BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Singkat
tentang ke Khalifahan Abbasiyah
Kekuasaan
dinasti Bani Abbas atau keilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah
Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah keturunan Al-Abbas, paman Nabi
Muhammad SAW, yaitu Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn
al-Abbas. Dimana pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial, dam budaya. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang
waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M).[1]
Kekhalifahan
Bani Abbasiyah adalah kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad.
Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat
pengetahuan dengan menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan
Persia.[2]
Menurut B.G Stryzewki membagi masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah menjadi lima
(5) periode, yaitu :
a. Periode
pertama (132 H/750 M s.d 334 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama;
b. Periode
kedua (232 H/847 M s.d 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama;
c. Periode
ketiga (334 H/945 M s.d 447 H/1105 M), masa kekuasaan Dinasti Buwaihi dalam
pemerintahan Khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut pengaruh Persia kedua;
d. Periode
keempat (447 H/1105 M s.d 590 H/1195 M), masa kekuasaan Dinasti Saljuk yang
biasa disebut dengan masa pengaruh Turki kedua;
e. Periode
kelima (590 M/1194 M s.d 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh
dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di Baghdad.[3]
Popularitas
Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harus Ar-Rasyid (786-809
M) dan puteranya al-Ma’mun (813-833 M). kekayaan Negara banyak dimanfaatkan
Harun Ar-Rasyid untuk keperluan social dan mendirikan rumah sakit, lembaga
pendidikan, farmasi. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang
dokter. Al-Ma’mun, pengganti Harun Ar-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang
sangat cinta terhadap ilmu Filsafat. Pada masanya penerjemahan buku-buku asing
digalakkan. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya terbesarnya
yang terpentig adalah pembangunan baitul Hikmah, pusat penterjemahan yang
berfungsi sebagai perguruhan tinggi dengan perpustakaan yang besar.[4]
Pada
masa ini adalah masa keemasan atau masa kejayaan umat Islam sebagai pusat dunia
dalam berbagai aspek peradaban. Kemajuan itu hampir mencakup semua aspek
kehidupan, dari aspek system pemerintahan, wilayah kekuasaan, perdagangan,
industry, pertanian, kedokteran, serta pendidikan, berkembang sangat pesat.[5]
2.2 Perkembangan Ilmu
pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah
Abad
X masehi disebut abad pembangunan daulah islamiayah dimana dunia Islam mulai
dan cordon di Spanyol sampai ke Multan di Pakistan mengalami pembangunan
disegala bidang, terutama di bidang berbagai ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni. Dunia Islam pada waktu itu dalam keadaan maju, jaya, makmur, dunia barat
masih dalam keadaan gelap, bodoh dan primiti. Gerakan pembangunan ilmu secara
besar-besaran dirintis oleh khalifah Ja'far Al-Mansyur setelah ia mendirikan
kota Bagdad dan menjadikannya sebagai ibu kota Negara. Ia menarik banyak ulama
dan para ahli dari berbagai daerah untuk datang dan tinggal di Bagdad.
Perkembangan
ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah dapat dikelompokkan menjadi tiga
(3) cabang utama, yaitu :
·
Ilmu Naqliyah
Pada
masa ini pendidikan Islam sangat mengutamakan ilmu-ilmu naqliyah yaitu ;
ilmu-ilmu yang diambil dari dalil-dalil agama yang bersumberkan kepada wahyu
semata, seperti qira’at, tafsir, hadist, fiqih, dan sebagainya.
·
Ilmu Lisaniyah
Ilmu
Lisaniyah adalah ilmu-ilmu yang berhubungan dengan perbahasaan, antara lain,
Nahwu, Sharf, balaghah, dan lain-lain.
·
Ilmu Aqliyah
Yang
dimaksud dengan ilmu-ilmu Aqliyah yaitu ilmu-ilmu yang tidak dikategorikan
kedalam ilmu lisaniyah dan naqliyah seperti filsafat, ilmu falaq, sejarah,
fisika, kimia, kedokteran, ilmu music, arsitektur, dan lain-lain.[6]
a. Ilmu
Tafsir
Para
mufassir yang masyhur pada zaman Abbasiyah diantaranya Ibnu Jarir at-Thabary
dengan tafsirnya sebanyak 300 juta, Ibnu at-Thiyah al-Andalusi, As-Suda (Tafsir
bil Ma’tsur), Abu Bakar Asma, Abu Muslim Muhammad (tafsir bir Ra’yi). [7]
b. Ilmu
Hadits
Pengumpulan
dan pembukuan hadist sudah mulai sejak pemerintahan khalifah Umar bin Abdul
Aziz, salah seorang khalifah Bani Umaiyah. Namun demikian perkembangannya yang
paling menonjol terjadi pada masa Daulah Abbasiyah, sebab pada masa inilah
munculnya ulama-ulama hadist yang belum ada tandingannya sampai zaman sekarang.
Diantara tokoh yang termashur adalah ; Ibnu Juraji (Mekkah), Muhammad bin Ishaq
& Malik bin Anas (Madinah), Rabin bin Sabih & Zaid bin Abi Arabah
(Basrah).[8]
c. Fiqih
Ilmu
fiqih sebagai perundang-undangan Islam, yang disusun oleh para fuqaha telah
mempunyai dasar dari masa Rasulullah. Pada masa Dinasti Abbasiyah ilmu fiqih
telah sampai kepada ilmu yang berdiri sendiri, dan mampu memecahkan
persoalan-persoalan pelik dalam kehidupan manusia. Sumber hokum fiqih berasal
dari al-Qur’an, Hadis, Ijma’ dan Qiyas. Kedudukan Ijma’ sebagai sumber hukum
apabila tidak terdapat hukum dalam al-Qur’an dan Hadis. Qiyas merupakan
keluasan Islam di lapangan berfikir.[9]
d. Ilmu
Tasawuf
Ilmu ini tumbuh dan
matang pada zaman Abbasiyah. Inti ajarannya tekun beribadah dengan menyerahkan
diri sepenuhnya kepada Allah. Dalam bidang ini ulamanya antara lain : Al
Ghazali seorang ulama sufi dengan karyanya yang masih beredar dan berpengaruh
sampai sekarang yaitu buku Ihya ‘ulumuddin yang sebanyak lima jilid, Al
Hallaj dengan bukunya al Tashawuf, Al Qusyairiyat fi Ilmu al tashawuf.[10]
e. Ilmu
Kedokteran
Ikedokteran telah ada
sejak pemerintahan Daulah Umaiyah, terbukti dengan adanya sekolah tinggi kedokteran
yuudisapur dan Harran yang merupakan peninggalan orang Syria. Pada masa Daulah
Abbasiyah perhatian khalifah semakin meningkat terhadap ilmu kedokteran dan
mendorong para ulama untuk mendalami ilmu ini. Ilmuwan muslim dalam bidang ini
antara lain al Hazen, ahli mata dengan karyanya optics dan Ibnu Sina dengan
bukunya Qamm fi Tibb.
2.3 Metode Pendidikan dan Pengajaran
pada masa Dinasti Abbasiyah
Ada beberapa faktor
yang menjadikan zaman Abbasiyah menjadikannya zaman keemasan dalam bidang ilmu
pengetahuan, diantaranya :
·
Perhatian pemerintah
yang besar terhadap kemajuan ilmu pengetahuan
·
Strategi kebudayaan
rasionalisme (kebebasan berpikir) di kalangan umat Islam
·
Kemakmuran dan ekonomi
yang baik
·
Stabilitas politik
·
Motivasi ajaran agama
Islam
·
Pandangan yang tepat
terhadap ilmu pengetahuan.
