Selasa, 12 November 2013

Peranan Tasawup Dalam Mengatasi Problematika Sosial



BAB I
PENDAHULUAN
Secara prinsip tiada seorang pun yang dapat menafikan adanya konsep tasawwuf dalam tradisi Islam. Tasawwuf terbukti sangat berkesan dalam terdalam (esoteris) ajaran Islam (al-janib al-‘Atifi min al-Islam), tasawwuf kerap kali dikatakan sebagai hakikat sedangkan aspek luaran (eksoteris) dikatakan sebagai Syari‘ah. Keduanya yaitu hakikat dan syariah ini mempunyai peranan masing-masing yang tidak dapat dipisahkan daripada ajaran Islam yang komprehensif (kaffah). Oleh karena itu kedua-duanya ini tidak boleh dilihat secara dikotomis, terpisah dan dipertentangkan. Namun pada kenyataannya tasawwuf merupakan salah satu subjek yang sering disalahfahami oleh banyak orang, baik di kalangan Muslim sendiri maupun orang bukan Islam. Hal ini berlaku di antaranya adalah karena tasawwuf telah melalui evolusi dan perkembangan yang jauh setelah ia diperkenalkan kepada generasi awal Islam. Istilah Tasawwuf (Sufisme), berasal dari kata shuf (wol, bulu domba) yang berarti memakai pakaian dari wol yang kasar, sebagai simbol kehidupan yang keras (zuhud/ascetics) yang menjauh dari kenikmatan duniawi. Jadi istilah tasawuf hanyalah simbol metaforis untuk sebuah konsep asketisme (kepertapaan atau kerahiban) dan gnosis (irfan) (Nasr, 1991: 32).
Dunia tasawwuf adalah dunia kerohanian (spirituality). Merupakan suatu hal yang mustahil memahami dunia ini jika seseorang itu hanyut dalam alam material dan keduniaan. Di Abad modern ini, di mana kehidupan masyarakat didominasi oleh worldview sekuler, tasawwuf menjadi sesuatu yang asing dan terpinggir. Malahan, ada kalangan yang beranggapan bahwa orang-orang yang mengamalkan tasawwuf adalah orang-orang yang kolot, berfikir ke belakang dan konservatif. Menurut saya, ketika dunia modern semakin hanyut dengan materialisme dan hedonisme, peranan tasawwuf dirasakan amat signifikan dalam usaha mengatasi permasalahan dan dilema yang dihadapi oleh masyarakat hari ini. Semakin dominan falsafah sekularisme dan materialisme dalam kehidupan masyarakat semakin banyak orang yang mencari akan ‘makna’ dan hakikat kehidupan.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Problematika Masyarakat Modren
          Revolusi Teknologi” dengan meningkatkan kontrol kita pada materi, ruang dan waktu, menimbulkan evolusi ekonomi, gaya hidup, pola pikir dan sistem rujukan. Dalam kaitan ini terdapat tiga keadaan dalam dalam mensikapi revolusi industri. Yaitu kelompok yang optimis, pesimis dan pertengahan antara keduanya. Bagi kelompok yang optimis kehadiran revolusi teknologi justru menguntungkan, seperti yang diperlihatkan Ziauddin Sardar. Menurutnya revolusi reformasi yang kini sedang dijajakan sebagai suatu rahmat besar bagi manusia. Penjajanya yang agresif ditelevisi, surat-surat kabar, dan majalah-majalah yang mewah begitu menarik. Pada lingkungan-lignkungan yang terpelajar, yaitu di dalam jurnal-jurnal penelitian dan buku-buku akademis, disebutkan bahwa revolusi reformasi akan menyebabkan timbulnya desentralisasi, dan karena itu akan melahirkan suatu masyarakat yang lebih demokratis, telah meningkatkan keragaman budaya melalui penyediaan informasi yang menyeluruh yang sesuai dengan keragaman selera dan kemampuan ekonomi, memberi orang kesempatan untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan baru, meningkatkan produksi, dan dengan demikian menciptakan kemakmuran untuk semua lapisan masyarakat.[1]
Sementara itu bagi kelompok yang pesimis memandang kemajuan di bidang teknologi akan memberikan dampak yang negatif, karena hanya memberikan kesempatan dan peluang kepada orang-orang yang dapat bersaing saja, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan, ekonomi, kesempatan, kecerdasan dan lain-lain. Sementara bagi mereka yang terbelakang tetap semakin terbelakang. Penggunaan teknologi di bidang pertanian misalnya akan menyebabkab keuntungan bagi petani yang memiliki modal saja, sedangkan bagi yang tidak memiliki modal semakin menghadapi masalah yang serius. Lapangan kerja yang selama ini banyak menyerap tenaga kerja, sudah mulai ditangani oleh teknologi yang hemat tenaga kerja, akibatnya terjadinya pengangguran.
Teknologi juga akan berbahaya jika berada di tangan orang yang secara mental dan keyakinan agama belum siap. Mereka dapat menyalahgunakan teknologi untuk tujuan-tujuan yang destruktif dan mengkhawatirkan. Penggunaan teknologi kontrasepsi misalnya dapat menyebabkan orang dengan mudah dapat melakukan hubungan seksual tanpa harus takut hamil atau berdosa. Demikian juga kemajuan di bidang teknologi farmasi atau obat-obatan dapat menyebabkan diciptakannya berbagai bentuk obat yang membahayakan dengan versi yang berlainan dan dapat diperoleh dengan cara-cara yang mudah. Selanjutnya kemajuan di bidang teknologi rekayasa genetika, melalui apa yang disebut dengan bayi tabung, dapat mendorong manusia memproduksi manusia untuk dijualbelikan sebagaimana menjual buah-buahan, atau binatang.
Selanjutnya kemajuan di bidang teknologi persenjataan menyebabkan orang berbisnis dalam bidang persenjatan, dan agar bisnis senjatanya ini lancar dan memperoleh kenutungan, maka diciptakan situasi yang terus menerus komplik dan mencekam, yang pada akhirnya mereka memerlukan pembelian senjata untuk mempertahankan daya dan kelangsungan hidupnya. Keadaan ini terus berlanjut hingga dunia tak pernah aman. Banyak negara-negara yang sudah memiliki senjata-senjata biokimia yang dahsyat seperti virus yang dapat mengubah kota ramai menjadi kumpulan bangkai, atau sepecis baru yang dapat menghancurkan ribuan hektar padi dalam sehari. Untuk menaklukkan sebuah negara atau kota, cukuplah orang memasukkan 500 gram LSD 25 dalam pusat air minum, dan seluruh penduduk menjadi gila.[2]
Kemajuan di bidang teknologi komunikasi seperti komputer, faximile, internet dan sebagainya juga akan membuka peluang bagi orang untuk lebih meningkatkan aktivitas jahatnya dalam bentuk yang lebih canggih. Jaringan-jaringan peredaran obat-obat terlarang, tukar menukar informasi, penyaluran data-data flim yang berbau pornografi dan sebagainya akan semakin intensif pelaksanaanya. Setelah mengajukan sejumlah kekhawatiran dari dampak teknologi ini, maka kaum yang pesimistis ini mengajukan pertanyaan: bolehkah ilmu pengetahuan dan teknologi yang netral etika itu terus dikembangkan? Bukankah sebaiknya dibatasi penggunaannya, sampai masyarakat benar-benar siap menerimanya? Dan kapankah datangnya saat dimana manusia itu siap menerima kehadiran iptek tampaknya perlu disiapkan.
Sementara pertanyaan tersebut belum terjawab telah muncul persoalan baru. Saat ini para ilmuwan sosial telah mencapai pula teknik-teknik pengendalian manusia melalui teori-teori motivasi, proses persuasi, dan ketidak sadaran manusia. Pengetahuan mereka telah dimampaatkan oleh produsan untuk menyeret jutaan manusia kepada pola konsumtif yang irasional, kepada apa yang disebut oleh Reinhold Neibuhr sebagai perbudakan produksi.[3]
Dalam pada itu bagi kelompok yang mengambil sikap antara optimis dan pesimis terhadap kemajuan ilmu pengatahuan dan teknologi (iptek) mengatakan, bahwa iptek itu positif atau membahayakan pada pengangguran, inflasi dan pertumbuhan, tergantung pada orang yang mengelolanya, tanpa harus ditangguhkan, demi kepentingan kerja sama dan perdamaian. Dalam kaitan ini menarik sekali apa yang dikemukakan sosiolog perancis Jacques Ellul yang mengatakan bahwa kemajuan dalam bidang teknologi akan memberi pengaruh sebagai berikut:
1)      Semua kemajuan teknologi menuntut pengorbanan, yakni dari satu sisi teknologi memberi nilai tambah, tapi pada sisi lain tetap mengurangi.
2)      Nilai-nilai manusia yang tradisional, misalnya harus dikorbankan demi efisien.
3)      Semua kemajuan teknologi lebih banyak menimbulkan masalah ketimbang memecahkannya.
4)      Efek negatif teknologi tidak dapat dipisahkan dari efek positifnya, teknologi tidak pernah netral, efek negatif dan positif serenyak dan tidak terpisahkan.
5)      Semau penemuan teknologi mempunyai efek yang tidak terduga.
Sikap manakah dari tiga sikap yang dikemikakan di atas itu yang akan timbul, itu tampaknya amat tergantung kepada cara pandang dan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Bagi umat islam yang selalu diajarkan bersikap adil terhadap berbagai masalah, tampaknya sikap pertengahan yang perlu diambil, yaitu sikap yang dari satu sisi mau menerima dan memampaatkan kemajuan di bidang iptek, sedangkan pada sisi lain kita berusaha menjaga agar iptek tidak disalahgunakan. Kegiatan di bidang dakwah, jurnalistik, pengkajian Islam, perbaikan mmasyarakat, dan sosial kemasyarakatan lainnya akan lebih efektif dan berhasil secara efisien jika di dukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian juga persaudaraan seiman dan seagama, sebagaimana yang diajarkan nabi Muhammad. Bahwa umat Islam ini adalah sebagai suatu bangunan jasad yang satu, dapat dilahirkan dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun bagaimanakah agar kegiatan-kegiatan yang bersifat positif dilakukan oleh umat, adalah bergantung kepada sikap mental dan kepribadian manusia.
Penggunaan iptek modren yang demikian itu masih lebih banyak dikendalikan oleh orang-orang yang secara moral kurang dapat dipertanggungjawabkan. Sikap hidup yang mengutamakan marteri (materialistik), memperturutkan kesenangan dan kelezatan syahwat (hedonistik), ingin menguasai aspek kehidupan (totaliteristik), hanya percaya pada rumus-rumus pengetahuan empiri saja, serta paham hidup positivistis yang bertumpu pada kemampuan akal pikiran manusia tampak lebih menguasai manusia yang memegang ilmu pengetahuan dan teknologi. Di tangan mereka yang berjiwa dan bermental demikian itu, ilmu pengetahuan dan teknologi memang sangat mengkhawatirkan. Mereka akan menjadi penyebab kerusakan di daratan dan dilautan sebagaimana diisyaratkan al-quran (lihat QS. Al-rum, 30:41). Dari sikap mental yang demikian itu kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan sejumlah problematika masyarakat modren yang menyangkut masalah tasawup sebagai berikut:
a.       Desintegrasi Ilmu Pengetahuan
Kehidupan modren antara lain ditandai oleh adanya spesialisasi di bidang ilmu pengetahuan. Masing-masing ilmu pengetahuan memiliki paradigma. Cara pandangnya sendiri dalam memecahkan masalah yang di hadapi. Jika seorang menghadapi masalah lalu ia pergi kepada kaum teolog, ilmuwan, polotisi, sosiologi, ahli biologi, psikologi, etnologi, dan ekonom misalnya, ia kan memberikan jawaban yang berbeda-beda dan terkadang saling bertolak belakang. Hal ini pada akhirnya dapat membingungkan manusia. Keadaan bebagai limu pengetahuan yang saling bertolak belakang itu diakui oleh Max Scheler sebagai dikutip Komaruddin Hidayat. Menurutnya antara satu disiplin limu atau filsafat dan lainnya terdapat kerenggangan, bahkan tidak tahu-menahu, mengiatkan ungkapan pragmented knowledge yang dikemukakan Hussein Nasr, ilmuwan kenamaan dari Iran. Hal ini  menurut Nasr merupakan pangkal terjadinya kekeringan spritual, akibat pintu masuknya tersumbat. Dengan menyempitnya pintu masuk bagi persepsi dan konsepsi spritual, maka manusia modren semakin berada pada garis tepi, sehingga tidak lagi memiliki etika dan estetika yang mengacu pada sumber Ilahi.
Terjadinya kepingan-kepingan ilmu yang mengarah pada spesialisasi, sehingga jikalau semuanya berjalan sendiri-sendiri tanpa ada tali pengikat dan petunjuk jalan yang menguasai semuanya, yang terjadi adalah kian jauhnya manusia dari pengetahuan (kearifan) aklan kesatuan alam. Lebih dari itu, pengalian disiplin di atas bisa jadi malah mendatangkan benturan-benturan antara yang satu dan lainnya. Mengapa hal demikian terjadi? Jawabnya adalah karena mereka telah menjeratkan dirinya pada rasionalistis teknoligis secara absolut, netral nilai keagamaan tetapi sarat nafsu penakluikan. Perkembangan semacam ini diisyaratkan oleh Nashr sebagai manusia modren yang memang tangannya dalam kobaran api tetapi dirinya sendiri yang menyalakannya ketika ia mengijinkan dirinya untuk melupakan siapa dia sesungguhnya.[4]

