Selasa, 12 November 2013

sejarah pendidikan Islam Dinasti Abbasiyah



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Singkat tentang ke Khalifahan Abbasiyah
            Kekuasaan dinasti Bani Abbas atau keilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah keturunan Al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW, yaitu Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Dimana pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dam budaya. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M).[1]
            Kekhalifahan Bani Abbasiyah adalah kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad. Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dengan menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan Persia.[2] Menurut B.G Stryzewki membagi masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah menjadi lima (5) periode, yaitu :
a.       Periode pertama (132 H/750 M s.d 334 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama;
b.      Periode kedua (232 H/847 M s.d 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama;
c.       Periode ketiga (334 H/945 M s.d 447 H/1105 M), masa kekuasaan Dinasti Buwaihi dalam pemerintahan Khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut pengaruh Persia kedua;
d.      Periode keempat (447 H/1105 M s.d 590 H/1195 M), masa kekuasaan Dinasti Saljuk yang biasa disebut dengan masa pengaruh Turki kedua;
e.       Periode kelima (590 M/1194 M s.d 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di Baghdad.[3]

Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harus Ar-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Ma’mun (813-833 M). kekayaan Negara banyak dimanfaatkan Harun Ar-Rasyid untuk keperluan social dan mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan, farmasi. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Al-Ma’mun, pengganti Harun Ar-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta terhadap ilmu Filsafat. Pada masanya penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya terbesarnya yang terpentig adalah pembangunan baitul Hikmah, pusat penterjemahan yang berfungsi sebagai perguruhan tinggi dengan perpustakaan yang besar.[4]
            Pada masa ini adalah masa keemasan atau masa kejayaan umat Islam sebagai pusat dunia dalam berbagai aspek peradaban. Kemajuan itu hampir mencakup semua aspek kehidupan, dari aspek system pemerintahan, wilayah kekuasaan, perdagangan, industry, pertanian, kedokteran, serta pendidikan, berkembang sangat pesat.[5]

2.2 Perkembangan Ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah
Abad X masehi disebut abad pembangunan daulah islamiayah dimana dunia Islam mulai dan cordon di Spanyol sampai ke Multan di Pakistan mengalami pembangunan disegala bidang, terutama di bidang berbagai ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Dunia Islam pada waktu itu dalam keadaan maju, jaya, makmur, dunia barat masih dalam keadaan gelap, bodoh dan primiti. Gerakan pembangunan ilmu secara besar-besaran dirintis oleh khalifah Ja'far Al-Mansyur setelah ia mendirikan kota Bagdad dan menjadikannya sebagai ibu kota Negara. Ia menarik banyak ulama dan para ahli dari berbagai daerah untuk datang dan tinggal di Bagdad.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah dapat dikelompokkan menjadi tiga (3) cabang utama, yaitu :
·         Ilmu Naqliyah
Pada masa ini pendidikan Islam sangat mengutamakan ilmu-ilmu naqliyah yaitu ; ilmu-ilmu yang diambil dari dalil-dalil agama yang bersumberkan kepada wahyu semata, seperti qira’at, tafsir, hadist, fiqih, dan sebagainya.
·         Ilmu Lisaniyah
Ilmu Lisaniyah adalah ilmu-ilmu yang berhubungan dengan perbahasaan, antara lain, Nahwu, Sharf, balaghah, dan lain-lain.
·         Ilmu Aqliyah
Yang dimaksud dengan ilmu-ilmu Aqliyah yaitu ilmu-ilmu yang tidak dikategorikan kedalam ilmu lisaniyah dan naqliyah seperti filsafat, ilmu falaq, sejarah, fisika, kimia, kedokteran, ilmu music, arsitektur, dan lain-lain.[6]
a.       Ilmu Tafsir
Para mufassir yang masyhur pada zaman Abbasiyah diantaranya Ibnu Jarir at-Thabary dengan tafsirnya sebanyak 300 juta, Ibnu at-Thiyah al-Andalusi, As-Suda (Tafsir bil Ma’tsur), Abu Bakar Asma, Abu Muslim Muhammad (tafsir bir Ra’yi). [7]
b.      Ilmu Hadits
Pengumpulan dan pembukuan hadist sudah mulai sejak pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz, salah seorang khalifah Bani Umaiyah. Namun demikian perkembangannya yang paling menonjol terjadi pada masa Daulah Abbasiyah, sebab pada masa inilah munculnya ulama-ulama hadist yang belum ada tandingannya sampai zaman sekarang. Diantara tokoh yang termashur adalah ; Ibnu Juraji (Mekkah), Muhammad bin Ishaq & Malik bin Anas (Madinah), Rabin bin Sabih & Zaid bin Abi Arabah (Basrah).[8]
c.       Fiqih
Ilmu fiqih sebagai perundang-undangan Islam, yang disusun oleh para fuqaha telah mempunyai dasar dari masa Rasulullah. Pada masa Dinasti Abbasiyah ilmu fiqih telah sampai kepada ilmu yang berdiri sendiri, dan mampu memecahkan persoalan-persoalan pelik dalam kehidupan manusia. Sumber hokum fiqih berasal dari al-Qur’an, Hadis, Ijma’ dan Qiyas. Kedudukan Ijma’ sebagai sumber hukum apabila tidak terdapat hukum dalam al-Qur’an dan Hadis. Qiyas merupakan keluasan Islam di lapangan berfikir.[9]
d.      Ilmu Tasawuf
Ilmu ini tumbuh dan matang pada zaman Abbasiyah. Inti ajarannya tekun beribadah dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah. Dalam bidang ini ulamanya antara lain : Al Ghazali seorang ulama sufi dengan karyanya yang masih beredar dan berpengaruh sampai sekarang yaitu buku Ihya ‘ulumuddin yang sebanyak lima jilid, Al Hallaj dengan bukunya al Tashawuf, Al Qusyairiyat fi Ilmu al tashawuf.[10]
e.       Ilmu Kedokteran
Ikedokteran telah ada sejak pemerintahan Daulah Umaiyah, terbukti dengan adanya sekolah tinggi kedokteran yuudisapur dan Harran yang merupakan peninggalan orang Syria. Pada masa Daulah Abbasiyah perhatian khalifah semakin meningkat terhadap ilmu kedokteran dan mendorong para ulama untuk mendalami ilmu ini. Ilmuwan muslim dalam bidang ini antara lain al Hazen, ahli mata dengan karyanya optics dan Ibnu Sina dengan bukunya Qamm fi Tibb.
           
2.3 Metode Pendidikan dan Pengajaran pada masa Dinasti Abbasiyah
Ada beberapa faktor yang menjadikan zaman Abbasiyah menjadikannya zaman keemasan dalam bidang ilmu pengetahuan, diantaranya :
·         Perhatian pemerintah yang besar terhadap kemajuan ilmu pengetahuan
·         Strategi kebudayaan rasionalisme (kebebasan berpikir) di kalangan umat Islam
·         Kemakmuran dan ekonomi yang baik
·         Stabilitas politik
·         Motivasi ajaran agama Islam
·         Pandangan yang tepat terhadap ilmu pengetahuan.
Selain itu, dalam proses belajar mengajar metode pendidikan/pengajaran merupakan salah satu aspek pendidikan yang sangat penting guna mentransfer ilmu pengetahuan dan keterampilan dari seorang guru terhadap siswanya. Pada masa Abbasiyah ini metode yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu ; lisan, hafalan dan tulisan.
a.       Metode Lisan berupa dikte, seramah, qira’ah dan diskusi. Metode dikte dianggap pentingdan aman karena pada masa klasik buku-buku dicetak tidak seperti sekarang.
b.      Metode menghafal merupakan ciri umum pendidikan pada masa ini. Murid-murid harus membaca secara berulang-ulang sehingga hafal.
c.       Metode Tulisan dianggap metode yang paling penting pada masa ini, metode tulisan adalah mengkopikan karya-karya ulama.[11]
Sedangkan menurut Prof. Dr. H. Haidar & Dra. Hj. Nurgaya Pasa, Metode pendidikan yang diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan pada masa Dinasti Abbasiyah adalah dengan menyalin, menghafal, dan berdebat.[12] Pada masa Abbasiyah sekolah-sekolah terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu :
1.      Tingkat sekolah rendah, namanya Kuttab sebagai tempat belajar bagi anak-anak. Di samping Kuttab ada pula anak-anak belajar di rumah, di istana, di took-toko dan di pinggir-pinggir pasar. Adapun pelajaran yang diajarkan meliputi: membaca Al-Qur’an dan menghafalnya, pokok-pokok ajaran islam, menulis, kisah orang-orang besar islam, membaca dan menghafal syair-syair atau prosa, berhitung, dam juga pokok-pokok nahwu shorof ala kadarnya.
2.      Tingkat sekolah menengah, yaitu di masjid dan majelis sastra dan ilmu pengetahuan sebagai sambungan pelajaran di kuttab. Adapun pelajaran yang diajarkan melipuri: Al-Qur’an, bahasa Arab, Fiqih, Tafsir, Hadits, Nahwu, Shorof, Falak, , kedokteran, dll.
3.      Tingkat perguruan tinggi, seperti Baitul Hikmah di Bagdad dan Darul Ilmu di Mesir (Kairo), di masjid dan lain-lain. Pada tingkatan ini umumnya perguruan tinggi terdiri dari dua jurusan: [13]

2.4 Kurikulum Pendidikan pada masa Dinasti Abbasiyah
            Pada masa kejayaan pendidikan Islam telah berdiri sekolah-sekolah mulai dari tingkat dasar samapai perguruan tinggi. Mahmud Yunus, secara garis besar menggambarkan pokok-pokok rencana pembelajaran pada berbagai tingkat pendidikan sebagai berikut :
a.       Rencana Pembelajaran Tingkat Dasar (Kuttab)
·         Membaca al-Qur’an dan menghafalnya
·         Pokok-pokok agama Islam, seperti cara berwudu’, shalat, puasa dan sebagainya.
·         Menulis
·         Kisah orang-orang besar Islam
·         Membaca dan menghafal syair-syair atau natsar-natsar (prosa)
·         Berhitung
·         Nahu dan Syaraf.[14]
Lama belajar di Kuttab ini, tidaklah sama, tergantung kepada kecerdasan dan kemampuan masing-masing anak. Karena system pengajaran pada masa itu belum dilaksanakan secara klasikal sebagaimana umumnya system pengajaran sekarang ini. Tetapi pada umumnya, anak-anak menyelesaikan pendidikan dasar ini selama kurang lebih 5 tahun.[15]
b.      Rencana Pembelajaran Tingkat menengah
·         Al-Qur’an
·         Bahasa Arab dan kesusasteraan
·         Fiqih
·         Tafsir
·         Hadist
·         Nahu, Syaraf, dan Balaghah
·         Ilmu-ilmu pasti
·         Mantiq
·         Tarikh
·         Ilmu-ilmu alam
·         Kedokteran
·         Musik.[16]
Di samping itu, ada terdapat mata pelajaran yang bersifat kejuruan. Misalnya untuk menjadi juru tulis dikantor-kantor. Selain dari belajar bahasa, murid disini harus belajar surat menyurat, pidato, diskusi, berdebat, serta tulisan indah.[17]
c.       Rencana Pembelajaran Tingkat Pendidikan Tinggi
Pada umumnya rencana pembelajaran pada perguruan tinggi Islam, dibagi menjadi dua jurusan, yaitu :
1.      Jurusan ilmu-ilmu agama dan bahasa, serta sastra arab, yang juga disebut sebagai ilmu Naqliyah, yang meliputi :
·         Tafsir al-Qur’an
·         Hadist
·         Fiqih dan Ushul Fiqih
·         Nahwu/Syaraf
·         Balagah
·         Bahasa Arab dan kesusasteraan
2.      Jurusan ilmu-ilmu umum, yang disebut sebagai ilmu Aqliyah, meliputi :
·         Mantiq
·         Ilmu-ilmu Alam dan kimia
·         Music
·         Ilmu-ilmu pasti
·         Ilmu ukur
·         Ilmu palaq
·         Ilmu Ilahiyah
·         Ilmu hewan
·         Ilmu tumbuh-tumbuhan
·         Kedokteran.[18]

2.5  Tujuan Pendidikan pada masa Dinasti Abbasiyah
Pada masa Nabi masa khailfah Rasyidin dan Umayah, tujuan pendidikan satu saja, yaitu keagamaan semata. Mengajar dan belajar karena Allah dan mengharap keridhoan-Nya. Namun pada masa Abbasiyah tujuan pendidikan itu telah bermacam-macam karena pengaruh masyarakat pada masa itu. Tujuan itu dapat disimpulkan sebagai berikut :
a.    Tujuan keagamaan dan akhlak
Sebagaiman pada masa sebelumnya, anak-anak dididik dan diajar membaca atau menghafal Al-Qur’an, ini merupakan suatu kewajiban dalam agama, supaya mereka mengikut ajaran agama dan berakhlak menurut agama.
b.      Tujuan kemasyarakatan
Para pemuda pada masa itu belajar dan menuntut ilmu supaya mereka dapat mengubah dan memperbaiki masyarakat, dari masyarakat yang penuh dengan kejahilan menjadi masyarakat yang bersinar ilmu pengetahuan, dari masyarakat yang mundur menuju masyarakat yang maju dan makmur. Untuk mencapai tujuan tersebut maka ilmu-ilmu yang diajarkan di Madrasah bukan saja ilmu agama dan Bahasa Arab, bahkan juga diajarkan ilmu duniawi yang berfaedah untuk kemajuan masyarakat.
c.       Cinta akan ilmu pengetahuan
Masyarakat pada saat itu belajar tidak mengaharapkan apa-apa selain dari pada memperdalam ilmu pengetahuan. Mereka merantau ke seluruh negeri islam untuk menuntut ilmu tanpa memperdulikan susah payah dalam perjalanan yang umumnya dilakukan dengan berjalan kaki atau mengendarai keledai. Tujuan mereka tidak lain untuk memuaskan jiwanya untuk menuntut ilmu.
d.      Tujuan kebendaan
Pada masa itu mereka menuntut ilmu supaya mendapatkan penghidupan yang layak  dan pangkat yang tinggi, bahkan kalau memungkinkan mendapat kemegahan dan kekuasaan di dunia ini, sebagaimana tujuan sebagian orang pada masa sekarang ini.[19]


2.6  Lembaga-lembaga Pendidikan pada masa Dinasti Abbasiyah
Sebelum timbulnya sekolah dan universitas yang kemudian dikenal sebagai lembaga pendidikan formal, dalam dunia Islam sebenarnya telah berkembang lembaga-lembaga pendidikan islam yang bersifat non Formal.[20] Lembaga pendidikan Islam pada masa Dinasti Abbasiyah ini terpusat pada Kuttab dan Mesjid.[21] Di antara lembaga-lembaga pendidikan yang ada pada masa Dinasti Abbasiyah, antara lain :
a.      Kuttab
Ensiklopedia islam menjelaskan bahwa Kuttab adalah sejenis tempat belajar yang mula-mula lahir di dunia Islam. Pada awalnya kuttab berfungsi sebagai tempat memberikan pelajaran menulis dan membaca bagi anak-anak.[22] Kuttab berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis atau tempat menulis. Jadi Kuttab adalah tempat belajar menulis. Sebelum datangnya Islam Kuttab telah ada dinegeri Arab, walaupun belum banyak dikenal. Diantara penduduk mekah yang mula-mula belajar menulis ialah Sufyan Ibnu Umaiyah Ibnu Abdu Syams, dan Abu Qais Ibnu Abdi Manaf Ibnu Zuhrah Ibnu Kinat.[23]
Inti pokok pendidikan di Kuttab pada mulanya adalah membaca dan menulis, karena masih terbatasnya lembaga Kuttab sebelum Islam. Maka ketika Islam lahir baru 17 orang penduduk makkah yang pandai membaca dan menulis. Rasulullah sendiri sangat member perhatian kepada tulis baca, sebab itulah beliau member syarat kepada tawanan perang Badar akan dibebaskan siapa yang mampu mengajari kaum Muslimin membaca dan menulis, sebagai tebusannya. Urgensi kepandaian membaca dan menulis penting bagi kaum Muslim, karena dikaitkan dengan penulisan wahyu dan juga juru tulis beliau.[24]
Kemudian pada akhirnya, pada abad pertama Hijriyah mulailah timbul jenis Kuttab, yang disamping memberikan pelajaran menulis dan membaca, juga mengajarkan membaca al-Qur’an dan pokok-pokok ajaran Islam. Pada mulanya, kuttab jenis ini, merupakan pemindahan dari pengajaran al-Qur’an yang berlangsung di Mesjid, yang sifatnya umum.
b.      Mesjid
Mesjid semenjak zaman nabi mempunyai fungsi ganda, sebagai tempat beribadah dan sebagai tempat kegiatan social kemasyarakatan. Salah satu fungsinya dalam bidang kemasyarakatan adalah tempat pendidikan dan pengajaran. Mesjid-mesjid didirikan pada umumnya dilengkapi dengan berbagai macam sarana dan fasilitas pendidikan. Di dunia islam, di zaman Dinasti Abbasiyah mesjid-mesjid berkembang dengan pesatnya. Dikota bagdad saja menurut hitungan Al-Ya’qubi ada 30.000 masjid, di kota Iskandaria 12.000 mesjid, Damaskus 500 mesjid. Ini gambaran betapa pesatnya kemajuan pendidikan islam dikala itu. Mesjid-mesjid tersebut telah berubah fungsi, tidak hanya untuk tempat beribadah juga dipakai tempat kegiatan social kemasyarakatan. Materi pelajaran yang diajarkan di mesjid tidak hanya terbatas kepada ilmu-ilmu naqliyah saja, tetapi juga mencakup ilmu-ilmu ‘Aqliyah.[25]
Fungsi mesjid pada masa Abbasiyah umumnya dilengkapi dengan berbagai macam sarana dan fasilitas untuk pendidikan. Tempat pendidikan anak-anak, tempat-tempat untuk pengajian dari ulama-ulama yang merupakan kelompok-kelompok halaqah, tempat untuk berdiskusi dan munazarah dalam berbagai ilmu pengetahuan, dan juga dilengkapi dengan ruangan perpustakaan dengan buku-buku ilmu pengetahuan dari berbagai macam ilmu yang cukup banyak. Demikianlah mesjid dalam dunia Islam, sepanjang sejarahnya tetap memegang peranan pokok, disamping fungsinya sebagai tempat berkomunikasi dengan Tuhan, sebagai lembaga pendidikan dan pusat komunikasi sesame kaum Muslimin.[26]
c.       Perpustakaan
Pada masa kemajuan pendidikan Islam, perpustakaan mempunyai peranan yang sangat penting. Para cendikiawan menuangkan ilmu mereka kedalam bentuk tulisan, sehingga dengan demikian berkembanglah perpustakaan di dunia Islam. Pada masa itu dibangunlah perpustakaan-perpustakaan di negeri-negeri Islam. Bangunan-bangunan ini dilengkapi dengan kamar-kamar dan ruang-ruuang yang banyak untuk bermacam-macam keperluan. Sebagai ilustrasii dapat dikemukakan disini gedung yang dibangun untuk perpustakaan Fatimiyah di Kairo, terdapat 40 ruangan untuk buku-buku yang masing-masing ruang dapat memuat 18.000 buah buku.[27]
Perpustakaan-perpustakaan pada masa ini banyak yang dihasilkan oleh pemerintah atau merupakan wakaf dari para ulama dan sarjana. Baitul Hikmah di Bagdad yang didirikan oleh Khalifah harun al-Rasyid, adalah merupakan salah satu contoh dari perpustakaan Islam yang lengkap, yang berisi buku-buku islam dan bahasa arab, bermacam-macam ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu, dan berbagai buku terjemahan dari bahasa-bahasa Yunani, Persia, India, Qibty, dan Aramy.[28]

d.      Pendidikan rendah di Istana
Pendidikan di istana adalah dikhususkan buat mendidik anak-anak khalifah dan para pembesar. Anak-anak khalifah dan para pembesar tersebut didik khusus di istana untuk menyiapkan mereka agar dapat melaksanakan pekerjaan yang berat yang kelak akan dipikulkan dipundak mereka. Pendidikan di istana yang membuat rencana pelajaran adalah orangtua murid. Diselaraskan dengan tujuan yang dikehendaki oleh orangtua murid. Guru yang bertugas dinamakan Muaddib, muaddib tinggal diistana, agar pengawasannya kepada putra raja lebih sempurna.[29]
Rencana pelajaran untuk pendidikan di istana pada garis besarnya sama saja dengan rencana pendidikan di kuttab. Hanya ditambah atau dikurangi menurut kehendak para pembesar yang bersangkutan, dan selaras dengan keinginan untuk menyiapkan anak tersebut secara khusus ubtuk tujuan-tujuan dan tanggung jawab yang akan dihadapinya dalam kehidupan mereka nanti.[30]
e.       Toko-toko kitab
Pada permulaan masa Dinasti Abbasiyah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam sudah tumbuh dan berkembang dan diikuti oleh penulisan kitab-kitab dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, maka berdirilah toko-toko kitab.
f.        Majelis kesusasteraan
Majlis kesusasteraan ini telah muncul pada  masa Umayah, dalam bentuk yang masih sederhana, kemudian mencapai kemajuan pada masa Abbasiyah. Majelis kesusasteraan ini dimaksudkan adalah suatu majelis yang dikhususkan untuk membahas ilmu pengetahuan. Di dalam majelis ini hadir orang-orang tertentu yang mendapat kehormatan untuk hadir. Didalam majelis tersebut mempunyai aturan-aturan dan tata tertib sedemikian rupa, mulai dari tata tertib berbicara, berdebat, duduk, dan lain-lainnya.
g.      Madrasah
Lembaga yang muncul setelah masjid adalah madrasah. Munculnya lembaga ini seperti yang dijelaskan oleh Shalaby yaitu karena tuntutan kebutuhan zaman. Diantara factor yang mendorong munculnya madrasah adalah karena semakin banyaknyya pelajar yang menuntut ilmu pengetahuan, sehingga tidak mungkin bagi mereka lagi untuk belajar di Mesjid.[31]


BAB III
ANALISIS
Pada masa Daulah Umaiyah dunia mulai mengenal peradaban dan kebudayaan Islam. Dan pada masa Daulah Abbasiyah mengalami kemajuan dan mencapai peradaban yang gemilang dalam sejarah Islam dimana pada masa ini dikenal berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat, baik ilmunya masing-masing. Prestasi ini menaikkan derajat Islam dan membuktikan bahwa Islam memiliki para ulama yang cerdik dan berkuasa di dunia pendidikan. Bahkan di antara mereka para ulama tersebut ada yang sampai sekarang masih di gunakan karya-karya mereka sebagai pedoman agar tidak keluar dari ajaran sesungguhnya. Selain itu, pada masa Abbasiyah merupakan zaman keemasan yang pernah dialami oleh kaum muslimin dimana pada zaman ini mengalami perkembangan ilmu yang sangat pesat diantaranya ilmu tafsir, hadits, fiqh, filsafat, matematika, geografi dan lain sebaginnya.
Sedang metode yang diguakan pada masa Abbasiyah secara garis besar dibagi menjadi tiga metode yaitu metode lisan, menghafal, tulisan. Ketiga metode inilah yang digunakan dalam pendidikan/pengajaran pada masa itu untuk mentransfer ilmu dari seorang guru terhadap muridnya. Setelah itu, bani Abbasiyah mengalami kemunduran yang disebabkan konfil intern dan ekstern, diantaranya :
·         konfik antar bangsa
·         kemerosotan ekonomi
·         konflik keagamaan
·         ancaman dari luar.












BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Kejayaan Islam pada masa Dinasti Abbasiyah mencerminkan bahwa Islam adalah agama yang luar biasa. Bahkan Eropa pun seolah-olah tidak berdaya menghadapi kemajuan Islam terutama di bidang IPTEK. Walaupun pada akhirnya kejayaan Islam masa Dinasti Abbasiyah telah berakhir dan hanya menjadi kenagngan manis belaka kita sebagai generasi penerus harus senantiasa berusaha untuk menjadi generasi yang pantang menyerah apalagi di zaman serba modern ini kemajuan IPTEK semakin sulit untuk dibendung. Kemajuan IPTEK merupakan tantangan yang besar bagi kita. Apakah kita sanggup atau tidak menghadapi tantangan ini tergantung pada kesiapan pribadi masing-masing.
Oleh Sebab itu, penulis merasa perlu kiranya untuk menjadikannya sebagai landasan dan kaca perbandingan demi kemajuan dunia Islam sekarang ini. Penulis merasa dunia pendidikan Islam sekarang ini sangat merosot dan tidak mengalami perkembangan yang sangat berarti.

4.2 Kritik & Saran
Demikianlah sedikit uraian tentang Sejarah Pendidikan Islam  pada masa Abbasiyah. Tentunya tulisan ini masih sangat jauh untuk mengungkap secara detail dan sempurna tentang Sejarah Pendidikan Islam pada masa Abbasiyah. Untuk itu penulis yakin makalah ini masih membutuhkan banyak koreksi dan masukan. Sebagai penutup penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca.











DAFTAR PUSTAKA

1.      Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT RajaDrafindo Persada, cet ke-22, 2010.
2.      Siti Zubaidah, Sejarah Peradaban Islam, Medan : Wal Ashri Publishing, 2011.
3.      Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2008.
4.      Suwito & Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta : Prenada Media, 2005.
5.      Fakhrur Razy Dalimunte, Sejarah Pendidikan Islam, Medan : Rimbow, 1986.
6.      Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Jakarta : Prenada Media, 2003.
7.      Haidar Putra Daulay & Nurgaya Pasa, Sejarah Pendidikan Islam, Medan : IAIN Press, 2007.
8.      Mamud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : PT. Hidakarya Agung, 1990
9.      Zuhairi, Dkk, sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, cet-11, 2011.
10.  Daulah Abbasiyah, http://pai-smpn21padang.blogspot.com/2008/07/daulah-abbasiyah_02.html, tgl. 27-05-2012


[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT RajaDrafindo Persada, cetakan ke-22, 2010, hal : 49
[2] Siti Zubaidah, Sejarah Peradaban Islam, Medan : Wal Ashri Publishing, 2011, hal : 139
[3] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2008, hal : 127-128. Lihat juga di Suwito & Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta : Prenada Media, 2005, hal : 11
[4] Siti Zubaidah, Sejarah Peradaban Islam, Medan : Wal Ashri Publishing, 2011, hal : 146-147
[5] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2008, hal : 129-136
[6] Fakhrur Razy Dalimunte, Sejarah Pendidikan Islam, Medan : Rimbow, 1986, hal : 39
[7] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Jakarta : Prenada Media, 2003, hal : 58
[8] Haidar Putra Daulay & Nurgaya Pasa, Sejarah Pendidikan Islam, Medan : IAIN Press, 2007, hal : 48-49
[9] Fakhrur Razy Dalimunte, Sejarah Pendidikan Islam, Medan : Rimbow, 1986, hal : 66-67
[10] Dikutip dari situs : Daulah Abbasiyah, http://pai-smpn21padang.blogspot.com/2008/07/daulah-abbasiyah_02.html, tgl. 27-05-2012
[11] Suwito & Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta : Prenada Media, 2005, hal : 14
[12] Haidar Putra Daulay & Nurgaya Pasa, Sejarah Pendidikan Islam, Medan : IAIN Press, 2007, hal : 69
[13] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT RajaDrafindo Persada, cetakan ke-22, 2010, hal : 54
[14] Haidar Putra Daulay & Nurgaya Pasa, Sejarah Pendidikan Islam, Medan : IAIN Press, 2007, hal 66-67
[15] Zuhairi, Dkk, sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, cet-11, 2011, hal : 102
[16] Haidar Putra Daulay & Nurgaya Pasa, Sejarah Pendidikan Islam, Medan : IAIN Press, 2007, hal : 67
[17] Zuhairi, Dkk, sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, cet-11, 2011, hal : 103
[18] Zuhairi, Dkk, sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, cet-11, 2011, hal : 104-205, lihat juga Haidar Putra Daulay & Nurgaya Pasa, Sejarah Pendidikan Islam, Medan : IAIN Press, 2007, hal : 67-68
[19] Mamud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : PT. Hidakarya Agung, 1990, hal : 46
[20] Zuhairi, Dkk, sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, cet-11, 2011, hal : 89
[21] Fakhrur Razy Dalimunte, Sejarah Pendidikan Islam, Medan : Rimbow, 1986, hal : 42
[22] Haidar Putra Daulay & Nurgaya Pasa, Sejarah Pendidikan Islam, Medan : IAIN Press, 2007, hal : 51
[23] Zuhairi, dkk, hal : 89
[24] Haidar purba daulay & Nurgaya Pasa, Hal : 52
[25] Haidar Putra Daulay & Nurgaya Pasa, Sejarah Pendidikan Islam, Medan : IAIN Press, 2007, hal : 54-55
[26] Zuhairi, Dkk, sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, cet-11, 2011, hal : 99
[27] Haidar Putra Daulay & Nugraya Pasa hal : 58
[28] Zuhairi, Dkk, hal : 98
[29] Haidar Putra Daulay & Nurgaya Pasa, Sejarah Pendidikan Islam, Medan : IAIN Press, 2007, hal : 60
[30] Zuhairi, Dkk, sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, cet-11, 2011, hal : 92-93
[31] Haidar Putra Daulay & Nugraya Pasa hal : 64

Tidak ada komentar:

Posting Komentar