Selain
itu, dalam proses belajar mengajar metode pendidikan/pengajaran merupakan salah
satu aspek pendidikan yang sangat penting guna mentransfer ilmu pengetahuan dan
keterampilan dari seorang guru terhadap siswanya. Pada masa Abbasiyah ini
metode yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu ; lisan,
hafalan dan tulisan.
a. Metode
Lisan berupa dikte, seramah, qira’ah dan diskusi. Metode dikte dianggap pentingdan
aman karena pada masa klasik buku-buku dicetak tidak seperti sekarang.
b. Metode
menghafal merupakan ciri umum pendidikan pada masa ini. Murid-murid harus
membaca secara berulang-ulang sehingga hafal.
c. Metode
Tulisan dianggap metode yang paling penting pada masa ini, metode tulisan
adalah mengkopikan karya-karya ulama.[11]
Sedangkan menurut Prof.
Dr. H. Haidar & Dra. Hj. Nurgaya Pasa, Metode pendidikan yang diterapkan di
lembaga-lembaga pendidikan pada masa Dinasti Abbasiyah adalah dengan menyalin,
menghafal, dan berdebat.[12]
Pada masa Abbasiyah sekolah-sekolah terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu :
1. Tingkat
sekolah rendah, namanya Kuttab sebagai tempat belajar bagi anak-anak. Di
samping Kuttab ada pula anak-anak belajar di rumah, di istana, di took-toko dan
di pinggir-pinggir pasar. Adapun pelajaran yang diajarkan meliputi: membaca
Al-Qur’an dan menghafalnya, pokok-pokok ajaran islam, menulis, kisah
orang-orang besar islam, membaca dan menghafal syair-syair atau prosa,
berhitung, dam juga pokok-pokok nahwu shorof ala kadarnya.
2. Tingkat
sekolah menengah, yaitu di masjid dan majelis sastra dan ilmu pengetahuan
sebagai sambungan pelajaran di kuttab. Adapun pelajaran yang diajarkan
melipuri: Al-Qur’an, bahasa Arab, Fiqih, Tafsir, Hadits, Nahwu, Shorof, Falak,
, kedokteran, dll.
3. Tingkat
perguruan tinggi, seperti Baitul Hikmah di Bagdad dan Darul Ilmu di Mesir
(Kairo), di masjid dan lain-lain. Pada tingkatan ini umumnya perguruan tinggi
terdiri dari dua jurusan: [13]
2.4 Kurikulum Pendidikan pada masa
Dinasti Abbasiyah
Pada
masa kejayaan pendidikan Islam telah berdiri sekolah-sekolah mulai dari tingkat
dasar samapai perguruan tinggi. Mahmud Yunus, secara garis besar menggambarkan
pokok-pokok rencana pembelajaran pada berbagai tingkat pendidikan sebagai
berikut :
a. Rencana
Pembelajaran Tingkat Dasar (Kuttab)
·
Membaca al-Qur’an dan
menghafalnya
·
Pokok-pokok agama
Islam, seperti cara berwudu’, shalat, puasa dan sebagainya.
·
Menulis
·
Kisah orang-orang besar
Islam
·
Membaca dan menghafal
syair-syair atau natsar-natsar (prosa)
·
Berhitung
·
Nahu dan Syaraf.[14]
Lama belajar di Kuttab
ini, tidaklah sama, tergantung kepada kecerdasan dan kemampuan masing-masing
anak. Karena system pengajaran pada masa itu belum dilaksanakan secara klasikal
sebagaimana umumnya system pengajaran sekarang ini. Tetapi pada umumnya,
anak-anak menyelesaikan pendidikan dasar ini selama kurang lebih 5 tahun.[15]
b. Rencana
Pembelajaran Tingkat menengah
·
Al-Qur’an
·
Bahasa Arab dan
kesusasteraan
·
Fiqih
·
Tafsir
·
Hadist
·
Nahu, Syaraf, dan
Balaghah
·
Ilmu-ilmu pasti
·
Mantiq
·
Tarikh
·
Ilmu-ilmu alam
·
Kedokteran
·
Musik.[16]
Di samping itu, ada
terdapat mata pelajaran yang bersifat kejuruan. Misalnya untuk menjadi juru
tulis dikantor-kantor. Selain dari belajar bahasa, murid disini harus belajar
surat menyurat, pidato, diskusi, berdebat, serta tulisan indah.[17]
c. Rencana
Pembelajaran Tingkat Pendidikan Tinggi
Pada umumnya rencana
pembelajaran pada perguruan tinggi Islam, dibagi menjadi dua jurusan, yaitu :
1. Jurusan
ilmu-ilmu agama dan bahasa, serta sastra arab, yang juga disebut sebagai ilmu
Naqliyah, yang meliputi :
·
Tafsir al-Qur’an
·
Hadist
·
Fiqih dan Ushul Fiqih
·
Nahwu/Syaraf
·
Balagah
·
Bahasa Arab dan
kesusasteraan
2. Jurusan
ilmu-ilmu umum, yang disebut sebagai ilmu Aqliyah, meliputi :
·
Mantiq
·
Ilmu-ilmu Alam dan
kimia
·
Music
·
Ilmu-ilmu pasti
·
Ilmu ukur
·
Ilmu palaq
·
Ilmu Ilahiyah
·
Ilmu hewan
·
Ilmu tumbuh-tumbuhan
·
Kedokteran.[18]
2.5 Tujuan
Pendidikan pada masa Dinasti Abbasiyah
Pada masa Nabi masa
khailfah Rasyidin dan Umayah, tujuan pendidikan satu saja, yaitu keagamaan
semata. Mengajar dan belajar karena Allah dan mengharap keridhoan-Nya. Namun
pada masa Abbasiyah tujuan pendidikan itu telah bermacam-macam karena pengaruh
masyarakat pada masa itu. Tujuan itu dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Tujuan
keagamaan dan akhlak
Sebagaiman pada masa
sebelumnya, anak-anak dididik dan diajar membaca atau menghafal Al-Qur’an, ini
merupakan suatu kewajiban dalam agama, supaya mereka mengikut ajaran agama dan
berakhlak menurut agama.
b. Tujuan
kemasyarakatan
Para pemuda pada masa
itu belajar dan menuntut ilmu supaya mereka dapat mengubah dan memperbaiki
masyarakat, dari masyarakat yang penuh dengan kejahilan menjadi masyarakat yang
bersinar ilmu pengetahuan, dari masyarakat yang mundur menuju masyarakat yang
maju dan makmur. Untuk mencapai tujuan tersebut maka ilmu-ilmu yang diajarkan
di Madrasah bukan saja ilmu agama dan Bahasa Arab, bahkan juga diajarkan ilmu
duniawi yang berfaedah untuk kemajuan masyarakat.
c. Cinta
akan ilmu pengetahuan
Masyarakat pada saat
itu belajar tidak mengaharapkan apa-apa selain dari pada memperdalam ilmu
pengetahuan. Mereka merantau ke seluruh negeri islam untuk menuntut ilmu tanpa
memperdulikan susah payah dalam perjalanan yang umumnya dilakukan dengan
berjalan kaki atau mengendarai keledai. Tujuan mereka tidak lain untuk
memuaskan jiwanya untuk menuntut ilmu.
d. Tujuan
kebendaan
Pada masa itu mereka
menuntut ilmu supaya mendapatkan penghidupan yang layak dan pangkat yang tinggi, bahkan kalau
memungkinkan mendapat kemegahan dan kekuasaan di dunia ini, sebagaimana tujuan
sebagian orang pada masa sekarang ini.[19]
2.6 Lembaga-lembaga
Pendidikan pada masa Dinasti Abbasiyah
Sebelum timbulnya
sekolah dan universitas yang kemudian dikenal sebagai lembaga pendidikan
formal, dalam dunia Islam sebenarnya telah berkembang lembaga-lembaga
pendidikan islam yang bersifat non Formal.[20]
Lembaga pendidikan Islam pada masa Dinasti Abbasiyah ini terpusat pada Kuttab
dan Mesjid.[21]
Di antara lembaga-lembaga pendidikan yang ada pada masa Dinasti Abbasiyah,
antara lain :
a. Kuttab
Ensiklopedia islam
menjelaskan bahwa Kuttab adalah sejenis tempat belajar yang mula-mula lahir di
dunia Islam. Pada awalnya kuttab berfungsi sebagai tempat memberikan pelajaran
menulis dan membaca bagi anak-anak.[22]
Kuttab berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis atau
tempat menulis. Jadi Kuttab adalah tempat belajar menulis. Sebelum datangnya
Islam Kuttab telah ada dinegeri Arab, walaupun belum banyak dikenal. Diantara
penduduk mekah yang mula-mula belajar menulis ialah Sufyan Ibnu Umaiyah Ibnu
Abdu Syams, dan Abu Qais Ibnu Abdi Manaf Ibnu Zuhrah Ibnu Kinat.[23]
Inti pokok pendidikan
di Kuttab pada mulanya adalah membaca dan menulis, karena masih terbatasnya
lembaga Kuttab sebelum Islam. Maka ketika Islam lahir baru 17 orang penduduk
makkah yang pandai membaca dan menulis. Rasulullah sendiri sangat member
perhatian kepada tulis baca, sebab itulah beliau member syarat kepada tawanan
perang Badar akan dibebaskan siapa yang mampu mengajari kaum Muslimin membaca
dan menulis, sebagai tebusannya. Urgensi kepandaian membaca dan menulis penting
bagi kaum Muslim, karena dikaitkan dengan penulisan wahyu dan juga juru tulis
beliau.[24]
Kemudian pada akhirnya,
pada abad pertama Hijriyah mulailah timbul jenis Kuttab, yang disamping
memberikan pelajaran menulis dan membaca, juga mengajarkan membaca al-Qur’an
dan pokok-pokok ajaran Islam. Pada mulanya, kuttab jenis ini, merupakan
pemindahan dari pengajaran al-Qur’an yang berlangsung di Mesjid, yang sifatnya
umum.
b. Mesjid
Mesjid semenjak zaman
nabi mempunyai fungsi ganda, sebagai tempat beribadah dan sebagai tempat
kegiatan social kemasyarakatan. Salah satu fungsinya dalam bidang
kemasyarakatan adalah tempat pendidikan dan pengajaran. Mesjid-mesjid didirikan
pada umumnya dilengkapi dengan berbagai macam sarana dan fasilitas pendidikan.
Di dunia islam, di zaman Dinasti Abbasiyah mesjid-mesjid berkembang dengan
pesatnya. Dikota bagdad saja menurut hitungan Al-Ya’qubi ada 30.000 masjid, di
kota Iskandaria 12.000 mesjid, Damaskus 500 mesjid. Ini gambaran betapa
pesatnya kemajuan pendidikan islam dikala itu. Mesjid-mesjid tersebut telah
berubah fungsi, tidak hanya untuk tempat beribadah juga dipakai tempat kegiatan
social kemasyarakatan. Materi pelajaran yang diajarkan di mesjid tidak hanya
terbatas kepada ilmu-ilmu naqliyah saja, tetapi juga mencakup ilmu-ilmu
‘Aqliyah.[25]
Fungsi mesjid pada masa
Abbasiyah umumnya dilengkapi dengan berbagai macam sarana dan fasilitas untuk
pendidikan. Tempat pendidikan anak-anak, tempat-tempat untuk pengajian dari
ulama-ulama yang merupakan kelompok-kelompok halaqah, tempat untuk berdiskusi
dan munazarah dalam berbagai ilmu pengetahuan, dan juga dilengkapi dengan
ruangan perpustakaan dengan buku-buku ilmu pengetahuan dari berbagai macam ilmu
yang cukup banyak. Demikianlah mesjid dalam dunia Islam, sepanjang sejarahnya
tetap memegang peranan pokok, disamping fungsinya sebagai tempat berkomunikasi
dengan Tuhan, sebagai lembaga pendidikan dan pusat komunikasi sesame kaum
Muslimin.[26]
c. Perpustakaan
Pada masa kemajuan
pendidikan Islam, perpustakaan mempunyai peranan yang sangat penting. Para
cendikiawan menuangkan ilmu mereka kedalam bentuk tulisan, sehingga dengan
demikian berkembanglah perpustakaan di dunia Islam. Pada masa itu dibangunlah
perpustakaan-perpustakaan di negeri-negeri Islam. Bangunan-bangunan ini
dilengkapi dengan kamar-kamar dan ruang-ruuang yang banyak untuk bermacam-macam
keperluan. Sebagai ilustrasii dapat dikemukakan disini gedung yang dibangun
untuk perpustakaan Fatimiyah di Kairo, terdapat 40 ruangan untuk buku-buku yang
masing-masing ruang dapat memuat 18.000 buah buku.[27]
Perpustakaan-perpustakaan
pada masa ini banyak yang dihasilkan oleh pemerintah atau merupakan wakaf dari
para ulama dan sarjana. Baitul Hikmah di Bagdad yang didirikan oleh Khalifah
harun al-Rasyid, adalah merupakan salah satu contoh dari perpustakaan Islam
yang lengkap, yang berisi buku-buku islam dan bahasa arab, bermacam-macam ilmu
pengetahuan yang berkembang pada masa itu, dan berbagai buku terjemahan dari
bahasa-bahasa Yunani, Persia, India, Qibty, dan Aramy.[28]
d. Pendidikan
rendah di Istana
Pendidikan di istana
adalah dikhususkan buat mendidik anak-anak khalifah dan para pembesar.
Anak-anak khalifah dan para pembesar tersebut didik khusus di istana untuk
menyiapkan mereka agar dapat melaksanakan pekerjaan yang berat yang kelak akan
dipikulkan dipundak mereka. Pendidikan di istana yang membuat rencana pelajaran
adalah orangtua murid. Diselaraskan dengan tujuan yang dikehendaki oleh
orangtua murid. Guru yang bertugas dinamakan Muaddib, muaddib tinggal diistana,
agar pengawasannya kepada putra raja lebih sempurna.[29]
Rencana pelajaran untuk
pendidikan di istana pada garis besarnya sama saja dengan rencana pendidikan di
kuttab. Hanya ditambah atau dikurangi menurut kehendak para pembesar yang
bersangkutan, dan selaras dengan keinginan untuk menyiapkan anak tersebut
secara khusus ubtuk tujuan-tujuan dan tanggung jawab yang akan dihadapinya
dalam kehidupan mereka nanti.[30]
e. Toko-toko
kitab
Pada permulaan masa
Dinasti Abbasiyah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam sudah tumbuh dan
berkembang dan diikuti oleh penulisan kitab-kitab dalam berbagai cabang ilmu
pengetahuan, maka berdirilah toko-toko kitab.
f.
Majelis kesusasteraan
Majlis kesusasteraan
ini telah muncul pada masa Umayah, dalam
bentuk yang masih sederhana, kemudian mencapai kemajuan pada masa Abbasiyah.
Majelis kesusasteraan ini dimaksudkan adalah suatu majelis yang dikhususkan untuk
membahas ilmu pengetahuan. Di dalam majelis ini hadir orang-orang tertentu yang
mendapat kehormatan untuk hadir. Didalam majelis tersebut mempunyai
aturan-aturan dan tata tertib sedemikian rupa, mulai dari tata tertib
berbicara, berdebat, duduk, dan lain-lainnya.
g. Madrasah
Lembaga yang muncul
setelah masjid adalah madrasah. Munculnya lembaga ini seperti yang dijelaskan
oleh Shalaby yaitu karena tuntutan kebutuhan zaman. Diantara factor yang
mendorong munculnya madrasah adalah karena semakin banyaknyya pelajar yang
menuntut ilmu pengetahuan, sehingga tidak mungkin bagi mereka lagi untuk
belajar di Mesjid.[31]
BAB III
ANALISIS
Pada masa Daulah
Umaiyah dunia mulai mengenal peradaban dan kebudayaan Islam. Dan pada masa
Daulah Abbasiyah mengalami kemajuan dan mencapai peradaban yang gemilang dalam
sejarah Islam dimana pada masa ini dikenal berbagai ilmu pengetahuan dan
teknologi berkembang pesat, baik ilmunya masing-masing. Prestasi ini menaikkan
derajat Islam dan membuktikan bahwa Islam memiliki para ulama yang cerdik dan
berkuasa di dunia pendidikan. Bahkan di antara mereka para ulama tersebut ada
yang sampai sekarang masih di gunakan karya-karya mereka sebagai pedoman agar
tidak keluar dari ajaran sesungguhnya. Selain itu, pada masa Abbasiyah
merupakan zaman keemasan yang pernah dialami oleh kaum muslimin dimana pada
zaman ini mengalami perkembangan ilmu yang sangat pesat diantaranya ilmu
tafsir, hadits, fiqh, filsafat, matematika, geografi dan lain sebaginnya.
Sedang metode yang
diguakan pada masa Abbasiyah secara garis besar dibagi menjadi tiga metode
yaitu metode lisan, menghafal, tulisan. Ketiga metode inilah yang digunakan
dalam pendidikan/pengajaran pada masa itu untuk mentransfer ilmu dari seorang
guru terhadap muridnya. Setelah itu, bani Abbasiyah mengalami kemunduran yang
disebabkan konfil intern dan ekstern, diantaranya :
·
konfik antar bangsa
·
kemerosotan ekonomi
·
konflik keagamaan
·
ancaman dari luar.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Kejayaan Islam pada
masa Dinasti Abbasiyah mencerminkan bahwa Islam adalah agama yang luar biasa.
Bahkan Eropa pun seolah-olah tidak berdaya menghadapi kemajuan Islam terutama
di bidang IPTEK. Walaupun pada akhirnya kejayaan Islam masa Dinasti Abbasiyah
telah berakhir dan hanya menjadi kenagngan manis belaka kita sebagai generasi
penerus harus senantiasa berusaha untuk menjadi generasi yang pantang menyerah
apalagi di zaman serba modern ini kemajuan IPTEK semakin sulit untuk dibendung.
Kemajuan IPTEK merupakan tantangan yang besar bagi kita. Apakah kita sanggup
atau tidak menghadapi tantangan ini tergantung pada kesiapan pribadi masing-masing.
Oleh Sebab itu, penulis
merasa perlu kiranya untuk menjadikannya sebagai landasan dan kaca perbandingan
demi kemajuan dunia Islam sekarang ini. Penulis merasa dunia pendidikan Islam
sekarang ini sangat merosot dan tidak mengalami perkembangan yang sangat
berarti.
4.2 Kritik & Saran
Demikianlah sedikit
uraian tentang Sejarah Pendidikan Islam
pada masa Abbasiyah. Tentunya tulisan ini masih sangat jauh untuk
mengungkap secara detail dan sempurna tentang Sejarah Pendidikan Islam pada
masa Abbasiyah. Untuk itu penulis yakin makalah ini masih membutuhkan banyak
koreksi dan masukan. Sebagai penutup penulis berharap makalah ini dapat
memberikan manfaat kepada pembaca.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT RajaDrafindo Persada, cet
ke-22, 2010.
2. Siti
Zubaidah, Sejarah Peradaban Islam, Medan : Wal Ashri Publishing, 2011.
3. Dedi
Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2008.
4. Suwito
& Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta : Prenada Media,
2005.
5. Fakhrur
Razy Dalimunte, Sejarah Pendidikan Islam, Medan : Rimbow, 1986.
6. Musyrifah
Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Jakarta : Prenada Media, 2003.
7. Haidar
Putra Daulay & Nurgaya Pasa, Sejarah Pendidikan Islam, Medan : IAIN
Press, 2007.
8. Mamud
Yunus, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : PT. Hidakarya Agung, 1990
9. Zuhairi,
Dkk, sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, cet-11, 2011.
10. Daulah
Abbasiyah,
http://pai-smpn21padang.blogspot.com/2008/07/daulah-abbasiyah_02.html, tgl.
27-05-2012
[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT
RajaDrafindo Persada, cetakan ke-22, 2010, hal : 49
[2] Siti Zubaidah, Sejarah Peradaban Islam, Medan : Wal Ashri
Publishing, 2011, hal : 139
[3] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Pustaka
Setia, 2008, hal : 127-128. Lihat juga di Suwito & Fauzan, Sejarah
Sosial Pendidikan Islam, Jakarta : Prenada Media, 2005, hal : 11
[4] Siti Zubaidah, Sejarah Peradaban Islam, Medan : Wal Ashri
Publishing, 2011, hal : 146-147
[5] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Pustaka
Setia, 2008, hal : 129-136
[6] Fakhrur Razy Dalimunte, Sejarah Pendidikan Islam, Medan :
Rimbow, 1986, hal : 39
[8] Haidar Putra Daulay & Nurgaya Pasa, Sejarah Pendidikan
Islam, Medan : IAIN Press, 2007, hal : 48-49
[9] Fakhrur Razy Dalimunte, Sejarah Pendidikan Islam, Medan :
Rimbow, 1986, hal : 66-67
[10] Dikutip dari situs : Daulah Abbasiyah,
http://pai-smpn21padang.blogspot.com/2008/07/daulah-abbasiyah_02.html, tgl.
27-05-2012
[11] Suwito & Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam,
Jakarta : Prenada Media, 2005, hal : 14
[12] Haidar Putra Daulay & Nurgaya Pasa, Sejarah Pendidikan
Islam, Medan : IAIN Press, 2007, hal : 69
[13] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT
RajaDrafindo Persada, cetakan ke-22, 2010, hal : 54
[14] Haidar Putra Daulay & Nurgaya Pasa, Sejarah Pendidikan
Islam, Medan : IAIN Press, 2007, hal 66-67
[15] Zuhairi, Dkk, sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi
Aksara, cet-11, 2011, hal : 102
[16] Haidar Putra Daulay & Nurgaya Pasa, Sejarah Pendidikan
Islam, Medan : IAIN Press, 2007, hal : 67
[17] Zuhairi, Dkk, sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi
Aksara, cet-11, 2011, hal : 103
[18] Zuhairi, Dkk, sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi
Aksara, cet-11, 2011, hal : 104-205, lihat juga Haidar Putra Daulay &
Nurgaya Pasa, Sejarah Pendidikan Islam, Medan : IAIN Press, 2007, hal :
67-68
[19] Mamud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : PT.
Hidakarya Agung, 1990, hal : 46
[20] Zuhairi, Dkk, sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi
Aksara, cet-11, 2011, hal : 89
[21] Fakhrur Razy Dalimunte, Sejarah Pendidikan Islam, Medan :
Rimbow, 1986, hal : 42
[22] Haidar Putra Daulay & Nurgaya Pasa, Sejarah Pendidikan
Islam, Medan : IAIN Press, 2007, hal : 51
[23] Zuhairi, dkk, hal : 89
[24] Haidar purba daulay & Nurgaya Pasa, Hal : 52
[25] Haidar Putra Daulay & Nurgaya Pasa, Sejarah Pendidikan
Islam, Medan : IAIN Press, 2007, hal : 54-55
[26] Zuhairi, Dkk, sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi
Aksara, cet-11, 2011, hal : 99
[27] Haidar Putra Daulay & Nugraya Pasa hal : 58
[28] Zuhairi, Dkk, hal : 98
[29] Haidar Putra Daulay & Nurgaya Pasa, Sejarah Pendidikan
Islam, Medan : IAIN Press, 2007, hal : 60
[30] Zuhairi, Dkk, sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi
Aksara, cet-11, 2011, hal : 92-93
[31] Haidar Putra Daulay & Nugraya Pasa hal : 64
Tidak ada komentar:
Posting Komentar