Selasa, 12 November 2013

ketentuan pakaiain dan perhiasan dalam Islam



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Pendahuluan
            Islam adalah agama yang kamil, menjadi pemandu hidup manusia sempurna. Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia menuju tata kehidupan yang baik, damai, menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat. Dalam salah satu perspektif di dalam Islam terdapat hal hal yang Tsawabit atau tetap. Hal tersebut merupakan hal yang menjadi prinsip pokok dan tidak akan berubah sepanjang masa. Di sisi lain ada pula hal yang bersifat mutaghoyyirot atau dapat berubah. Hal semacam ini adalah termasuk yang bisa berubah sesuai dengan konteks ruang dan waktu pelaksanaan Islam.
            Salah satu hal prinsip yang merupakan doktrin utama Islam adalah pengakuan kerasulan Muhammad Saw. Doktrin ini menjadi salah satu sumpah seseorang masuk menganut Islam, sebagaimana bunyi syahadatain: أشهد أن لاإله إلا الله و أشهد أن محمد رسول الله yang artinya: “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”. Doktrin yang menjadi keyakinan umat Islam ini membawa pada konsekuensi penempatan Rasulullah Muhammad Saw sebagai panutan dan tauladan dalam setiap aspek kehidupan. Hal ini diyakinkan oleh Allah dalam Surah al Ahzab, ayat 21:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا. الأحزاب
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (Q.S. al Ahzab : 21)
            Berkaitan dengan kewajiban mentauladani Rosulullah, beliau juga memberikan sebuah hadits yang berbunyi :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
“Bahwa Rosulullah SAW bersabda: Aku tinggalkan ditengah tengah kamu dua perkara yang membuat kamu tidak akan tersesat selamanya selama berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Nabi Nya” (Riwayat Imam Malik).

            Hal yang kemudian menjadi polemik dan menuntut penuntasan yang serius adalah ketika ditemukan sebuah riwayat menyampaikan contoh perilaku rasul dan harus ditaati sebagai sebuah sunnah. Salah satu hal contoh polemik dalam konteks ini adalah mengenai hadits tentang larangan pakaian yang menyeret tanah, memakai cincin emas, membuat tato dan lain-lain.

B.     Rumusan Masalah
            Adapun rumusan masalah yang akan dibahas di dalam makalah ini adalah :
ü  apa dalil hadis yang melarang memakai pakaian yang menyeret tanah serta alasan nya..?
ü  apa dalil hadis tentang membuat tato dan tahi lalat..?
ü  apa dalil hadis tentang memakai pakaian lawan jenis..?
ü  Apa dalil hadis yang melarang memakai cincin dari emas..?

C.    Tujuan Penulisan
            Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :

ü  Agar mahasiswa mampu memahami apa saja yang dilarang dalam segi berpakaian dan perhiasan.
ü  Mahasiswa mengetahui bahwa berpakaian dan perhiasan ada batas-batasnya.
ü  Mahasiswa mampu mememahami hikmah dilarangnya berpakaian menyeret tanah, memakai cincin dari emas, membuat tato, dan berpakaian lawan jenis.
ü  Mahasiswa mampu memberikan argumen ataupun pendapat serta landasan dalil tentang pakaian dan perhiasan yang dilarang.














BAB II
PEMBAHASAN

PAKAIAN DAN PERHIASAN
A.    Pakaian yang Menyeret Tanah
Ø Lafaz hadis
عن ابن عمر قال: قال رسول الله صلي الله عليه وسلم لا ينظرالله الي من جر ثوبه خيلاء. رواه احمد وابو داود والنسائ وابن ماجه.
“Dari Ibnu Umar ia berkata : telah bersabda Rasulullah Saw “Allah tidak akan melihat kepada orang yang menjulurkan pakaiannya ketanah karena sombong”. (Riwayat Imam Ahmad, Abu Daud, Nasa’i, dan Ibnu Majah)[1]

Ø  Penjelasan Hadist
            Secara umum, agama islam menggambarkan bahwa berpakaian itu bertujuan untuk menutup aurat sebagai salah satu tanda kepatuhan kepada Allah. Dalam rangka ini menutup aurat itu mestilah menjadi pertimbangan yang utama bagi setiap muslim dalam memakai pakaian. Agama membolehkan memakai pakaian dari jenis apapun bahannya dibuat, asalkan tidak ada ketentuan yang melarangnya. Orang boleh memakai pakaian dari bahan nilon, benang, kulit, bulu binatang, dsb.
            Oleh sebab itu, etika berpakaian dalam islam bukan hanya sekedar memakai pakaian yang menutup aurat, tetapi pula memperhatikan aspek etika dan estetika. Dalam hal ini, berpakaian yang menutup aurat tetapi ketat, belumlah merupakan suatu cara berpakaian yang diinginkan agama, sebab bisa menimbulkan rangsangan. Berdasarkan ini pula, seorang muslim juga tidak diinginkan memakai pakaian tipis kendatipun tidak ketat, sebab hal ini pada dasarnya belumlah tergolong menutup aurat. Persoalan model pakaian islam tidak pernah mengaturnya. Agama islam memberikan kesempatan berkreasi untuk merancang model yang disukai sepanjang pakaian yang dipakai itu menutup aurat dan sopan serta tidak merangsang, tetapi agama islam juga melarang memakai pakaian yang menyeret tanah, sesuai hadist Nabi yang diatas.
            Rasulullah juga pernah bersabda :
Tiga jenis manusia, yang kelak, pada hari kiamat, tidak akan diajak bicara oleh Allah: pertama, seorang manusia (pemberi) tidak memberi sesuatu kecuali untuk diungkit-ungkit; kedua, seorang pedagang yang berusaha melariskan barang dagangannya dengan mengucapkan sumpah-sumpah bohong, dan ketiga,seorang yang membiarkan sarungnya terjulur sampai dibawah kedua mata kakinya,”
            Hadis diatas jelas sekali melarang seorang yang memakai pakaian yang menyeret tanah, istilah pakaian yang menyeret tanah dalam ilmu fiqih adalah Isbal, Isbal dapat diartikan sebagai melabuhkan pakaian hingga menutupi mata kaki . Dari sisi bahasa, kata isbal berasal dari masdar dari “asbala”, “yusbilu-isbaalan”, yang bermakna “irkhaa-an”, yang artinya; menurunkan, melabuhkan atau memanjangkan. Sedangkan menurut istilah, sebagaimana diungkapkan oleh Imam Ibnul 'Aroby rahimahullah dan selainnya adalah: memanjangkan, melabuhkan dan menjulurkan pakaian hingga menutupi mata kaki dan menyentuh tanah, baik karena sombong ataupun tidak.[2] Rasulullah bersabda :
من لبس ثوب شهرة البسه الله ثوب مذلة يوم القيامة.
“Barang siapa yang memakai pakaian yang berlebih-lebihan maka Allah akan memberikan pakaian kehinaan nanti dihari kiamat.[3]
            Dari sini dapat disimpulkan bahwa memakai pakaian yang menyeret tanah tidak diperbolehkan dalam islam karena ini dianggap sebagai suatu hal yang berlebih-lebihan (berlebih-lebihan dalam menggunakan kain). Oleh sebab itu, jika kita memakai pakaian hendaklah yang sopan dan menutup aurat. Berlebih-lebihan itu sendiri ialah melewati batas ketentuan dalam menikmati yang halal. Dan disebut kesombongan, masalah ini erat sekali hubungannya dengan masalah niat, dan hati manusia berkaitan dengan yang zhahir. Dengan demikian apa yang disebut kesombongan itu ialah bermaksud bermegah-megah dan menunjuk-nunjukkan serta menyombongkan diri terhadap orang lain. Rasulullah bersabda :

من جر ثوبه خيلاء لم ينظر الله اليه يوم القيامة. متفق عليه.
“Barang siapa yang melabuhkan kainnya karena sombong, maka Allah tidak melihatnya nanti dihari kiamat.(Riwayat Bukhari dan Muslim)

            Ibnu Hajar berkata: “Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa isbal (menyeret) sarung karena sombong termasuk dosa besar. Adapun isbal yang bukan karena sombong, maka zhahir-nya hadis-hadis itu juga mengharamkannya. Namun taqyid sombong pada hadis-hadis ini dipakai untuk dalil, bahwa hadis-hadis lain tentang larangan isbal yang mutlak (tanpa menyebutkan kata sombong) harus dipahami dengan taqyid sombong ini, sehingga isbal dan menyeret pakaian tidak diharamkan bila selamat dari rasa sombong”.

B.     Memakai Cincin Emas
Ø  Lafaz hadis
عن عبدالله بن عباس؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم رأى خاتما من ذهب في يد رجل. فنزعه فطرحه وقال (يعمد أحدكم إلى جمرة من نار فيجعلها في يده) فقيل للرجل، بعدما ذهب رسول الله صلى الله عليه وسلم: خذ خاتمك انتفع به. قال: لا. والله لا آخذه أبدا. وقد طرحه رسول الله صلى الله عليه وسلم.
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melihat cincin dari emas di (jari) tangan seorang laki-laki. Lalu beliau melepaskannya dan membuangnya seraya bersabda : “Apakah salah seorang di antara kalian ada yang berani mengambil bara neraka lalu ia letakkan di tangannya ?”. Setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pergi, dikatakan kepada laki-laki itu : “Ambillah kembali dan manfaatkanlah cincin itu”. Laki-laki itu berkata : “Demi Allah, selamanya aku tidak akan mengambil kembali apa yang telah dibuang oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”[4]

Ø  Penjelasan Hadis
            Dari keterangan hadis diatas telah nampak jelas bahwa Rasulullah sangat melarang ummatnya memakai cincin dari emas. Islam membolehkan ummatnya bahkan memerintahkan untuk berhias. Akan tetapi Islam juga mengharamkan dua macam perhiasan khusus untuk laki-laki dengan tetap menghalalkannya bagi perempuan. Kedua macam perhiasan itu adalah emas dan sutra murni. Ali bin Abi Thalib berkata :
اخذ النبي صلي الله عليه وسلم حريرا فجعله يمينه, واخذ ذهبا فجعله في شماله ثم قال: ان هذين حرام علي ذكور امتي.
“Nabi Saw mengambil sutra dan dipegangnya dengan tangan kanan, dan mengambil emas lalu dipegangnya dengan tangan kiri, kemudia bersabda : dua macam perhiasan ini haram bagi kalangan laki-laki dari umatku”.[5]
            Jadi diharamkan memakai cincin yang terbuat dari emas hanya teruntuk kaum laki-laki sedangkan buat kaum perempuan dibolehkan menurut hadis ini. Adapun seorang laki-laki memakai cincin dari perak, Rasulullah memperbolehkannya, sebagaimana yang tersebut dalam hadis riwayat Bukhari, bahwa rasulullah sendiri memakai cincin perak, yang kemudian diberikan kepada Abu bakar, lalu diberikan ketangan Umar dan terakhir pindah ketangan Usman sehingga akhirnya jatuh kesumur Aris (quba).
            Tentang logam-logam yang lain seperti besi dan sebagainya tidak ada satupun nash yang mengharamkannya, bahkan yang ada malah sebaliknya, yaitu Rasulullah pernah menyuruh kepada seseorang laki-laki yang hendak menikah, dengan sabdanya ;
التسم ولو خاتما من حديد . رواه البخاري
“Berilah (si perempuan) maskawin, walaupun satu cincin dari besi”. (Riwayat Bukhari)[6]
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa :
·         Para ulama sepakat bahwa kaum wanita dibolehkan memakai perhiasan dalam bentuk apa saja sepanjang perhiasan itu bukan terbuat dari benda-benda najis serta benda-benda haram.
·         Perhiasan yang dipakai oleh kaum wanita itu boleh saja berbentuk sesuatu yang dilekatkan di badan seperti cincin dan kalung atau yang dipasang di pakaian seperti peniti.
·         Agama tidak pernah melarang sama sekali bagi wanita memakai perhiasan serta tidak pula ada suatu ketentuan tentang dimana perhiasan itu mesti mereka pasangkan. Wanita boleh memakai perak, besi, suasa, emas, kayu dan bahkan berlian untuk dijadikan perhiasan.
·         Kaum pria diharamkan memakai cincin yang terbuat dari emas murni sebagaimana mereka diharamkan memakai sutra murni sebagai bahan pakaian. Sebuah hadis dari Ali yang berbunyi: “Rasulullah melarang laki-laki memakai cincin yang terbuat dari emas.”
·         Para imam mazhab empat berpendapat bahwa laki-laki dewasa tidak boleh memakai cincin emas murni serta membolehkan memakai cincin yang tidak terbuat dari emas, seperti cincin perak, perunggu, ataupun dari besi.
·         Adapun memakai emas selain untuk cincin, seperti untuk menghias pedang, hal ini diperbolehkan bagi kaum lelaki. Laki-laki juga ingin memakai cincin yang terbuat dari emas maka emas yang dijadikan cincin itu haruslah dicampur dengan bahan lain dan kadar emasnya tidak boleh lebih banyak dari kadar bahan campurannya. Para ulama membolehkan laki-laki memakai emas yang dicampur. Menurut Hanafiah dan Syafi’iyah, kadar emasnya tidak boleh lebih dari satu dirham, sedangkan malikiah membolehkan paling banyak jumlahnya adalah dua dirham.
·         Para ulama juga mengharamkan membuat bejana dari emas dan perak. Juga diharamkan membuat gelas, cangkir, piring dan sejenisnya dari emas yang akan digunakan untuk alat makan atau minum. Menurut Yusuf Qardhawi larangan agama terhadap perbuatan seperti itu adalah karena hal itu menggambarkan bermewah-mewahan dan berlebih- lebihan.

C.    Membuat Tato dan tahi Lalat
Ø  Lafaz Hadis
لعن رسول الله صلي الله عليه وسلم الواشمة والموتشمة والواشرة والمستوشرة. رواه المسلم
“Rasulullah melaknat perempuan yang menato, dan yang minta ditato, yang memanggur dan yang menta dipanggur. (Riwayat Imam Muslim)

Ø  Penjelasan Hadis
            Dalam tato, terjadi pengubahan wajah dan tangan dengan warna biru dan lukisan yang jelek. Sebagian masyarakat Arab sangat berlebihan dalam hal ini, khususnya di kalangan perempuan. Mereka melukisi sebagaian besar tubuhnya. Disamping itu, pemeluk sebagaian agama juga melukiskan sembahan-sembahan dan simbol-simbol agama mereka, seperti yang kita lihat pada orang-orang Nasrani. Mereka melukiskan gambar salib di tangan dan dada.
            Selain kerusakan itu, ditambah lagi dengan rasa sakit dan penyiksaan karena menggunakan tusukan jarum ditubuh orang yang  ditato. Semua itu menjadi penyebab turunya laknat kepada yang mentato dan yang minta ditato. Sedangkan pangur, yakni menajamkan atau memendekkan gigi, rasulullah Saw, telah melaknat perempuan yang memangur dan yang meminta dipangur. Sebagaimana rasulullah telah bersabda :
ولعن المتفلجات للحسن المغيرة خلق الله.
“Dan beliau melaknat wanita-wanita yang menjarangkan giginya supaya rapi, yang mengubah ciptaan Allah.(Riwayat bukhari dan Muslim)[7]
            Abdullah bin Mas'ud r.a. berkata: “Allah telah mengutuk wanita yang membuat tahi lalat palsu dan yang minta dibuatkan, dan mencukur rambut wajahnya dan yang mengikir giginya untuk kecantikan yang mengubah buatan Allah. Keterangan ini telah didengar oleh seorang wanita Bani Asad bernama Umi Ya'qub, maka segera ia datang dan Tanya: Aku dengar anda mengutuk ini dan itu? Jawab Ibnu Mas’ud: mengapa aku tidak mengutuk orang yang dikutuk oleh Rasulullah saw. Dan itu juga dalam kitab Allah. Um Ya’qub berkata: Aku telah membaca kitab Allah dari awal hingga akhir dan tidak menemukan apa yang anda katakan itu. Ibnu Mas’ud berkata jika benar anda membaca pasti menemukannya apakah anda tidak membaca ayat: Wa maa aata kumurrasulu fa khudzuhu wamaa nahaa kun anhu fantahu (dan semua yang diajarkan rosulullah kepadamu maka terimalah dan semua yang dilarang hentikanlah). Jawab Um Ya‘qub: Benar. Ibnu Mas’uud berkata: Dan nabi berkata telah melarang itu semua. Um Ya’qub berkata: Tetapi isterimu berbuat itu. Ibnu Mas’uud menjawab: lihatlah kedalam, maka pergi melihat, ternyata tidak berbuat itu. Ibnu Mas’uud berkata: Andaikan ia berbuat tentu tidak kumpul dengan kami.” (Bukhari, Muslim).
            Dari hadis di atas dapat disimpulkan bahwa Allah telah mengutuk orang yang membuat tahi lalat palsu karena itu dianggap sikap yang tidak mensyukuri karunia yang telah diberikan-Nya, karena Allah telah menciptakan semua makhluk-Nya dengan sebaik-baik ciptaan.
            Tato adalah gambar/simbol pada kulit tubuh yang diukir dengan alat sejenis jarum. Tato adalah sesuatu yang buruk, tetapi sekarang ini tato dianggap sesuatu yang modis, trendi dan fationable. Dulu bertato pada umumnya dilakukan oleh kaum lelaki tetapi sekarang ini wanitapun ikut-ikutan. Lokasi tatopun kini berfariasi, jika dulu kebanyakan di tangan namun kini ada yang di paha, betis, bawah pusar, payudara, pergelangan dll.
            Ibnu Masud ra. Berkata: Allah melaknat Wasyimah (wanita yang melubangi kulit dengan jarum, tato) dan Mutawsyimah (wanita yang minta ditato).” (Muttafaqun alaihi).
            Dari keterangan di atas sudah jelas bahwa perbuatan menato adalah perbuatan yang tercela baik bagi laki-laki ataupun bagi perempuan. Taubat orang bertato adalah dengan menghapus tatonya.  Dari hadis di atas dapat disimpulkan bahwa Allah telah mengutuk orang yang membuat tahi lalat palsu karena itu dianggap sikap yang tidak mensyukuri karunia yang telah diberikan-Nya, karena Allah telah menciptakan semua makhluk-Nya dengan sebaik-baik ciptaan




[1] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah. Penerbit Pustaka Percetakan Offset, Bandung. Hal 124
[2]Ibnul Atsir, Nihayah Fi Gharibil Hadits, Jilid II. Hal 339
[3] Imam Al-Ghazali,Benang tipis antara Halal dan Haram, Penerbit Putra Pelajar, 2002, Surabaya. Hal 135
[4] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah. Penerbit Pustaka Percetakan Offset, Bandung. Hal 117
[5] Yusuf Qardhawi, halal dan Haram dalam Islam, Penerbit Era Intermedia Surakarta, 2003. Hal 126
[6] Imam Al-Ghazali,Benang tipis antara Halal dan Haram, Penerbit Putra Pelajar, 2002, Surabaya. Hal 132
[7] Yusuf Qardhawi, halal dan Haram dalam Islam, Penerbit Era Intermedia Surakarta, 2003. Hal 134-135

Tidak ada komentar:

Posting Komentar