yang menggunakan kesucian rahim.
Ø  Meskipun terdapat keyakinan bahwa rahim perempuan (istri) bersih dan diantara mereka (suami istri) tidak mungkin rujuk kembali, namun tidaklah dapat dibenarkan bagiperem tersebut (bekas istri) melanggar ketentuan iddah yang sudah dibentukan.
Ø  Begitu pula sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan untuk memperpanjang iddah bagi istri yang dapat mengakibatkan penganiayaan maupun yang mendatangkan keuntungan baik bagi bekas suami ataupun bagi bekas istri.
E. Hak dan Kewajiban Suami Istri pada Masa Iddah
*   Hak Istri pada Masa Iddah
1.      Mendapatkan nafkah selama masa iddah
2.      Mendapatkan perumahan selama masa iddah
3.      Istri berhak memutuskan untuk rujuk kembali, sedangkan kewajiban istri adalah masa berkabung bila ia ditinggal mati suaminya.
*      Kewajiban suami pada masa iddah istri
1.      Suami wajib memberikan nafkah pada istri
2.      Suami wajib memberikan perumahan pada istri
3.      Suami berhak untuk merujuk kembali atau tidak
            Hak istri merupakan kewajiban suami untuk melaksanakan atau memenuhi hak-hak istri. Sedangkan kewajiban istri merupakan hak suami yang harus dijalankan oleh istri pada masa iddah. Berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 4 (sub c) yang berbunyi :
“Pengadilan Agama dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi istri”.
            Hal ini juga dipertegas dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 81 ayat (1dan 2) yang berbunyi :
·         Suami wajib menyediakan tempat tinggal bagi istri dan anak-anaknya atau bekas istrinya yang masih dalam iddah.
·          Tempat kediaman adalah tempat tinggal suami
            Berdasar pada pasal di atas dan dipertegas dalam Kompilasi Hukum Islam menunjukkan bahwa perumahan masuk ke dalam kategori dari bunyi pasal dan hukum di atas untuk mewajibkan suami menyediakan tempat kediaman bagi istri selama masa iddah atau tempat kediaman bagi istri dapat dialih artikan suami memberikan rumah yang lain untuk ditempati istri baik selama pada masa iddah ataupun setelahnya. Akan tetapi bila istri itu sendiri yang meninggalkan rumah yang telah ditetapkan tanpa alasan yang dipertanggung jawabkan, maka istri tersebut telah dianggap nusyuz. Adapun kewajiban lainnya bagi suami adalah memberikan biaya nafkah selama masa iddah, sebagaimana yang terdapat dalam pasal 149 (sub a dan b) yang berbunyi antara lain :
1.      Bila perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib :
·         Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla audukhul
·         Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
            Adapun suami sendiri yang dengan suka rela tanpa dituntut dulu oleh istri di Pengadilan Agama memenuhi kewajiban istri yang pada masa iddah. Apabila istri berkeinginan menuntut nafkah iddah, maka dapat dilaksanakan berdasarkan pada pasal 86 ayat (1) Undang-undang No. 7 tahun 1989 yang berbunyi :
“Gugatan soal pengasuhan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dalam gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap”.[17]
            Nafkah iddah ini merupakan hak istri pada masa iddah dan kewajiban suami pula untuk melaksanakannya. Akan tetapi dari tahun 1993 sampai 1995 masih relatif kecil yang melaksanakannya. Hal ini dikarenakan banyak faktor, salah satunya adalah pendidikan. Mengenai jumlah nafkah iddah istri tersebut sangat relatif. Bila terjadi perselisihan mengenai jumlah, dapat dianjurkan dan diberikan pengarahan oleh Pengadilan Agama untuk diselesaikan secara musyawarah dan kekeluargaan. Akan tetapi bila tidak terjadi kesepakatan dalam penentuan jumlah maka pengadilan agama dapat menentukan jumlahnya yang disesuaikan dengan kemampuan suami dan tidak memberatkannya, dan sebaliknya diberikan pada saat setelah pembacaan sighot thalak di muka majelis hakim Pengadilan Agama.
            Suami dapat untuk tidak melaksanakannya disebabkan si istri melalaikan kewajibannya, atau sebab yang lainnya yaitu istri mengikhlaskan suami untuk tidak melaksanakan kewajibannya. Ini sesuai dengan pasal 80 ayat (4 dan 7) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi antara lain :
4. Sesuai dengan penghasilan suami menanggung :
a. Nafkah, kiswah, biaya perawatan, pengobatan bagi istri dan anak
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan diri, biaya pengobatan istri dan anak.
c. Biaya pendidikan bagi anak
5. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf (a) dan (b) di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya.
6. Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajibannya terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf (a) dan (b)
7. Kewajiban suami yang dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz.
            Dari bunyi pasal tersebut di atas tampak jelas suami dapat tidak melaksanakan kewajiban yaitu :
1. Apabila si istri benar-benar telah mengikhlaskannya
2. Apabila si istri dalam keadaan nusyuz, maka akibat hukumnya hak istri.
DAFTAR PUSTAKA
1.     Muhammad Idris Abdurra'uf, Al Marbawy Juz I, Kamus Idris Melayu, Darul Ulum Al Islamiyah.
2.     Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Hida Karya Agung, Jakarta, 1997.
3.     Chuzaiman T.Yanggo dkk.,Problematika Hukum Islam Kontemporer,Pustaka Firdaus Jakarta, 1994.
4.     H. Sastroadmojo, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet. III, Bulan Bintang, Jakarta, 1981.
5.     Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1982.
6.     Imam Nawawi, Riyadhus Sholihin Jilid I, Pustaka Amani, Jakarta, 1992.
7.     K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, cet. IV, Ghalia Indonesia, Jakarta,1978.
8.     SayyidSabiq, Fiqih Sunnah Jilid VIII, PT Al Ma’ruf, Bandung, 1987.
9.     Mahfud,Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia,Yogyakarta Press, Yogyakarta, 1993.
10. Kamal Muhtar, Asas Hukum Perkawinan, cet. II, Bulan Bintang, Jakarta, 1987.


[1] Muhammad Idris Abdurra'uf, Al Marbawy Juz I, Kamus Idris Melayu, Darul Ulum Al Islamiyah,354,hlm. 8- 9
[2] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Hida Karya Agung, Jakarta, 1997, hlm.
[3] Chuzaiman T.Yanggo dkk.,Problematika Hukum Islam Kontemporer,PT.Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994, hlm 14
[4] H. Sastroadmojo, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet. III, Bulan Bintang, Jakarta, 1981, hlm. 70
[5] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1982, hlm. 120
[6] Imam Nawawi, Riyadhus Sholihin Jilid I, Pustaka Amani, Jakarta, 1992, hlm. 308
[7] K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, cet. IV, Ghalia Indonesia, Jakarta,1978, hlm. 20
[8] Undang-undang Perkawinan di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaan. PT. Pradya Paramita, Jakarta, 1987, hlm.10
[9] SayyidSabiq, Fiqih Sunnah Jilid VIII, PT Al Ma’ruf, Bandung, 1987.hal 142
[10] Sastroadmojo. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet. III, Bulan Bintang, Jakarta, 1981. Hal 129
[11] Mahfud,Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia,Yogyakarta Press, Yogyakarta, 1993. Hal 210
[12] Chuzaiman Yanggo,dkk. Problematika Hukum Islam Kontemporer, PT. Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994.hal 148
[13] SayyidSabiq, Fiqih Sunnah Jilid VIII, PT Al Ma’ruf, Bandung, 1987.hal 140
[14] Chuzaiman Yanggo,dkk. Problematika Hukum Islam Kontemporer, PT. Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994.hal 166
[15] Kamal Muhtar, Asas Hukum Perkawinan, cet. II, Bulan Bintang, Jakarta, 1987, hlm. 230
[16] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1982, hlm 120
[17] Moh Mahfud,Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia,Yogyakarta Press, Yogyakarta, 1993. Hal 160

Tidak ada komentar:

Posting Komentar