b.      kepribadian yang Terpecah (Split Personality)
Karena kehidupan modren dipolakan oleh ilmu pengetahuan yang coraknya kering nilai-milai spritual dan terkotak-kotak itu, maka manusianya menjadi pribadi yang terpecah (split personality). Kehidupan manusia modren diatur menurut rumus ilmu yang eksak dan kering. Akibatnya kini tengah menggelinding proses hilangnya kekayaan rohaniah, karena dibiarkannya perluasan ilmu-ilmu positif (ilmu yang hanya mengandalkan fakta-fakta emprik, obyektif, rasoonal dan terbatas) dan ilmu-ilmu sosial. Kita sama sekalio bukan meremehkan atau tidak menghargai jasa yang diberikan ilmu pengetahuan eksak dan sosial, tetapi yang kita inginkan agar ilmu-ilmu tersebut diintegrasikan satu dan lainnya melalui tali pengikat yaitu ajaran agama Tuhan sehingga seluruh ilmu itu diarahkan pada tujuan kemuliaan manusia, mengabdikan dirinya pada tuhan berakhlak mulia dan seterusnya. Jika proses keilmiwan yang berkembang ini tidak berada di bawah kendali agama maka  proses kehancuran pribadi manusia akan terus berjalan. Dengan berlangsungnya proses tersebut semua kekuatan yang lebih tinggi untuk mempertinggi derajat kehidupan manusia menjadi nilang, sehinggs bukan hanya kehidupan kita yang mengalami kemerosotan, tetapi juga kecerdasan dan moral kita.
c.       Penyalahgunaan Iptek
Sebagai akibat dari terlepasnya ilmu pengetahuan dan teknologi dari ikatan spritual, maka iptek telah disalahgunakan dengan segala implikasi negatifnya sebagaimana disebutkan di atas. Kemampuan membuat senjata telah diarahkan untruk tujuan penjajahan satu bangsa atas bangsa lain, subversi dan lain sebagainya. Kemampuan di bidang rekayasa genetika diarahkan untuk tujuan jual-beli manusia. Kecanggiahan di bidang teknologi komunikasi dan lainnya telah digunakan untuk menggalang kekuatan yang menghancurkan moral uamt dan sebagainya.
d.      Pengdangkalan iman
Sebagai akibat lain daripola pikiran keilmuwan tersebut di atas, khususnya ilmu-ilm u hanya mengakui fakta-fakta yang besifat empiris menyebabkan manusia dangkal imannya, ia yidak tersentuh oleh informasi yang diberikan oleh wahyu ini menjadi bahan tertawaan dan dianggap sebagai tidak ilmiah dan kampungan.

e.       Pola hubungan materialistik
Semangat persaudaraan dan rasa saling tolong yang didasarkan atas panggilan iman sudah tidak tampak lagi karena iminnya memang sudah dangkal. Pola hubungan satu dan lainnya ditentukan oleh sebagai seberapa jauh antara satu dan lainnya dapat memberikan keuntungan yang bersifat material. Demikian pada penghormatan yang diberikan seseorang atas orang lain banyak diukur oleh sejauh mana orang tersenut dapat memberikan mamfaat secara material. Akibatnya ia menenpatkan pertimbangan material di atas pertimbangan akal sehat, hati nurani, dan imannya.

f.       Menghalalkan Segala Cara
Sebagai akibat lebih jauh dari dangkalnya iman dan pola hidup materialistik sebagaimana disebutkan di atas, maka manusia dengan mudah dapat menggunakan prinsif menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan. Jika hal ini terjadi maka terjadilah kerusakan akhlak dalam segala bidang, baik ekonomi, politik, sosial, dan sebagainya. Beberapa dampak negatif dari kehadiran iptek yang berwatak tak bermoral sertas pola hidup materialistis sebagainmana disebutkan di atas tampaknya bukan masalah baru lagi bagi bangsa indonesia. Di sini kita lihat lagi, untruk dicarikan jalan pemecahan.
g.      Stres dan Prustasi
Kehidupan modren yang demikian kompetitif menyebabkan manusia harus mengerahkan selutuh pikiran tenaga dan kemampuannya. Mereka terus bekerja dan bekerja tanpa mengenal batas dan kepuasan. Hasil yang dicapai tak pernah disyukurinya dan selalu merasa kurang. Apalagi jika usaha dan pronyeknya gagal, maka dengan mudah ia kehilangan pegangan, karena memang tidak lagi memiliki pegangan yang kokoh yang berasal dari tuhan. Mereka hanya berpegang atau bertuhan kepada hal-hal yang bersifat material yang sama sekali tidak dapat membimbing hidupnya. Akibatnya jika terkena problema yang tidak dapat dipecahkan dirinya, segera saja ia steres dan prustasi yang jika hal ini terus-menerus akan berlanjut akan menjadikan ia gila atau hilang ingatan. Jumlah manusia yang mengalami kondisi jiwa yang demikian itu kian bertanbah banyak jumlahnya.

h.      Kehilangan Harga Diri dan masa depannya
Terdapat sejumlah orang yang terjerumus atau salah memilih jalan kehidupan, masa mudanya dihabiskan unutk memperturutkan hawa nafsu dan segala daya dan cara telah ditempuhnya, namun ada suatu saat di mana ia sudah tua renta, sudah tidak berdaya, tenaganya sudah tidak mendukung, dan berbagai kegiatan sudah tidak bisa ia lakukan. Fasilitas dan kemewahan hidup sudah tidak berguna lagi, karena fisik dan mentalnya sudah tidask memerlukan lagi. Manusia yang demikian ini merasa kehilangan harga diri dan masa depannya, kemana ia harus berjalan, ia tidak tahu. Mereka perlu bantuaqn dari kekuatan yang berada dari luar dirinya, yaitu bantuan tuhan.

B.     Peranan Tasawup Dalam Mengatasi Problematika Sosial
Banyak cara yang diajukan para ahli untuk mengatasi masalah tersebut, dan salah satu cara yang hampir disepakati para ahli adalah denbgan cara mengembangkan kehidupan yang berakhlak dan bertasawuf. Salah satu tokoh yang begitu sungguh-sungguh memperjuangkan akhlak tasawuf bagi mengatasi masalah tersebut adalah Hussein Nashr. Menurutnya paham sufismi ini mulai mendapat tempat dikalangan masyrakat, karena mulai merasakan kerkeringan batin. Mereka mulai mencari-cari dimana sefisme yang dapat menjawab sejumlah masalah tersebut di atas. Dalam kebingungan semacam itu, sementaraq bagi mereka selama berabad-abad Islam dipandangnya dari isinya legalistik formalistis tidak memiliki di mensi esoteris (batiniah) maka kini saatnya dimensi batiniah islam harus diperkenalkan sebagai alternatif. Bagi masyarakat Barat masih sangat asing kalau muhammad ditempatkan sebagai tokoh spritual, dan islam memiliki kekayaan rohani yang sesungguhnya amat mereka rindukan.
Mengapa sufisme perlu dimasyarakatkan pada mereka ? jawabnya menurut Komaruddin Hidayat terdapat tiga bagian, pertama, turut serta terlibat dalam berbagai peran dalam menyelamatkan manusia dari kondisi kebingungan akibat hilangnya nilai-nilai spritual. Kedua, memperkenalkan literatur atau pemahaman tentang aspek esoteris (kebatinan) Islam, baik terhadap masyarakat Islam yang mulai melupakannya atua non-muslim, khususnya terhadap masyarakar barat. Ketiga, untuk memberikan penegasan kembali bahwa sesungguhnya aspek esoteris Islam, yakni sufisme, adalah jantung ajaran Islam, sehingga bila wilayah ini kering dan tidak berdenyut maka keringlah aspek-aspek lain ajaran Islam. Dalam hal ini nashr menegaskan “tarikat” atau “jalan rohani” yang biasanya dikenal sebagai tasawuf atau sufisme adalah adalah merupakan dimensi kedalaman dan kerahasiaan (esoteric) dalam islam, sebagaimana syariat berakar pada al-Qur’an dan al-Sunnah. Ia menjadi jiwa risalah Islam, seperti hati yang ada pada tubuh, tersembunyi jauh dari pandangan luar. Betapun ia tetsp merupakan sumber kehidupan yang paling dalam, yang mengatur seluruh organisasi keagamaan dalam Islam[5].
Namun demikian penggunaan tasawuf mengatasi sejumlah masalah moral sebagaimana tersenut di atas menghendaki adanya interpretasi baru terhadap term-term tasawuf yang selama ini di pandang sebagai menyebabkan melemahnya daya juang dikalangan umat Islam. Intisari ajaran tasawuf sebagaimana paham mistisisme dalam agama-agama lain, adalah tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan tuhan, sehingga sesorang merasa dengan kesadarannya itu berada di hadirat-nya. Upaya ini antara lain dilakukan dengan kontemplasi, melepaskan diri dari jeratan dunia yang senantiasa berubah dan bersifat sementara ini. Sikap dan pandangan sufistik ini sangat diperlukan oleh masyarakat modren yang mengalami jiwa yang terpecah sebagaimana yang disenutkan di atas, adalkan pandangan terhadap tujuan tasawuf tidak dilakukan secara eksklusif dan individual, melainkan berdaya implikatif dalam meresponi berbagai masalah yang dihadapi.
Orang yang telah samp[ai pada tujuan tersebut di atas akan selamat dari jeratan duniawi. Dengan demikian seseorang yang tidak bisa melepaskan kaca mata ilmiahnya, lalu beralih pada penglihatan mata hatinya, maka sulitlah baginya menangkap bayang-bayang tuhan, mengadakan dialog dengannnya. Seseorang yang terbiasa menggunakan analisis ilmiah terhadap obyek faktual sulit baginya ditambati benang merah yang menghubungkan dirinya dengan titik pusat dalam pendakian spritual menuju makrifat. Yaitu suatu tahap antara hamba dan tuhannya tidak ada lagi tabir menutup, sementara hati sang hamba telah dipenuhi dengan cinta yang mwmbara bukan rasa takut, terhadap tuhan. Penglaman spritual seperti itu telah dialami oleh Rabi’ah al-Adawiyah dengan mahabbanya, Zun al-Nun Al mishri dan Al-Ghazali dengan paham ma’rifahnya,  Abu Yazid al-Bustami dengan paham ittihadnya, ai-Hallaj dengan paham Hululnya dan Ibnu arabi dengan paham Wahdatul Wujudnya.
Kesempurnaan berhubungan dengan tuhan ini dapat mengintegrasikan seluruh ilmu pengetahuan yang tampak berserakan itu, karena melalui tasawup inin seseorang disadarkan bahwa sumber segala yang ada ini berasal dari Tuhan, bahwa dalam paham Wahdatul Wujud, alam dam manusia yang menjadi objek ilmu pengetahuan ini sebenarnya adalah bayang-bayang atau foto copy tuhan. Dengan cara demikian antara satu ilmu dengan yang lainnya akan saling mengarah pada Tuhan. Di sinilah perlunya ilmu dan teknologi yang berwawasan moral, yaitu ilmu yang diarahkan oleh nilai-nilai tuhan. Orang yang demikian harus cemas jika ilmu yang dimilikinya tidak dimamfaatkan sesuai perintah tuhan. Rasa cemas itu sebagai tanda beragama dan bertuhan. Williem James menegaskan bahwa “selama manusia masih memiliki naluri cemas dan mengharap, selama itu pula ia beragama (berhubungan dengan Tuhan). Itulah sebabnya mengapa perasaan takut merupakan salah satu dorongan yang terbesar untuk beragama.
Dengan adanya bantuan tasawuf ini maka ilmi pengetahuan satu dan lainnya tidak akan bertabrakan, karena ia berada dalam satu jalan dan satu tujuan. Dan di pihak lain perasaan agama yang di dukung oleh ilmu pengetahuan itu juga akan semakin mantap. Hubungan ilmu dengan ketuhanan yang diajarkan agama jelas sekali. Ilmu mempercepat anda sampai ke tujuan, agama menentukan arah yang dituju. Ilmu menyesuaikan manusia dengan ;lingkungannya dan agama menyesuaikan dengan jati dirinya. Ilmu hiasan lahir dan agama hiasan batin. Ilmu memberikan kekuatan dan memerangi jalan dan agama memberikan harapan dan dorongan bagi jiwa. Ilmu memjawab pertanyaan yang di mulai dengan “bagaimana” agama menjawab ;pertanyaan yang dimulai dengan “mengapa”. Ilmun tidak jarang mengeluarkan pikiran pemiliknya sedangg agama selalu menenangkan jiwa pemeluknya yang tulus.
Selanjutnya tasawuf melatih manusia agar memiliki ketajaman batin dan kehalusan budi pekerti. Sikap batin dan kehalusan yang tajam ini menyebabkan ia akan selalu mengutamakan pertimbangan kemanusiaan pada setiap masalah yang dihadapi. Dengan cara demikian, ia akan terhindar dari melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela menurut agama.  Demikian pula tarikat yang terdapat dalam tasawup akan membawa manusia memiliki jiwa istiqomah, jiwa yang selalu diisi dengan nilai-nilai ketuhanan, ia selalu mempunyai pegangan da;lam hidupnya. Keadaan demikian menyebabkan ia tetap tabah dan tidak mudah terhempas oleh cobaan yang membelokkkannya ke jurang kehancuran. Dengan demikian, stres, putus asa dan lainnya akan dapat dihindari berkenaan dengan tarikat ini nurcholis Madjid mengatakan bahwa dengan mengikuti tarikat berarti kita menempuh jalan yang benar secara mantap dan konsisten. Orang yang demikian dijanjikan Tuhan akan memperoleh karunia hidup bahagia yang tiada terkira. Hidup bahagia ini adalah hidup sejati, yang dalam ayat suci tersebut diumpamakan dengan air yang melimpah ruah. Dalam literatur kesufian air karunia Ilahi itu disebut “air kehidupan” inilah yang secara simbolik dicari oleh para pengamal tarikat, yang wujud sebenarnya adalah “pertemuan” dengan tuhan dengan ridha-Nya.[6]
Selanjutnya ajaran tawakkal pada tuhan, menyebabkan ia memiliki pegangan yang kokoh karena ia telah mewakilkan atau menggadaikan dirinya sepenuhnya pada tuhan. Orang yang pada suatu saat menaiki pesat supersonik dengan kecepatan yang tinggi, tidak akan merasa nyaman dan mengasikkan, jika selalu ia takut jatuh atau mati. Orang yang demikian akan merasa tenang jika bertawakkal. Ia serahkan urusannya itu pada tuhan karena memang urusan mati bukan di tangan manuisa, tugas manuisa hanya mengupayakan agar berbagai persyaratan keselamatan penerbangan telah di lakukan, misalnya kmeadaan mesin pesawat, bahan bakar, kondisi pilotnya, baling-baling pengerak mesin roda untuk take off dan landing, dan seterusnya telah diusahakan. Sikap tawakkal ini akan mengatasi sikap stres yang dia;lami manusia. Selanjutnya sikap frustasi bahkan hilang ingatan alias gila dapat diatasi dengan sikap ridha yang diajarkan dalam tasawuf, yaitu selalu pasrah dan menerima terhadap segala keputusan tuhan. Iaq menyadari bahwa yang maha Kuasa atas segala sesuatu adalah tuhan. Sikap yang demikian itu diperlukan untuk mengatasi masalah frustasi dan sebagainya.
Sikap materialstik dan hedonistik yang meraqjalela dalam kehidupan modren ini dapat diatasi dengan menerapkan konsefsi zuhud, yang pada intinya sikap yang tidak mau diperbudak atau terperangkap oleh duniawi yang sementara itu. Jika sikap ini telah mantap, maka ia akan tidak berani menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan. Sebab tujuan yang ingin dicapai dalam tasawuf adalah tuhan, maka caranyapun harus di tempuh dengan cara yang disukai tuhan. Demikian pula ajaran uzlah yang terdapat dalam tasawuf, yaitu usaha mengasingkan diri dari terperangkap oleh tipu daya keduniaan. Dapat pula digunakan untuk membekali manusia modren agar tidak menjadi sekruf dari mesin kehidupan, yang tidak tahu lagi arahnya mau dibawa kemana. Tasawuf dengan konsep uzlahnya itu berusaha membebaskan manusia dari perangkap-perangkap kehidupan yang memperbudaknya. Ini tidak berarti seseorang harus pertapa, ia tetap terlihat dalam berbagai kehidupan itu, tapi ia tetap mengendalikan aktivitasnya sesuia dengan nilai-nilai ketuhanan, dan bukan sebaliknya larut dalam pengaruh kehidupan.
Dalam pada itu tema tentang situasi kemanusiaan di zaman modren ini menjadi penting dibicarakan, mengingat dewasa ini manusia menghadapi bermacam-macam persoalan yang benar-benar membutuhkan pemecahan segera. Kadang-kadang kita merasa bahwa situasi yang penuh problematik di dunia modren ini justru disebabkan oleh perkembangan pemikiran manusia sendiri. Di balik kemajuan ilmu dan teknologi, dunia modren sesungguhnya menyimpan suatu potensi yang dapat menghabcurkan martabat manusia.[7] Untuk menyelamatkannya perlu tasawuf yang wujud konkretnya dalam akhlak yang mulia. Menurut Jalaluddin Rahmat, sekarang ini diseluruh dunia timbul kesadaran betapa pentingnya memperhatikan etika dalam pengembangan sains. Di beberapa negara maju telah didirikan lembaga lembaga “pengawal moral” untuk sains. Yang paling terkenal ialah The Institut of Society, Etics and Life Science di Hasting New York. Kini telah disadari, seperti kata sir Manc farlance Burnet, biologi Australia, bahwa: sulit bagi seorang ilmuwan aksprimental mengetahui apa yang tidak boleh diketahui. Ternyata, sains tidak bisa dibiarkan lepas dari etika, kalau kita tidak ingin senjata makan tuhan.[8]
Sekarang dunia tampaknya sepakat bahwa sains harus dilandasi etika, tetapi etika pun akarnya pemikiran filsafat pula, yaitu pemikiran yang mengandung keunggulan dan kelemahan, makas masalah etika pun masih mengandung masalah, untukn itu yang perlu adalah akhlak yang bersumber dalam Al-Qur’an dan al-hadis.[9] Terakhir problematika masyarakat modren di atas adalah sejumlah manusia yang kehilangan masa depannya, merasa kesunyian dan kehampaan jiwa di tengah derunya lajunya kehidupan. Untuk itu ajaran akhlak tasawuf yang berkenaan dengan ibadah, zikir, taubat dan berdoa menjadi penting adanya, sehingga ia tetap is mempunyai harapan, yaitu bahagia hidup diakhirat nanti. Bagi orang-orang yang sudah lanjut usia yang dahulu banyak menyimpang hidupnya, akan terus dibayangi perasaan dosa, jika tidak segera bertaubat. Tasawup akhlak memberi kesempatan bagi penyelamatan manusia yang demikian, itu penting dilakukan agar ia tidak terperangkap ke dalam praktek kehidupan spritulal yang menyesatkan, sebagaiaman yang akhir-akhir ini banyak berkembang di masyarakat.
Demikian pula munculnya anak muda yang terjerumus ke dalam perbuatan tercela, seperti menggunakan obat-obat terlarang, praktek hidup bebas tanpa mempedulikan ajaran agama, dan pikiran mereka telah dipenuhi oleh konsep-konsep yang salah itu, maka tasawup dengan sistem yang diakui paling kuat untuk menghubungkan manusia dengan tuhan, merupakan salah satu alternatif penyembuhan. Pusat-pusat rehabilitasi korban narkotik dan pergaulan bebas ternyata juga dapat dilakukan melalui jalur tasawup dan pengembangan akhlak. Itulah sumbangan positif yang dapat digali dan dikembangkan dari ajaran tasawup akhlak. Untuk itu dalam mengatasi problematika kehidupan masyarakat modren saat ini, akhlak tasawup harus dijadikan salah satu alternatif terpenting. Ajaran akhlak tasawup perlu disuntikkan ke dalam seluruh konsep kehidupan. Ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, sosial, politik, kebudayaan dan lain sebagainya perlu dilandasi ajaran akhlak tasawup. Inilah harapan kita.
Ada beberapa keuntungan atas menerapkan akhlak taswup di  zaman modren yaitu sebagai berikut:
a.       Menghidupkan Rasa Kehambaan
Ilmu tasawuf dapat menghidupkan rasa kehambaan. Untuk kita terasa hamba. Menghidupkan rasa takut pada Allah yang mesti ada di mana-mana. Rasa malu mesti dihidupkan kerana Allah melihat, Allah memerhati. Menghidupkan rasa hina diri di hadapan Tuhan. Rasa kehambaan ini bila dihidupkan, mazmumah akan hilang dengan sendiri. Orang yang terlalu sombong, ego, ujub itu adalah disebabkan tidak ada rasa kehambaan.
b.      Menghidupkan Rasa Bertuhan
Hati sentiasa sedar Allah melihat, mengetahui dan Allah sentiasa ada bersama kita. Inilah kunci kita tidak melakukan dosa. Contohnya dalam majlis raja, kita tidak akan buat salah sekalipun menguap. Kita amat jaga tingkah laku kerana kita sedar raja yang berkuasa sedang melihat kita. Maka di hadapan Raja segala raja sepatutnya lebih-lebih lagilah kita malu hendak buat dosa. Rasa bertuhan mesti bertapak di hati, barulah rasa kehambaan itu diperolehi. Ilmu tasawuf adalah ilmu tentang rohaniah. Ilmu rohaniah ertinya ilmu yang berkait rapat dengan roh (hati nurani manusia). Al Quran menganjurkan ilmu ini yaitu:
Maksudnya: “Beruntunglah orang yang mensucikan hatinya dan rugilah orang-orang yang mengotorinya.” (Asy Syam: 9 - 10)
c.        Kontekstualisasi Sikap Zuhud di Abad Modern
Secara prinsip jalan sufi adalah jalan yang ditempuh oleh seorang Muslim yang serius dan yang bersungguh-sungguh meraih keredhaan Allah Swt. Hakikatnya jalan ke surga dipenuhi dengan onak duri dan jalan ke neraka pula dipenuhi dengan perhiasan. Seorang Sufi betul-betul menghayati hadith yang menyebut bahawa dunia adalah penjara bagi orang Mukmin dan Syurga bagi orang kafir. Maka seorang sufi adalah seorang yang sanggup melepaskan kenikmatan dan perhiasan dunia kemudian sanggup menempuh kepahitan, kekurangan dan kehinaan demi mencapai keridhaan Tuhannya dan bertemu dengan Sang Kekasih.  Dibalik keseriusan, kepahitan dan kesabaran yang dihadapi seorang sufi, ia dapat merasakan kenikmatan, ketenangan dan kebahagiaan hati yang tidak dapat dirasakan oleh orang yang terlingkupi oleh materialistik.
Oleh karena itu tasawwuf menawarkan kebahagiaan hati di tengah gersangnya arus modernitas. Seorang yang tawadu‘ (merendah diri), zuhd (tidak materialistik), qana‘ah (merasa cukup), seringkali mendapati dirinya bebas, tenang, dan damai. Kehidupan dunia ini sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an seperti fatamorgana. Dalam Surah al-Nur: 39 dikatakan:  “Dan orang-orang Yang kafir pula, amal-amal mereka adalah umpama riak sinaran panas di tanah rata yang disangkanya air oleh orang Yang dahaga, (lalu ia menuju ke arahnya) sehingga apabila ia datang ke tempat itu, tidak didapati sesuatu pun Yang disangkanya itu; (Demikianlah keadaan orang kafir, tidak mendapat faedah dari amalnya sebagaimana Yang disangkanya) dan ia tetap mendapati hukum Allah di sisi amalnya, lalu Allah meyempurnakan hitungan amalnya (serta membalasnya); dan (ingatlah) Allah amat segera hitungan hisabNya. Oleh karenanya, Allah Swt. telah mengingatkan bahwa kadangkala apa yang manusia sangka baik sebenarnya tidak baik, dan kadangkala yang manusia sangka buruk pada hakikatnya adalah baik.  Allah telah memperingatkan beberapa kali bahwa akhirat itu lebih baik daripada dunia: “Katakanlah (Wahai Muhammad): “Harta benda yang menjadi kesenangan di dunia ini adalah sedikit sahaja, (dan akhirnya akan lenyap), dan (balasan) hari akhirat itu lebih baik lagi bagi orang-orang yang bertaqwa (kerana ia lebih mewah dan kekal selama-lamanya), dan kamu pula tidak akan dianiaya sedikit pun.” (al-Nisa’: 77) Walaupun dunia ini dikatakan perhiasan yang menipu dan fitnah (cubaan) yang dapat menguji keimanan seseorang tetapi dunia tidak dikatakan hina, patut ditinggalkan dan dijauhi.
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Iqbal (1966: 21) bahwa manusia tidak boleh lari dari dunia yang telah Allah percayakan kepada manusia. Manusia bertanggungjawab atas dunianya. Bagi Iqbal (1966: 22) sikap asketisme dianggap sebagai pelarian dari realitas kehidupan yang kongkret, dan itu berarti lari dari dunia fisiknya sendiri. Mencintai Tuhan berarti sepenuhnya terlibat dengan dunia yang Tuhan ciptakan bukan lari darinya. Pada hakikatnya dunia dijadikan oleh Allah sebagai tempat untuk manusia mengabdi, ia adalah tempat ujian untuk menguji keimanan hamba-hamba-Nya, sebagai tempat dan alat ia sepatutnya dilihat sebagai sesuatu yang netral. Di bawah ini akan dijelaskan konsep zuhud yang menunjukkan bahwa zuhud tidak berarti meninggalkan dunia. Kebanyakan masyarakat hari ini memahami zuhud sebagai cara hidup yang meninggalkan dunia, berpakaian lusuh, makan dan minum ala kadarnya -tidak berkhasiat, tidak memiliki harta benda dan rumah yang kurang baik, menggunakan kendaraan yang buruk atau tidak berkendaraan langsung. Dengan konsepsi zuhud seperti ini maka konsep zuhud disinonimkan dengan kemunduran dan sikap konservatif. Jadi secara tidak langsung, orang yang menerima konsepsi zuhud seperti ini telah menyifatkan Islam dengan kemunduran dan anti dunia. Benarkah zuhud itu sinonim dengan kemunduran dan anti dunia? Selain dari itu, persoalan yang lebih luas lagi adalah benarkah konsepsi tersebut bersandarkan kepada karya-karya ulama besar dalam ilmu tasawwuf dan akhlak seperti Ibn Arabi, al-Ghazzali dan Miskawayh.
Dalam usahanya menerangkan apa yang dimaksudkan dengan zuhud, Imam al-Ghazzali (tt: 207) mendefinisikan zuhud dengan: “tindakan seseorang yang menolak sesuatu yang diinginkan untuk mendapatkan sesuatu yang lain yang lebih berharga.” Walaupun dari definisi yang dinyatakan oleh al-Ghazzali ini mengisyaratkan perlunya dunia itu ditinggalkan untuk mendapatkan akhirat, namun penulis berpendapat apa yang dimaksudkan oleh al-Ghazzali adalah meninggalkan kecintaan terhadap dunia untuk memastikan seseorang itu mendapatkan ampunan akhirat. Ini karena al-Ghazzali sendiri sering menekankan perlunya dunia dan segala apa yang terkandung digunakan sewajarnya, tidak berlebihan agar ia tidak jadi penghalang kepada penghambaan diri kepada Allah Swt. Sebenarnya zuhud dekat dengan penolakan terhadap dunia, tetapi penolakan tersebut tidak sama sekali bermaksud meninggalkan dunia. Yang ditolak adalah kecintaan terhadap dunia (hubb al-dunya). Dunia dengan segala kesenangan dan perhiasannya bersifat menggiurkan, manusia yang kurang imannya akan terpedaya dan menjadikannya lengah lalu meninggalkan perintah Tuhannya. Kecintaan terhadap dunia ini perlu dikawal dan ditundukkan karena jika tidak ia akan menyesatkan seseorang. Rasulullah Saw. beberapa kali mengingatkan bahwa hubb al-dunya merupakan faktor yang signifikan pada kelemahan umat Islam.
Bagi Sufyan al-Thawri, seorang tokoh sufi yang ulung, zuhud adalah perbuatan hati yang menyerahkan segala sesuatu demi mencapai keridhaan Allah Swt. dan menutup hati dari segala ambisi keduniaan. Kaum sufi juga telah menjelaskan ciri-ciri orang yang benar-benar memiliki sifat zuhud: orang yang tidak bergembira dengan mendapatkan keduniaan, tidak juga sedih dengan kehilangannya, tidak merasa seronok dengan pujian dan terancam dengan kritikan dan cacian, dan yang selalu mengutamakan pengabdian kepada Allah atas segala sesuatu yang lain. Oleh karena zuhud adalah lawan kepada hubb al-dunya, maka pada istilah yang sesuai untuk memperkenalkan kembali zuhud dengan wajah yang segar adalah bahawa ia adalah lawan kepada sifat materialistik. Seseorang yang zuhud sebenarnya adalah seseorang yang tidak ada dalam dirinya sifat materialistik, kecintaan terhadap dunia atau pun mementingkan keduniaan. Zuhud dalam arti kata hilangnya hubb al-dunya dalam diri seorang Muslim bukan satu pilihan melainkan satu kemestian. Zuhud yang selama ini dilihat sebagai suatu cara hidup yang khas dimiliki oleh para sufi atau ‘golongan agama’ sebenarnya suatu cara hidup yang diinginkan oleh Islam untuk diamalkan oleh setiap penganutnya. Islam mengajarkan umatnya agar melihat dunia sebagai alat yang digunakan untuk meraih keridhaan Allah Swt. di akhirat. Dunia dipandang sebagai alat dan bukan tujuan.

d.      Penyeimbang dunia Materil dan Spritual
Tasawwuf tidak boleh dilihat hanya berfungsi sebagai pemenuhan kerohanian manusia. Tasawwuf sebenarnya berfungsi sebagai penyeimbang kepada keharmonian hidup manusia. Kemajuan dan pembangunan yang tertumpu pada aspek fisikal dan material akan melahirkan manusia yang berat sebelah (pincang). Kehidupan modern yang didominasi oleh falsafah materialisme adalah kehidupan yang kasar, kering, penuh dengan konflik, kepentingan, permusuhan dan kebencian. Lebih daripada itu seorang yang materialistik pada kemuncaknya sanggup melakukan perkara yang tidak etis demi memenuhi tujuannya. Ini menunjukkan bahwa sifat materialistik (nafsu) telah memenjarakan dan memperhambakan dirinya. Oleh itu, pada hakikatnya materialisme telah merendahkan martabat manusia menjadi makhluk yang rendah Islam, sebagai panduan hidup manusia, telah memberikan jalan keluar bagi kepincangan dan ketidakharmonian kehidupan manusia. Solusi yang diberikan oleh Islam adalah keseimbangan (i‘tidal) antara pembangunan jasmani dan pembangunan rohani, antara keperluan material dan keperluan spiritual.
Walaupun orientalis tidak membedakan tasawwuf dengan mistisisme, namun jelas bahwa terdapat perbedaan yang jelas antara tasawwuf dengan mistisisme. Mistisisme, khususnya yang berkaitan dengan kuasa luar biasa (paranormal) atau ilmu ghaib (occult), muncul setelah tasawwuf awal diselewengkan oleh beberapa aliran tasawuf. Ibn Taymiyyah adalah di antara ulama’ yang terang-terangan menentang penyelewengan kaum sufi di zamannya. Penilaian kritis terhadap perkembangan tasawwuf juga dilakukan oleh Ibn Khaldun dalam karyanya, Muqaddimah. Setelah mengkaji dengan mendalam, Ibn Khaldun membincangkan perkembangan tasawwuf dengan cukup rinci dan ilmiah termasuk beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh kaum sufi.
Beliau menolak pandangan tokoh-tokoh sufi yang menyebabkan seseorang lari dari dunia. Ibn Khaldun (tt: 2005) juga mengatakan bahwa konsep qutb ataupun ra’s al-‘Arifin (maqam yang tertinggi dalam tatanan sufi) adalah konsep yang tidak berasas sama sekali. Umat Islam sewajarnya adalah umat pertengahan (ummatan wasatan) di antara umat Yahudi yang rigid, literal, menumpukan pada aspek perundangan semata (the ten commandents) dan umat Nasrani yang telah memperkenalkan kerahiban (rahbaniyyah), meninggalkan dunia demi menyucikan diri. Sejak awal Rasulullah s.a.w. telah memperingatkan bahwa dalam Islam tiada kerahiban: la rahbaniyyata fi al-Islam. Dengan demikian umat Islam terlepas dari satu keburukan yang terdapat dalam agama lain iaitu bid‘ah kerahiban. Rasulullah s.a.w. tidak menyetujui orang yang terus menerus beribadah dengan meninggalkan makan minum, seks dan tidur malam, sebaliknya menyuruh mereka mengikuti sunnah baginda yang menjalani kehidupan seperti manusia biasa. Di samping itu kekuatan rohani merupakan bekal yang penting dalam mengarungi kehidupan yang penuh dengan tantangan. Seseorang yang hanya dibekalkan dengan kekuatan akal akan rentan kekecewaan dan putus asa, karena tidak semua perkara dapat diselesaikan dengan kemampuan akal manusia.
Hakikatnya, para saintis telah mengakui bahwa kejayaan seseorang dalam kehidupan bukan saja ditentukan oleh ketinggian IQ tetapi juga ketinggian EQ (emotional quotient) dan SQ (spiritual quotient) atau pun oleh sarjana Muslim disebut sebagai kecerdasan rohaniah (transcendental intelligence). (Tasmara: 2004:61). Kecerdasan rohaniah mampu membekalkan semangat, kekentalan, kesabaran, keikhlasan, kejujuran, integriti, dsb. Seseorang yang merasakan dirinya dekat dengan Tuhan akan sentiasa berbuat baik, berbakti kepada masyarakat demi mencapai keridhaan Sang Kekasih dan mengharapkan ganjaran-Nya di akhirat kelak. Kecerdasan rohaniah menghasilkan taqwa (self-restrain) yang dapat menghalang seseorang Muslim daripada melakukan perbuatan maksiat, jahat dan tercela walaupun tiada pengawasan dan kawalan luaran.
Tasawwuf tidak memundurkan seseorang. Seseorang yang dekat dengan Allah Swt. adalah orang yang banyak berbuat dan bukan hanya berharap. Ungkapan yang menggambarkan keperibadian para sahabat di zaman Rasulullah s.a.w. adalah mereka itu seperti para rahib di waktu malam dan pasukan berkuda pada waktu siang “ruhbanun fi al-layl wa fursanun bi al-nahar.” Inilah gambaran sebenar seorang Muslim yang benar-benar mengikuti ajaran Islam. Seorang yang dekat dengan Tuhan tetapi juga seorang yang beraksi dan bukan hanya penonton. Seorang Muslim sejati adalah yang memainkan peranan sebagai aktivis, reformis, pengurus, pentadbir, pemikir, pendidik dsb. Mereka adalah golongan yang dirasakan akan kehadiran mereka oleh umat ini dan merasa kehilangan dengan ketiadaan mereka. Revitalisasi Tasawwuf di Abad Modern. Tasawwuf perlu diperkenalkan semula kepada masyarakat dengan pendekatan yang baru. Pendekatan yang menumpukan pada substansi dan bukannya bentuk (form). Pendedahan yang apresiatif sekaligus kritis perlu diperkenalkan kepada para pendidik. Tidak seperti ilmu Syari‘ah lainnya, tasawwuf adalah ilmu yang mengalami perkembangan yang luas dan terkadang tidak terkawal.
Dalam menggambarkan hal ini, al-Attas (2006:96) mengatakan bahwa seseorang itu mesti dapat membedakan antara aspek positif tasawwuf daripada aspek negatifnya. Menurutnya aspek negatif tasawwuf sebenarnya tidak merujuk kepada tasawwuf yang sebenar. Al-Attas (2001: 96) mendefinisikan tasawwuf sebagai pengamalan Syariah dalam maqam ihsan. Baginya tasawwuf membentuk dimensi ruhani Islam di mana organ yang digunakan juga adalah organ spiritual (fu’ad, qalb). Dimensi dalaman ini menuntut seseorang pergi lebih jauh daripada sekedar pengamalan luaran. Muhammad al-Ghazzali (tt: 103) juga telah mencoba melakukan tajdid terhadap tasawuf. Persoalan utama yang ingin diatasi olehnya adalah bagaimana mengeluarkan tasawwuf dari ‘gua pertapaan’ sehingga ia dapat menjadi kekuatan yang menggerakkan. Muhammad al-Ghazali (tt:104) menjelaskan bahawa konsep ihsan yang ditekankan dalam hadist tidak seharusnya dibatasi pada ibadah khusus saja. Hadist lain menuntut bahwa Allah Swt. mewajibkan hambanya berlaku ihsan pada setiap perkara yang dilakukan. Berangkat daripada hadist ini Muhammad al-Ghazali (tt: 105) mengatakan adalah tanggungjawab setiap Muslim untuk memastikan segala tindakannya, pekerjaan yang dipilihnya, bidang yang digelutinya dilakukan dengan sebaik mungkin untuk menjamin kualitas dan tahap kecemerlangan yang tertinggi. Bahkan menurutnya, pelaksanaan fardu kifayah tersebut akan menentukan setiap Muslim dapat melaksanakan fardu ‘ain.
Dengan demikian tidak ada alasan umat Islam ketinggalan dalam bidang sains, teknologi, militer, ekonomi dsb. Kerena apabila wujud sikap untuk berbuat yang terbaik (ihsan) dalam melakukan setiap perkara maka umat Islam tidak akan ketinggalan dan mundur seperti sekarang ini (Muhammad al-Ghazali, tt:106) Di Nusantara, telah muncul seorang ilmuwan besar yang telah mencuba untuk memurnikan ajaran tasawwuf. Hamka (2005:21) menyadari bahawa perkembangan Islam di Indonesia dan di dunia Islam umumnya telah dipengaruhi oleh ajaran tasawwuf yang menyeleweng. Dalam menanggapi hal ini antara lain Hamka mengatakan:
“Di dalam zaman kekacauan pikiran, lantaran kurang baiknya ekonomi, sosial dan politik; kerapkali timbul kerinduan ummat hendak melepaskan fikiran dari pengaruh kenyataan, lalu masuk ke dalam daerah khayalan Tasawuf”. Menurut Hamka (2005:153), orang pertama yang menyerukan tajdid tasawwuf di Nusantara adalah Ahmad Khatib bin ‘Abdul-Latif al-Minangkabawi yang mengajar di Mekah. Beliau telah menentang keras amalan-amalan ahli tariqat terutamanya tariqat al-Naqshbandiyyah yang menghadirkan guru-guru tariqat ketika permulaan suluk. Menurut ulama’ ini perbuatan seperti itu adalah syirik. Sebagai kesimpulan Hamka menyarankan agar tasawwuf dikembalikan kepada pokok pangkalnya yaitu Tauhid. Perlu dijelaskan bahwa dalam seseorang itu mempelajari tasawuf di abad modern ini tidak semestinya bertariqat. Karena tasawwuf tidak hanya tertumpu pada zikir, suluk, mujahadah, salasilah dan kuantiti ibadah khusus yang banyak tetapi yang lebih penting adalah pemahaman dan penghayatan terhadap hakikat ajaran tasawwuf.
Hakikat tasawwuf ialah hidupnya hati nurani dan jiwa manusia yang senatiasa sadar akan hakikat dirinya, dan hakikat ketuhanan dalam setiap amal perbuatannya (Hamka, 2005: 17). Seorang sufi melihat segalanya berasal daripada Allah Swt, dengan kuasa Allah Swt. dan akan kembali kepada Allah Swt. Seorang sufi tidak terpikir untuk melepaskan dirinya dari tunduk kepada Syariah, justru dia akan sentiasa memelihara diri daripada perkara-perkara yang ditegah oleh Syari‘ah. Hasan Al-Banna (dalam Hawwa: tt: 116), pengasas al-Ikhwan al-Muslimin, memperkenalkan sistem usrah untuk menjadikan tarbiyyah ruhiyyah sebagai asas pembangunan pejuang dakwah. Jelas sekali bahwa Ia melakukan penggabungan antara tasawwuf dan fiqh al-harakah. Tasawwuf tidak menjadi tujuan tetapi alat untuk membentengi diri dan memperkuat barisan.
Tasawwuf yang ingin diketengahkan di sini bertujuan untuk meningkatkan kerohanian dan mendidik jiwa para da‘i sebelum mereka berperanan sebagai pembimbing masyarakat. Sebagai seorang da‘i tasawwuf dapat menjadi sumber kekuatan, semangat dan daya juang yang sangat diperlukan dalam penyebaran dakwak.











BAB III
KESIMPULAN

Dalam kehidupan modren yang ditandai oleh berbagai tantangan dan cobaan yang bersifat mendasar, tampaknya perlu diatasi dengan cara yang mendasar pula, yaitu dengan kembali kepada ajaran al-Qur’an dan al-Hadis, khususnya yang berkaitan dengan akhlak tasawup. Sebagai ilmu hasil ijtihad manusia, akhlak tasawup sama dengan ilmu lainnya. Di sana ada kekurangan, kelemahan dan keganjilan, dan di sana pula ada kelebihan, kekuatan dan keistimewahan. Kiranya cara yang bijaksana yang perlu kita tempuh adalah apabila kita mengambil kelebihan, kekuatan dan keistimewahan dari tasawup itu untuk memandu hidup kita, dan meluruskan paham-paham yang kurang proporsional. Sikap yang adil ini tampaknya belum banyak berkembang dikalangan masyarakat.
Tasawwuf di abad modern semestinya dikembalikan kepada fungsinya yang asal yaitu sebagai satu kaedah untuk membina manusia rabbani, manusia yang unggul. Suatu jalan yang membina hubungan manusia dengan Tuhannya dan masyarakat sekelilingnya. Ia juga berperan untuk menyeimbangkan kehidupan manusia karena keseimbangan jasmani dan rohani yang dapat menjamin kebahagiaannya di dunia dan di akhirat. Sufi-sufi modern tidak anti dunia melainkan terlibat dalam dunia.









DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya’ ‘Ulum al-Diin.
‘Ammin: Maktabah Fayyai, t.t.(Terjemahan)hamka, Tasawwuf: Perkembangan dan Pemurniannya, cetakan ke-20, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005
Ibn Khaldun, Muqaddimah al-lamah Ibn Khaldun. Beirut: Dar al-Fikr, 2004.
Nasr, Seyyed Hussain, Tasawuf Dulu dan Sekarang, penterjemah Abdul Hadi. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.
Nursi, Said, Menikmati Takdir Langit, diterjemahkan oleh Fauzy Bahreisy dan Joko Prayitno. Jakarta: lurai Kencana, 2003.
Al-Qaradawi, Yusuf, Thaqifat al-Din’iyah. Kaherah: Maktabah Wahbah, 1996.
Rahman, Fazlur, Islam. Chicago: University of Chicago Press, 1979 (Terjemahan)
Siddiq Fadzil, Perspektif Qur’ani: Siri Wacana Tematik. Kajang: Biro Dakwah dan Tarbiyah ABIM Pusat, 2003.
Toto Tasmara, Kecerdasan Rohaniah (transcendental Intelligence). Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Jalaluddin Rahmat, Tasawwuf dalam al-Qur’an dan Sunnah, dalam Sukardi (Ed.), Kuliah-kuliah Tasawwuf, (Bandung: Pustaka Hidayah:2000).
Nata, H. Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 1996.
Prof. Hamka. Tasawup Modren. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.       
Toriquddin,Muhammad. Sekularitas Tasawup (membnyikan tasawup dalam dunia modren).Malang: UIN Malang press, 2008.
Tebba, Sudirman. Tasawup positif. Jakarta: Prenada Media, 2003
Burhani, Ahmad Najib. Sufisme Kota. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesra, 2001
Ath Thusi, khawajah nashiruddin. Menyucikan Hati Menyempurnakan Jiwa. Jakarta: Pustaka Zuhra,2003
Musawi, Sayid Mujtaba. Menumpas Penyakit Hati. Jakarta:
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur kita haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kita nikmat jasmani dan Rohani yang talah memberikan nikmat akal sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada nabi besar Muhammad SAW yang telah membimbing kita dari zaman kegelapan (Jahiliyah) menuju ke zaman yang terang benderang yang diterangi dengan iman, islam dan ihsan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada dosen pembimbing mata kuliah Akhlak Tasawuf, yang telah memberikan kepercayaan kepada kami untuk membahas tentang “PERANAN TASAWUF” dan terima kasih pula kepada teman-teman dan pihak-pihak yang telah mendukung dalam penyelesaian makalah ini .
Saya sadari bahwa makalah yang saya susun ini bukanlah merupakan makalah yang sempurna, oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca demi sempurnanya makalah ini. Semoga kita semua dapat mencapai tingkatan ma’rifah dalam beribadah dalam kehidupan sehari-hari.



Medan, 18 Januari 2011

        ANDI PAHMAN HARAHAP
                       



                                                           
            DAFTAR ISI            
                       
KATA PENGANTAR...........................................................................................          !
DAFTAR ISI ......................................................................................................          !!

BAB I
PANDAHULUAN...............................................................................................          1

BAB II
PEMBAHASAN..................................................................................................          2
A.    Problematika Masyarakat Modren.......................................................          2
B.     Peranan Tasawup Dalam Mengatasi
Problematima Sosial............................................................................          6

BAB III
KESIMPULAN....................................................................................................          15

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................          16




[1] Astrid S. Susanto, pengantar sosiologi dan perubahan sosial, (Bandung:Bina cipta,1979),cet.II,hlm.178.
[2] Jalaluddin rahmat, Islam Alternatif, (bandung: mizan, 1991), cet.IV.hlm.157.
[3] Ibid.,hlm 157
[4] Komaruddin hidayat, upaya pembebasan manusia: Tinjahuan sufistik terhadap Manusia Modren menurut nashr, dalam dawan rahardjo (ed.) Insan kamil Konsepsi Manusia Menurut Islam (jakarta:grafiti pers, 1987) ,cet II,hlm.191.
[5] M. Quraish Shihab, wawasan al-Quran, (Bandung:Mizan,1996),cet.III, hlm 376-377.
[6]Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban, (Jakarta: Paradima, 1995), cet.I,hlm.109.
[7] Kuntowijoyo, paradigma Islam interpretasi untuk aksi, (Bandung:Mizan, 1991), cet.I,hlm.159.
[8] Jalaluddin rahmat, op.cit, hlm. 158.
[9] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 1996),hlm 300.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar