Selasa, 12 November 2013

sejarah, asal-usul, dan perkembangan tasauf



KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ke hadirat Tuhan yang Maha Kuasa yang telah memberikan berkat, anugerah dan karunia yang melimpah, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini disusun guna melengkapi tugas mata kuliah Akhlak tasawuf, yang berjudul “Sejarah dan Perkembangan Tasawuf”.Walaupun banyak kesulitan yang penulis harus hadapi ketika menyusun pe- nulisan makalah ini, namun berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, akhir- nya tugas ini dapat diselesaikan dengan baik.
Selanjutnya shalawat dan salam pemakalah hadiahkan kepada rasulullah SAW, sang junjungan seluruh umat, yang telah membawa kita dari alam yang sangat gelap kepada alam yang sangat terang benderang yang slalu disinari dengan iman, islam, dan ihsan.
Sebelumnya pemakalah meminta maaf apabila dalam penulisan makalah ini banyak sekali kesalahannya, baik dari segi penulisan ataupun pengertian nya. Kami sadar bahwasannya makalah kami ini jauh dari kata sempurna, jadi kami harapkan kritik dan saran yang sipatnya membangun dari pembaca, supaya dapat memperbaiki makalah selanjutnya. Dan sebelum dan sesudahnya pemakalah ucapkan terima kasih.






                                                                                                            Medan, 23 Januari 2011
                                               
                                                                                                                        Pemakalah

DAFTAR ISI

Kata Pengantar.........................................................................................................................1
Daftar Isi.................................................................................................................................2
BAB I
Pendahuluan :
a.       Latar belakang masalah...........................................................................3
b.      Rumusan masalah....................................................................................3
c.       Tujuan penulisan.....................................................................................3
BAB II
Pembahasan :
a.       Sejarah dan asal-usul tasawuf............................................................4
b.      Perkembangan tasawuf......................................................................11
BAB III
Penutup :
a.       Simpulan
b.      Saran
Daftar pustaka






BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritual dalam islam, dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih menekankan aspek rohaninya ketimbang aspek jasmaninya. Dalam kaitannya dalam kehidupan, ia lebih menekankan  kehidupan akhirat ketimbang kehidupan dunia yang fana.
Orang yang ahli dalam tasawuf disebut dengan seorang sufi. Seorang sufi menekankan aspek kehidupan rohaninya dari pada aspek  jasminanya. Seorang sufi selalu dekat dengan Tuhannya. Dan untuk mencapai itu, terdapat tingkatannya, yaitu tobat, zuhud, sabar, kefakiran, kerendahan hati, taqwa, keleraan, cinta, dan ma’rifat. Dan dalam makalah ini  akan mencoba membahas tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan tasawuf, penyebaran serta perjalanan tasawuf.
B.       Rumusan Masalah
Ø  Apakah yang melatar belakangi muncul, sejarah dan perkembangan tasawuf?
Ø  Siapa tokoh utama dalam kemunculan tasawuf?
Ø  Siapa saja tokoh-tokoh dari kalangan sahabat yang mengikuti prilaku rasulullah?
Ø  Apakah yang terjadi terhadap tasawuf sesudah masa sahabat?

C.      Tujuan Penulisan
Ø  Untuk mengetahui asal-usul munculnya tasawuf, siapa pencetus munculnya dan perkembangannya.
Ø  Supaya menambah wawasan kita, bahwasan nya tasawuf telah ada dalam diri rasulullah.
Ø  Mengetahui pokok permaalahan tasawuf.



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Sejarah dan Asal-usul Tasawuf
Tasawuf Islam bersumber dari al-Qur’an dan Hadis. Banyak ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW. berbicara tentang hubungan antara Allah dengan hamba-Nya manusia. Secara umum  Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah (jasadiah), dan kehidupan yang bersifat batiniah. Pada unsur kehidupan yang bersifat batiniah inilah kemudian lahir tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan al-Sunnah serta praktek kehidupan Nabi dan sahabatnya. Lebih jauh, di dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang berbicara tentang tasawuf, antara lain :
Ø  Kemungkinan manusia dan Tuhan dapat saling mencintai (mahabbah), al-Maidah: 54.
Ø  Perintah agar manusia senantiasa bertaubat (at-Tahrim: 8).
Ø  petunjuk bahwa manusia akan senantiasa bertemu dengan Tuhan dimanapun mereka berada (al-Baqarah: 110).
Ø  Allah dapat memberikan cahaya kepada orang yang dikehendaki (an-Nur: 35).
Ø  Allah mengingatkan manusia agar dalam hidupnya tidak diperbudak oleh kehidupan dunia dan harta benda (al-Hadid, al-Fathir: 5).
Ø  Senantiasa bersikap sabar dalam menjalani pendakatan diri kepada Allah SWT (Ali Imron: 3).
Ø  Begitu juga perintah Allah untuk ikhlas semata mengharap ridha-Nya dalam beribadah (al-Bayinah: 5).
Ø  Berperilaku jujur (al-Anfal: 58).
Ø  Adil, taqwa (al-Maidah: 6)
Ø  Yakin, tawakal (al-Anfal: 49)
Ø  Qonaah, rendah hati dan tidak sombong (al-Isra’:37).
Ø  Beribadah dengan penuh pengharapan terhadap ridha-Nya (raja’) (al-Kahfi: 110).
Ø  Takut terhadap murka Allah atas segala dosa (khauf) (at-Tahrim: 6).
Ø  Menahan hawa nafsu (Yusuf: 53)
Ø  Amar ma’ruf nahi munkar (Ali Imron: 104)
Dan banyak lagi konsep akhlak dan amal diajarkan dalam al-Qur’an kesemuanya adalah sumber tasawuf dalam Islam.  Sejalan dengan apa yang dibicarakan al-Qur’an, as-Sunnah pun banyak berbicara tentang kehidupan rohaniah. Dalam hadis qudsi berikut dapat dipahami dengan pendekatan tasawuf:                                          
 “Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, maka Aku menjadikan makhluk agar mereka mengenal-Ku”. 
Hadis tersebut memberi petunjuk bahwa alam raya, termasuk manusia adalah merupakan cermin Tuhan, atau bayangan Tuhan. Tuhan ingin mengenalkan diri-Nya melalui penciptaan alam ini. Dengan demikian dalam alam raya ini terdapat potensi ketuhanan yang dapat didayagunakan untuk mengenal-Nya. Dan apa yang ada di alam raya ini pada hakikatnya adalah milik Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam al-Baqarah: 156:  
Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun" Sesungguhnya Kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah Kami kembali.”
dan al-Baqarah 45-46:  
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” 
Benih-benih tasawuf dipraktekkan langsung oleh Muhammad SAW. dalam kehidupan kesehariannya.  Perilaku hidup Nabi SAW sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari-hari beliau berkhalawat di gua Hira’, terutama pada bulan Ramadhan. Di sana Nabi SAW banyak berzikir dan bertafakur mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pengasingan diri Nabi SAW. di gua Hira’ ini merupakan acuan utama para sufi dalam berkhalawat. Puncak kedekatan Nabi SAW dengan Allah terjadi ketika beliau melakukan Isra’ wal mi’raj. Dikisahkan Nabi berdialog langsung dengan Allah ketika menerima perintah Shalat lima waktu.
Di dalam diri Nabi SAW juga terdapat benih-benih tasawuf, yaitu pribadi Nabi yang sederhana, zuhud, dan tidak pernah terpesona oleh kemewahan dunia. Dalam salah satu do’anya nabi bermohon: 
Wahai Allah, hidupkanlah aku dalam kemiskinan dan matikanlah aku selaku orang miskin.” 
(HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim).
Pada suatu waktu Nabi SAW datang ke rumah istrinya, Aisyah binti Abu Bakar as-Shidiq, ternyata di rumahnya tidak ada makanan. Keadaan seperti ini diterimanya dengan sabar, lalu beliau menahan laparnya dengan berpuasa (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Nasai).
Nabi juga sering mengganjal perutnya dengan batu sebagai penahan lapar.  Cara beribadah Nabi SAW juga merupakan cikal-bakal tasawuf. Nabi SAW adalah orang yang paling tekun beribadah. Dalam satu riwayat dari Aisyah RA disebutkan bahwa pada suatu malam Nabi SAW mengerjakan shalat malam, di dalam shalat lututnya bergetar karena panjang, banyak rakaat serta khusu’ dalam shalatnya. Tatkala ruku’ dan sujud terdengar suara tangisnya, namun beliau tetap terus melakukan shalat sampai suara azan Bilal bin Rabah terdengar di waktu subuh. Melihat Nabi SAW demikian tekun melakukan shalat, Aisyah lalu bertanya:
“Wahai junjungan, bukankah dosamu yang terdahulu dan akan datang telah diampuni Allah, kenapa engkau masih terlalu banyak melakukan shalat?” 
Nabi SAW menjawab: 
‘Aku ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur”.
             Akhlak Nabi SAW merupakan acuan akhlak yang tiada bandingannya. Akhlak Nabi bukan hanya dipuji oleh manusia termasuk musuh-musuhnya, tetapi juga oleh Allah SWT. Allah berfirman: 
Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”.(QS. 68:4).
Dan ketika Aisyah ditanya tentang akhlak Nabi SAW, ia menjawab:  “Akhlaknya adalah al-Qur’an”.
            Ajaran rasul tentang bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari banyak diikuti oleh para sahabatnya, dilanjutkan oleh para tabi’in, tabiit tabi’in dan seluruh Muslim hingga saat ini . Mereka mengikuti firman Allah:  “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharap rahmat  Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”  (Al-Ahzab: 21).
Dalam kehidupan seorang shufi sudah terdapat pada diri Nabi Muhammad saw. Dimana dalam kehidupan beliau sehari-hari terkesan amat sederhana dan menderita, disamping menghabiskan waktunya untukk beribadah dan selalu mendekatkan diri kepada Allah swt. Bahkan seperti diketahui, bahwa sebelum beliau diangkat sebagai Rasul Allah, beliau seringkali melakukan kegiatan shufi dengan melakukan uzlah di Gua Hira selama berbulan-bulan lamanya sampai beliau menerima wahyu pertama saat diangkat sebagai Rasul Allah. Setelah Beliau resmi diangkat sebagai Nabi utusan Allah, keadaan dan cara hidup beliau masih ditandai oleh jiwa dan suasana kerakyatan, meskipun beliau berada dalam lingkaran keadaan hidup yang serba dapat terpenuhi semua keinginan lantaran kekuasaannya sebagai Nabi yang menjadi kekasih Tuhan- Nya. Pada waktu malam sedikit sekali tidur, waktunya dihabiskan untuk bertawajjuh kepada Allah dengan memperbanyak dzikir kepada-Nya. Tempat tidur beliau terdiri dari balai kayu biasa dengan alas tikar dari daun kurma, tidak pernah memakai pakaian yang terdiri dari wool, meskipun mampu membelinya. Pendek kata beliau lebih cinta hidup dalam suasana sederhana ( meskipun pangkatnya Nabi ) Daripada hidup bermewah-mewah.
Kehidupan Nabi semacam itu langsung ditiru oleh shahabatnya, Tabi’in, Tabi’it Tabi’in dan terus turun temurun sampai sekarang. Bahkan para shahabat beliau banyak yang melakukan kehidupan shufi dengan hidup sederhana dan selalu bertaqarrub dengan Allah. Kehidupan mereka sangat sederhana bahkan serba kekurangan, tetapi dalam dirinya tumbuh memancar sinar  kesemangatan beribadah. Hal seperti itu tampak dalam kehidupan para shahabat beliau, semisal Abu Hurairah, Abu Darda’, Salman Al Farisy, Abu Bakar, Umar Bin Khathab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Umar dan sebagainya. Dapat dicontohkan disini, seperti kehidupan Abu Hurairah ra. Yang dalam sejarah disebutkan bahwa beliau tidak mempunyai rumah, hanya tidur di emperan Masjidil Haram Makkah, pakaiannya hanya satu melekat di badan, makannya tidak pernah merasa kenyang, bahkan sering tidak makan. Sampai pada suatu hari beliau duduk-duduk di pinggir jalan sedang ia sangat lapar. Tatkala Abu Bakar ra. Lewat disitu ia bertanya ayat apa yang harus dibacanya dari Al-Qur’an untuk menekan laparnya. Abu bakar tidak menjawab dan berjalan terus. Kemudian lewat pula Umar Bin Khathab. Abu Hurairah meminta pula padanya, ditunjukkan Ayat Al-Qur’an yang dapat menahan laparnya.. Umar tidak berbuat apa-apa dan meneruskan perjalanannya. Kemudian lewatlah disitu pula Rasulullah saw, Nabi tersenyum melihat Abu Hurairah, Nabi tersenyum karena mengetahui apa yang terkandung dalam dirinya dan yang tersirat di mukanya, Nabi mengajak Abu Hurairah mengikuti. Tatkala sampai di rumah, Nabi mengeluarkan sebuah bejana susu dan disuruh minum pada Abu Hurairah, sehingga tidak dapat menghabiskannya.
Satu contoh lagi adalah yang terjadi pada shahabat Nabi yang bernama Abu Darda’. Suatu hari Salman Al-Farisi mengunjungi rumah Abu Darda’, yang telah dipersaudarakan Nabi dengan dia. Maka didapatinya bermurung, tak gembira seperti biasanya. Tatkala ditanya, istrinya menceritakan, bahwa Abu Darda’ sejak ingin meninggalkan segala kesenangan dunia ini, ia ingin meninggalkan makan dan minum, karena dianggapnya dapat mengganggu ibadah dan taqwanya kepada Allah.. Mendengar cerita itu, Salman Al-Farisi murka, lalu sambil menyajikan makanan ke Abu Darda’ berkata dengan geramnya : “Aku perintahkan kepadamu supaya kamu makan. Sekarang juga!”. Abu Darda’ lalu makan. Tatkala waktu tidur Salman memberi perintah lagi : “Aku perintahkan kepadamu supaya engkau pergi beristirahat dengan istrimu!”. Dan tatkala sampai waktu sembahyang ia membangunkan saudaranya itu sambil berkata : “Hai, Abu Darda’, bangunlah engkau sekarang dari tidurmu dan sembahyanglah engkau mengagungkan Tuhan”. Kemudian kepada Abu Darda’ dijelaskan oleh Salman dengan katanya : “Kuperingatkan kepadamu, bahwa beribadat kepada Tuhanmu merupakan suatu kewajiban, merawat dirimupun merupakan suatu kewajiban, melayani keluargamu pun merupakan suatu kewajiban pula untukmu. Penuhilah segala kewajiban itu menurut haknya masing-masing”. Tatkala keesokan harinya, kelakuan Abu Darda’ dilaporkan kepada Rasulullah saw, Nabi bersabda : “Benar sungguh apa yang dikatakan Salman”.
Begitulah kehidupan shufi yang terjadi pada diri Rasulullah saw, dan para shahabatnya dan diikuti pula oleh para Thabi’in, Tabi’it Tabi’in sampai turun temurun pada generasi selanjutnya hingga sekarang ini. Sedang diantara shahabat Nabi saw yang mempraktekkan ibadah dalam bentuk Thariqat ini adalah Hudzaifah Al Yamani.
Dan perkembangannya shufi ini kemudian dilanjutkan oleh para generasi dari kalangan Thabi’in, diantaranya adalah Imam Hasan Al Basyri, seorang ulama besar Thabi’in murid Hudzaifah Al Yamani. Beliau inilah yang mendirikan pengajian Tasawuf di Bashrah. Diantara murid-muridnya adalah Malik bin Dinar, Tsabit Al Bannay, Ayyub As Sakhtiyany dan Muhammad bin Wasik.
Setelah berdirinya madrasah Tasawuf itu, disususl pula dengan berdirinya madrasah di tempat lain, seperti di Irak yang dipimpin oleh sa’id bin Musayyab dan di Khurasan yang dipimpin oleh Ibrahim bin Adham. Dengan berdirinya madrasah-madrasah ini, menambah jelaslah kedudukan dan kepentingan tasawuf dalam masyarakat islam yang sangat memerlukannnya. Sejak itulah pelajaran ilmu Tasawuf telah mendapatkan kedududukan yang tetap dan tidak akan terlepas dari masyarakat Islam sepanjang masa. Dan pada Abad-abad berikunya ilmu Tasawuf semakin berkembang sejalan dengan perkenbangan agama islam di beberapa daerah. Bahkan menurut sejarah, pengembangan agama islam ke Afrika, ke segenap pelosok Asia yang luas ini, Asia kecil, Asia Timur, Asia Tengah, sampai ke negara-negara yang berada di tepi lautan Hindia, semuanya dibawa oleh propaganda-propaganda islam dari kaum Tasawuf. Sifat dan cara hidup mereka yang sangat sederhana, kata-kata mereka yang mudah difahami , kelakuan yang sangat tekun beribadah, semuanya itu lebih menarik dari ribuan kata-kata yang hanya teori adanya. 
Merekalah sebenarnya propaganda islam yang sebenar-benarnya. Pengikut-pengikut mereka merupakan sukarelawan yang ikhlas yang beribu-ribu jumlahnya, bahkan berpuluh-puluh ribu yang telah menyerahkan segala apa yang ada padanya, hartanya, jiwanya sekalipun untuk membawa agama yang di bawa oleh Nabi Muhammad SAW lewat orang-orang sufi itu. Karena gerakan mereka mendekati gerakan nabi-nabi atau wali-wali, maka orang-orang yang di hadapinya, baik Khalifah-khalifah, Raja-raja, pembesar-pembesar raja dan orang-orang awam takut dan hormat kepada shufi itu.
Karena para penyebar agama Islam itu pada umumnya terdiri dari kalangan Ulama’ shufi, maka dengan sendirinya melalui ajaran yang di bawanya itu dipengaruhi pula oleh Tasawuf. Dengan demikan, para propagandis tersebut juga secara langsung mengembangkan pula ajaran thariqat di berbagai daerah yang menjadi sasaran Da’wahnya. Pada akhirnya ajaran Tashawwuf tersebut tumbuh dan berkembang dengan cepat sejalan dengan perkembangan Islam dan Thariqat, Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Tuhan dengan mata hati dan akhirnya bersatu dengan Tuhan demikan panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun orang harus menempuh jalan yang sulit itu.
Karena itu hanya sedikit sekali orang yang bisa sampai pada puncak tujuan Tasawuf. Jalan itu disebut Thariqah (bahasa Arab), dan dari sinilah berasal kata Tarekat dalam bahasa Indonesia. Jalan itu, yang intinya adalah penyucian diri, di bagi kaum sufi ke dalam stasion-stasion yang dalam bahasa Arab disebut maqamat-tempat calon seorang sufi menunggu sambil berusaha keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan perjalanan ke stasiun berikutnya. Sebagaimana telah disebut di atas penyucian diri diusahakan melalui ibadat, terutama puasa, shalat, membaca Al-Qur’an dan dzikir. Maka, seirang calon sufi banyak melaksanakan Ibadat. Tujuan semua ibadat dalam islam ialah mendekatkan diri itu, terjadilah penyucian diri calon sufi secara berangsur.
Jelas kiranya bahwa usaha penyucian diri, langkah pertama yang harus dilakukan seseorang adalah tobat dari dosa-dosanya. Karena itu, stasiun pertama dalam Tasawuf adalah tobat. Pada mulanya seorang calon sufi harus tobat dari dosa-dosa besar yang dilakukannya. Kalau ia telah berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari dosa-dosa kecil, kemudian dari perbuatan makruh dan selanjutnya dari perbuatan syubhat. Tobat yang dimaksud adalah tobat nasuha, yaitu tobat yang membuat orangnya menyesal atas dosa-dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi walau sekecil apapun. Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktu panjang. Untuk memantapkan tobatnya ia pindah ke stasiun kedua, yaitu zuhud.
Di stasiun ini ia menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri ke tempat terpencil untuk beribadat, puasa, shalat, membaca al-qur’an dan zikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya lemah, dan membuat ia tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum hanya untuk mempertahankan kelanjutan hidup. Ia sedikit tidur dan banyak beribadah. Pakaiannya sederhana. Ia menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa lagi digoda oleh kesenangan dunia dan kelezatan materi. Yang dicarinya ialah kebahagiaan rohani, itu diperolehnya dalam berpuasa melakukan shalat, membaca al-Qur’an dan berdzikir.
Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tidak bisa menggodanya lagi, ia keluar dari pengasingannya masuk kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak berpuasa, melakukan shalat, membaca al-qur’qn dan berdzikir. Ia juga akan selalu naik haji. Sampailah ia ke stasion wara’. Di stasion ini ia dijauhkan tuhan dari perbuatan-perbuatan syubhat. Dalam literature tashawwuf di sebut bahwa Al-Muhasibi menolak makanan, karena di dalamnya terdapat syubhat. Bisyr Al-Hafi tidak bisa mengulurkan tangan ke arah makanan yang berisi syubhat.

Dari stasiun wara’, ia pindah ke stasiun faqr. Di stasion ini ia menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan ia tidak meminta sungguh pun ia tidak punya. Ia tidak meminta tapi tidak menolak pemberian Tuhan.
Setelah menjalani hidup kefakiran ia sampai ke stasiun sabar. Ia sabar bukan hanya dalam menjalankan perintah-perintah tuhan yang berat dan menjauhi larangan-larangan tuhan yang penuh godaan, tetapi juga sabar dalam menerima percobaan-percobaan berat yang ditimpakan Tuhan kepadanya. Ia bukan hanya tidak meminta pertolongan dari Tuhan, bahkan ia tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan. Ia sabar menderita. Selanjutnya ia pindah ke stasion tawakal. Ia menyerahkan diri senulat-bulatnya kepada kehendak Tuhan. Ia tidak memikirkan hari esok; baginya cukup apa yang ada untuk hari ini. Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa tentram. Kendatipun ada padanya, ia tidak mau makan, karena ada orang yang lebih berhajat pada makanan dari padanya. Ia bersikap seperti telah mati.
Dari stasiun tawakkal, ia meningkat ke stasiun ridla. Dari stasiun ini ia tidak menentang percobaan dari Tuhan bahkan ia menerima dengan senang hati. Ia tidak minta masuk syurga dan dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak ada perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika malapetaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta kepada Tuhan. Di sini ia telah dekat sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu melihat Tuhan dengan hati nurani untuk selanjutnya bersatu dengan Tuhan.
Karena stasiun-stasiun tersebut di atas baru merupakan tempat penyucian diri bagi orang yang memasuki jalan Tasawuf, ia sebenarnya belum menjadi seorang sufi, tapi barulah menjadi zahid atau calon sufi. Ia menjadi sufi setelah sampai ke stasiun berikutnya dan memperoleh pengalaman-pengalaman tasawuf.

B.       Perkembangan Tasawuf
Adapun tasawuf yang berkembang pada masa berikutnya sebagai suatu aliran (mazhab), maka sejauh hal itu tidak bertentangan dengan Islam dapat dikatakan positif (ijabi). Tetapi apabila telah keluar dari prinsip-prinsip keislaman maka tasawuf tersebut menjadi mazhab yang negatif (salbi). Tasawuf ijabi mempunyai dua corak :
Ø  Tasawuf salafi, yakni yang membatasi diri pada dalil-dalil naqli atau atsar dengan menekankan pendekatan interpretasi tekstual.
Ø  Tasawuf sunni, yakni yang sudah memasukkan penalaran-penalaran rasional ke dalam konstruk pemahaman dan pengamalannya.
Perbedaan mendasar antara tasawuf salafi dengan tasawuf sunni terletak pada takwil. Salafi menolak adanya takwil, sementara sunni menerima takwil rasional sejauh masih berada dalam kerangka syari’ah.
Sedangkan tasawuf salbi atau disebut juga tasawuf falsafi adalah tasawuf yang telah terpengaruh secara jauh oleh faham gnostisisme Timur maupun Barat. Terdapat beberapa pendapat tentang pengaruh luar yang membentuk tasawuf Islam, ada yang menyebutkannya dari kebiasaan rahib Kristen yang menjauhi dunia dan kehidupan material. Ada pula yang menyebutkannya dari pengaruh ajaran Hindu dan juga filsafat neoplatonisme. Dalam Hindu misalnya terdapat ajaran asketisme dengan meninggalkan kehidupan duniawi guna mendekatkan diri kepada Tuhan dan menggapai penyatuan antara Atman dan Brahman. Pythagoras juga mengajarkan ajakan untuk meninggalkan kehidupan materi dengan memasuki dunia kontemplasi.
Demikian juga teori emanasi dari Plotinus yang dikembangkan untuk menjelaskan konsep roh yang memancar dari dzat Tuhan dan kemudian akan kembali kepada-Nya. Pada konteks ini, tujuan mistisisme baik dalam maupun di luar Islam ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog langsung antara roh manusia dan Tuhan, kemudian mengasingkan diri dan berkontemplasi.
Lahirnya tasawuf didorong oleh beberapa factor :
Ø  Reaksi atas kecenderungan hidup hedonis yang mengumbar syahwat.
Ø  Perkembangan teologi yang cenderung mengedepankan rasio dan kering dari aspek moral-spiritual,
Ø  Katalisator yang sejuk dari realitas umat yang secara politis maupun teologis didominasi oleh nalar kekerasan.
Karena itu sebagian ulama memilih menarik diri dari pergulatan kepentingan yang mengatas namakan agama dengan praktek-praktek yang berlumuran darah. Menurut Hamka, kehidupan sufistik sebenarnya lahir bersama dengan lahirnya Islam itu sendiri. Sebab, ia tumbuh dan berkembang dari pribadi Nabi saw. Tasawuf Islam sebagaimana terlihat melalui praktek kehidupan Nabi dan para sahabatnya itu sebenarnya sangatlah dinamis. Hanya saja sebagian ulama belakangan justru membawa praktek kehidupan sufistik ini menjauh dari kehidupan dunia dan masyarakat. Tasawuf kemudian tak jarang dijadikan sebagai pelarian dari tanggung jawab sosial dengan alasan tidak ingin terlibat dalam fitnah yang terjadi di tengah-tengah umat. Mereka yang memilih sikap uzlah ini sering mencari-cari pembenaran (apologi) atas tindakannya. pada firman Allah yang antara lain berbunyi:
الله يحكم بينهم يوم القيامة فيما كنتم فيه تختلفون
Padahal dapat diketahui bersama bahwa nabi dan para sahabatnya sama sekali tidak melakukan praktek kehidupan kerahiban, pertapaan atau uzlah. Mereka tidak lari dari kehidupan aktual umat, tetapi justru terlibat aktif mereformasi kehidupan yang tengah porak-poranda agar menjadi lebih baik dan sesuai dengan cita-cita ideal Islam.
وعباد الرحمان الذين يمشون على الأرض هون وإذا خاطبهم الجاهلون قالوا سلاما والذين يبيتونلربهم سجدا وقياما والذين إذا أنفقوا لم يسرفوا ولم يقتروا وكان بين ذلك قواما
`           Sebagaimana halnya fikih dan kalam, tasawuf memang sering dipandang sebagai fenomena baru yang muncul setelah masa kenabian. Tetapi tasawuf dapat berfungsi memberi wawasan dan kesadaran spiritual atau dimensi ruhaniah dalam pemahaman dan pembahasan ilmu-ilmu keislaman. Seperti diungkap R.A. Nicholson, bahwa tanpa memahami gagasan dan bentuk-bentuk mistisisme yang dikembangkan dalam Islam, maka hal tersebut serupa dengan mereduksi keindahan Islam dan hanya menjadi kerangka formalitasnya saja.
Dimensi mistis dalam tiap tradisi keagamaan cenderung mendeskripsikan langkah-langkah menuju Tuhan dengan imaji jalan (the path). Misalnya, di Kristen dikenal 3 (tiga) jalan: the via purgativa, the via contemplativa, dan the via illuminativa. Hal serupa ada pula dalam Islam, dengan mempergunakan istilah shari’at, tariqat, dan haqiqat. Praktik kesufian sebagaimana dipahami secara umum dewasa ini memang menuntut disiplin laku-laku atau amalan-amalan yang merupakan proses bagi para salik menemukan kesucian jiwanya. Sufi adalah istilah yang diberikan kepada para pencari Tuhan, yaitu orang-orang yang berusaha mengadakan pendekatan (taqarrub) untuk mengenal Allah dengan sebenar-benarnya.
Jalan spiritual yang ditempuh para sufi tidaklah mudah. Dalam tradisi kesufian, tingkatan-tingkatan spiritual digambarkan dalam analogi titik pemberhentian (statiun atau maqam) yang antara sufi satu dengan lainnya sering terdapat perbedaan pendapat. Station ini antara lain:
Ø  taubat,                        
Ø  zuhud,
Ø  sabar
Ø  tawakkal
Ø  ridha
Ø  mahabbah
Ø  ma’rifah
Ø  fana’
Ø  ittihad
Ø  hulul.
Selain maqam, tradisi sufi mengenal apa yang disebut dengan hal (jamaknya ahwal, state). Yakni situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia dari Allah atas riyadhah atau disiplin spiritual yang dijalaninya. Suatu situasi kejiwaan tertentu terkadang terjadi hanya sesaat saja (lawaih), adakalanya juga relatif cukup lama (bawadih), bahkan jika hal tersebut sudah terkondisi dan menjadi kepribadian, maka hal inilah yang disebut sebagai ahwal. Beberapa ahwal yang banyak dianut oleh kalangan sufi rumusannya sebagai berikut:
Ø  muraqabah
Ø  khauf
Ø  raja’
Ø  Syauq
Ø  Uns
Ø  tuma’ninah
Ø  musyahadah
Ø  yakin.
Allah dalam surat al-Nisa ayat 77 menyatakan, “Katakanlah, kesenangan di dunia ini hanya sementara dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa.”
Dalam wacana kesufian, takhalli ‘an al-radzail atau membersihkan diri dari perbuatan tercela merupakan langkah awal untuk membersihkan hati seseorang. Sedangkan tahalli bi al-fadail atau menghiasi diri dengan sifat-sifat luhur adalah tangga berikutnya untuk mencapai tingkat spiritualitas yang lebih tinggi yaitu tajalli (lihat gambar). Jadi disini, tarekat (dari kata tariq = anak jalan) digambarkan sebagai jalan yang berpangkal pada syariat (dari kata syari’ = jalan utama). Ini sebuah pengandaian olah kalangan sufi bahwa sesungguhnya sekolah tasawuf adalah cabang dari dogma ag
Dalam sejarah perkembangannya, Sufi dan Tasawuf beriringan. Beberapa sumber dari para Ulama Sufi, para orientalis maupun dari kitab-kitab yang berkait dengan sejarah Tasawuf memunculkan berbagai definisi. Definisi ini pun juga berkait dengan para tokoh Sufi setiap zaman, disamping pertumbuhan akademi Islam ketika itu. Namun Reinold Nicholson, salah satu guru para orientalis, membuat telaah yang terlalu empirik dan sosiologik mengenai Tasawuf atau Sufi ini, sehingga definisinya menjadi sangat historik, dan terkebak oleh paradigma akademik-filosufis. Pandangan Nicolson tentu diikuti oleh para orientalis berikutnya yang mencoba mentyibak khazanah esoterisme dalam dunia Islam, seperti J Arbery, atau pun Louis Massignon. Walaupun sejumlah penelityian mereka harus diakui cukupo berharga untuk menyibak sisi lain yang selama ini terpendam.
Bahwa dalam sejarah perkembangannya menurut Nicholson, tasawuf adalah sebagai bentuk ekstrimitas dari aktivitas keagamaan di masa dinasti Umawy, sehingga para aktivisnya melakukan ‘Uzlah dan semata hanya demi Allah saja hidupnya. Bahkan lebih radikal lagi Tasawuf muncul akibat dari sinkretisme Kristen, Hindu, Budha dan Neo-Platonisme serta Hellenisme. Penelitian filosufis ini, tentu sangat menjebak, karena fakta-fakta spiritual pada dasarnya memiliki keutuhan otentik sejak zaman Rasulullah Muhammad saw, baik secara tekstual maupun historis.
Dalam kajian soal Sanad Thariqat, pada Bab II bagian 3, bisa terlihat bagaimana validitas Tasawuf secara praktis, hingga sampai pada alurnya Tasawuf rasulullah saw. Fakta itulah yang nantinya bisa membuka cakrawala historis, dan kelak juga berpengaruh munculnya berbagai ordo Thariqat yang kemudian terbagi menjadi Thasriqat Mu’tabarah dan Ghairu Mu’tabarah.
Pandangan paling monumental tentang Tasawuf justru muncul dari Abul Qasim Al-Qusyairy an-Naisabury, seorang Ulama sufi abad ke 4 hijriyah. Al-Qusyairy sebenarnya lebih menyimpulkan dari seluruh pandangan Ulama Sufi sebelumnya, sekaligus menepis bahwa definisi Tasawuf atau Sufi muncul melalui akar-akar historis, akar bahasa, akar intelektual dan filsafat di luar dunia Islam. Walaupun tidak secara transparan Al-Qusyairy menyebutkan definisinya, tetapi dengan mengangkat sejumlah wacana para tokoh Sufi, menunjukkan betapa Sufi dan Tasawuf tidak bisa dikaitkan dengan sejumlah etimologi maupun sebuah tradisi yang nantinya kembali pada akar Sufi.
Dalam penyusunan buku Ar-Risalatul Qusyairiyah misalnya, ia menegaskan bahwa apa yang ditulis dalam Erisalah tersebut untuk menunjukkan kepada mereka yang salah paham terhadap Tasawuf, semata karena kebodohannya terhadap hakikat Tasawuf itu sendiri. Menurutnya Tasawuf merupakan bentuk amaliyah, ruh, rasa dan pekerti dalam Islam itu sendiri,firman Allah swt.
“Dan jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglkah orang yang menyucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang-orang yang mengotorinya.,” (Q.s. Asy-Syams: 7-8)

”Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang membersihkan diri dan dia berdzikir nama Tuhannya lalu dia shalat.” (Q.s. Al-A’laa: 14-15).

“ Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang alpa.” (Q.s. Al-A’raaf: 205)
“Dan bertqawalah kepada Allah; dan Allah mengajarimu (memberi ilmu); dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Q.s. Al-Baqarah : 282)
Sabda Nabi saw :
“Ihsan adalah hendaknya negkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, maka apabila engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu” (H.r. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud dan Nasa’i)
Tasawuf pada prinsipnya bukanlah tambahan terhadap Al-Qur’an dan hadits, justru Tasawuf adalah impklementasi dari sebuah kerangka agung Islam. Secara lebih rinci, Al-Qusyairy meyebutkan beberapa definisi dari para Sufi besar:
Muhammad al-Jurairy:
“Tasawuf berarti memasuki setiap akhlak yang mulia dan keluar dari setiap akhlak yang tercela.”

Al-Junaid al-Baghdady:
“Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu bersama denganNya.”
“Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah swt. Tanpa keterikatan dengan apa pun.”
“Tasawuf adalah perang tanpa kompromi.”
“Tasawuf adalah anggota dari satu keluarga yang tidak bisa dimasuki oleh orang-orang selain mereka.”
“Tasawuf adalah dzikir bersama, ekstase yang diserta sama’, dan tindakan yang didasari Sunnah Nabi.”
“Kaum Sufi seperti bumi, yang diinjak oleh orang saleh maupun pendosa; juga seperti mendung, yang memayungi segala yang ada; seperti air hujan, mengairi segala sesuatu.”

“ Jika engkau meliuhat Sufi menaruh kepedulian kepada penampilan lahiriyahnya, maka ketahuilah bahwa wujud batinnya rusak.”
Al-Husain bin Manshur al-Hallaj:
“Sufi adalah kesendirianku dengan Dzat, tak seorang pun menerimanya dan juga tidak menerima siapa pun.”
Abu Hamzah Al-Baghdady:
“Tanda Sufi yang benar adalah dia menjadi miskin setelah kaya, hina setelah mulia, bersembunyi setelah terkenal. Sedang tanda Sufi yang palsu adalah dia menjadi kaya setelah miskin, menjadi obyek penghormatan tertinggi setelah mengalami kehinaan, menjadi masyhur setelah tersembunyi”.
Dzun Nuun Al-Mishry:
“Kaum Sufi adalah mereka yang mengutamakan Allah swt. diatas segala-galanya dan yang diutamakan oleh Allah di atas segala makhluk yang ada.”

BAB III
PENUTUP
A.      Simpulan
Dari keterangan-keterangan di atas kita simpulkan :
Ø  Mengingat yang dipraktekkan Nabi SAW dan para sahabat. Namun setelah tasawuf itu berkembang menjadi pemikiran, bisa saja ia mendapat pengaruh dari luar seperti filsafat Yunani dan sebagainya. Dan andaipun terdapat persamaan dengan ajaran beberapa agama, kemungkinan yang dapat terjadi adalah persamaan dengan agama-agama samawi (Nasrani dan Yahudi), mengingat semua agama samawi berasal dari tuhan yang sama Allah SWT yang dalam Islam diyakini sama mengajarkan tentang ketauhidan.
Ø  Tasawuf  bukanlah sesuatu yang dengannya manusia dapat melakukan sebuah pelarian, bukanlah sesuatu yang dengannya manusia dapat berpangku tangan terhadap hidup. Melainkan, tasawuf adalah suatu metode penyucian jiwa dan pembening hati, yang menjadi bekal utama manusia dalam menggeluti ranah kehidupannya yang, pada dasarnya tidak pernah terlepas dari berbagia macam persoalan. Tasawuf membimbing manusia dalam pengembangan kinerja ukhrawi dan sekaligus juga duniawi.
Manfaat mempelajari Ilmu Akhlak:
Ø  Menetapkan kteria perbuatan yang baik dan buruk.
Ø  Membersihkan diri dari perbuatan dosa dan maksiat.
Ø  Mengarahkan dan mewarnai berbagai aktivitas kehidupan manusia.
Ø  Memberikan pedoman atau penerangan bagi manusia dalam mengetahui perbuatan yang baik atau buruk.
B.       Saran
Dari penulisan ini mungkin banyak sekali kesalahan, baik dari segi penulisan ataupun dari segi pengertian. Kami sadar bahwasan nya makalah kami ini jauh dari kata sempurna, jadi kami harapkan sekali kritik dan saran yang bersipat membangun dari pembaca, supaya menjadi perbaikan untuk makalah-makalah selanjutnya.sebelum dan sesudahnya pemakalah ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA

Abudin Nata, Dr.  MA. Akhlak Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2002 
Al-Ghazali. Ihya’ Ulumu al-Din. Jilid III. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Asmaran As, Drs. MA. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 1996 
Permadi, K.Drs. S.H. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: Rineka Cipta, 2004
Rosihon Anwar, Drs.  M.Ag. Drs. Mukhtar Solihin, M.Ag. Ilmu Tasawuf.  Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Simuh. Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar