Selasa, 12 November 2013

SEJARAH PERADABAN ISLAM TENTANG BANGSA MONGOL



TUGAS INDIVIDU
SEJARAH PERADABAN ISLAM TENTANG BANGSA MONGOL
MAKALAH INI DIBUAT UNTUK MELENGKAPI TUGAS MATA KULIAH SPI
DISUSUN
O
L
E
H

EFIFAH KESUMA MATONDANG
UMUM IAIN-1







FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
MEDAN



DAFTAR ISI
Daftar Isi..................................................................................................................... 2
BAB I Pendahuluan    :
a.       Latar Belakang Masalah.............................................................................3
b.      Rumusan Masalah......................................................................................4
c.       Tujuan Penulisan…………………………………………………………4
BAB II Pembahasan :
a.        Asal-Usul Bangsa Mongol…………..……………..……….………….5
b.      Motivasi Serangan Mongol………………………….…………………7
c.       Penyerangan Mongol dan Wilayah Kekuasaannya……………............8
BAB III Penutup :
a.       Simpulan...................................................................................................14
b.      Saran.........................................................................................................15
Daftar Pustaka............................................................................................................16





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latara belakang Masalah
Jatuhnya Kota Baghdad pada tahun 1258 M, ke tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri khilafah Abbasiyah, tapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan perandaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap di bumihanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan.
Ratusan ribu mayat tanpa kepala berserakan dan tumpang tindih memenuhi jalan-jalan, parit-parit dan lapangan-lapangan. Disekitarnya bangunan-bangunan megah dan indah banyak yang tinggal puing-puing dan rerontokan. Asap masih mengepul dari bangunan-bangunan yang dibakar. Tentara dari pangkat rendah sampai tinggi sibuk memenggal kepala ribuan manusia dan kemudian memisahkan kepala yang terpisah dari tubuhnya itu menurut kelompok, kepala wanita, anak-anak, orang tua, dipisahkan satu dari yang lain.
Sungai Dajlah atau Tigris berubah menjadi hitam disebabkan tinta ribuan manuskrip yang dilempar ke dalamnya. Perpustakaan, rumah sakit, mesjid, madrasah, tempat pemandian dan rumah para bangsawan, toko dan rumah makan semuanya dihancurkan. Demikianlah, kota yang selama beberapa abad menjadi pusat terbesar peradaban Islam itupun musnah dalam sekejap mata. Setelah puas, pasukan penakluk itupun bersiap-siap pergi tanpa penyesalan sedikitpun. Mereka kini hanya sibuk mengumpulkan barang-barang jarahan yang berharga: timbunan perhiasan yang tak ternilai harganya, berkilo kilo batangan emas dan uang dinar, batu permata, intan berlian semua dimasukkan ke dalam ratusan karung dan kemudian diangkut dalam iringan gerobak dan kereta yang sangat panjang.
Penyair Sa’idi (1184 – 1291) pernah menyaksikan peristiwa serupa sebelumnya, yaitu di kota Shiraz. Dia berhasil menyelamatkan diri dan merekam peristiwa yang dia saksikan dalam sajaknya :
Maka langit pun mencurahkan
Hujan lebat darah ke atas bumi
Dan kebinasaan menyapu bersih
Kerajaan al-Mu’tasim, khalifah orang mukmin
Ya Muhammad ! Apabila hari pengadilan datang
Angkutlah kepala tuan dan lihat
Kesengsaraan umatmu ini !
Kitab salinan al-Qur’an yang tidak ternilai harganya dilempar dan diinjak-injak, seorang sejarawan abad ke-13, yang berhasil melarikan diri dari Bukhara ketika kota itu diserang beberapa tahun sebelumnya, melihat bagaimana kota kelahiran Imam Bukhari ahli hadis yang masyhur itu diratakan dengan tanah “Mereka datang, merusak, menghancurkan, membunuh, memperkosa wanita muda, dan tua, menjarah harta, dan akhirnya pergi dengan tenang dan puas hati.”
Timbul pertanyaan: jenis manusia dan bangsa macam apakah orang-orang Mongol pada abad ke-13 itu ? Mengapa mereka tiba-tiba muncul menjadi kekuatan yang menggemparkan dunia beradab dan dapat menaklukkan wilayah yang sangat luas. Dari ujung timur negeri Cina sampai ujung barat Polandia, dari batas utara Rusia hingga batas selatan teluk Parsi – semua ditundukkan dan dikuasai hanya dalam waktu kurang lebih 40 tahun.

B.     Rumusan Masalah
Latar belakang sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah pokok dalam pembahasan ini yaitu:
·         Bagaimanakah sejarah kepribadian Jengis Khan dan bangsa Mongol pada umumnya.
·         Bagaimanakah hubungan Jengis Khan dengan Baghdad hingga ia berambisi menguasainya.
·         Apakah akibat-akibat yang ditimbulkan dalam sebuah peradaban tatkala Jengis Khan menguasai Baghdad.

C.    Tujuan Penulisan
·         Untuk mengetahui sejarah kepribadian Jengis Khan dan bangsa Mongol pada umumnya.
·         Untuk mengetahui hubungan Jengis Khan dengan Baghdad hingga ia berambisi menguasainya.
·         Untuk dapat mengertahui dan memahami akibat-akibat yang ditimbulkan dalam sebuah peradaban tatkala Jengis Khan menguasai Baghdad.






BAB II
PEMBAHASAN
A.   Asal-Usul Bangsa Mongol
Bangsa Mongol adalah suku bangsa di wilayah Mongolia, yang berbatasan dengan Cina di selatan, Turkestan di barat, Manchuria di timur, dan Siberia sebelah utara.[1] Daerah ini kalau musim dingin, amat dingin dan kalau musim panas, amat panas. Angin panas (Samun) sering menimpa mereka.[2]  Mereka mendirikan kemah-kemah dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, menggembala kambing, dan hidup dari hasil buruan. Mereka juga hidup dari hasil perdagangan tradisional, yaitu mempertukarkan kulit binatang dengan binatang yang lain, baik di antara sesama mereka maupun dengan bangsa Turki dan Cina yang menjadi tetangga mereka.
Sebagaimana umumnya bangsa nomad, orang-orang Mongol mempunyai watak yang kasar, suka berperang, dan berani menghadang maut dalam mencapai keinginannya. Mereka menganut agama Syamaniyah (Syamanisme), m-nyembah binatang-binatang, dan sujud kepada matahari yang sedang terbit.[3]
Bangsa ini berasal dari seorang tokoh terkemuka setempat bernama Alanja Khan. Ia mempunyai dua orang putra kembar bernama Tatar dan Mongol. Kedua putra itu melahirkan dua suku bangsa besar, Tatar dan Mongol. Mongol mempunyai anak bernama Ilkhan[4], yang melahirkan keturunan bangsa Mongol di kemudian hari.[5]
Ilkhan mempunyai putra bernama Yasugi Bahadur Khan yang kemudian memiliki putra bernama Temujin, bergelar Jenghis Khan (Raja Yang Perkasa). Putra dari Jenghis Khan bernama Toluy/Tuli kemudian memiliki putra bernama Hulagu Khan. Hulagu Khan inilah yang menyerang dan menghancurkan kota Baghdad.[6]
Kemajuan bangsa Mongol secara besar-besaran terjadi pada masa kepemimpinan Yasugi Bahadur Khan.[7] Ia berhasil menyatukan 13 kelompok suku yang ada waktu itu. Setelah Yasugi meninggal, putranya Temujin yang masih berusia 13 tahun tampil sebagai pemimpin. Dalam waktu 30 tahun, ia berusaha memperkuat angkatan perangnya dengan menyatukan bangsa Mongol dengan suku bangsa lain sehingga menjadi satu pasukan yang teratur dan tangguh. Pada tahun 1206 M., ia mendapat gelar Jengis Khan, Raja Yang Perkasa.[8] Ia menetapkan undang-undang yang disebutnya Alyasak atau Alyasah, untuk mengatur kehidupan rakyatnya. Wanita mempunyai kewajiban yang sama dengan laki-laki dalam kemiliteran. Pasukan perang dibagi dalam beberapa kelompok besar dan kecil, seribu, dua ratus, dan sepuluh orang. Tiap-tiap kelompok dipimpin oleh seorang komandan.
Undang-undang Alyasak ini berisi antara lain; larangan mencari-cari kesalahan orang lain, larangan membantu salah seorang di antara dua orang yang berselisih, jujur dalam menerima kepercayaan, keharusan saling tolong-menolong dalam peperangan dan melaksanakan hukum dengan disiplin yang ketat tanpa pandang bulu. Di samping itu ada juga keharusan bagi warga negara untuk memperlihatkan anak gadisnya kepada raja untuk dijadikan sebagai istri anak-anaknya. Undang-undang ini dimasyarakatkan terus, sehingga merupakan sebuah agama yang senantiasa dipedomani dan dilanjutkan oleh penggantinya kemudian.[9]
Undang-undang ini juga mengatur tentang hukuman mati bagi pezina, orang yang sengaja berbuat bohong, melaksanakan magic, mata-mata, memberi makan atau pakaian kepada tawanan perang tanpa ijin, demikian pula bagi yang gagal melaporkan budak belian yang melarikan diri juga dikenakan hukuman mati.
Jenghis Khan (melalui Alyasak) juga mengatur kehidupan beragama dengan tidak boleh merugikan antara satu pemeluk agama dengan yang lainnya, dan membebaskan pajak bagi keluarga Nabi Muhammad saw, para penghafal al-Qur’an, ulama, tabib, pujangga, orang saleh dan zuhud serta muazin/yang menyerukan adzan.[10]
Sedangkan dalam urusan militer, prajurit-prajurit bersenjata lengkap diinspeksi terlebih dahulu sebelum pergi berperang, dan setiap orang harus memperlihatkan segala sesuatu yang ia miliki, bahkan sampai jarum dan benang sekalipun. Kemudian jika seseorang didapatkan lengah, maka dia harus dihukum. Orang-orang perempuan diharapkan siap untuk membayar pajak kepada perbendaharaan negara selama suami-suami mereka pergi berperang. Jenghis Khan juga mendirikan pos pelayanan agar dia bisa memantau dan mengetahui segala sesuatu yang terjadi di negaranya.[11] Dari sini tampak bahwa armada perang Mongol sangatlah kuat dan memiliki kedisiplinan tinggi, sehingga banyak ditakuti musuh-musuhnya.
B.   Motivasi Serangan Mongol
Serangan-serangan yang dilakukan oleh Mongol memiliki latar belakang yang menjadi motivasi mereka untuk melakukan penyerang tersebut. Maidir Harun dan Firdaus[12] memaparkan bahwa ada beberapa hal yang menjadi motivasi bagi Mongol untuk melakukan serangan, sebagai berikut:
1. Faktor Politik
Pada tahun 615 H. sekitar 400 orang pedagang bangsa Tartar dibunuh atas persetujuan wali (gubernur) Utrar. Barang dagangan mereka dirampas dan dijual kepada saudagar Bukhara dan Samarkand dengan tuduhan mata-mata Mongol. Tentu saja hal ini menimbulkan kemarahan Jenghis Khan. Jenghis Khan mengirimkan pasukan kepada Sultan Khawarizmi untuk meminta agar wali Utrar diserahkan sebagai ganti rugi kepadanya. Utusan ini juga dibunuh oleh Khawarizmi Syah sehingga Jenghis Khan dengan pasukannya melakukan penyerangan terhadap wilayah Khawarizmi.[13]
Sedangkan menurut Muhammad Masyhur Amin, bahwa faktor politik yang menyebabkan bangsa Mongol melakukan penyerangan ke wilayah Islam adalah pertama, karena Sultan Alauddin Muhammad Khawarizmi Syah memasukkan daerah suku Qarahatun ke dalam kekuasaannya pada tahun 1210 M., sehingga wilayahnya langsung berbatasan dengan wilayah kerajaan Jenghis Khan. Kedua, pembataian pedagang Mongol disebabkan karena tiga orang Islam saudagar besar bersama rombongan-nya dibunuh dan dirampas barang dagangannya oleh orang-orang Mongol di Ibu Kota Qoraqarun. Oleh sebab itu, amir Ghayun Khan diperintahkan oleh Sultan Alauddin agar membunuh 150 orang pedagang Mongol yang ada di Utrar.[14]
2. Motif Ekonomi
Motif ini diperkuat oleh ucapan Jenghis Khan sendiri, bahwa penaklukan-penaklukan dilakukannya adalah semata-mata untuk memperbaiki nasib bangsanya, menambah penduduk yang masih sedikit, membantu orang-orang miskin dan yang belum berpakaian. Sementara di wilayah Islam rakyatnya makmur, sudah berperadaban maju, tetapi kekuatan militernya sudah rapuh.
3. Tabiat Orang Mongol yang Suka Mengembara
Tabiat mereka yang suka mengembara, diundang ataupun tidak diundang mereka akan datang juga menjarah dan merampas harta kekayaan penduduk dimana mereka berdiam. Penyerangan-penyerangan yang dilakukan oleh Jenghis Khan dengan pasukan perangnya yang terorganisir, berusaha memperluas wilayah kekuasaan dengan melakukan penaklukan. Para ahli pertukangan mereka bawa dalam pasukan batalion Zeni (yon-zipur) untuk membuat jembatan dan menjamin melancarkan transportasi dalam penyerangan. Para tawanan perang dimanfaatkan secara paksa untuk memanggul perlengkapan perang dan makanan. Strategi perang Jenghis Khan yang tidak ketinggalan juga adalah membariskan penduduk sipil yang telah kalah di depan tentara sebagai tameng untuk menggetarkan musuh. Di samping itu, Jenghis Khan membawa penasehat yang terdiri dari para rahib dan tukang ramal.[15]

C.   Penyerangan Mongol dan Wilayah Kekuasaannya
Pada tahun 607 H/1211 M. Jenghis Khan meluaskan wilayahnya. Ia berhasil merebut Cina Utara dan mendirikan ibu kota Qaraqorun, lalu menduduki Siangkiang.[16] Penyerangan ke wilayah Islam dimulai melalui daerah Khawarizmi pada tahun 606 H/1209 M. Daerah yang menjadi tujuan utama mereka adalah Turki, Ferghana dan Samarkand, karena daerah ini yang berdekatan dan yang berkasus dengan mereka.
Sewaktu bangsa Mongol memasuki wilayah Khawarizmi, sultan Alauddin sudah siap untuk memukul mundur pasukan Mongol. Pasukan Mongol kembali ke negeri asal mereka untuk melatih pasukannya dengan intensif. Sewaktu mereka kembali ke daerah Khawarizmi 10 tahun kemudian, sudah banyak perubahan terhadap pasukannya, sehingga mereka bisa memasuki Bukhara, Samarkand, Khurasan, Hamadzan, Quzwain dan sampai ke perbatasan Irak. Di Bukhara, ibu kota Khawarizmi, mereka kembali mendapat perlawanan dari sultan Alauddin, tetapi kali ini mereka dengan mudah dapat mengalahkan pasukan Khawarizmi. Sultan Alauddin tewas dalam pertempuran di Mazindaran tahun 1220 M. Ia digantikan oleh putranya Jalaluddin yang kemudian melarikan diri ke India karena terdesak dalam pertempuran di dekat Attock tahun 1224 M. Dari sana pasukan Mongol terus ke Azerbeijan. Penaklukkan Bukhara ini disebutkan oleh Jenghis Khan sebagai bencana dari Tuhan yang dikirimkan sebagai hukuman atas orang-orang yang berdosa.[17]
Di Bukhara, sangat terkenal karena penduduknya yang taat dan berpengetahuan. Orang-orang Mongol menempatkan kuda mereka di sekeliling masjid yang suci dan menyobek-nyobek al-Qur’an untuk dibuang di tempat sampah, penduduk yang tidak dibantai diambil sebagai tawanan. Begitulah nasib kota Samarkand, Balkh dan kota-kota yang lainnya di Asia Tengah, yang merupakan tempat kebudayaan Islam yang tinggi, tempat tinggal orang-orang terkemuka dan pusat ilmu pengetahuan.[18]
Sepulangnya ke Ibu Kota Karaqorun, ia menumpas pemberontakan di wilayah Ala Shan dan Kausu, lalu meninggal dunia dan dikebumikan di tempat asalnya, Deligun Buldak.[19] Namun, sebelum Jenghis Khan meninggal pada tahun 624 H./1227 M, pada saat kondisinya mulai lemah, dia membagi wilayah kekuasaannya menjadi empat bagian kepada empat orang putranya, yaitu Juchi, Chagatai, Ogotai dan Tuli.[20]
Juchi anaknya yang sulung mendapat wilayah Siberia bagian barat dan stepa Qipchaq yang membentang hingga ke Rusia Selatan, di dalamnya terdapat Khawarizmi. Namun ia meninggal dunia sebelum wafat ayahnya, Jenghis Khan, dan wilayah warisannya itu diberikan kepada anak Juchi yang bernama Batu dan Orda. Batu mendirikan Horde (Kelompok) Biru di Rusia Selatan sebagai pilar dasar berkembangnya Horde Keemasan (Golden Horde). Sedangkan Orda mendirikan Horde Putih di Siberia Barat. Kedua kelompok itu bergabung dalam abad keempatbelas yang kemudian muncul sebagai kekhanan yang bermacam ragamnya di Rusia, Siberia dan Turkistan, termasuk di Crimea, Astarakhan, Qazan, Qasimov, Tiumen, Bukhara dan Khiva. Syaibaniyah atau Ozbeg. Salah satu cabang keturunan Juchi berkuasa di Khawarazmi dan Transoxania dalam abad kelima belas dan enam belas.[21]
Golden Horde selanjutnya berkembang menjadi kerajaan Mongol Islam pertama, yaitu pada saat diperintah oleh Barka Khan (anak dari Batu). Wilayahnya meliputi Eropa Timur (Rusia dan Finlandia) dan Eropa Tengah dan padang-padang stepa yang luas, dan beribukota di Lembah Wolga (Sarai). Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Najmuddin Mukhtar az-Zahidi menyusun risalah untuk Barka Khan. Risalah tersebut mengulas tentang kebenaran ajaran Islam dan kelemahan ajaran Nasranai, dengan dalail dan bukti yang logis, dapat diterima akal.[22] Hal inilah yang membuat Barka Khan masuk Islam.
Chagatai ditugasi untuk menguasai daerah Illi, Ergana, Ray, Hamazan dan Azerbeijan. Sultan Khawarizmi, Jalaluddin berusaha keras untuk merebut kembali daerah-daerah yang dikuasai oleh Mongol ini, namun dia tidak sanggup menghadapi serangan Chagatai. Sultan melarikan diri ke arah pegunungan, tetapi malang padanya, seorang Kurdi membunuhnya. Dengan kematian Sultan Jalaluddin ini berakhirlah dinasti Khawarizmi. Dengan demikian Chagatai lebih leluasa mengembangkan wilayah kekuasaannya.[23]
Ogotai adalah putra Jenghis Khan yang terpilih oleh Dewan Pemimpin Mongol untuk menggantikan ayahnya sebagai Khan Agung yang mempunyai wilayah di Pamirs dan Tien Syan.[24] Tetapi dua generasi Kekhanan Tertinggi jatuh ke tangan keturunan Tuli. Walaupun demikian cucu Ogotai yang bernama Qaydu dapat mempertahankan wilayahnya di Pamirs dan Tien Syan, mereka berperang melawan anak turun Chagatay dan Kubilai Khan, hingga meninggal dunia.[25] Sedangkan menurut Badri Yatim, Ogotai pada tahun 1234 dapat menaklukkan Peking (sekarang Beijing),[26] dan menurut masyhur amin kekuasaannya pada tahun 1240 sampai ke kota Moskow.[27]
Tuli (Toluy) anak terakhir Jenghis Khan ini mendapat bagian wilayah Mongolia sendiri. Anak-anaknya, yakni Mongke dan Kubilai menggantikan Ogotai sebagai Khan Agung. Mongke bertahan di Mongolia yang beribu kota di Qaraqorun. Sedangkan Kubilai Khan menaklukkan Cina dan berkuasa di sana yang dikenal sebagai dinasti Yuan yang memerintah hingga abad keempat belas, yang kemudian digantikan oleh dinasti Ming. Mereka memeluk agama Budha yang berpusat di Beijing, dan mereka akhirnya bertikai melawan saudara-saudaranya dari khan-khan Mongol yang beragama Islam di Asia Barat dan Rusia (Kerajaan Golden Horde). Adalah Hulagu Khan, saudara Mongke Khan dan Kubilai Khan, yang menyerang wilayah-wilayah Islam sampai ke Baghdad.[28]
Pada tahun 1253, Hulagu Khan bergerak dari Mongol memimpin pasukan berkekuatan besar untuk membasmi kelompok Pembunuh (Hasyasyin) dan menyerang kekhalifahan Abbasiyah. Inilah gelombang kedua yang dilakukan bangsa Mongol. Mereka menyapu bersih semua yang mereka lewati dan yang menghadang perjalanan mereka; menyerbu semua kerajaan kecil yang berusaha tumbuh di atas puing-puing imperium Syah Khawarizm. Hulagu mengundang Khalifah al-Musta’shim (1242-1258) untuk bekerjasama menghancurkan kelompok Hasyasyin Ismailiyah. Tetapi undangan itu tidak mendapat jawaban.
Pada 1256, sejumlah besar benteng Hasyasyin, termasuk “puri induk” di Alamut, telah direbut tanpa sedikit pun kesulitan, dan kekuatan kelompok yang ketakutan itu hancur lebur. Bahkan lebih tragis lagi, bayi-bayi disembelih dengan kejam. Pada bulan September tahun berikutnya, tatkala merangsek menuju jalan raya Khurasan yang termasyhur, Hulagu mengirimkan ultimatum kepada khalifah agar menyerah dan mendesak agar tembok kota sebelah luar diruntuhkan. Tetapi khalifah tetap enggan memberikan jawaban. Pada Januari 1258, anak buah Hulagu bergerak dengan efektif untuk meruntuhkan tembok ibukota. Tak lama kemudian upaya mereka membuahkan hasil dengan runtuhnya salah satu menara benteng.[29]
Khalifah al-Musta’shim benar-benar tidak dapat membendung “topan” tentara Hulagu Khan. Pada saat yang kritis itu, wazir khalifah Abbasiyah, Ibn al-‘Alqami ingin mengambil kesempatan dengan menipu khalifah.[30] Ia mengatakan kepada khalifah, “Saya telah menemui mereka untuk perjanjian damai. Raja (Hulagu Khan) ingin mengawinkan anak perempuannya dengan Abu Bakar, putera khalifah. Dengan demikian, Hulagu Khan akan menjamin posisimu. Ia tidak menginginkan sesuatu kecuali kepatuhan, sebagaimana kakek-kakekmu terhadap sultan-sultan Seljuk”.
Khalifah menerima usul itu. Ia keluar bersama beberapa orang pengikut dengan membawa mutiara, permata dan hadiah-hadiah berharga lainnya untuk diserahkan kepada Hulagu Khan. Hadiah-hadiah itu dibagi-bagikan Hulagu kepada para panglimanya. Keberangkatan khalifah disusul oleh para pembesar istana yang terdiri dari ahli fikir dan orang-orang terpandang. Tetapi, sambutan Hulagu Khan sungguh di luar dugaan khalifah. Apa yang dikatakan wazirnya ternyata tidak benar. Mereka semua, termasuk wazir sendiri, dibunuh dengan leher dipancung secara bergiliran. Dengan pembunuhan kejam ini, berakhirlah kekuasaan Abbasiyah di Baghdad. Kota Baghdad sendiri dihancurkan rata dengan tanah, sebagaimana kota-kota lain yang dilalui tentara Mongol tersebut. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 10 Pebruari 1258. Dengan demikian, untuk pertama kalinya dalam sejarah, dunia muslim terbengkalai tanpa khalifah yang namanya biasa disebut dalam salat Jum’at.[31]
Walaupun sudah dihancurkan, Hulagu Khan memantapkan kekuasaannya di Baghdad selama dua tahun, sebelum melanjutkan gerakan ke Syiria dan Mesir. Dari Baghdad pasukan Mongol menyeberangi sungai Euphrat menuju Syiria, kemudian melintasi Sinai, Mesir. Pada tahun 1260 mereka berhasil menduduki Nablus dan Gaza. Panglima tentara Mongol, Kitbugha, mengirim utusan ke Mesir meminta supaya Sultan Qutuz yang menjadi raja kerajaan Mamalik di sana menyerah. Permintaan itu ditolak oleh Qutuz, bahkan utusan Kitbugha dibunuhnya.
Tindakan Qutuz ini menimbulkan kemarahan di kalangan tentara Mongol. Kitbugha kemudian melintasi Yordania menuju Galilie. Pasukan ini bertemu dengan pasukan Mamalik yang dipimpin langsung oleh Qutuz dan Baybars di ‘Ain Jalut. Pertempuran dahsyat terjadi, pasukan Mamalik berhasil menghancurkan tentara Mongol, 3 September 1260.[32]
Baghdad dan daerah-daerah yang ditaklukkan Hulagu selanjutnya diperintah oleh dinasti Ilkhan. Daerah yang dikuasai dinasti ini adalah daerah yang terletak antara Asia Kecil di barat dan India di timur, dengan ibukotanya Tabriz. Umat Islam, dengan demikian, dipimpin oleh Hulagu Khan. Hulagu meninggal tahun 1265 dan diganti oleh anaknya, Abaga (1265-1282) yang masuk Kristen.[33] Pada masa Abaga bangsa dinasti Ilkhan bersekutu dengan orang-orang Salib, penguasa Kristen Eropa, Armenia Cicilia untuk melawan Mamluk dan keturunan saudara-saudaranya dari dinasti Horde Keemasan (Golden Horde) yang telah bersekutu dengan Mamluk, penguasa muslim yang berpusat di Mesir.[34] Dari sini tampak bahwa adanya hubungan erat antara orang-orang Mongol dengan orang-orang Nasrani yang ingin menghancurkan Islam.
Ahmad Teguder (1282-1284), raja ketiga dinasti Ilkhan yang pertama kali masuk Islam. Karena masuk Islam, Ahmad Teguder ditantang oleh pembesar-pembesar kerajaan yang lain. Akhirnya, ia ditangkap dan dibunuh oleh Arghun yang kemudian menggantikannya menjadi raja (1284-1291). Raja dinasti Ilkhan yang keempat ini sangat kejam terhadap umat Islam. Banyak di antara mereka yang dibunuh dan diusir.
Selain Teguder, Mahmud Ghazan (1295-1304), raja yang ketujuh, dan raja-raja selanjutnya adalah pemeluk agama Islam. Dengan masuk Islamnya Mahmud Ghazan sebelumnya beragama Budha Islam meraih kemenangan yang sangat besar terhadap agama Syamanisme. Sejak itu pula orang-orang Persia mendapatkan kemerdekaannya kembali.[35] Dari sini terlihat bahwa meskipun wilayah Islam secara politis telah ditaklukkan dan dikuasai oleh dinasti Ilkhan, tetapi akhirnya Mongol sendiri terserap ke dalam kultur Islam. Sehingga para raja-raja dinasti Ilkhan akhirnya memeluk agama Islam.[36]
Berbeda dengan raja-raja sebelumnya, Ghazan mulai memperhatikan per-kembangan peradaban. Ia seorang pelindung ilmu pengetahuan dan sastra. Ia amat gemar kepada kesenian terutama arsitektur dan ilmu pengetahuan seperti astronomi, kimia, mineralogi, metalurgi dan botani. Ia membangun semacam biara untuk para darwis, perguruan tinggi untuk mazhab Syafi’i dan Hanafi, sebuah perpustakaan, observatorium, dan gedung-gedung umum lainnya. Ia wafat dalam usia muda, 32 tahun, dan digantikan oleh Muhammad Khubanda Uljeitu (1304-1317), seorang penganut Syi’ah yang ekstrim. Ia mendirikan kota raja Sultaniyah, dekat Zanjan. Pada masa pemerintahan Abu Sa’id (1317-1335), pengganti Muhammad Khubanda, terjadi bencana kelaparan yang sangat menyedihkan dan angin topan dengan hujan es yang mendatangkan malapetaka. Kerajaan Ilkhan yang didirikan Hulagu Khan ini terpecah belah sepeninggal Abu Sa’id. Masing-masing pecahan saling memerangi. Akhirnya, mereka semua ditaklukkan oleh Timur Lenk.[37]


















BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Sejarah kejayaan dan keemasan Islam dibumihanguskan dalam masa kurang lebih 5 tahun. Hal ini ditandai dengan adanya serangan yang dilakukan oleh Hulagu Khan sejak 1253 ke wilayah Baghdad (pusat pemerintahan bani Abbasiyah) hingga 1258. Serangan Mongol (Jenghis Khan) bermula dari perampasan dan pembunuhan oleh Gubernur Utrar terhadap para pedagang bangsa Tartar pada 615 H./1219 M. dengan tuduhan mata-mata Mongol. Disamping memang sudah menjadi tabiat orang Mongol yang suka berperang ditambah lagi dengan dorongan faktor ekonomi. Sehingga perluasan wilayah pun dilakukan oleh Mongol. Dan sampai akhir masa Jenghis Khan (1162-1227) wilayah kekuasaan Mongol meliputi; Tiongkok, Asia Tengah, Persia, dan Mongolia.
Sebelum Jenghis Khan meninggal, dia membagi wilayah kekuasaannya kepada 4 orang putranya. Pertama, Juchi anaknya yang sulung mendapat wilayah Siberia bagian barat dan stepa Qipchaq yang membentang hingga ke Rusia Selatan, di dalamnya terdapat Khawarizm. Kedua, Chagatai ditugasi untuk menguasai daerah Illi, Ergana, Ray, Hamazan dan Azerbeijan. Ketiga, Ogotai mempunyai wilayah di Pamirs dan Tien Syan. Keempat, Tuli (Toluy) anak terakhir Jenghis Khan ini mendapat bagian wilayah Mongolia sendiri.
Hulagu Khan (1217 – 8 February 1265) anak dari Tuli, merupakan orang kedua Mongol yang memimpin pasukan berkekuatan besar untuk membasmi kelompok Pembunuh (Hasyasyin) dan menyerang kekhalifahan Abbasiyah. Pada 10 Pebruari 1258, anak buah Hulagu membumihanguskan Baghdad sehingga rata dengan tanah. Sehingga masa keemasan dan kejayaan Islam (Abbasiyah) hancur dalam kurun waktu hanya 5 tahun.
Namun, akhirnya Ahmad Teguder (1282-1284) dan Mahmud Ghazan (1295-1304), dan raja-raja selanjutnya adalah pemeluk agama Islam. Dengan masuk Islamnya Mahmud Ghazan —sebelumnya beragama Budha— Islam meraih kemenangan yang sangat besar terhadap agama Syamanisme. Sejak itu pula orang-orang Persia mendapatkan ke-merdekaannya kembali.

Potret peradaban Islam pada masa Dinasti Ilkhan tidak benar selamanya suram. Kendatipun pada awalnya kehadirannnya kerap dikatakan sebagai sebagai dinasti pembawa bencana, namun dalam perjalanan sejarahnya dinasti ini telah memiliki andil di dalam upaya membangun dan mengembangkan peradaban Islam, terutama sekali setelah dinasti ini diperintah oleh raja-rajanya yang memeluk agama Islam.
Pada masa Dinasti Ilkhan dipegang oleh raja-raja yang telah memeluk Islam peradaban Islam berkembang dengan pesat, sekalipun tidak dapat dipersamakan dengan periode sebelumnya. Hal ini terlihat dari masih banyak berbagai bentuk khazanah peninggalan peradaban yang ditinggalkan pada periode ini. Ini telah mengindikasikan bahwa para penguasa Muslim Mongol dari dinasti ini banyak memberikan perhatian terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan infrastruktur masyarakat, bahkan peradaban Islam.

B.     Kritik dan Saran
Dari keterangan dan penjelasan-penjelasan di atas mudah-mudahan pembaca dapat mengambil ibrah dan pelajaran, semoga bermanfaat bagi kita semua umumnya bagi penyusun. Dan dari semua pembahasan di atas mungkin terdapat kesalahan baik dari segi penulisannya maupun penjelasannya, kami selaku penyusun meminta maaf dan mengharafkan kritik dan sarannya yang bersifat membangun, agar dapat memperbaiki makalah-makalah selanjutnya. Yang baik datangnya dari Allah, dan yang buruk datangnya dari pemakala.


















DAFTAR PUSTAKA
1.      Amin, Muhammad Masyhur. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Indonesia Spirit Foundation, 2004.
2.      Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, cet.IX, 2001.
3.      Harun, Maidir & Firdaus. Sejarah Peradaban Islam. Padang: IAIN-IB Press, jld.2, 2002.
4.      Hasan, Ibrahim Hasan. Sejarah dan Kebudayaan Islam. terj. Djahdan Hamami, Surabaya: Kota Kembang, 1989.
5.      Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Sejarah bangsa Arab Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005.
6.      Mufrodi, Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta: Logos, 1997.
7.      Nata, Abudin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. VIII, 2003.
8.      Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet.VII, 1998
9.      Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam. Terj, Djahdan Hamami. Surabaya : Kota Kembang, 1989.




[1] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta : PT. Ichtiar Baru, 2001. Hal 241
[2] Muhammad Masyhur Amin, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Indonesia Spirit Foundation, 2004. Hal 168
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998. Hal 111-112
[4] Dewan redaksi Ensiklopedi Islam, 2001, hal 241
[5] Badri yatim, 1998, hal 111
[6] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, Padang : IAIN-IB Press, 2002. Hal 105
[7] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998. Hal 112
[8] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta : Logos, 1997. Hal 127, lihat juga Muhammad Masyhur Amin, hal 169.
[9] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, Padang : IAIN-IB Press, 2002. Hal 106-107
[10] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, Surabaya : Kota Kembang, 1989. Hal 260, lihat juga Ali Mufrodi, hal 127.
[11] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta : Logos, 1997. Hal 128
[12] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, Padang : IAIN-IB Press, 2002. Hal 107-108
[13] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta : PT. Ichtiar Baru, 2001. Hal 242
[14] Muhammad Masyhur Amin, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Indonesia Spirit Foundation, 2004. Hal 171
[15] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta : PT. Ichtiar Baru, 2001. Hal 242-243
[16] Muhammad masyur Amin, 2004, hal 169
[17] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, Padang : IAIN-IB Press, 2002. Hal 109, lihat juga Badri Yatim, hal 113
[18] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, Padang : IAIN-IB Press, 2002. Hal 109, lihat juga Badri Yatim, hal 113
[19] Ibrahim Hasan Sejarah dan Kebudayaan Islam. Terj, Djahdan Hamami. Surabaya : Kota Kembang, 1989. Hal 262
[20] Muhammad Masyhur Amin, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Indonesia Spirit Foundation, 2004. Hal 169
[21] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998. Hal 113
[22] Muhammad Masyhur Amin, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Indonesia Spirit Foundation, 2004. Hal 181
[23] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, Padang : IAIN-IB Press, 2002. Hal 109, lihat juga Badri Yatim, hal 111
[25] Islam Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta : Logos, 1997. Hal 130, Padang : IAIN-IB Press, 2002. Hal 109, lihat juga Badri Yatim, hal 111
[26] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998. Hal 112
[27] Muhammad Masyhur Amin, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Indonesia Spirit Foundation, 2004. Hal 169
[28] Ali Mufrodi, 1997, hal 130
[29] Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, sejarah Peradaban Arab, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005. 619
[30] Muhammad Masyhur Amin, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Indonesia Spirit Foundation, 2004. Hal 179
[31] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998. Hal 114-115, lihat juga Ali Mufrodi, 1997, hal 131
[32] Muhammad Masyhur Amin, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Indonesia Spirit Foundation, 2004. Hal 179
[33] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998. 115
[34] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta : Logos, 1997. Hal 131-132
[35] Badri Yatim, 1998, hal 115-117
[36] Ali Mufrodi, 1997, hal 113
[37] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998. 117

Tidak ada komentar:

Posting Komentar