Selasa, 12 November 2013

KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
            Perkembangan Islam pada zaman Nabi Muhammad SAW dan Para Sahabat adalah merupakan Agam Islam pada zaman keemasan, hal itu bisa terlihat bagaimana kemurnian Islam itu sendiri dengan adanya pelaku dan faktor utamanya yaitu Rasulullah SAW. Kemudian pada zaman selanjutnya yaitu zaman para sahabat, terkhusus pada zaman Khalifah empat atau yang lebih terkenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidin, Islam berkembang dengan pesat dimana hampir 2/3 bumi yang kita huni ini hampir dipegang dan dikendalikan oleh Islam. Hal itu tentunya tidak terlepas dari para pejuang yang sangat gigih dalam mempertahankan dan juga dalam menyebarkan islam sebagai agama Tauhid yang diridhoi.
            Perkembangan islam pada zaman inilah merupakan titik tolak perubahan peradaban kearah yang lebih maju. Maka tidak heran para sejarawan mencatat bahwa islam pada zaman Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin merupakan islam yang luar biasa pengaruhnya. Namun yang terkadang menjadi pertanyaan adalah kenapa pada zaman sekarang ini seolah kita melupakannya. Sekaitan dengan itu perlu kiranya kita melihat kembali dan mengkaji kembali bagaimana sejarah islam yang sebenarnya.
            Pertama kali yang dirasakan kaum muslimin ketika mengkaji sejarah tentang Ali bin Abi Thalib adalah kerumitan-kerumitan yang menjadi tanda tanya besar bagi kami. Pada waktu itu, terjadi berbagai konflik atau tepatnya fitnah di kalangan para sahabat, seperti Perang Jamal (terjadi antara golongan Ali dan Aisyah) dan perang Shifin (terjadi antara golongan Ali dan Muawiyah). Generasi sahabat yang disebut di dalam al-Qur’an sebagai Khairu Ummah mengalami peristiwa yang benar-benar tidak terduga, bahkan oleh para sahabat di masa itu sekali pun. Hal itu menimbulkan banyak pertanyaan yang harus diselesaikan oleh kaum muslim, terutama para pengkaji sejarah Islam.
            Melihat permasahan yang sedemikian rumit ini, bahkan sering juga muncul fitnah yang mencitrakan buruk bagi generasi sahabat di masa itu, maka saya sebagai mahasiswa Islam selain dalam rangka menyelesaikan tugas MID semester  Sejarah Peradaban Islam, kami juga merasa ada kewajiban untuk ikut serta meluruskan opini-opini miring tentang Ali bin Abi Thalib. Terutama yang disajikan oleh kalangan Orientalis dan para pengikutnya yang tidak jujur dan obyektif dalam mengkaji Sejarah Islam. Konflik-konflik yang terjadi di masa itu menjadi bulan-bulanan untuk memberikan citra buruk terhadap Islam.
            Sebenarnya, pembahasan masa khalifah Ali ra sudah banyak dilakukan oleh para mu’arrikhin. Ada yang menganalisa masa khalifah Ali dari segi politiknya, seperti yang dilakukan oleh dosen STID Mohammad Natsir, Jeje Zainudin Abu Himam, MA, dalam buku yang berjudul “Akar Konflik Umat Islam, Sebuah Pelajaran dari Konflik Politik Pada Zaman Sahabat”. Meskipun dalam judul bukunya terdapat kata “Zaman Sahabat”, namun fokusnya adalah masa khalifah Ali ra. Buku itu secara spesifik membahas tentang konflik politik yang terjadi pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib.[1] Buku itu cukup representatif untuk meng-counter buku-buku sejarah Islam yang ada di Indonesia yang tidak adil dalam memaparkan sejarah tentang Ali ra. Ada juga buku yang membahas Ali ra, yang menurut kami tidak proposional/subyektif–  sebagai sosok yang telah dicederai oleh para ulama Sunni, seperti yang dilakukan oleh George Jordac. Jordac dalam bukunya tersebut menyebut bahwa Abdullah bin Saba yang sering disebut Sunni sebagai tokoh fiktif yang sengaja dibuat-buat.[2]
            Tentunya, membahas khalifah Ali dalam sebuah makalah yang sederhana tidaklah akan cukup dan memuaskan. Namun, belajar dari uraian buku-buku di atas, kami berusaha untuk memberikan beberapa analisa dengan menggunakan buku-buku itu, untuk kemudian menguatkan atau bahkan mengkritisi, bila memang terdapat pernyataan-pernyataan yang tidak sesuai dengan data-data sejarah yang ada. Kami akan mulai pembahasan ini dengan menganalisa situasi di akhir pemerintahan Utsman bin Affan. Kemudian akan kami bahas tentang pemerintahan Ali dan berbagai peristiwa penting yang terjadi. Adapun masalah futuhat, di sini kami akan membahasnya secara sepintas. Di makalah ini juga, kami tidak akan menhadirkan biografi Ali, sebab yang jadi fokusan kami adalah masa kekhalifahannya. Ini sengaja kami lakukan agar tidak memperlebar pembahasan.

B.     Rumusan Masalah
            Agar tidak terjadi kesimpang siuran dalam penyusunan makalah ini, maka saya merumuskan masalah sebagai berikut:






BAB II
PEMBAHASAN
KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB
A.    Silsilah dan Kepribadian Ali bin Abi Tholib
            Ali bin Abi Tholib lahir pada tahun 603 M disamping ka’bah kota Mekkah, lebih muda 32 tahun dari Nabi Muhammad SAW. Ali termasuk keturunan Bani Hasyim. Abu Tholib memberi nama Ali dengan Haidarah, mengenang kakeknya yang bernama Asad. Haidarah dan Asad dalam Bahasa Arab artinya singa. Sedang Nabi Muhammad memberi nama “ALI” yang menakutkan musuh-musuhnya. Pada usia 6 tahun, Ali bin Abi Tholib diasuh oleh Nabi Muhammad sebagaimana Nabi diasuh oleh ayahnya, Abu Tholib. Karena mendapat didikan dan asuhan langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka Ali tumbuh sebagai anak yang berbudi luhur, cerdik, pemberani, pintar dalam berbicara dan berpengetahuan luas. Gelar-gelar yang disandang oleh Ali antara lain:
»        Babul Ilmu gelar dari Rasulullah yang artinya karena beliau termasuk orang yang banyak meriwayatkan hadist.
»        Zulfikar karena pedangnya yang bermata, juga disebut “Asadullah” (singa Allah) dua dan setiap Rasulullah memimpin peperangan Ali selalu ada dibarisan depan dan memperoleh kemenangan.
»        Karramallahu Wajhahu  gelar dari Rasulullah yang artinya wajahnya dimuliakan oleh Allah, karena sejak kecil beliau dikenal kesalehannya dan kebersihan jiwanya.
»        Imamul masakin  (pemimpin orang-orang miskin), karena beliau selalu belas kasih kepada orang-orang miskin, beliau selalu mendahulukan kepentingan orang-orang fakir, miskin dan yatim. Meskipun ia sendiri sangat membutuhkan.[3]
            Ali termasuk salah satu seorang dari tiga tokoh yang didalamnya bercermin kepribadian Rasulullah SAW. Mereka itu adalah Abu Bakar As- Shiddiq, Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Tholib. Mereka bertiga laksana mutiara memancarkan cahayanya, itulah sebabnya Ali dijuluki “Almurtadha” artinya orang yang diridhai Allah dan Rasulnya.

B.     Proses pemilihan Khalifah Ali bin Abi Thalib
            Sudah dimaklumi bahwa satu peristiwa pasti berkaitan dengan peristiwa yang lain, hal itu biasa disebut dengan kausalitas. Begitu juga dengan peristiwa yang menyangkut dengan pemerintahan Ali bin Abi Thalib, besar hubungannya dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada pemerintahan Utsman bin Affan, terutama pada masa-masa akhir pemerintahannya. Utsman bin Affan dibunuh secara tragis oleh salah seorang yang disebut dalam sejarah-sejarah sebagai rombongan penentang pemerintahan kekhalifahan Utsman bin Affan.
            Pembunuhan kepada sang khalifah terjadi akibat berbagai insiden yang mendera pemerintahan Utsman dan rakyatnya. Peristiwa itu diawali dengan pembangkangan yang dilakukan penduduk Kuffah, Mesir dan Basharah terhadap kekhalifahan Utsman bin Affan. Mereka memprotes kebijakan Utsman yang dinilai terlalu mementingkan sukunya. Oleh karena itu, mereka meminta kepada khlalifah Utsman untuk memecat para pejabat pemerintahan yang mereka tidak sukai. Diantaranya adalah Al-Walid bin Uqbah (Gubernur Kuffah), Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah (Gubernur Mesir). Mereka bergabung menjadi satu koalisi pergi ke Madinah untuk memprotes dan menentang terhadap kebijakan-kebijakan Utsman.[4]
            Khalifah Utsman akhirnya bersedia untuk mengabulkan permintaan mereka dengan mengganti Al-Walid bin Uqbah dengan Sa’id bin Ash, dan Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah dengan Muhammad bin Abu bakar. Keputusan itu untuk sementara memberi rasa lega kepada rombongan koalisi penentang dan memberi optimisme kembalinya perdamaian. Karena itu pula mereka bersedia membubarkan diri untuk kemudian pulang ke negeri asal mereka.
            Beberapa saat kemudian, sejarah berbicara lain, rombongan itu kembali lagi ke Madinah dengan membawa kemarahan meluap-luap. Mereka membawa sepucuk surat rahasia yang dirampas dari seorang budak  Utsman yang sedang berlari kencang menuju Mesir. Isi surat yang berstempel Khalifah Utsman tersebut memerintahkan kepada Gubernur Mesir agar menangkap dan membunuh para penentang khalifah. Anehnya Khalifah Utsman pun berani bersumpah bahwa ia tidak pernah menulis surat semacam itu. Bahkan ia meminta dibawakan bukti dan dua orang saksi untuk mengklarifikasi keberadaan surat itu. Setelah tiga hari tiga malam, ultimatum para penentang ini tidak digubris oleh Utsman, beberapa orang berhasil menerobos barisan penjaga gedung Utsman dari atap rumah bagian samping lalu membunuh Khalifah Utsman yang sedang membaca al-Qur’an.[5]
            Peristiwa terbunuhnya Utsman di tangan rombongan penentang itu menyisakan banyak teka-teki sejarah  yang tak kunjung memuaskan. Terutama mengenai misteri surat rahasia itu yang menjadi tanda tanya besar bagi para pengkaji sejarah Islam. Siapakah sebenarnya yang paling bertanggung jawab atas keberadaan surat itu. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya berbagai konflik pada masa kekhalifahan selanjutnya. Setelah Utsman wafat pada hari selasa 18 zulhijah 35 H (17 Juni 656 M), masyarakat beramai-ramai membai’at Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah melalui sebuah majelis. Terhadap baiat itu Ali berkata :
“Aku ingin sidang pemilihan khalifah didasarkan atas kebenaran, tidak mengikuti emosional, tidak mengkualitaskan individu tertentu dan tidak mencela umat lain”.
            Walau pada awalnya Ali bin Abi Thalib menolak, akan tetapi karena diminta harus, akhirnya Ali menerima kepercayaan tersebut dan berkata :
”Kalau begitu baiat ini harus berlangsung di mesjid, sebab baiat kepadaku boleh secara sembunyi dan tidak boleh berlangsung kecuali atas dasa kerelaan kaum muslimin”.[6]
            Pembai’atan Ali berjalan dengan mulus dan mayoritas penduduk Madinah menerima kekhalifah Ali dengan antusias. Setelah dilantik menjadi khalifah, Ali bin Abi Thalib menyampaikan pidato politik untuk pertama kalinya. Pidatonya tersebut secara umum menggambarkan garis besar dari visi politiknya.
            Menurut Jeje Zainudin, sedikitnya ada lima visi politik Ali dari pidatonya itu. Yaitu :
Ø  Sumber hukum dan dasar keputusan politik yang akan dilaksanakan oleh Ali adalah kitab suci al-Quran. Ini tidak berarti bahwa Ali akan mengabaikan al-Sunnah, sebab al-Quran hanya dapat dilaksanakan secara tepat jika ia dibimbing oleh Sunnah Nabi saw, dan Ali tentulah orang yang paling memahami persoalan ini.
Ø  Mewujudkan nilai-nilai kebaikan ideal al-Quran dan menolak segala keburukan dalam masyarakat.
Ø  Tulus ikhlas dalam memimpin dan mengutamakan integrasi kaum muslimin.
Ø  Melindungi kehormatan jiwa dan harta benda rakyat dari segala gangguan kezaliman lidah dan tangan. Kelima, membangun kehidupan masyarakat yang bertanggungjawab terhadap bangsa dan Negara dengan landasan ketaatan kepada Allah swt.[7]

            Menarik untuk dibahas, meskipun pembai’atan Ali berjalan mulus dan lancar, akan tetapi ada beberapa kelompok dari kalangan kaum muslimin saat itu dalam menyikapi kekhalifan Ali bin Abi Thalib. Diantaranya :
Ø  Kelompok yang melarikan diri dari Madinah menuju Syam segera setelah terbunuhnya Utsman dan menghindari ikut campur dalam pembai’atan pengangkatan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Mereka adalah anak cucu Bani Umayyah dan para pendukung setianya. Di antaranya adalah tokoh dari Bani Umayah :
·         Marwan bin al-Hakam
·         al-Walid bin Uqbah
            Sementara dari tokoh-tokoh pendukung setianya yang ikut melarikan diri ke Syam adalah :
·         Qudamah bin Madh’un
·         Abdullah bin Sallam
·         Mughirah bin Syu’bah
·         Nu’man bin Basyir.
Ø  Kelompok yang menangguhkan pembai’atan terahadap Ali dan menyatakan menunggu perkembangan situasi. Diantaranya adalah :
·         Sa’ad bin Abi Waqqas
·         Abdullah bin Tsabit
·         Muhammad bin Salamah
·         Usamah bin Zaid
·         Salamah bin Salamah bin Raqis.
Ø  Kelompok yang sengaja tidak mau memberikan bai’at kesetiannya kepada Ali bin Abi Thalib meskipun mereka tetap berada di Madinah saat pembaiatan Ali. Diantaranya adalah :
·         Hasan bin Tsabit
·         Ka’ab bin Malik
·         Zaid bin Tsabit
·         Rafi’ Khadij
·         Abu Sa’id al-Khudry
·         Muhammad bin Maslamah
·         Maslamah bin Mukhallad
Mereka disebut-sebut sebagai kelompok yang sangat loyal terhadap Utsman bin Affan.
Ø  Kelompok sahabat penduduk Madinah yang menunaikan ibadah haji pada tahun itu dan belum pulang saat terjadi pembai’atan. Setelah terjadi pembai’atan, sebagian kecil mereka tidak pulang ke Madinah melainkan menunggu perkembangan situasi dari Mekkah. Termasuk di antara mereka adalah Aisyah radiyallahu ‘anhaa.[8]

            Sikap kaum muslimin di atas, berpengaruh besar terhadap pemerintahan khalifah Ali di kemudian hari. Gambaran situasi awal pembaiatan Ali seperti diungkapkan diatas cukup menjadi isyarat tentang rumitnya situasi politik menjelang dan pasca pembunuhan Utsman. Hal ini menjadi preseden tidak baik bagi situasi politik yang dihadapi Ali. Bagaimanapun, Madinah adalah ibukota Negara dan pusat kewibawaan agama semenjak Nabi Muhammad Saw hingga tiga Khalifah sesudahnya. Keputusan politik dan keagamaan yang disepakati penduduk Madinah menjadi acuan bagi seluruh wilayah Islam yang ada di luarnya. Untuk saat itu, dapatlah dikatakan Madinah menjadi barometer keutuhan umat. Sebab, disinilah berkumpulnya  para sahabat Nabi yang sangat dihormati oleh generasi sesudahnya. Jika penduduk Madinah saja sudah tidak utuh dan bilat dalam suatu keputusan politik public, maka penduduk di luar Madinah akan lebih sulit lagi untuk bersatu menerimanya.
            Meskipun keadaan politik saat itu begitu rumit, Ali ra, sebagai seorang khalifah tetap menjalankan berbagai program untuk merealisasikan visi pemerintahannya. Yang sangat penting dilakukan pada saat itu adalah bagaimana meredakan berbagai isu yang sedang dan akan timbul setelah kematian Utsman bin Affan. Kebijakan-kebijakan Ali itu  antara lain mengganti Para Pejabat, Pembenahan Bait al-Mal dan Perpajakan, Pembenahan Administrasi kepegawaian, Pengadilan dan Militer, serta menghadapi Para Penantang. Yang terakhir ini dilakukan agar kekacauan politik dunia Islam stabil.

C.    Kebijakan Ali Menyusun kembali Aparatur Kekhalifaan
            Dalam periode khalifah Abu Bakar dan Umar, kehidupan masyarakat masih dalam taraf kesederhanaan seperti periode Nabi Muhammad SAW. Rakyat masih bersatu padu dan kokoh dibawah ikatan tali persaudaraan Islam. Mereka selalu kompak dalam semangat jihad yang ikhlas demi kelulusan agama Islam.
            Keadaan ini mulai berubah sejak periode Khalifah Usman bin Affan. Mereka mulai terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat duniawi, apalagi saat gubernur yang diangkat Khalifah Usman banyak yang tidak mampu memimpin umat dan tidak disenangi masyarakat. Oleh karena itu Khalifah Ali bin Abi Tholib menanggung beban yang berat dalam memimpin kaum muslimin dengan wilayah kekuasaan yang semakin meluas. Kebijakan-kebijakn Khalifah Ali dalam menanggulangi hal-hal tersebut adalah:
ü  Tanah-tanah atu pemberian-pemberian yang dilakukan Khalifah Usman bin Affan kepada famili, sanak kerabatnya dan kepada siapa saja yang tanpa alasan yang benar atu tidak syah, ditarik kembali dan menjadi milik Baitul Mal sebagai kekayaan negara. Hal ini dilakukan Khalifah untuk membersihkan pemerintahan.
ü  Wali/Amir atau gubernur-gubernur penguasa wilayah yang diangkat Khalifah Usman diganti dengan orang-orang baru. Antara lain :
·         Kuwait, Abu Musa Al Asy’ari diganti Ammarah bin Syahab
·         Mesir, Abdullah bin Sa’ad diganti Khais bin Tsabit
·         Basyrah, Abdullah bin Amr diganti Usnab bin Hany Al Anshori
·         Syam (Syiria), Muawwiyah bin Abi Sofyan diganti Shal bin Hanif
Hal ini dilakukan Khalifah Ali, karena mereka banyak yang tidak disenangi oleh kaum muslimin, bahkan banyak yang menganggap bahwa mereka itulah yang menyebabkan timbulnya pemberontakan-pemberontakan pada masa Khalifah Usman.
ü  Sebagai upaya untuk mencerdaskan umat, Khalifah Ali meningkatkan dalam Ilmu pengetahuan, khususnya ilmu yang berkaitan dengan Bahasa Arab agar umat Islam mudah dalam mempelajari Al-Qur’an dan Hadits.
ü  Berusaha untuk mengembalikan persatuan dan kesatuan umat Islam. Akan tetapi usahanya ini kurang berhasil, karena api fitnah dikobarkan kaum munafik Yahudi yang tidak menyukai Islam.
ü  Mengatur tata pemerintahan untuk mengembalikan kepentingan umat, seperti memberikan kepada kaum muslimin tunjangan yang diambil dari Baitul Mal sebagaimana yang telah dilakukan Abu Bakar dan Umar.[9]

D.    Peristiwa-Peristiwa Penting Yang Terjadi di masa Khalifah Ali
            Beberapa kejadian penting terjadi di masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Sedikitnya ada tiga kejadian yang menurut saya sangat penting untuk dibahas. Yaitu :
1.      Perang Jamal
            Ketika Aisyah telah menunaikan umrah dan akan kembali ke Madinah, beliau menangguhkan kepulangannya setelah mendengar berita kematian khalifah Utsman. Terlebih Aisyah mendapatkan kabar bahwa Ali telah dibaiat menjadi khalifah pengganti Utsman. Sahabat yang memberi tahu kepada Aisyah tentang terbunuhnya Utsman dan dibaiatnya Ali adalah Ubaidillah bin Salamah al-Laisi.
            Aisyah, yang dikenal mempunyai analisa yang tajam terhadap teks-teks keagamaan, menuntut hal yang sama seperti Muawiyyah, supaya Ali mengusut tuntas siapa pembunuh Utsman.[10]  Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam yang saat itu berada di Madinah, meminta izin kepada Ali bin Abi Thalib untuk pergi ke Makkah dalam rangka menunaikan umrah. Data tersebut memberikan informasi pada kita, bahwa Thalhah bin Ubaidillah dan Zuber bin Awwam pada awalnya telah membaiat Ali bin Thalib sebagai khalifah.
            Dr. Hasan Ibrahim Hasan bahkan menyebut Thalhah bin Ubaidillah sebagai orang yang pertama kali membaiat Ali bin Abi Thalib.[11] Namun, setelah tiba di Makkah dan bertemu dengan Aisyah, kedua sahabat itu akhirnya sepakat untuk sama-sama menuntut Ali agar mengusut dan menghukum para pembunuh Utsman.
            Informasi-informasi di atas juga memberi gambaran kepada kita, bahwa penentangan yang dilakukan oleh Muawiyyah, Aisyah, Thalhah dan Zubeir factor utamanya adalah penuntasan hukum qishah terhadap pembunuh Utsman. Ini penting untuk diperhatikan agar tidak terjadi salah paham. Penentangan mereka bukan mempermasalahkan siapa yang sebenarnya dan seharusnya yang jadi khalifah pengganti Utsman, seperti yang diungkapkan oleh beberapa analis sejarah. Dalam salah satu bukunya, yang juga menjadi rujukan primer di UIN, Badri Yatim mengutip pendapat Ahmad Syalabi yang menyatakan bahwa Abdullah ibn Zubair adalah penyebab terjadinya pemberontakan terhadap Ali dan mempunyai ambisi besar untuk menduduki kursi khilafah. Untuk itu, ia menghasut bibi dan ibu asuhnya, Aisyah, agar memberontak terhadap Ali, dengan harapan Ali gugur dan ia dapat menggantikan posisi Ali.[12]
            Dengan redaksi yang kurang lebih sama, Harun Nasution juga menyatakan bahwa : “Setelah Usman wafat, Ali sebagai calon terkuat, menjadi khalifah yang keempat. Tetapi segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah, terutama Thalhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari Aisyah”.[13]
            Hal senada diungkapkan Hery Sucipto, di dalam bukunya dia menyebutkan; “Namun, tak berapa lama dari menunaikan rukun Islam kelima itu, dia  (Aisyah) mendengar dari salah seorang sahabat, bahwa khalifah Utsman meninggal dan kepemimpinan dipegang oleh khalifah Ali bin Abi Thalib. Hanya saja, baiat terhadap Ali ini membuat kecewa Aisyah, lantaran baginya yang berhak mengganti khalifah Utsman adalah kakak iparnya, Thalhah bin Ubaidillah.”[14]
            Hipotesa beberapa pendapat para ahli  di atas jauh berbeda dengan Asma’ Muhammad Ziyadah. Muhammad Ziyadah mengungkapkan dalam tesisnya, tidak ada riwayat shahih yang menyebut `Aisyah mencabut bai`atnya terhadap Ali. Dasar gerakan `Aisyah adalah menuntut penghukuman orang-orang yang membunuh Utsman. Sementara Zubair dan Thalhah memiliki dasar pikiran yang sama sehingga mereka bergabung untuk mencari jalan keluar persolan ini, setelah empat bulan dari tragedi pembunuhan Usman. Bagi mereka, persoalan qishash terhadap pembunuh Utsman harus segera diselesaikan, sebab khawatir kejadian serupa akan terulang kembali di masa yang akan datang. Jika para pembunuh Utsman itu dibiarkan berkeliaran bebas, maka upaya pembunuhan khususnya, atau lebih jauhnya lagi pemberontakan terhadap pemimpin (Imam) dimasa yang akan datang bisa sering terjadi.
            Ada hal lain yang perlu juga untuk dibahas mengenai beberapa analisa yang diberikan oleh para pakar sejarah mengenai latar belakang penentangan Aisyah terhadap Ali. Sebagian ada yang menyebutkan bahwa Aisyah menolak baiat kepada Ali dikarenakan sentimen pribadi. Ahmad Syalabi misalnya, dalam bukunya dia menyatakan :
“Ada faktor lain yang lebih penting dari itu (tuntutan qishash), diantaranya :
·         Sejak dari dahulu telah ada ketegangan antara Ali dan Aisyah. Asiyah sendiri pernah berkata; sebenarnya demi Allah antara Ali dan saya tak ubahnya sebagai orang dengan mertuanya. Mungkin, ketegangan ini disebabkan oleh pendirian Ali memberatkan Aisyah dalam peristiwa hadits al-Ifki.
·         Ali pernah menyaingi Abu Bakar dalam pemilihan khalifah Abu Bakar
·         Ada lagi faktor lain yang lebih penting, yaitu faktor Abdullah bin Zubeir, putera saudaranya yang perempuan yang bernama Asma bin Abi Bakar, dijadikan anak angkatnya, diasuh dan didiknya di rumanya sendiri.[15]
            Memang ada beberapa hadits yang oleh sebagian orang ditafsirkan sebagai bentuk rasa sentimen Aisyah terhadap Ali. Imam Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan hadits yang menceritakan situasi Rasulullah saat sakit. Ibnu Abbas berkata kepada Ubaidillah, “Tahukah kamu siapa laki-laki yang bersamaku memapah Rasulullah...? Itu adalah Ali, tetapi Aisyah tidak suka hati kepadanya”.
            Hadits lain yang juga sering dijadikan justifikasi untuk menunjukkan rasa sentimen Aisyah terhadap Ali adalah tatkala ada penghinaan terhadap Ali dan Ammar. Ketika itu, Aisyah berkata: “Aku tidak akan mengatakan apapun tentang Ali. Tetapi mengenai Ammar, sungguh aku mendengar Rasulullah bersabda; “Setiap kali dihadapkan kepada dua pilihan, pastia ia (Ammar) memilih yang paling bijaksana diantara keduanya”.  Dalam hadits kedua ini, tekesan Aisyah hanya membela Ammar. Sementara terhadap Ali, seakan-akan dia tidak memperdulikannya (membelanya).
            Mengapa Aisyah dalam dua hadits di atas terkesan bersikap buruk terhadap Ali. Ada yang mengatakan, sikap Aisyah tersebut merupakan buntut dari sikap Ali dalam masalah hadits al-Ifki. Ketika dimintai nasihat (pendapat) oleh Rasul tentang kejadian itu, Ali mengatakan; “Wahai Rasulullah, tidaklah Allah akan menyusahkanmu sedang wanita selain dia masih banyak. Dan tanyakanlah kepada Barirah mungkin ia dapat memberi keterangan yang jujur kepadamu”. Jawaban Ali kepada Rasulullah ini nampaknya melukai perasaan Aisyah. Seakan-akan Ali menyetujui isu yang sedang beredar ditengah masyarakat bahwa Aisyah telah meyeleweng dari Rasulullah saw. Atau paling tidak Ali tidak menunjukkan pembelaannya kepada Aisyah disaat mana posisinya beserta Rasulullah benar-benar tertekan dengan berita fitnah.[16]
            Kata-kata Ali kepada Rasulullah mengenai penilaiannya atas Aisyah ini juga nampaknya diplintir kalangan penguasa Bani Umayah di kemudian hari sebagai alat propaganda dalam menjatuhkan kredibilitas dan aksebilitas Ali dikalangan para pegikutnya. Sebagaimana pengakuan imam Al Zuhri, tokoh hadits dari generasi tabi’in yang sangat terkemuka, bahwa ia pernah dibujuk oleh Al Walid bin Abdul Malik bin Marwan untuk menyetujui bahwa Ali termasuk orang yang memfitnah Aisyah. Tetapi Al Zuhri dengan tegas menolak dan ia mengemukakan pengakuan Aisyah sendiri bahwa Ali tidaklah termasuk orang yang memfitnahnya yang dikecam Allah dalam Al Quran surat Annur ayat 11 sebagai “kelompok persekongkolan”, Ali hanyalah tidak memberi sikap pembelaan kepada Aisyah, bukan ikut memfitnahnya.
            Alasan lain yang yang sering disebut-sebut para peneliti sebagai penyebab retaknya hubungan Ali dengan Aisyah adalah bahwa Aisyah sangat cemburu kepada Khadijah, istri pertama Nabi yang telah wafat di Mekkah. Kecemburuan Aisyah ini karena Nabi sering menyebut dan memujinya dihadapan Aisyah. Karena itu Aisyah melampiaskan kecemburuannya kepada Fatimah, putri Nabi dari Khadijah yang sangat dicintainya. Ketika Ali menikah dengan Fatimah dan perhatian Rasul sangat besar kepada mereka berdua, kecemburuan Aisyah pun ditumpahkan kepada Fatimah dan Ali.[17]
            Menurut Jeje Zaenudin, tuduhan bahwa Aisyah menyimpan dendam kesumat kepada Ali dan Fathimah atas dasar kecemburuannya kepada Khadijah.  adalah bualan-bualan kaum Syiah Rafidhah yang tidak berdasar. Pendek kata, tidak data yang akurat untuk djadikan alasan bahwa perselisihan Aisyah dengan Ali pada masalah tuntutan qishash atas pembunuhan Utsman dilatar belakangi sentimen pribadi.
            Memang tidak dapat dipungkiri adanya berita-berita sejarah telah menceritakan adanya kerenggangan hubungan personal antara Ali dengan Aisyah jauh sebelum peristiwa terbunuhnya Utsman yang disebabkan perselisihan pendapat antara Abu Bakar dengan Fathimah putri Rasulullah mengenai tanah Fadak yang diwakafkan untuk kaum muslimin, dan mengenai saran Ali kepada Rasulullah ketika diminta pendapatnya tentang tuduhan orang kepada Aisyah pada peristiwa hadîtsul ifki. Mungkin saja kekurang harmonisan hubungan ini telah ikut mempengaruhi keberpihakkan Aisyah kepada kelompok oposisi. Tetapi untuk mengambil kesimpulan bahwa semata-mata sentimen pribadi di antara mereka itu merupakan alasan utama bagi Aisyah menentang Ali sungguh terlalu naif. Sebab tidaklah mungkin Aisyah dengan kedudukannya sebagai pribadi yang agung istri Nabi dan Ibu kaum mukminin akan menempuh cara tercela hanya karena sakit hati. Lagi pula tidak mungkin beliau mendapat dukungan yang cukup besar dari beberapa suku Arab jika tidak ada alasan logis yang lebih kuat dan lebih meyakinkan mereka dari sekedar memenuhi dendam kesumat pribadi yang tidak berdasar.[18]
            Dengan demikian, penentangan Aisyah terhadap Ali adalah murni dari pemahaannya terhadap teks al-Quran yang mewajibkan hukum qishash bagi para pelaku pembunuhan. Bukan atas dasar sentimen pribadi terhadap Ali. Di sini juga perlu ditegaskan sekali lagi, bahwa penentangan dari pihak Aisyah, termasuk di dalamnya Thalhah dan Zuber, murni karena menuntut pengusutan tuntas terhadap pelaku pembunuh Utsman. Bukti lain yang menguatkan statmen itu, dapat dilihat dari beberapa surat dan dialog antara Aisyah, Thalhah, Zuber dan Ali yang tidak pernah menyinggung masalah khalifah. Begitu juga dari berbagai pidato Aisyah dalam rangka mendapat dukungan maupun menjawab delegasi-delegasi Ali.[19]
            Tentang penuntutan qishash itu, menurut Mahmud Abbas al-Aqqad, Ali sebenarnya paham dan memaklumi tuntutan para sahabat itu. Namun, saat itu Ali berada dalam posisi terjepit. Kesulitan yang dihadapi Ali itu disampaikan kepada rombongan delegasi para sahabat di Madinah. Saat itu, Ali mengatakan:
“Wahai saudaraku, tidaklah aku lalai dari apa yang kalian ketahui. Tetapi, apa yang dapat aku lakukan kepada satu kaum yang mereka menguasai kita dan kita tidak menguasai mereka. Telah memberontak bersama mereka budak-budak kalian dan orang-orang Badui memperkuat mereka semenatara mereka ada disela-sela kalian dapat menimpakan  keburukan atas kalian. Apakah kalian menemukan satu celah untuk kuasa bertindak sesuatu sebagaimana yang kalian inginkan.[20]
              Jika informasi yang diberikan al-Aqqad di atas benar, dapatlah dimaklumi keputusan Ali untuk menangguhkan qishash. Ali kelihatannya ingin membentuk kekuatan terlebih dahulu dari kalangan kaum muslim, terutama dari para pembesar sahabat. Jika itu sudah terbentuk, maka kekuatan hukum untuk mengusut tuntas siapa pembunuh khalifah Utsman akan dapat dilaksanakan dengan lancar. Bagi Ali, persoalan qishash baru dapat ditegakkan manakala situasi politik sudah tenang dan kaum muslimin sudah bersatu pada dalam satu pemerintahan yang kokoh. Kemudian ada pengaduan dan tuntutan dari pihak keluarga yang jadi ahli waris Utsman. Sebab, pembunuhan Khalifah Utsman bukanlah kriminal biasa melainkan tragedy politik yang tidak terbayangkan sebelumnya. Lagi pula jumlah pembunuh Utsman yang sebenarnya belum diketahui secara pasati, sementara para pendukung yang terlibat di dalamnya dating dari berbagai kabilah dan suku yang berbeda. 
            Sangat rawan bagi Ali dan bagi keutuhan umat jika ia ceroboh menetapkan qishash kepada para tersangka tanpa menunggu situasi yang tepat. Karena bagaimanapun, fanatisme kelompok akan menjadi dasar bagi tiap kabilah untuk membela anggota kabilahnya yang dituntut hukuman qishash meskipun umpamanya terbukti benar-benar terlibat. Pada akhirnya penegakkan qishash itu malah akan menimbulkan peperangan baru antar kabilah dari keluarga penuntut dengan kabilah dari keluarga terdakwa.[21]
            Karena perbedaan pandangan antara kedua kubu itu, maka peperangan pun tidak bisa dihindari. Perang pertama antara dua kubu muslim ini dikenal dengan sebutan Perang Jamal. Dikatakan Perang Jamal karena saat itu Aisyah menaiki unta ketika berperang. Perang ini memakan banyak korban. Ibnu Katsir menyebut kurang lebih dari sepuluh ribu orang dari kedua belah pihak menjadi korban. Bahkan dua tokoh sahabat, Thalhah dan Zubeir yang oleh Rasulullah dijamin masuk surga, meninggal dunia. Padahal saat itu, Thalhah dan Zubeir telah mengundurkan dari medan pertempuran dan menyesali sikapnya yang berlebihan dalam menentang Ali. Perang itu sendiri dimenangkan oleh Ali bin Abi Thalib.
            Ali beserta pengikutnya kemudian mengurusi para korban dan menshalatkannya. Sikap Ali di atas menunjukkan bahwa peperangan itu bukanlah peperangan untuk menentukan siapa mukmin siapa kafir. Buktinya Ali menyolati para korban dari kedua pihak. Setelah mengurusi korban, menshalati dan menguburkannya, Ali memulangkan Aisyah ke Madinah dengan penuh penghormatan. Menurut Joesoef Souyb, sejak kejadian tersebut, Aisyah menghabiskan umurnya untuk beribadah dan mengajarkan hadits kepada para penuntut ilmu di Madinah. Ia menjauhkan diri dari hiruk pikuk percaturan politik yang terus bergejolak sampai akhir hayatnya.[22] Banyak merenung dan menyesali perbuatannya karena ikut terlibat dalam peperangan.
            Perang antara kubu Ali bin Abi Thalib dan Aisyah, Thalhah dan Zuberi merupakan fakta sejarah yang sudah terjadi. Namun demikian, perlu kita ketahui juga, apakah memang saat itu perang benar-benar merupakan solusi satu-satunya...? Atau ada grand desaind dari pihak luar yang sengaja memperkeruh suasana yang mengakibatkan peperangan..?
            Analisa yang diberikan oleh beberapa ahli sejarah menyebut bahwa sebelum terjadi perang, Ali dan Aisyah melakukan dialog melalui surat-menyurat.untuk melakukan ishlah. Tepat pada hari kamis, pertengahan Jumadil Akhir tahun 36 H, Ali, Thalhah dan Zubeir melakukan negosiasi selama tiga hari untuk mencari jalan damai.  Upaya tersebut sebenarnya berhasil mencapai kesepakatan bahwa masing-masing mereka akan menahan diri dan menindak lanjuti upaya damai pada hari berikutnya.[23]
            Pada saat itu, nampaknya Thalhah dan Zuber meminta Ali agar tidak melibatkan kelompok-kelompok yang menyerang Utsman bin Affan dan orang-orang yang terindikasi mendukungnya dalam pembicaraan damai. Karena menjelang hari perdamaian Ali menginstruksikan agar semua yang terlibat dalam penyerangan dan pembunuhan Utsman baik itu yang dating dari Bashrah maupun Kuffah segera mengundurkan diri dan pulang ke kampung halaman masing-masing.
            Instruksi Ali itu mengejutkan para pimpinan kelompok tersebut yang termasuk dari mereka orang-orang yang dekat dan kepercayaan Ali sendiri seperti al-Asytar al-Nakha’I dan Syuraih bin Aufa. Keduanya mengundang tokoh-tokoh pemberontak Utsman untuk bertemu dan membuat rencana untuk sebuah aksi yang patut diambil. Mereka sepakat bahwa rencana damai itu harus digagalkan.  Sebab, bila tidak maka merekalah yang akan menjadi korban perdamaian antara Ali dengan pihak Aisyah. Bukankah penentangan Aisyah, Thalhah dan Zuber kepada Ali dikarenakan Ali tidak segera menghukum qishash para pembunuh Utsman. Maka damainya pihak Ali dan Aisyah berarti kematian bagi mereka.
            Sebagian ahli sejarah berkeyakinan bahwa orang-orang diatas adalah antek-antek Abdullah bin Saba. Mereka ini adalah profokator-profokator yang sengaja menyelendup baik ke pihak Ali maupun Aisyah. Ali Audah memberi rincian kronologis penyerangan para perusuh dalam rangka menggagalkan upaya perdamaian antara pihak Ali dan Aisyah. Bahkan menurutnya, Aisyahlah yang ingin menyelesaikan persoalan antara Ali dengan pihaknya dengan cara perdamaian, bukan dengan kekerasan.[24]

2.        Perang Siffin
            Saat Utsman terbunuh oleh para perusuh yang mengepung rumahnya, Nailah, istri Khalifah Utsman bin Affan yang menyaksikan dan sekaligus jadi korban kebrutalan para perusuh sehingga jari-jari tangannya terputus dengan tebusan pedang mereka, segera menulis surat untuk Muawiyah di Syria yang menuturkan kronologis pembunuhan Khalifah. Beserta surat ini dikirimkan juga barang bukti berupa pakaian Utsman yang berlumuran darah dan jari-jari tangan Nailah yang terpotong. Barang bukti ini kemudian digantungkan di atas mimbar Masjid Jami Syria. Para penduduk yang memang sangat menghormati Utsman terharu melihat barang bukti itu, dan menuntut agar para pelaku pembunuhan dihukum qishash. Keadaan semakin memanas, tatkala datang utusan khalifah Ali bin Abi Thalib yang menuntut janji ketaatan (baiat) terhadap Ali. Ditambah lagi, keputusan Ali memecat Muawiyyah. Karenanya, kebanyakan penduduk di Syiria menangguhkan bukan menolak- pembaiatan terhadap Ali sebelum para pembunuh Utsman dikupas tuntas.
            Menurut Ali Audah, ada dua alasan mengapa Muawiyyah tidak membaiat Ali bin Abi Thalib. Yaitu :
·         Bagi Muawiyyah, tuntutan para pembunuh Utsman harus terlebih dahulu ditangkap dihukum.
·         Tak ada suara bulat dari kalangan terkemuka muslim (para sahabat senior). Saat itu Muawiyyah berargumen, bahwa sikapnya yang menolak untuk membaiat Ali tidak berarti dia berontak terhadap Imam, tetapi alasannya, lebih-lebih karena tak ada suara bulat dari kalangan untuk membaiatnya.[25]

            Telah disinggung sebelumnya, bagaimana dan mengapa Ali menangguhkan qishash terhadap pelaku pembunuh Utsman. Namun, mengapa pihak Muawiyyah masih saja terus menuntut Ali untuk melakukannya, dan tidak mau membaiatnya sebelum urusan pembunuhan Usman dituntaskan. Ada dugaan saat itu bahwa Ali berada di belakang para pemberontak yang membunuh Utsman. Apalagi adanya sikap Ali yang menangguhkan pengusutan pembunuhan Utsman dan penegakkan hukuman qishash. Ini semakin memperkuat dugaan Muawiyyah bahwa memang Ali bersekutu dengan para pemberontak.[26]
            Dengan mengutip pakar sejarah Islam klasik, al-Thabari, Harun Nasution mencatat bahwa salah seorang pemuka pemberontak-pemberontak Mesir, yang datang ke Madinah dan kemudian membunuh Utsman adalah Muhammad Ibn Abi Bakar, anak angkat Ali bin Abi Thalib. Ali saat itu tidak mengambil tindakan keras terhadap pemberontak-pemberontak itu, bahkan Muhammad bin Abi Bakar diangkat menjadi Gubernur Mesir.
            Memang, Muhammad bin Abi Bakar adalah pemuka rombongan penentang dari Mesir. Atas beberapa kebijakan Utsman yang tidak disetujui penduduk Mesir, salah satunya mengangkat  Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah, saudara sepersusuan Utsman, sebagai gubernur Mesir, maka Muhammad bin Abi Bakar beserta yang lainnya pergi ke Madinah untuk mengadu kepada khalifah Utsman. Saat terdesak oleh para demonstran, Utsman meminta bantuan Ali agar situasi bisa teratasi.
            Ali waktu itu menenangkan dan meyakinkan para demonstran bahwa khalifah Utsman akan mengabulkan tuntutan mereka selain meletakkan jabatan khalifah. Tuntutan delegasi Mesir agar mencopot jabatan Gubernur dari Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah dikabulkan. Saudara sepersusuan Utsman ini diganti oleh Muhammad bin Abi Bakar. Karena tuntutannya telah dikabulkan, Muhammad bin Abi Bakar dan kelompoknya meninggalkan Madinah. Namun, saat perjalanan pulang ke Mesir, Muhammad bin Abi Bakar mendapatkan surat yang katanya dibawa oleh seorang budak Utsman. Surat tersebut memang memuat stempel Utsman. Isi surat tersebut adalah perintah untuk membunuh para penentang dari Mesir yang dipimpin oleh Muhammad bin Abi Bakar.
            Melihat isi surat tersebut Muhammad bin Abi Bakar yang menjadi salah satu target pembunuhan, kesal. Para penentang pun kembali ke Madinah menuntut Utsman untuk mengundurkan diri. Saat itulah Utsman terbunuh.[27] Mungkin karena Muhammad bin Abi Bakar adalah ketua rombongan dari Mesir, dan termasuk salah seorang yang masuk ke rumah Utsman, maka dia menjadi salah satu tersangka.
            Tetapi, Nailah istri Utsman, yang menjadi saksi pembunuhan Utsman, ketika ditanya Ali bin Abi Thalib “siapa pembunuh Utsman”..? Nailah menjawab: “Saya tidak tahu, tetapi banyak orang yang masuk, wajah-wajah yang tidak saya kenal. Muhammad bin Abi Bakar juga hadir”. Di sumber lain, Nailah hanya menyebut nama Muhammad bin Abi Bakar, tetapi, kata Nailah, “dia sudah keluar meninggalkan rumah itu sebelum terjadi pembunuhan”. Saat itu pula Ali langsung bertanya kepada Muhammad bin Abi Bakar untuk menguatkan kesaksian Nailah. Muhmmad bin Abi Bakar membenarkan statement Nailah. Kata Muhammad bin Abi Bakar; “Saya memang ikut masuk dan setelah Utsman mengingatkan saya kepada ayah(Abu Bakar), saya meninggalkan dia. Saya sudah bertaubat kepada Allah. Demi Allah saya tidak membunuhnya, juga saya tidak mencegah mereka yang akan membunuhnya.[28]
            Kesaksian Nailah di atas sebenarnya sudah menjadi bukti, bahwa tuduhan bahwa Muhammad bin Abi Bakar adalah pembunuh Utsman tidaklah kuat. Dengan demikian, sikap Ali yang tidak menindak tegas Muhammad bin Abi Bakar dan malah mengangkatnya sebagai gubernur Mesir, seperti yang diungkapkan Harun Nasution, seharusnya tidak menjadikan Muawiyah untuk kemudian tidak mau membaiat Ali dan menentang Ali. Tindakan Ali saat itu tidaklah salah. Akan tetapi, melihat begitu kacaunya situasi politik saat itu, yang memungkinkan mudahnya para perusuh mengadu domba dan memperkeruh keadaan, sangat wajar jika Muawiyah mempunyai sikap tegas untuk menolak memberi baiat sebelum Ali menyelesaikan masalah pembunuhan Utsman.
            Jika Ali sudah mengusut tuntas masalah pembunuhan Utsman, mungkin Muawiyah merasa yakin bahwa Ali tidak ada sangkut pautnya dengan kasus itu. Tapi kenyataannya tidaklah demikian. Akibat dari perbedaan pandangan (ijtihad) inilah, baik pihak Ali maupun Muawiyah selalu bersi tegang. Ali sendiri ketika menghadapi penentangan Muawiyah telah melakukan berbagai cara. Ali selalu mengirim surat dan delegasi untuk mengajak islah, mengajak Muawiyah memberi baiat terhadapnya. Namun, usahanya tersebut selalu menemui jalan buntu. Bahkan, pernah satu ketika Muawiyah membalas surat kepada Ali tanpa ada isinya selain basmalah. Tak hanya itu, surat yang bersegel “Dari Muawiyah bin Abi Sufyan kepada Ali bin Abi Thalib” tanpa menyebut gelar Amirul Mukminin.
            Surat tersebut sebenarnya memberi indikasi bahwa konsilidasi, negosiasi dan rekonsiliasi yang diinginkan Ali kepada Muawiyah kecil kemungkinan berhasil. Ali akhirnya mengambil langkah untuk melakukan tindakan kepada Muawiyyah. Sebelum mengambil tindakan, Ali terlebih dahulu meminta persetujuan dari para sahabat yang ada di Madinah waktu itu.  Sikap sahabat pun terbagi tiga kelompok, yaitu :
·         Ada yang antusias mendukung Ali, seperti Abu Qatadah, Ammar bin Yasir, dan Umu Salamah.
·         Ada juga yang tidak setuju dan menyarankan agar rencana itu dipertimbangkan terlebih dahulu.
·         Ada yang bersikap diam dan memilih menyingkir dari rencana ini seperti Saad bin Abi Waqqas, Suhaib bin Sinan, Muhammad bin Maslamah dan Abdullah bin Umar.
            Ibnu Abbas dan Mughirah bin Syu’bah tatkala itu bahkan menyarankan agar Ali tidak tergesa-gesa dan membiarkan Muawiyah pada jabatannya untuk beberapa lama sehingga suhu politik mereda terlebih dahulu. Namun saran dari kedua sahabat dekatnya itu, dirasa kurang tepat. Justru jika Muawiyah terus dibiarkan memimpin, dia khawatir kelompok opisisi di Syiria akan semakin banyak dan kuat karena pengaruh Muawiyah.[29]
            Singkatnya, peperangan antara kubu Ali dengan Muawiyah dalam waktu yang tidak lama lagi akan terjadi. Tepat pada akhir bulan Dzulqaidah tahun 36 H, Ali memutuskan untuk bergerak menuju Syam dengan kekuatan pasukan sekitar seratus ribu hingga seratus lima puluh ribu personil. Rencana Ali itu sampai pada Muawiyah, dan segera setelah itu Muawiyah pun menyiapkan pasukan dengan kekuatan sembilan puluh ribu hingga seratus lima puluh ribu personil. Kedua pasukan tersebut akhirnya bertemu di Shiffin, suatu tempat di lembah sungai Efrat yang menjadi perbatasan Irak dan Syiria. Perang pun terjadi. 
            Kedua pasukan itu berperang sepanjang bulan Dzulhijah tahun 36 H. Kemudian terselingi gencatan senjata selama bulan Muharram awal tahun 37 H. Peperangan dilanjutkan kembali awal bulan Shafar dengan sangat hebatnya kerena kedua belah pihak sudah tidak lagi ingin mengakhiri pertempuran yang sudah sangat melelahkan itu. Sejak pertempuran pertama kali terjadi, korban meninggal dari dua pihak diprerkirakan tujuh puluh ribu orang. Sedang luka korban fisik tidak terhitung.[30]
            Pada minggu kedua dari bulan Safar, pasukan Muawiyah mulai terdesak, sementara pasukan Ali berada di atas angin. Muawiyah yang sudah berpengalaman dalam bidang politik dan peperangan, akhirnya menyuruh beberapa pasukannya untuk mengangkat Mushap al-Quran sebagai isyarat untuk menghentikan pertempuran. Melihat itu, kubu Ali terbagi kepada dua bagian. Ada yang menyarankan Ali untuk tidak menerima penghentian pertempuran sebelum ada pihak yang kalah dan menang. Ada juga yang menyuruh Ali untuk menerimanya.
            Menarik untuk dibahas tentang kedua kubu Ali yang berbeda pendapat ini. Ada pendapat, dan ini kebanyakan yang diambil, bahwa Ali saat itu sebenarnya tidak mau menerima strategi Muawiyah untuk menghentikan pertempuran, namun beberapa orang komandan perang seperti seperti Asy’ats bin Qais al-Tamimy, Mis’ar bin Fadaky al-Tamimy dan Zaid bin Hishn al-Thaiy, yang nantinya justru malah menentang Ali bahkan mengkafirkannya (khawarij), menyuruh Ali untuk menerima ajakan Muawiyah. Pendapat lain justru sebaliknya. Justru Ali sendiri yang saat itu mempunyai ide untuk menerima ajakan Muawiyah, sebab dalam al-Quran terdapat perintah untuk melakukan islah jika terjadi pertentangan. Karenanya, Ali menjadi bahan bulan-bulanan khawarij karena telah menerima ajakan Muawiyah.
            Menurut Amhazum, pendapat yang kedualah yang benar mengingat peristiwa-peristiwa setelah itu, Ali dan beberapa sahabat dekatnya seperti Ibnu Abbas, Sahl bin Hunaef dan Hasan putra Ali, beberapa kali membela diri dari hujatan pihak Khawarij yang mengecam Ali karena menerima tahkim.[31] Kemungkinan cerita-cerita yang menyudutkan khawarij itu sengaja diputar balikan karena ingin mensucikan Ali  dan menimpakan keburukan terhadap pihak khawarij. Sebab, perdebatan-perdebatan Ali dengan khawarij justru memperkuat bukti bahwa memang Ali sendiri yang berinisiatif menerima ajakan damai dari pihak Muawiyah.
            Meskipun di kubu Ali waktu itu terbagi kepada dua suara, namun akhirnya mereka sepakat untuk mengakhiri pertempuran dan melakukan perundingan damai (tahkim). Perundingan tersebut dilakukan dengan cara masing-masing kubu mengirim delegasinya sebagai juru rundingnya. Pihak Muawiyah menunjuk Amr bin Ash. Sedangkan pihak Ali menunjuk Abu Musa al-Asy’ari.[32] Perundingan tersebut rencananya akan dilaksanakan pada bulan Ramadhan di tempat Adzrah, daerah Daumatul Jundal yang menjadi wilayah perbatasan Irak dan Syam.
            Banyak riwayat yang dituturkan pada kitab-kitab tarikh bahwa Abu Musa dan Amr saat itu sepakat melepaskan jabatan khilafah dari Ali maupun dari Muawiyah dan mengembalikannya kepada Syura kaum muslimin. Tetapi saat pembacaan keputusan Amr yang berbicara belakangan menghianati kesepakatan dengan menetapkan Muawiyah sebagai Khalifah karena Ali telah diberhentikan oleh Abu Musa. Maka terjadilah kekacauan di arena persidangan. Abu Musa mengecam Amr yang telah khianat sebagai anjing yang menjulurkan lidahnya. Amr balik menghina Abu Musa dengan menyindirnya sebagai keledai yang memikul kitab. Gagallah misi perundingan. Abu Musa mengasingkan diri ke Mekah karena malu kepada Ali. Sementara Amr bergabung dengan Muawiyah dan mendapat kedudukan yang terhormat di hadapannya.

3.      Gerakan kaum Khawarij
            Setelah proses tahkim berakhir dan kemengangan berada di pihak Muawiyah, kelompok Ali terbelah menjadi dua. Ada yang tetap mendukung Ali dengan setia. Ada yang keluar dan menyudutkan posisi Ali. Kelompok kedua inilah yang disebut sebagai khawarij. Kelompok ini merasa kecewa dengan keputusan Ali yang menerima tahkim.
            Setelah proses tahkim selesai, dengan rasa kecewa, sekitar 12 000 orang pulang menuju Kuffah. Mereka membuat markas militer tersendiri di Harura. Mereka mengecam Ali dan menuduhnya telah berbuat kufur serta syirik karena menyerahkan ketetapan hukum kepada manusia. Padahal menurut mereka hukum itu hanya milik Allah. Mereka berpendapat bahwa perkara yang terjadi antara Ali dan Muawiyah seharusnya tidak boleh diputuskan oleh arbitrase manusia. Putusan hanya dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Quran.[33]
            Ali mengajak mereka berdialog dan berdebat tentang masalah tahkim itu secara fair dengan hati yang tenang dan akal yang jernih. Ibnu Abbas ditugaskan mendebat kaum Khawarij dan ribuan dari mereka mau kembali bergabung dengan Ali setelah menyadari kekeliruan pendapat mereka dan bahwa pendapat Ali itulah yang benar. Tetapi sebagin dari mereka  tetap bersikukuh pada pendiriannya dan membentuk keimaman sendiri.
            Abdullah bin Wahab Ar Rasyibi ditunjuk sebagai panglima perang mereka. Ali terpaksa menumpas kaum Khawrij dengan kekuatan pedang setelah nyata kepadanya bahwa mereka tidak dapat diajak dialog dan kompromi. Terlebih lagi setelah terbukti gerakan Khawarij menimbulkan kekacaun baru dengan membunuh siapa saja yang tidak mau mempersalahkan Ali, sehingga putra seorang sahabat Nabi, Abdullah bin Khabbab dan istrinya yang sedang hamil menjadi korban pembantaian mereka. Ali menumpas mereka pada perang Nahrawan dan Harura. Tetapi kehancuran pasukan Khawarij tidak mebuat mereka surut. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada mereka terus melakukan serangan kepada kelompoak Ali maupun Muawiyah. Hingga akhirnya Ali tewas ditangan salah seorang Khawarij yang amat militan, Abdurahman bin Mulzam.[34]
            Ada tiga hal mendasar sebagai alasan kaum Khawrij berbelot dari pasukan Ali dan kemudian menjadi musuhnya yang sangat militan:
·         mereka menuduh Khalifah Ali telah mengkhianati dirinya sendiri beserta semua kaum Muslimin yang telah mengangkatnya sebagai Khalifah. Karena Ali telah menerima keberatan pihak Muawiyah untuk tidak menggunakan gelar “Amir al Mukimin” di belakang namanya ketika menandatangani naskah perjanjian damai. Dengan demikian Ali dipandang mengadakan perjanjian dengan pihak Muawiyah atas nama dirinya sendiri, Ali putra Abu Thalib.
·         Ali divonis telah berbuat syirik karena menyekutukan Allah dalam masalah hukum. Sebab ia menyerahkan keputusan politiknya dalam persengketaannya dengan Muawiyah kepada delegasi dari kedua belah pihak. Padahal keputusan hukum itu hanya milik Allah bukan milik manusia. Sedang Muawiyah jelas sebagai pembangkang yang harus diperangi bukan diajak berdamai. Untuk tuduhan ini kaum Khawarij berargumen dengan ayat, “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah”.
·         Khalifah Ali dituduh telah berbuat dosa besar dengan membunuh puluhan ribu jiwa yang tidak berdosa. Yaitu ketika Ali memerangi pengikut Aisyah pada perang Jamal. Kalaulah ia yakin halal memerangi mereka, mengapa ia mengharamkan harta rampasannya serta menawan anak-anak dan istri-istri mereka. Mereka menuduh Ali telah berbuat salah besar karena telah menghalalkan darah pasukan Aisyah tetapi mengharamkan harta bendanya.

E.     Ali bin Abi Tholib Wafat
            Kaum Khawarij tidak lagi mempercayai kebenaran pemimpin-pemimpin Isalam, dan mereka berpendapat bahwa pangkal kekacauan Islam pada saat itu adalah karena adanya 3 orang imam, yaitu Ali, Muawwiyah dan Amr. Kemudian kaum Khawarij membulatkan tekadnya, “tiga orang imam itu harus dibunuh dalam satu saat, bila hal itu tercapai umat Islam akan bersatu kembali”. Demikian tekad mereka. “Saya membunuh Ali”, kata Abdurrahman bin Muljam, “Saya membunuh Muawwiyah”, sambut Barak bin Abdullah Attamimi, “Dan saya membunuh Amr”, demikian kesanggupan Amr bin Bakr Attamimi.
            Mereka bersumpah akan melaksanakan pembunuhan pada tanggal 17 Ramadhan 40 H/24 Januari 661 M di waktu subuh. Diantara tiga orang Khawarij tiu. Hanya Ibnu Muljam yang berhasil membunuh Ali ketika beliau sedang sholat Subuh di Masjid Kufah tetapi Ibnu Muljam pun tertangkap dan juga dibunuh. Barak menikam Muawwiyah mengenai punggungnya, ketika Muawwiyah sedang sholat Subuh di Masjid Damaskus. Sedang Amr bin Bakr berhasil membunuh wakil imam Amr bin Ash ketika ia sedang sholat Subuhdi Masjid Fusthat Mesir. Amr bin sendiri tidak mengimami sholat, sedang sakit perut di rumah kediamannya sehingga ia selamat.
            Hari itu, tanggal 19 Ramadhan tahun 40 hijriyah. Amirul Mukminin Ali as keluar dari rumahnyamenuju masjid Kufah untuk memimpin shalat subuh berjamaah. Di tengah shalat, saat beliau mengangkat kepala dari sujudnya,sebilah pedang beracun terayun dan mendarat tepat di atas dahi putra Abu Thalibitu. Darah mengucur deras membahasi mihrab masjid.Jemaah masjid tersentak mendengar suara Ali, “Fuztu wa rabbilka’bah. Demi pemilik Ka’bah, aku telah meraih kemenangan.”Ali roboh di mihrabnya dengan luka yang parah, sementara warga dengan cepat menangkap sang pembunuh yang tak lain adalah Abdurrahman bin Muljam, seorang khawarij.  Hasan membawa ayahnya ke rumah. Berita itu segera menyebar di seluruh penjuru kota Kufah. Berbagai usaha dilakukan untuk menyelematkan jiwa Imam Ali as.Tetapi takdir Allah berkehendak lain. Ali bin Abi Thalib gugur syahid padatanggal 21 Ramadhan.
            Sebelum meninggalkan dunia yang fana ini, Amirul Mukminin mewasiatkan beberapa hal kepada putra-putranya dan kepada umat. Di antara pesan beliau adalah menjalin hubungan sanak keluaga atausilaturrahim, memperhatikan anak yatim dan tetangga, mengamalkan ajaranAl-Qur’an, menegakkan shalat yang merupakan tiang agama, melaksanakan ibadahhaji, puasa, jihad, zakat, memperhatikan keluarga Nabi dan hamba-hamba Allah,serta menjalankan amr maruf dan nahi munkar.
            Menurut sejumlah riwayat, Imam Ali asmenghembuskan nafasnya yang terakhir ketika bibir beliau berulang-ulangmengucapkan “Lailahaillallah” dan membaca ayat, “Faman ya’mal mitsqaladzarratin khairan yarah. Waman ya’mal mitsqaladzarratin syarran yarah.” Artinya, “Siapapun yangmelakukan kebaikan sebiji atompun, dia akan mendapatkan balasannyanya, dansiapa saja melakukan keburukan meski sekecil biji atom, kelak dia akanmendapatkan balasannya.”
            Banyak riwayat yang menyebutkan bahwa Imam Ali as sejak lama telah mengetahui kapan dan bagaimana beliau akan meneguk cawan syahadah. Suatu ketika, Nabi Muhammad Saw menjelaskan kemuliaan bulan Ramadhan kepada para sahabatnya. Kepada Nabi, Ali bertanya, di bulan suci ini, amalan apakah yang terbaik..? Rasulullah menjawab, “Meninggalkan perbuatan dosa.” Mendadak mata Nabi berkaca-kaca. Ali menanyakan apa yang membuat beliau menangis? Rasul menjawab, bahwa Ali kelak akan dibunuh di bulan Ramadhan.[35]















BAB III
PENUTUP
A.      Simpulan
            Berbagai langkah dan kebijakan yang telah dilakukan Ali dalam rangka menjalankan roda pemerintahannya, merupakan ijtihad politik yang sangat cemerlang. Meskipun pada akhirnya, kebijakan tersebut banyak memakan korban. Di lain sisi, kita juga tidak bisa menyalahkan Aisyah, Thalhah dan Zuber ketika melakukan penentangan terhadap Ali. Karena latar belakang penentangan mereka juga berdasarkan pada nash al-Quran yang dapat dipertanggung jawabkan. Apa yang dilakukan oleh Aisyah dan pengikutnya saat itu, juga didasarkan pada ijtihad politik. Baik Aisyah, Thalhah maupun Zuber tujuannya satu, memberikan nasihat kepada Ali sebagai pemimpin untuk menjalankan al-Quran dan Sunnah. Hanya saja, cara yang ditempuh oleh mereka seperti itu. Sikap yang sama juga harus kita berikan terhadap Muawiyah.
            Mereka semua tidak pernah mengkafirkan antara sesama. Mereka hanya berbeda dalam cara menempuh menegakkan kebenaran. Maka kita juga tidak mengkafirkan seperti yang dilakukan khawarij. Kita juga mengakui ashab al-Nabiy kulluhum uduul. Sedangkan sikap kita terhadap khawarij, meskipun argumen Khawarij tegas mengacu kepada nash Al Quran, tetapi mengarahkan makna ayat tersebut kepada kasus Tahkim Ali dan Muawiyah adalah interpretasi mereka yang sangat dangkal.
            Langkah kaum Khawarij yang menyeret tindakkan para pelaku konflik politik ke dalam paradigma teologis yang kaku dan ekstrim, sehingga menyebabkan mereka dengan sewenang-wenang menilai dan menetapkan hukum kafir atau muslim kepada siapa yang mereka kehendaki, menjadi salah satu faktor penyebab munculnya pemikiran teologi tandingan seperti Syiah yang mengkafirkan semua lawan politik Ali. Dan pada gilirannya melahirkan pemikiran “poros tengah” yang menolak menetapkan hukum atau status kafir terhadap seseorang yang telah menyatakan dirinya muslim hanya karena tindakkan-tindakkan politiknya. Bagi mereka, semua status keimanan seseorang diserahkan kepada Allah saja, sebab manusia hanya bisa menilai seseorang dari perbuatan lahiriyahnya saja, sementara hakikat iman ada pada hati dan niyat tindakan para pelaku itu sendiri.
            Terakhir, konflik yang terjadi diantara sahabat nabi merupakan sunnatullah yang bisa terjadi kepada siapa, dimana dan kapan saja. Semua itu, merupakan pelajaran berharga bagi umat Islam di kemudian hari. Jika sahabat saja, yang oleh al-Quran disebut khair al-Ummah, bisa mengalami konflik, apalagi kita. Namun bagaimana seharusnya kita menyikapinya secara positif  agar tidak menimpa kita.
B.     Saran
            Dari makalah kami yang singkat ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita semua umumnya kami pribadi. Yang baik datangnya dari Allah, dan yang buruk datangnya dari kami. Dan kami sedar bahwa makalah kami ini jauh dari kata sempurna, masih banyak kesalahan dari berbagai sisi, jadi kami harafkan saran dan kritik nya yang bersifat membangun, untuk perbaikan makalah-makalah selanjutnya.





























DAFTAR PUSTAKA
1.      George Jordac, Suara Keadilan; Sosok Ali bin Abi Thalib, , terj. Muhammad al-Sajjad, (Lentera, Jakarta: 1996).
2.      Jeje Zainudin Abu Himam, Akar Konflik Umat Islam, (Bandung: Persis Press, 2008), cetakan pertama.
3.      Abu al-Fida Ismail bin Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Beirut: Dar al-Mariifah: 1999) cet ke-5.
4.      Morodi, DKK. Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang: PT Karya Toha Putra, 1994
5.      Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, Terj. H.A. Bahauddin, (Kalam Mulia, Jakarta: 2006), cet. 2.
6.      DR. Badri Yatim MA, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2007).
7.      Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (UI-Press, Jakarta: 2002) Cet pertama.
8.      Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam; Dari Abu Bakar Sampai Nashr dan Qardhawi, (Mizan: Bandung: 2006), cet. Ke-2.
9.      Prof. Dr. Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, terj. Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya dan Drs. M. Sanusi Latief (Al Husna Zikra, Jakarta: 2000), cet. 4.
10.  Abbas Mahmud al-Aqqad, Kejeniusan Ali bin Abi Thalib, terj. Gazirah Abdi Ummah, (Pustaka Azzam, Jakarta: 2002).
11.  Joeseof Sou’yb, Sejarah Khulafatur Rasyidin, (Bulan Bintang, Jakarta: 1986).
12.  Ali Audah, Ali bin Abi Thalib; Sampai Kepada Hasan dan Husain, Amanat Perdamaian, Keadilan dan Persatuan, Peranannya Sebagai Pribadi dan Khalifah, (Litera AntarNusa, Jakarta: 2007).




[1] Terutama buku yang ditulis oleh Prof. Dr. Badri Yatim, MA berjudul “Sejarah Peradaban Islam” yang telah menjadi buku pegangan bagi mahasiswa Perguruan Tinggi Islam.
[2] George Jordac, Suara Keadilan; Sosok Ali bin Abi Thalib, , terj. Muhammad al-Sajjad, (Lentera, Jakarta: 1996). Hal 352
[3] http://hadirukiyah.blogspot.com/2009/05/sejarah-peradaban-islam-pada-masa.html
[4] Jeje Zainudin Abu Himam, Akar Konflik Umat Islam, (Bandung: Persis Press, 2008), cetakan pertama. Hal 66. Sebagaimana dikutip dari buku Ibnu Katsir, al-Bidayah wan-Nihayah. Hal 166
[5] Ibid, hal. 68.
[6] http://istanailmu.com/2011/03/26/kepemimpinan-khulafaurrasyidin-ali-bin-abi-thalib/html
[7] Jeje Zainudin Abu Himam, Akar Konflik Umat Islam, (Bandung: Persis Press, 2008), cetakan pertama. Hal 74
[8] Abu al-Fida Ismail bin Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Beirut: Dar al-Mariifah: 1999)cet ke-5. Hal 248
[9] Morodi, DKK. Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang: PT Karya Toha Putra, 1994. Hal 57
[10] Jeje Zainudin Abu Himam, Akar Konflik Umat Islam, (Bandung: Persis Press, 2008),cetakan pertama. Hal 90
[11] Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, Terj. H.A. Bahauddin, (Kalam Mulia, Jakarta: 2006), cet. 2. Hal 508
[12] DR. Badri Yatim MA, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2007). Hal 39
[13] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (UI-Press, Jakarta: 2002) Cet pertama. Hal 6
[14] Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam; Dari Abu Bakar Sampai Nashr dan Qardhawi, (Mizan: Bandung: 2006), cet. Ke-2, hal. 18
[15] Prof. Dr. Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, terj. Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya dan Drs. M. Sanusi Latief (Al Husna Zikra, Jakarta: 2000), cet. 4. Hal 288
[16] Jeje Zainudin Abu Himam, Akar Konflik Umat Islam,(Bandung: Persis Press, 2008),cetakan pertama. Hal 110
[17] George Jordac, Suara Keadilan; Sosok Ali bin Abi Thalib, terj. Muhammad al-Sajjad, (Lentera, Jakarta: 1996). Hal 273
[18] Jeje Zainudin Abu Himam, Akar Konflik Umat Islam,(Bandung: Persis Press, 2008),cetakan pertama. Hal 113
[19] ibid, hal. 119-120
[20] Abbas Mahmud al-Aqqad, Kejeniusan Ali bin Abi Thalib, terj. Gazirah Abdi Ummah, (Pustaka Azzam, Jakarta: 2002) Hal 146
[21] Jeje Zainudin Abu Himam, Akar Konflik Umat Islam,(Bandung: Persis Press, 2008),cetakan pertama. Hal 121
[22] Joeseof Sou’yb, Sejarah Khulafatur Rasyidin, (Bulan Bintang, Jakarta: 1986), hal. 479
[23] Jeje Zainudin Abu Himam, Akar Konflik Umat Islam,(Bandung: Persis Press, 2008),cetakan pertama. Hal 95
[24] Ali Audah, Ali bin Abi Thalib; Sampai Kepada Hasan dan Husain, Amanat Perdamaian, Keadilan dan Persatuan, Peranannya Sebagai Pribadi dan Khalifah, (Litera AntarNusa, Jakarta: 2007). Hal 204-225
[25] Ali Audah, Op,Cit, hal. 224
[26] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (UI-Press, Jakarta: 2002) Cet pertama. Hal 7
[27] Joeseof Sou’yb, Sejarah Khulafatur Rasyidin, (Bulan Bintang, Jakarta: 1986), hal 444
[28] Ali Audah, Op,Cit, hal. 216
[29] Abbas Mahmud al-Aqqad, Kejeniusan Ali bin Abi Thalib, terj. Gazirah Abdi Ummah, (Pustaka Azzam, Jakarta: 2002). Hal 70
[30] Jeje Zaenudin, Op, Cit, hal. 100-101
[31] Prof. Dr. Muhammad Amhazun, Fitnah Kubra, Tragedi Pada Masa Sahabat, terj. Dr. Daud Rasyid (LP2SI al-Haramain, Jakarta: 1994), cet pertama. Hal 474
[32] Jeje Zaenudin, Op, Cit, hal. 103
[33] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (UI-Press, Jakarta: 2002) Cet pertama. Hal 8-13
[34] Jeje Zaenudin, Op.Cit, hal 108
[35] http://istanailmu.com/2011/03/26/kepemimpinan-khulafaurrasyidin-ali-bin-abi-thalib/html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar